Senin, 25 Desember 2006

Benteng Penahan Tebing Roboh

PARONGPONG, TRIBUN - Benteng penahan tebing di Kampung Panyairan Jompo RT 2/3, Desa Cigugur Girang, Kecamatan Parongpong, roboh dan menimpa rumah warga, Minggu (24/12) malam. Akibatnya, dua kakak beradik yaitu Sinta (17) dan Cahyani (2) yang tinggal di
rumah tersebut tewas tertimbun batu dan tanah.

Selain merenggut dua nyawa, reruntuhan tebing juga membuat tiga orang lainnya menderita luka. Mereka adalah Usin (40) dan Yati (31) orangtua korban, serta Pian (20) anak pertama pasangan tersebut. Usin bahkan harus dirawat di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung karena tulang rusuknya patah.

Informasi yang dihimpun tribun, Senin (25/12),longsor terjadi sekitar pukul 23.00. Hujan cukup lebat yang mengguyur wilayah Parongpong sejak pukul 14.30 membuat benteng penahan tebing setinggi 8 meter roboh dan menimpa rumah pasangan Usin-Yati yang berada persis di bawah benteng.

Tak pelak, Sinta dan Cahyani yang tengah berada di kamar belakang bersama Usin, langsung tertimbun batu dan tanah. Keduanya tewas di tempat, sementara Usin menderita luka berat dan dilarikan ke RSHS Bandung. Yati sendiri saat itu tengah menonton televisi di ruang lainnya sedangkan Pian, berada di kamar sebelah.

Meski tertimbun reruntuhan batu dan tanah dari kaki hingga pinggang, luka yang diderita Yati tidak terlalu parah. Ibu empat anak ini kini dirawat di rumah tetangganya setelah sempat dilarikan ke RSHS bersama Usin, suaminya. Sedangkan Pian, hanya menderita luka lecet dan sudah bisa beraktivitas kembali.

Menurut Rohman (42), saksi mata kejadian, dirinya mendengar suara gemuruh cukup keras sekitar pukul 23.00 malam. Saat itu, Rohman berada di rumah tetangganya yang tengah menggelar pesta perkawinan, tidak jauh dari rumah Usin. Mendengar suara tersebut, Rohman langsung berlari menuju arah suara.

"Saya kaget begitu melihat benteng yang berada di bawah kandang sapi milik Hj Azizah sudah runtuh dan menimpa rumah Usin yang berada di bawah benteng. Bersama 4 warga lainnya, saya langsung menolong korban yang tertimbun batu sebesar kepala dan tanah,"
kata Rohman kepada wartawan, Senin (25/12).

Rohman menuturkan, pertama kali ia mengangkat tubuh Cahyani dari reruntuhan. Saat diangkat, kata Rohman, kondisi Cahyani cukup mengenaskan dan sudah tidak bernyawa. Selang beberapa menit kemudian, Rohman mengangkat tubuh Sinta yang juga sudah tidak
bernyawa, persis di sebelah jasad Cahyani.

"Baru setelah keduanya diangkat, sejumlah warga lainnya mulai berdatangan dan mengangkat Usin serta Yati. Kondisi Usin saat diangkat boleh dibilang sekarat, sementara Yati yang ditemukan di ruangan lain juga pingsan. Setelah sempat dibawa ke rumah tetangga, Usin dan Yati dilarikan ke RSHS," kata Rohman.

Pantauan Tribun di lokasi kejadian sekitar pukul 10.30, reruntuhan benteng masih tampak menutupi rumah Usin. Hampir seluruh bagian benteng sepanjang 48 meter tersebut runtuh. Sementara puluhan warga tampak berkerumun di sekitar lokasi kejadian. Selain menimpa rumah Usin, sebuah kandang sapi juga tak luput dari runtuhan batu dan tanah. (tig/rry)

Read more »

Senin, 06 Maret 2006

Siswa Belajar di Kelas Bocor

CIANJUR, TRIBUN – Sebanyak 118 dari 236 siswa SDN Sukawening Jalan Cikarethilir Desa Sukamaju Kecamatan Cianjur Kabupaten Cianjur terpaksa harus belajar di ruang kelas yang rusak. Kondisi itu membuat proses belajar mengajar di sekolah yang berada di kawasan Cianjur Kota tersebut terganggu. Satu kelas bahkan kerap bocor jika hujan turun lantaran langit-langitnya banyak yang sudah berlubang.

Menurut Juartiningsih (47), seorang guru di sekolah tersebut, SDN Sukawening memiliki dua unit bangunan yang masing-masing terdiri atas 3 kelas. Dari dua unit bangunan tersebut, lanjut Juartiningsih, satu bangunan yang digunakan siswa kelas 1 sampai kelas 3 kondisinya sudah rusak. Juartiningsih mengatakan, sejak awal berdiri pada tahun 1980, bangunan tersebut memang belum pernah direhab.
“Memang sudah pernah ada rehab bangunan pada tahun 1984 dan tahun 2003 lalu. Tapi, hanya untuk satu unit bangunan sekolah yang digunakan siswa kelas 4 sampai kelas 6. Sementara satu unit bangunan lagi yang digunakan siswa kelas 1 sampai kelas 3 belum pernah direhab. Setiap ada kesempatan, kami selalu mengusulkan perbaikan satu unit bangunan sekolah ke pemerintah, tapi belum pernah disetujui,” kata Juartiningsih kepada wartawan, Senin (6/3).
Dikatakan Juartiningsih, meski kondisi bangunan sudah rusak, pihak sekolah tetap memaksakan proses belajar mengajar kelas 1 sampai 3 lantaran bangunan lainnya tidak sanggup menampung seluruh siswa di SDN Sukawening. Akibatnya, tambah guru yang sudah mengabdi sejak tahun 1984 itu, konsentrasi siswa dalam menangkap mata pelajaran menjadi terganggu. Terlebih lagi, lanjut Juartingingsih, jika hujan mulai turun.
“Ya, kalau hujan turun proses belajar mengajar memang tidak dihentikan. Tapi, ada beberapa kelas yang bocor karena langit-langitnya sudah banyak yang berlubang. Kalau musim kemarau juga tetap saja proses belajar mengajar terganggu karena ruang kelas jadi berdebu. Kami sebagai tenaga pengajar mengharapkan agar realisasi rehabilitasi bangunan sekolah bisa segera dilakukan,” harap Juartiningsih.
Hal yang sama dikatakan Enok Sunarti (29), guru lainnya di sekolah tersebut. Menurut Enok, pihaknya memang sudah pernah mengajukan permintaan rehab bangunan sekolah ke pihak Pemkab Cianjur. Namun, lanjutnya, hingga saat ini, pengajuan tersebut belum digubris oleh pemerintah. Kabarnya, tambah Enok, rehabilitasi bangunan sekolah yang rusak di SDN Sukawening baru akan dilakukan pada Maret ini.
“Yang saya dengar, realisasi rehab sekolah baru akan dilakukan pada Maret ini. Tapi, ternyata hingga saat ini masih belum ada lampu hijau dari pihak pemerintah menyoal rehab bangunan tersebut. Mudah-mudahan saja proyek rehab bisa dilakukan pada tahun ini sesuai dengan janji. Informasi yang beredar, SDN Sukawening memang jadi prioritas untuk direhab,” kata Enok. (tig/nn)

Read more »

Minggu, 05 Maret 2006

TKW Asal Cianjur Disiksa Majikan (3-Habis)

SEBUAH rumah kecil milik keluarga Makmur Junaedi (57) di Kampung Depok Desa Sukaluyu Kecamatan Cijati wilayah Cianjur Selatan tampak sepi, Sabtu (4/3) lalu. Tak terlihat kehidupan di rumah milik ayah Muflihat (37) tersebut. Sejumlah warga mengatakan Makmur tengah pergi ke Cianjur kota untuk menengok anaknya yang sakit setelah pulang dari Arab Saudi.

“Yang punya rumah sedang pergi ke Cianjur, katanya nengok Muflihat anaknya yang sakit setelah pulang dari Arab Saudi. Sejak pergi dari kampung ini lima tahun lalu, Muflihat memang seperti orang hilang, tak pernah terdengar kabar beritanya. Sekarang, orang di sini tahunya Muflihat pulang karena disiksa majikannya di Arab Saudi,” kata Cucum (40), kerabat Muflihat di Kampung Depok.

Kampung Depok sendiri berada jauh di pelosok wilayah Selatan Cianjur, sekitar 100 Km dari wilayah Cianjur kota . Untuk mencapai kampung tersebut, pengemudi kendaraan terlebih dahulu harus melalui jalan rusak dipenuhi lumpur sepanjang 15 Km dari Kecamatan Tanggeung. Jalan tersebut juga hanya bisa dilalui satu kendaraan roda empat, itu pun jenis kendaraan jeep.

“Sejak kembali dari Arab Saudi, Muflihat juga belum kembali ke kampungnya, sehingga saya tidak tahu persis bagaimana kondisi kesehatannya. Yang jelas, warga di sini tahunya Muflihat disiksa majikannya di Arab Saudi. Memang banyak sekali TKW yang berasal dari Kecamatan Cijati. Kebanyakan, keluarga tidak pernah tahu di mana keberadaan mereka,” kata Cucum.

Sementara itu Syahiroh (68) nenek Muflihat mengaku kaget begitu melihat cucunya tiba-tiba datang ke rumahnya Sabtu (25/2) malam sekitar pukul 23.00. Terlebih lagi setelah melihat kondisi Muflihat yang memprihatinkan dengan wajah dipenuhi luka lebam. Sebab, kata Syahiroh, keluarga sudah menganggap Muflihat hilang karena tak pernah mendengar kabar sama sekali.

“Saya dan Makmur ayah Muflihat beberapa kali pernah mendatangi PT Citra di Jakarta mempertanyakan alamat Muflihat di Mekah. Hanya saja pihak PT tidak pernah memberitahukannya. Bahkan kami pernah mendatangi paranormal untuk mengetahui keberadaan Muflihat. Akhirnya kami hanya bisa pasrah dan sempat menganggap Muflihat hilang,” kata Syahiroh. (tig/nn)

Read more »

TKW Asal Cianjur Disiksa Majikan (2)

Sempat Terjun dari Lantai 3

LANTARAN tak kuat menahan siksaan demi siksaan yang dilakukan majikan wanitanya, Muflihat (37) sempat terjun dari lantai 3 rumah majikannya pada 1 Februari 2006 lalu. Saat itu, sekitar pukul 24.00 waktu Arab Saudi atau 12.00 waktu Indonesia, kedua majikan Muflihat tengah tertidur pulas. Muflihat kemudian naik ke lantai 3 rumah dan menyambungkan sejumlah kerudung, gamis, serta sorban hingga membentuk sebuah tali panjang.

Dengan pakaian yang disambung itulah, Muflihat terjun dari lantai 3 rumah. Namun, sambungan sorban, kerudung, dan gamis hanya mencapai lantai dua rumah majikannya. Lantaran tekadnya untuk kabur sudah bulat, Muflihat pun melompat dari lantai dua hingga kaki kirinya terkilir. Ia kemudian berlari sambil menahan sakit di kaki kirinya selama 1,5 jam. Langkahnya baru terhenti setelah sejumlah lelaki tak dikenal menemukan Muflihat tengah berjalan di kegelapan malam Kota Abha.

“Pria itu kemudian menelepon polisi dan membawa saya ke Rumah Sakit Al-Madani. Di sana , saya sempat dirawat selama 16 hari sebelum akhirnya kembali dibawa ke rumah majikan. Meski menderita sakit, majikan saya tak pernah berhenti menyuruh saya bekerja hingga akhirnya saya diperbolehkan pulang. Majikan saya juga mengantarkan sampai Bandara Riyadh,” kata Muflihat. Sesaat setelah menceritakan pengalamannya, ia mengerang kesakitan.

Syahiroh (68) nenek Muflihat, mengaku prihatin dengan peristiwa yang dialami cucunya. Dua hari setelah Muflihat pulang atau Selasa (28/2), ia pun membawa Muflihat ke RSUD Cianjur untuk diperiksa. Dikatakan Syahiroh, Muflihat harus dirawat inap karena menderita patah tulang iga. Namun, kata Syahiroh, lantaran tidak punya uang untuk biaya rumah sakit, Muflihat akhirnya kembali dibawa pulang. “Saya tidak punya uang untuk biaya berobat. Demikian pula dengan Makmur, ayah Muflihat,” kata Syahiroh.

Menurut Syahiroh, saat tiba di rumahnya, Muflihat sama sekali tidak membawa apa-apa selain baju pemberian majikan yang dipakainya saat itu. Tidak hanya itu, kata Syahiroh, cucunya itu hanya mengantongi uang sebesar Rp 200 ribu. Padahal, kata Syahiroh, Muflihat bekerja sudah lima tahun di Arab Saudi. “Jangankan uang, baju saja tidak ada,” kata Syahiroh. (tig/nn)

Read more »

TKW Asal Cianjur Disiksa Majikan (1)

CIANJUR, TRIBUN – Nasib buruk menimpa Muflihat Binti Makmur (37), Tenaga Kerja Wanita (TKW) asal Kabupaten Cianjur yang bekerja di Arab Saudi. Ia terpaksa pulang dengan luka lebam di mata kiri dan tulang iga patah akibat dianiaya majikannya sendiri. Tidak hanya itu, selama 5 tahun bekerja di Arab Saudi, warga Kampung Depok RT 02/05 Desa Sukaluyu Kecamatan Cijati ini hanya menerima upah Rp 200 ribu.

Ditemui wartawan di rumah Syahiroh (68) neneknya di Gang Harapan I Kelurahan Sawahgede Kecamatan Cianjur Sabtu (4/3) malam, Muflihat tampak terbaring lemah di atas tikar. Sejak pulang ke Cianjur Sabtu (25/2) malam lalu, ibu satu anak ini hanya bisa tidur terlentang di atas tikar akibat tulang iganya patah. Mata kirinya masih sulit melihat dengan jelas meski sudah tidak terlihat lebam.

“Saya kerap disiksa sama majikan wanita saya karena lambat mengerjakan tugas. Kadang-kadang punggung saya dipukul sapu. Malah, beberapa kali majikan wanita saya juga kerap membenturkan kepala saya ke tembok sampai saya sakit kepala. Pokoknya, selama lima tahun bekerja di sana , hampir setiap hari siksaan saya terima dari majikan,” kata Muflihat dengan tersendat. Saat itu, tatapan matanya terlihat kosong.

Menurut Muflihat, awal penyiksaan terjadi setelah ia baru bekerja 3 bulan di rumah 3 tingkat milik pasangan Mubarok-Badriah di Kota Abha Mekkah tahun 2001 lalu. Saat itu, kata Muflihat, Badriah terlihat marah dengan hasil pekerjaan yang dilakukannya. Ia pun langsung dipukuli dengan gagang sapu hingga nyaris sekujur tubuhnya lebam-lebam. Sejak saat itu, siksaan pun terus dialami Muflihat dari majikan wanitanya itu.

“Saya sempat menanyakan alamat rumah di Mekkah agar keluarga saya tahu di mana keberadaan saya. Namun, majikan saya malah marah dan balik menanyakan alamat rumah saya di Cianjur agar bisa mengirimi mereka surat . Saya kembali menanyakan surat untuk keluarga saya di Cianjur. Entah kesal dengan pertanyaan saya, sang majikan kembali memukulkan gagang sapu ke punggung saya dan kaki saya,” kata Muflihat.

Meski kerap minta pulang karena tak kuat menahan siksaan, kata Muflihat, majikannya tak pernah memberi izin. Setiap ditanya alasannya, majikannya tersebut kembali marah dan memukuli Muflihat. Akhirnya, hampir setiap hari Muflihat menjadi bulan-bulanan majikannya. Puncak penganiyaan dialami Muflihat setelah ia bekerja selama 2,5 tahun. Majikan wanitanya, kata Muflihat, tiba-tiba menancapkan pisau di punggungnya.

“Sudah banyak penyiksaan yang saya alami, alasannya selalu saja sama yaitu saya lambat menyelesaikan pekerjaan. Dua tahun setengah saya bekerja di sana , kemarahan majikan saya memuncak. Ia menancapkan pisau di punggung saya sehingga saya menderita luka cukup parah. Saya tidak ingat lagi kapan waktunya dan alasan kemarahannya karena sudah terlalu sering,” kata Muflihat. Sesaat ia berhenti berbicara karena sesak napas.

Muflihat sendiri berangkat ke Arab Saudi pada 6 Juni 2001 melalui jasa PT Citra Karya Semesta Klender Duren Sawit RT 08/08 Jakarta Timur. Data tersebut Tribun dari paspor hijau milik Muflihat, karena yang bersangkutan sudah tidak ingat lagi tanggal keberangkatan. Namun, dalam paspor tersebut, Muflihat tercatat lahir pada tahun 1907 sementara usia sebenarnya adalah 37 tahun.

“Kami masih belum bisa menentukan sikap apa-apa karena belum bermusyawarah dengan pihak PJTKI. Yang pasti sekarang tindakan kami adalah menyelamatkan Muflihat agar tidak sakit yang dideritanya sembuh. Soal tuntutan ke pihak PJTKI harus kami bicarakan dulu. Mudah-mudahan Muflihat bisa segera pulih,” kata Syahiroh nenek Muflihat saat ditanya mengenai langkah yang akan ditempuh menyikapi kasus cucunya itu. (tig/nn)

Read more »

Jumat, 03 Maret 2006

Sunan Diduga Korban Salah Obat (4-Habis)

Bukan Salah Pengobatan

WAKIL Direktur RSUD Cianjur, dr Suranto membantah jika kematian Sunan Rival Aulia (6) disebabkan salah pengobatan yang dilakukan dr Abdurrahman. Menurut Suranto, Sunan meninggal akibat penyakit sindrom Stevens-Johnson atau alergi terhadap jenis obat tertentu. Suranto menambahkan, penyakit tersebut sulit terdeteksi dan bisa menyerang siapa saja tanpa memedulikan usia.

“Jadi bukan salah pengobatan. Pihak medis yang ditangani dr Abdurrahman sudah melakukan pengobatan sesuai prosedur yang benar. Pasien menderita sindrom Stevens-Johnson atau alergi terhadap obat jenis tertentu. Karena pasien menderita penyakit paru, dokter kemudian memberinya beberapa jenis obat. Pasien kemungkinan tak kuat menerima jenis obat tersebut meski sudah sesuai dosis,” kata Suranto kepada wartawan, Jumat (3/3).

Dikatakan Suranto, sindrom Stevens-Johnson merupakan suatu penyakit sistemik yang menyerang kulit bahkan sampai ke seluruh organ tubuh termasuk usus. Akibatnya, kata Suranto, pasien sudah tidak bisa lagi mendapat asupan makanan apa pun karena ususnya sudah terbakar. Di Kabupaten Cianjur, kata Suranto, sudah ada dua pasien yang menderita sindrom tersebut termasuk Sunan Rival Aulia. Namun, kata Suranto, pasien sebelumnya berhasil ditangani dan bisa disembuhkan.

“Di dunia juga penyakit ini sangat jarang ditemukan. Penyebabnya sendiri bisa berbeda-beda. Tapi biasanya, penyakit sindrom ini muncul akibat bawaan anak. Anak yang terkena sindrom ini kulitnya akan melepuh. Makanya, untuk penanganannya, harus dilakukan secepat mungkin. Pihak rumah sakit sudah menangani pasien sejak masuk ke RSUD Cianjur dengan menghentikan pemberian obat dan menggantinya dengan obat lain yang lebih ringan,” kata Suranto.

Suranto menambahkan, karena kondisinya sudah parah dan sindrom tersebut sudah menyerang bagian dalam tubuh termasuk usus, Sunan tidak bisa diselamatkan. Ia pun meminta keluarga Sunan datang ke rumah sakit jika ingin menanyakan apa penyebab kematian Sunan. Suranto juga mempersilakan keluarga korban menempuh jalur hukum jika memang langkah itu diinginkan.

“Itu hak keluarga mereka jika memang ingin membawa kasus ini ke jalur hukum. Hanya saja, nantinya akan ada saksi ahli yang akan menilai. Selain itu, kasus ini juga akan ditangani majelis kode etik jika memang akan dibawa ke jalur hukum. Soal permintaan keluarga untuk membebaskan biaya pengobatan, kami akan pertimbangkan dan bicarakan dengan direktur,” kata Suranto.

Sementara itu, dr Abdurrahman sendiri masih sulit ditemui wartawan. Namun saat dikonfirmasi wartawan via telepon, Abdurrahman mengatakan, dirinya sudah menyerahkan sepenuhnya penanganan kasus ini ke pihak RSUD Cianjur. “Semuanya telah diserahkan kepada Public Relations pihak rumah sakit,” ujar Abdurrahman singkat, saat dihubungi via telepon rumahnya, Jumat (3/3). (tig/nn)

Read more »

Sunan Diduga Korban Salah Obat (3)

Sempat Minta Beli Komputer

KEDUA mata Budi Kusnadi (36) masih terlihat sembab, Jumat (3/3) pagi. Duka yang mendalam masih tampak jelas di raut wajahnya. Pria itu kemudian duduk di teras rumah dan berbincang-bincang dengan sejumlah tetangga. Sementara Fitri Widi Astuti (28) istrinya, terlihat duduk di ruang tamu dengan kepala tertunduk. Sejumlah keluarga dan kerabat tampak menyalami Fitri dan memeluknya erat-erat.

Kemarin pagi sekitar pukul 09.00, jenasah Sunan Rival Aulia (6) putra kedua mereka dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Pangeran Hidayatullah. Sunan meninggal diduga akibat salah pengobatan dokter. Isak tangis keluarga dan tetangga mengiringi kepergian Sunan ke liang lahat. Fitri bahkan terlihat berkali-kali pingsan, terlebih lagi saat jenasah Sunan mulai diturunkan ke liang lahat.

“Terakhir saya bicara dengan Sunan pada hari Minggu (26/2) lalu sebelum Sunan dibawa ke rumah sakit. Saat itu, dalam kondisi tubuh yang mulai lemah, Sunan meminta saya membelikan komputer. Saya memang bermaksud membelinya, tapi terlebih dulu menjual Play Station (PS). Ia memang belum sekolah, tapi sudah punya banyak teman. Anaknya periang dan cukup disayang sama teman-teman sebayanya,” kata Budi menceritakan keseharian Sunan semasa hidupnya.

Seingat Budi, dirinya menghabiskan sekitar Rp 1,7 juta untuk pengobatan Sunan dari awal ia berobat. Belum lagi, lanjut Budi, biaya membeli obat yang sudah tak terhitung lagi. Terakhir, kata Budi, ia menerima kuitansi dari pihak RSUD Cianjur sebesar Rp 950 ribu untuk biaya pengobatan dan perawatan Sunan selama di rumah sakit. Namun, kata Sunan, hingga saat ini ia masih belum membayar biaya perawatan dan pengobatan selama di rumah sakit.

“Saya justru ingin seluruh biaya administrasi pengobatan anak saya di rumah sakit dibebaskan. Makanya, saya juga berencana menanyakan hal ini kepada pihak rumah sakit apakah biaya pengobatan bisa dibebaskan. Sebab, anak saya meninggal karena masalah salah pengobatan. Harapan saya, jangan sampai kejadian ini terulang kepada keluarga lain dan menjadi pelajaran bagi para dokter,” kata Budi.

Dikatakan Budi, sebenarnya dr Abdurrahman yang mengobati anaknya dari awal cukup baik dan perhatian. Malah, kata Budi, dokter tersebut selalu siap ditelepon kapan saja, meski tengah malam sekali pun. “Sebenarnya hubungan kami dengan dr Abdurrahman cukup baik. Yang saya inginkan sekarang adalah perhatian dan penjelasan dari dokter,” kata Budi. (tig/nn)

Read more »

Sunan Diduga Korban Salah Obat (2)

Trauma Bawa Anak ke Dokter

SUASANA duka masih menyelimuti keluarga pasangan Budi Kusnadi (36)-Fitri Widi Astuti (28) di Kampung Joglo RT 02/05 Kelurahan Sawahgede Kecamatan Cianjur, Kamis (2/3) sekitar pukul 23.30. Budi bahkan tak kuasa menahan tangis setiap melihat jasad Sunan Rival Aulia (6) putra keduanya, terbujur kaku di ruang tamu berukuran sekitar 6x3 meter. Ia masih tak percaya kalau anaknya pergi begitu cepat.

“Saya tidak tega melihatnya. Tak terbayangkan bagaimana rasa sakit yang diderita Sunan dengan tubuh melepuh seperti itu. Makan saja dia sudah sulit, bahkan menangis pun dia merasakan sakit. Saya tidak menuntut apa-apa selain meminta dokter memberi penjelasan pasti dan mempertanggungjawabkan hasil pengobatannya. Yang saya tak mengerti, kenapa anak saya meninggal dengan cara seperti ini,” kata Budi kepada wartawan.

Dikatakan Budi, Sunan adalah anak lelaki satu-satunya. Karena itu, lanjut Budi, ia dan Fitri istrinya sangat menyayangi Sunan. Apa pun yang diminta oleh anaknya itu, kata Budi, pasti ia penuhi. Selain Sunan, Budi juga memiliki dua anak perempuan masing-masing Nadia Audina (9) dan Fidia Ayundira (2). Malam saat Sunan meninggal, Fidia tak pernah bisa berhenti menangis. Bahkan, tangisnya terdengar sampai keluar rumah.

“Kejadian ini membuat saya trauma membawa anak-anak saya ke dokter. Apalagi kalau harus ke dr Abdurrahman. Bahkan, istri saya bilang, kalau anak sakit ngga perlu diberi obat dan dibawa ke dokter. Saya juga tidak berniat menemui dr Abdurrahman. Entah sampai kapan saya tidak mau membawa anak saya ke dokter. Barangkali ini cobaan buat keluarga kami,” kata Budi masih sambil terisak.

Sekitar pukul 24.00, jasad Sunan mulai dikafani setelah selesai dimandikan. Budi yang awalnya berada di teras rumah, langsung masuk ke ruang tamu dan menatap tubuh Sunan lekat-lekat. Tangisnya kembali pecah begitu bagian tubuh Sunan satu persatu mulai dikafani. Sementara Fitri istrinya, muncul dari dapur diapit sejumlah kerabat dan keluarganya. Langkahnya terlihat gontai sementara buliran air mata tampak terus mengalir. (tig/nn)

Read more »

Sunan Diduga Korban Salah Obat (1)

CIANJUR, TRIBUN – Sunan Rival Aulia (6) meninggal dengan kondisi mengenaskan di Ruang Aromanis RSUD Cianjur, Kamis (2/3) malam. Sekujur tubuh warga Kampung Joglo RT 02/05 Kelurahan Sawahgede Kecamatan Cianjur Kabupaten Cianjur ini melepuh seperti bekas luka bakar. Diduga, Sunan meninggal karena salah pengobatan pihak medis setelah selama 3 hari dirawat di rumah sakit.

Meski tidak berniat membawa kasus ini ke jalur hukum, keluarga korban meminta dokter yang menangani Sunan mempertanggungjawabkan perbuatannya. Mereka menilai, kematian Sunan tidak wajar karena sebelumnya putra kedua pasangan Budi Kusnadi (36)-Fitri Widi Astuti (28) ini hanya menderita batuk-batuk. Selain itu, pihak keluarga juga meminta seluruh biaya pengobatan Sunan dibebaskan.

Kematian Sunan berawal saat ia dirawat di Ruang Aromanis RSUD Cianjur, Senin (27/2) malam lalu sekitar pukul 22.00. Ia dilarikan ke RSUD Cianjur karena menderita muntah-muntah disertai buang air besar. Sunan pun nyaris tak sadarkan diri ketika memasuki Ruang Aromanis. Selama dua hari dirawat di rumah sakit, kondisi kesehatan Sunan semakin menurun. Wajah dan sekujur tubuhnya mulai dipenuhi bercak-bercak merah.

Lama-lama, bercak merah di wajah dan tubuh Sunan berubah menjadi hitam, seperti bekas luka bakar. Setiap disentuh, kulit tubuhnya terus mengelupas dan mengeluarkan cairan. Kondisi kesehatan Sunan pun terus memburuk dan mengalami puncaknya pada Rabu (1/3) lalu. Bocah periang itu sudah tidak sadarkan diri dan tidak bisa mendapat asupan makanan apa pun. Ia pun meninggal keesokan harinya sekitar pukul 21.15.

“Saya tidak tega melihat kondisi anak saya seperti itu. Wajah dan sekujur tubuhnya melepuh seperti bekas luka bakar. Padahal sebelumnya, ia hanya menderita batuk-batuk. Untuk itu, saya minta pihak medis yang menangani Sunan mempertanggungjawabkan perbuatannya. Saya ini orang awam, dan tidak mengerti apa-apa tentang kedokteran,” kata Budi, ayah Sunan, dengan mata sembab, Kamis (2/3) malam.

Seingat Budi, anaknya mulai dibawa ke dokter sebelum disunat pada Minggu (15/1) lalu karena menderita batuk-batuk. Saat itu, kata Budi, Sunan dibawa ke dokter spesialis anak di kawasan Selakopi yaitu dr Abdurrahman Eman SPa. Oleh dokter, kata Budi, Sunan diberi beberapa jenis obat dan diperbolehkan pulang. Karena merasa anaknya sudah cukup sehat, kata Budi, Sunan pun disunat pada Minggu (15/1).

“Setelah disunat, kondisi kesehatan Sunan memang baik. Tapi, beberapa hari kemudian, ia kembali menderita batuk-batuk. Hampir sebulan Sunan terus menderita batuk, sehingga kami akhirnya kembali berobat ke dr Abdurrahman pada Minggu (12/2) lalu. Dokter kembali memberi kami beberapa jenis obat, termasuk antibiotik,” kata Budi sambil terisak.

Empat hari setelah dibawa ke dr Abdurrahman, kesehatan Sunan bukannya membaik malah terus menurun. Batuknya juga tak kunjung sembuh. Budi pun kembali membawa Sunan ke dr Abdurrahman. Lantaran penyakit batuk Sunan tak kunjung sembuh, kata Budi, dr Abdurrahman lantas menyuruhnya membawa Sunan ke RSUD Cianjur untuk dirontgen. Saat itu, kata Budi, dr Abdurrahman menduga Sunan menderita penyakit paru.

“Kami pun mengikuti perintah dr Abdurrahman dan membawa Sunan pada Senin (20/2) ke RSUD Cianjur untuk dirontgen karena khawatir Sunan memang menderita penyakit paru. Keesokan harinya (Selasa pagi, Red) kami kembali ke dr Abdurrahman untuk berobat penyakit paru. Dokter kemudian memberi sekitar 3 jenis obat penyakit paru,” kata Budi.

Sayangnya, lanjut Budi, 3 hari setelah diberi obat penyakit paru tepatnya Jumat (24/2), kondisi kesehatan Sunan semakin memburuk. Bahkan, tambahnya, Sunan malah menderita muntah-muntah dan terus buang air besar. Lantaran penyakit Sunan semakin parah, Budi pun kembali menanyakan hal itu ke dr Abdurrahman pada Sabtu (25/2). Saat itu, kata Budi, dokter menyuruh Budi menghentikan pemberian obat penyakit paru.

“Dokter Abdurrahman memberi obat lain untuk penyembuhan Sunan. Tapi malamnya muntah-muntah dan buang air besarnya malah semakin parah. Saya kembali membawa Sunan ke dokter pada Minggu (26/2). Minggu malam, penderitaan Sunan makin menjadi-jadi. Bicaranya pun sudah ngelantur. Akhirnya, Senin (27/2) malam, saya bawa Sunan ke RSUD Cianjur dalam kondisi yang sudah hampir tak sadarkan diri,” kata Budi. (tig/nn)

Read more »

Kamis, 02 Maret 2006

Muslihat Nekat Bakar Diri

CIANJUR, TRIBUN – Diduga stres tak bisa mendalami salah satu aliran kepercayaan, Muslihat (20) nekat membakar diri di dapur rumahnya Kamis (2/3) pagi. Beruntung, warga Kampung Cicariang RT 02/07 Desa Jambudipa Kecamatan Warungkondang Kabupaten Cianjur ini bisa diselamatkan. Namun, gara-gara aksi nekatnya itu, hampir sekujur tubuh Muslihat hangus terbakar.

Informasi yang dihimpun Tribun, aksi bakar diri tersebut terjadi sekitar pukul 09.30. Saat itu, Idil (64) ayah korban, tengah bekerja di kebun sementara Rohmah (52) ibunya, tertidur di kamar karena sakit. Muslihat yang sehari-hari kerap melamun kemudian memasuki dapur dan menyiramkan minyak tanah ke sekujur tubuhnya. Selang beberapa saat kemudian, ia menyalakan korek api dan membakar tubuhnya.

Jilatan api langsung membakar sekujur tubuh Muslihat, tak terkecuali rambutnya. Sambil menggelepar di lantai dapur, pemuda pengangguran itu berteriak-teriak menahan sakit. Teriakan Muslihat rupanya terdengar oleh Idil, yang baru saja pulang dari kebun. Lantaran pintu rumah terkunci dan Idil kesulitan membukanya, bapak 7 anak itu pun langsung mendobraknya.

“Setelah saya mendobrak rumah, saya langsung mencari sumber teriakan. Ternyata, itu adalah teriakan anak saya yang berada di dapur. Saya kaget setelah melihat sekujur tubuh Muslihat terbakar. Karena bingung, saya menyuruhnya berlari ke kolam yang berada tidak jauh dari rumah. Di dapur, saya juga sempat berusaha mematikan api, tapi tidak bisa,” kata Idil saat ditemui wartawan di RSUD Cianjur, Kamis (2/3).

Dalam keadaan tubuh terbakar, Muslihat berlari ke arah kolam mengikuti permintaan ayahnya. Namun, begitu sampai di kolam, ia tidak berani menceburkan diri sehingga Idil terpaksa harus mendorongnya. Baru setelah didorong, Muslihat akhirnya menceburkan diri ke kolam. Api yang membakar tubuhnya lambat laun padam. Setelah api padam, ia pun langsung dilarikan ke RSUD Cianjur.

“Anak saya menderita stres karena sejak bulan ramadhan lalu menderita sakit. Sebenarnya, Muslihat itu belajar ngaji di pesantren dan ingin mendalami salah satu ilmu kepercayaan. Tapi karena sakit, ia tidak bisa belajar lagi. Pernah suatu hari Muslihat bicara sama saya kalau ia ingin mati saja. Tapi saya bilang mati itu urusan Tuhan,” kata Idil didampingi Rohmah istrinya.

Kemarin, Muslihat tampak terbaring di salah satu tempat tidur Ruang Anggur RSUD Cianjur. Seluruh tubuhnya kecuali kaki kiri, tertutup perban. Ia juga belum bisa diajak bicara. Saat Tribun mencoba mewawancarainya, Muslihat hanya terdiam dan tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Sesekali ia mengerang kesakitan. Lantaran menderita luka bakar serius, Muslihat pun akhirnya dirujuk ke RSHS Bandung. (tig/nn)

Read more »

Selasa, 28 Februari 2006

Kisah Iwan Si Pembunuh Sadis (4-Habis)

Keluarga Iwan Misterius

TAK ada yang tahu persis di mana rumah keluarga Iwan Setiadi (23), pelaku pembunuhan sadis di Kecamatan Warungkondang Senin (27/2) lalu. Meski Iwan mengaku tinggal di Kampung Balakang Desa Sindanglaya Kecamatan Cipanas, sejumlah warga setempat mengaku tak mengenal sosok Iwan ataupun Ceceng, ayahnya. Iwan pun tak pernah memberikan alamat jelas kepada pihak kepolisian.

“Ini memang Kampung Balakang. Desanya juga Desa Sindanglaya. Tapi kalau nama Iwan atau Ceceng, saya tidak tahu. Kampung ini kan luas sekali, jadi saya juga tidak tahu persis. Yang jelas, saya tidak tahu di mana itu rumah Iwan atau Ceceng,” kata Wawan (34), salah seorang warga setempat kepada wartawan, Rabu (1/3).

Warga Kampung Cicariang Kaler pun mengaku tidak tahu persis di mana rumah Iwan sesungguhnya. Meski Iwan sering berada di kampung tersebut dan tinggal di rumah kakeknya, pemuda itu jarang bergaul dengan warga. Kepergian Iwan dari rumah kakeknya beberapa bulan yang lalu juga sama sekali tidak diketahui warga.

“Saya tidak tahu di mana rumah Iwan. Soalnya, selama berada di kampung ini dan tinggal di rumah kakeknya juga Iwan jarang bergaul. Tidak ada wargayang tahu kepergian Iwan dari kampung ini beberapa bulan yang lalu. Tiba-tiba, Iwan kembali datang dan langsung menggegerkan warga sekampung karena membunuh Atin dengan sadis,” kata Yusuf (75), salah seorang tokoh Kampung Cicariang Kaler. (tig)

Read more »

Kisah Iwan Si Pembunuh Sadis (3)

Ditanya Wartawan Iwan Ngeloyor

ENTAH apa yang ada dalam pikiran Iwan Setiadi (23) ketika berada di ruang pemeriksaan Mapolres Cianjur, Rabu (1/3) siang. Saat sejumlah wartawan tengah berusaha mewawancarainya, Iwan tiba-tiba malah ngeloyor pergi ke luar ruangan. Sambil berjalan tertatih-tatih, Iwan terus keluar ruangan dan tak mengindahkan suara aparat kepolisian yang memanggil namanya.

Kontan saja, aksi tersebut sempat membuat heboh ruang pemeriksaan Mapolres Cianjur. Tak urung, sejumlah aparat kepolisian langsung menghadang Iwan yang tak bisa berjalan sempurna. Di luar ruangan pemeriksaan, Iwan sempat tak mau kembali masuk. Baru setelah aparat kepolisian menarik lengannya, Iwan pun masuk dan kembali duduk di ruang pemeriksaan.

Sebelum aksi itu dilakukannya, Iwan terlebih dulu memejamkan mata sambil menyilangkan kedua tangannya. Seluruh pertanyaan wartawan tak pernah dijawabnya dengan benar. Ketimbang menjawab pertanyaan wartawan, Iwan lebih memilih diam dan menundukkan kepala. Akhirnya, beberapa saat setelah melakukan aksi tutup mulut, Iwan beranjak dari kursi sambil mengeluarkan beberapa kalimat. “Ah… Rek kaluar heula (Ah, mau keluar dulu),” begitu ucap Iwan sebelum pergi keluar ruangan. (tig)

Read more »

Kisah Iwan Si Pembunuh Sadis (2)

Saya Seperti Kerasukan

DENGAN langkah terpincang-pincang, Iwan Setiadi (23), pelaku pembunuhan sadis di Kecamatan Warungkondang Kabupaten Cianjur berjalan dari sel tahanan menuju ruang pemeriksaan Mapolres Cianjur, Rabu (1/3). Ia tampak diapit dua aparat kepolisian dengan tangan diborgol. Wajahnya masih dipenuhi luka bekas hajaran massa dua hari yang lalu.

Saat berjalan menuju ruang pemeriksaan, Iwan lebih sering menundukkan kepala. Kaki kirinya yang terluka ditekukan sehingga ia hanya berjalan dengan satu kaki. Meski petugas kepolisian meminta Iwan menurunkan kaki kirinya, pemuda itu bergeming dan tetap berjalan terpincang. Tingkah Iwan yang tetap menundukkan kepala dilanjutkannya di ruang pemeriksaan.

“Saya tidak tahu kenapa saya melakukan perbuatan itu. Yang jelas, begitu saya bangun tidur saya langsung menggorok leher pak lurah. Saat itu, saya seperti kerasukan. Padahal, pak lurah itu sudah saya anggap bapak saya sendiri. Pokoknya, saya tidur jam 7 malam (Minggu, Red) di rumah kakek saya di Cicariang. Terus pas bangun saya langsung melakukan perbuatan itu,” kata Iwan di hadapan petugas penyidik.

Sorot matanya tiba-tiba berubah tajam. Hampir sekeliling ruangan ia perhatikan. Namun, setelah itu, Iwan kembali tertunduk. Beberapa saat kemudian, petugas penyidik membawa golok yang digunakan Iwan menggorok Atin. Menurut Iwan, golok itu merupakan kepunyaan Atin yang ia rebut dari pinggang Atin saat berada di empang. Di ruang pemeriksaan, Iwan kemudian memeragakan cara dia membunuh korban.

Itulah barangkali beberapa kalimat yang diucapkan Iwan, baik kepada petugas penyidik maupun kepada wartawan. Meski didesak berkali-kali alasannya membunuh Atin, Iwan tak menjawab. Ia malah kembali bertingkah aneh dengan memejamkan matanya sambil mulut komat-kamit. Sesekali, Iwan kembali tertunduk dan tak mau menatap wajah seluruh orang yang berada di ruang pemeriksaan. (tig)

Read more »

Kisah Iwan Si Pembunuh Sadis (1)

Kerap Mengamuk di Sel

CIANJUR, TRIBUN – Iwan Setiadi (23), pelaku pembunuhan sadis di Kampung Cicariang Kaler Desa Bunisari Kecamatan Warungkondang Senin (27/2) lalu diduga mengalami gangguan jiwa. Selama dalam sel tahanan Mapolres Cianjur, warga Kampung Balakang Desa Sindanglaya Kecamatan Cipanas ini kerap mengamuk dan sempat memukul seorang tahanan.

Ditemui Tribun di sel tahanan I Mapolres Cianjur Rabu (1/3) siang, Iwan tampak duduk di lantai dengan tatapan kosong. Pemuda bertubuh gempal ini seolah tak memedulikan panggilan 14 tahanan lainnya yang berada dalam sel berukuran sekitar 4x3,5 meter tersebut. Sesekali matanya terpejam. Tak ada sepatah kata pun keluar dari mulut Iwan saat itu meski ia sering terlihat komat-kamit.

Iwan sendiri masuk ke sel tahanan Mapolres Cianjur pada Senin (27/2) lalu setelah sebelumnya sempat dihajar massa . Ia diamankan aparat kepolisian lantaran tindakan sadisnya menggorok leher Atin Sudradjat (55), mantan Kepala Desa Bunisari periode 1995-2000, hingga putus. Lantaran kerap mengamuk dalam sel tahanan, kedua tangan Iwan akhirnya diborgol dan sempat dipisahkan dari tahanan lain.

“Kalau malam Iwan memang suka mengamuk dan tiba-tiba berteriak. Saya sempat dipukul ketika sedang nonton TV di dalam sel saat ia pertama masuk sel. Mungkin karena tempat yang saya duduki sering dipakai sama Iwan, ia marah. Teman-teman dalam sel juga pernah ditantang berkelahi. Tapi kami tidak takut, malah sering kami ajak ngobrol,” kata Damar (20), seorang tahanan yang tinggal satu sel bersama Iwan.

Dikatakan Damar, selama dalam sel, Iwan juga jarang berbincang dengan teman sesama tahanan. Setiap hari, lanjut Damar, kelakuan Iwan seperti orang aneh dan lebih banyak melamun. Pernah suatu hari, kata Damar, beberapa tahanan mengajak Iwan berbicara. Bukannya berbicara, kata Damar, Iwan malah menyilangkan kedua tangannya seperti hendak mengeluarkan jurus silat.

“Saya tidak tahu apakah dia hendak mengeluarkan jurus silat atau apa. Yang jelas, saat diajak berbicara, kelakuannya seperti itu. Akhirnya, sejak saat itu, kami biarkan saja Iwan melakukan perbuatan sesuka hatinya selama tidak mengganggu kami. Sekarang, kami sudah terbiasa dengan kelakuan Iwan yang seperti itu, malah sering kami jadikan bahan guyonan,” kata Damar.

Kapolres Cianjur AKBP Drs J Wisnu Sandjaja mengatakan, motif pembunuhan sadis yang dilakukan pelaku dengan menggorok leher korban hingga putus diduga berawal dari kesalahpahaman. Pelaku, lanjut Wisnu, ingin menggarap empang ikan yang berada di dekat rumah korban. Namun, kata Wisnu, korban tidak mau memberikan empang garapannya tersebut sehingga pelaku kesal dan nekat menggorok leher korban.

“Kalau soal kondisi kejiwaan pelaku masih perlu pemeriksaan psikiater makanya kami berencana memanggil ahli jiwa. Akibat perbuatannya menghilangkan nyawa orang, apalagi dengan cara sadis pelaku bisa dijerat pasal berlapis dan diancam hukuman seumur hidup atau hukuman mati,” kata Wisnu kepada wartawan. (tig)

Read more »

Senin, 27 Februari 2006

Leher Atin Putus Digorok (3-Habis)

Sempat Diajak Makan Bersama

NASIHAH binti Hamin (53) tampak shock begitu mengetahui Atin Sudradjat (55) suaminya, tewas secara mengenaskan, Senin (27/2) pagi. Berkali-kali ibu 3 anak ini menangis histeris. Terlebih lagi setelah mengetahui pelaku pembunuhan adalah Iwan Setiadi (23), warga Kampung Balakang Desa Cipendawa Kecamatan Cipanas yang selama ini dikenal dekat dengan korban.

Menurut Nasihah, Senin (27/2) pagi, ia dan Atin baru pulang dari pengajian subuh di Pesantren Gentur Warungkondang sekitar pukul 07.00. Namun, lanjut Nasihah, sekitar pukul 07.30, rumahnya kemudian didatangi Iwan yang sudah lama tidak muncul. Setelah sempat berbincang dengan Atin, lanjut Nasihah, Iwan lantas pergi dari rumah. Nasihah mengaku tidak tahu persis pembicaran antara suaminya dengan Iwan.

“Suami saya sempat mengajak Iwan makan tapi karena Iwan tidak ada, Atin langung berangkat mencari Iwan sambil bermaksud membersihkan empang sekitar 500 meter dari rumah. Tadinya, suami saya menyuruh Iyep anak bungsu kami mencari Iwan, tapi Iyep tidak ada. Saya ingat saat itu suami saya menggunakan kemeja tangan pendek dan training panjang,” kata Nasihah sambil terus terisak.

Nasihah tak menyangka jika pertemuan Senin (27/2) pagi merupakan pertemuan terakhir dengan suaminya. Setengah jam setelah pergi ke empang, kata Nasihah, ia mendapat kabar suaminya meninggal dengan kepala terputus. “Saya tidak mempunyai firasat apa-apa pada malam sebelumnya. Saya juga tidak curiga dengan kedatangan Iwan ke rumah. Tahu-tahu, suami saya sudah meninggal dengan kondisi yang mengenaskan. Saya melihat sendiri jasad suami saya….,” kata Nasihah dengan terbata-bata.

Menurut Nasihah, selama ini Iwan sudah dianggap anaknya sendiri. Bahkan, lanjut Nasihah, sejak bulan Oktober hingga pertengahan Desember lalu, Iwan sempat tinggal di rumahnya. Baru setelah dijemput Ceceng ayahnya, kata Nasihah, Iwan menghilang dan tak pernah kembali lagi ke rumah Atin. “Saya baru ketemu Iwan tadi pagi (kemarin, Red) setelah 3 bulan menghilang,” kata Nasihah.

Asep Saepudin (23), anak pertama korban meminta aparat kepolisian memberikan hukuman mati bagi pelaku. Menurut Asep, satu-satunya hukuman yang pantas bagi pelaku pembunuhan sadis tersebut adalah hukuman mati. “Kalau saya tidak sadar dengan hukum, sudah pasti saya akan kembali membunuh pelaku dengan tangan saya sendiri sesuai perbuatannya. Tapi, kami minta pelaku diberikan hukuman yang setimpal,” kata Asep kepada wartawan.

Hal yang sama juga dikatakan Nasihah. Ia meminta pelaku dihukum mati. Bahkan bila perlu, hukuman tersebut disaksikan oleh warga seluruh kampung. “Saya tidak puas jika pelaku tidak dihukum mati. Bila perlu pelaku digantung dan disaksikan banyak orang seperti di arab saudi sana ,” kata Nasihah. (gin gin tigin ginulur)

Read more »

Leher Atin Putus Digorok (2)

Gara-gara Uang Kontrakan

BANYAK versi yang beredar terkait motif yang dilakukan Iwan Setiadi (23) menggorok leher Atin Sudradjat (55) hingga putus, Senin (27/2) pagi. Sejumlah warga menduga, tindakan Iwan membunuh korban dilakukan atas dasar kesal lantaran uang kontrakan yang ia tagih dari Atin masih belum dibayar. Selama ini, korban tinggal di rumah kontrakan milik Ceceng, orangtua pelaku.

“Kemungkinan Iwan datang ke rumah Atin untuk menagih uang kontrakan yang selama ini belum dibayar oleh korban. Mungkin kesal dengan nada bicara korban, Iwan langsung nekat menghabisi nyawa Atin dengan menggorok leher korban hingga putus. Padahal selama ini pelaku dikenal dekat dengan korban, malah pelaku sudah dianggap anak sendiri oleh korban,” kata salah seorang warga yang enggan disebutkan namanya.

Sementara itu, beberapa warga lainnya memiliki versi yang berbeda. Mereka menduga, Iwan nekat menghabisi nyawa Atin untuk memperdalam ilmunya. Pelaku sendiri menurut pengakuan warga dikenal stres dan jarang bergaul dengan warga. “Saya tidak tahu persis apa motif yang membuat Iwan nekat menghabisi nyawa Atin dengan menggorok lehernya. Tapi ada yang bilang pelaku itu ngelmu (menimba ilmu, Red),” kata warga lainnya.

Kapolsek Warungkondang AKP Cucu Priatna, yang langsung terjun ke lapangan masih enggan memberikan komentar mengenai latar belakang pembunuhan itu. Meski begitu, Cucu membenarkan jika pembunuhan tersebut merupakan pembunuhan tersadis dalam 3 bulan terakhir. “Kami belum bisa mengungkapkan motif pembunuhan ini karena masih dalam penyelidikan polisi,” kata Cucu kepada wartawan. (tig)

Read more »

Leher Atin Putus Digorok (1)

CIANJUR, TRIBUN – Nasib tragis dialami Atin Sudradjat (55), warga Kampung Cicariangkaler RT 12/5 Desa Bunisari Kecamatan Warungkondang Kabupaten Cianjur. Mantan Kepala Desa Bunisari periode 1995-2000 ini tewas dengan leher terputus di empang dekat rumahnya, Senin (27/2) pagi. Ironisnya, pelaku pembunuhan tak lain adalah Iwan Setiadi (23), pemuda yang selama ini sudah dianggap anaknya sendiri.


Usai menggorok leher Atin, Iwan sendiri sempat terlihat berjalan santai dengan wajah berlumuran darah di sekitar Jalan Raya Jambudipa. Warga Kampung Balakang Desa Cipendawa Kecamatan Cipanas ini pun langsung diamankan aparat kepolisian dari Polsek Warungkondang setelah sebelumnya sempat dihakimi massa . Dari tangan pelaku, petugas mengamankan sebilah golok yang digunakan Iwan menghabisi korban. Belum diketahui motif pelaku melakukan pembunuhan tersebut.

Informasi yang dihimpun Tribun, pembunuhan sadis tersebut terjadi sekitar pukul 09.00. Saat itu, Iyan Sofyan (43), salah seorang kerabat korban mendengar suara ribut-ribut di sekitar empang dekat rumah Atin. Iyan pun lantas mengajak Iyep Komarudin (17) putra ketiga korban mendekati sumber keributan. Betapa kagetnya Iyan dan Iyep begitu melihat Iwan tengah menggorok leher Atin hingga putus.

“Begitu melihat tubuh bapak ditindih oleh Iwan yang saat itu menempelkan golok di leher bapak, saya dan Pak Iyan langsung menendang kepala dan badan Iwan. Tapi, Iwan tidak bergerak sama sekali dan malah menatap saya dengan sorotan tajam. Karena takut melihat pelaku, saya dan pak Iyan langsung lari dan berteriak minta tolong,” kata Iyep yang sempat tak sadarkan diri setelah mengetahui bapaknya tewas mengenaskan.

Teriakan Iyep terdengar oleh sejumlah warga yang saat itu tengah berkumpul. Iyep pun menceritakan kejadian yang dialaminya. Mendengar pengakuan Iyep, puluhan warga langsung beramai-ramai mencari pelaku. Tak kurang dari setengah jam, Iwan akhirnya ditemukan di Jalan Raya Jambudipa dengan wajah berlumuran darah dan tubuh dipenuhi lumpur sambil menenteng golok. Tanpa ampun, puluhan warga langsung menghajar Iwan hingga babak belur.

“Kami melihat pelaku tengah berjalan santai di Jalan Raya Jambudipa sambil menenteng sebilah golok di tangan kanannya. Tanpa dikomando, warga langsung menghajar pelaku hingga babak belur sebelum akhirnya dipisahkan oleh tokoh masyarakat setempat. Pelaku kemudian dibawa ke Mapolsek Warungkondang. Setelah itu, polisi membawanya ke RSUD Cianjur,” kata Iyan Sofyan.

Peristiwa pembunuhan tersebut sempat menggegerkan warga Kampung Cicariangkaler. Pasalnya, pembunuhan dilakukan pelaku pada pagi hari menjelang siang. Setelah pelaku berhasil diamankan, aparat kepolisian dari Polsek Warungkondang langsung meluncur ke Tempat Kejadian Perkara (TKP) guna melakukan olah TKP. Dibantu sejumlah warga, petugas lantas membawa korban ke RSUD Cianjur untuk diotopsi. (tig)

Read more »

Sabtu, 28 Januari 2006

Aksi Jahit Mulut Jajang Berakhir (3-Habis)

Siapa yang Bertanggungjawab?

SOLIHIN (21) tampak berdiri di salah satu sudut kamar yang ditiduri Jajang Suparman (38), ayahnya, Sabtu (28/1). Tatapan matanya kosong. Buliran air mata terlihat menggenang di kedua bola matanya. Rambut gondrongnya basah bekas terkena siraman hujan deras yang mengiringi kedatangan ayahnya.

Tak ada kata yang keluar dari mulut putra pertama Jajang dari empat bersaudara ini. Mulutnya seolah terkunci rapat menyaksikan kondisi ayahnya yang terus melemah. Sesekali, ia mengusap wajahnya yang tampak lelah setelah selama 2 jam mendampingi ayahnya pulang dari RS PGI Cikini Jakarta.

Solihin baru berbicara setelah sejumlah wartawan mendekatinya. Dengan agak terbata-bata, pemuda yang sehari-hari bekerja sebagai buruh peternakan ini menjelaskan kronologis peristiwa yang menimpa ayahnya. Lambat laun, nada bicaranya semakin meninggi. Sambil menunjuk Jajang yang terbaring lemah, Solihin mengaku berang dengan sikap PLN yang sama sekali tidak menggubris aksi yang dilakukan ayahnya.

“Coba, saya tanya sama Anda, siapa yang akan bertanggungjawab jika ayah saya mati? Pemerintah atau PLN? Mereka hanya acuh, dan sama sekali tidak memperhatikan perjuangan ayah saya dan teman-temannya. Bagaimana jika Anda berada di posisi saya? Mana janji pemerintah yang katanya membela rakyat kecil?” tanya Solihin sambil menatap wajah wartawan.

Dikatakan Solihin, dirinya sama sekali tidak mengetahui keberangkatan Jajang ke Jakarta bergabung dengan warga korban SUTET lainnya di Jawa Barat. Ia mengaku baru mengetahui keberadaan ayahnya, lima hari setelah Jajang berada di Jakarta . Informasi itu pun, kata Solihin, diperolehnya dari media televisi yang secara tidak sengaja ditontonya.

Saat ditanya apakah dirinya akan meneruskan perjuangan Jajang, Solihin terdiam. Ia mengaku masih belum bisa berpikir jernih, apalagi berpikir meneruskan perjuangan ayahnya menuntut ganti rugi ke pihak PLN. Untuk merawat ayahnya saja, Solihin masih bingung harus melakukan apa dan memperoleh biaya dari mana.

“Sampai saat ini masih belum terpikir oleh saya untuk meneruskan perjuangan ayah. Saya masih bingung bagaimana merawat ayah supaya cepat sembuh. Kalau mau dibawa ke dokter juga biayanya tentu mahal. Ibu saya sedang tidak ada. Dari mana saya bisa memperoleh biaya berobat?” kata Solihin lirih. (gin gin tigin ginulur)

Read more »

Aksi Jahit Mulut Jajang Berakhir (2)

Tangis Juariah Pecah

SUASANA duka tampak menyelimuti keluarga Jajang Suparman (38) di Kampung Bobojong RT 04/06 Desa Tanjungsari Kecamatan Sukaluyu Kabupaten Cianjur, Sabtu (28/1) malam. Begitu Jajang tiba di rumah sekitar pukul 23.00, sejumlah sanak keluarga menyambut dengan tangis. Lantunan salawat pun langsung terdengar sesaat setelah tubuh Jajang dikeluarkan dari ambulans.

Dalam keadaan tak sadarkan diri, Jajang kemudian dibawa dengan menggunakan kereta dorong ke rumah Esih (41), adik iparnya. Rumah tersebut berada persis di belakang rumah Jajang. Saat dibawa dengan kereta dorong, wajah Jajang tampak pucat. Bekas jahitan di mulutnya juga masih terlihat jelas, lengkap dengan benangnya. Tidak hanya itu, lengan kirinya pun masih ditempeli selang infus, meski cairan infus dalam botol sudah hampir habis.

Sepanjang perjalanan menuju rumah Esih, Juariah (50), kakak tertua Jajang terlihat terus meneteskan air mata. Tangisnya pecah begitu Jajang dibaringkan di salah satu kamar berukuran sekitar 2x3 meter. Berkali-kali Juariah mengelus wajah adik keempatnya, dan memeluknya erat-erat. Ia pun menumpahkan tangisnya sambil tertunduk di atas wajah Jajang.

Selama hampir 30 menit, Juariah terus menangis. Tangisnya baru berhenti setelah sejumlah kerabat berusaha menghiburnya. Dengan terisak, Juariah pun menatap lekat-lekat tubuh Jajang yang dibalut selimut. Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut Jajang saat itu. “Kunaon atuh maneh teh Jang (Kenapa kamu Jang)?” tanya Juariah lirih.

Kepala Desa Tanjungsari, Asep Suherman (50), mengaku prihatin melihat kondisi tubuh Jajang yang terus melemah. Menurut Asep, dirinya sama sekali tidak tahu keberangkatan Jajang bersama sejumlah warga Tanjungsari lainnya ke Jakarta beberapa waktu yang lalu. Meski begitu, Asep mendukung aksi yang dilakukan warga menuntut pihak PLN pusat.

“Memang kepergian warga saya ke Jakarta tanpa sepengetahuan saya. Justru dari televisi saya mengetahui adanya aksi jahit mulut yang dilakukan salah seorang warga dari Desa Tanjungsari. Di Desa Tangjungsari sendiri ada sekitar 229 warga saya yang menjadi korban SUTET. Sebetulnya kami sudah 3 kali berniat menjemput Jajang” kata Asep kepada wartawan, Sabtu (28/1).

Rencananya, kata Asep, Jajang akan dibawa ke rumah sakit untuk diperiksa. Namun, kata Asep, keputusan terakhir tetap ada di tangan keluarga Jajang. Pantauan Tribun di rumah Esih, Minggu (29/1) pukul 00.30, kondisi Jajang masih terlihat lemah. Meski begitu, ia sudah mulai menggerakan sebagian anggota tubuhnya, dan membuka mulutnya pelan-pelan. (gin gin tigin ginulur)

Read more »

Aksi Jahit Mulut Jajang Berakhir (1)

CIANJUR, TRIBUN – Berakhir sudah aksi jahit mulut yang dilakukan Jajang Suparman (38) di Posko Selamatkan Rakyat Indonesia (SRI) Jalan Diponegoro, Jakarta . Warga Kampung Bobojong Desa Tanjungsari Kecamatan Sukaluyu Kabupaten Cianjur ini terpaksa harus pulang, Sabtu (28/1), lantaran kondisi tubuhnya mulai melemah.

Kondisi tubuh Jajang mulai melemah sejak Kamis (26/1). Saat itu, sekitar pukul 06.30, suami dari Ijah Khadijah (44) ini tiba-tiba pingsan di kamar mandi. Sejak saat itulah, bapak empat anak ini mengalami koma, dan dilarikan ke Rumah Sakit PGI Cikini Jakarta. Hasil pemeriksaan dokter, Jajang menderita glukosa rendah, tensi rendah, dan jantung melemah.

Jajang adalah salah satu warga korban Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET) di Jawa Barat yang menuntut pihak PLN pusat dengan cara melakukan aksi jahit mulut di Posko Selamatkan Rakyat Indonesia (SRI). Selain Jajang, beberapa warga lainnya di Jawa Barat juga melakukan aksi serupa. Jajang sendiri melakukan aksinya sejak 29 Desember 2005, menyusul rekan-rekan lainnya.

Aksi jahit mulut tersebut dilakukan sebagai bentuk protes kepada pihak pemerintah dan PLN, yang belum memberikan ganti rugi tanah mereka akibat terimbas SUTET. Selama satu bulan, mereka sama sekali tidak berbicara, dan tidak mendapat asupan makanan apa pun. Satu-satunya cara berkomunikasi yang dilakukan adalah dengan menulis di secarik kertas.

“Sebetulnya Jajang tidak mau pulang dan ingin meneruskan aksi jahit mulutnya sampai titik darah penghabisan. Namun, keluarganya meminta Jajang pulang. Akhirnya, tadi sekitar pukul 20.00, Jajang dibawa pulang dari RS PGI Cikini oleh sejumlah kerabat dan anak-anaknya,” kata salah seorang anggota Presidium Ikatan Korban Keluarga SUTET Kabupaten Cianjur, Dedi Mulyadi, kepada wartawan, Sabtu (28/1) malam.

Beberapa jam sebelum Jajang tiba di rumah, sejumlah kerabat dan tetangganya menunggu dengan perasaan cemas. Hujan deras yang mengguyur kawasan Kampung Bobojong, tak menyurutkan semangat warga menyambut kedatangan Jajang. Bagi mereka Jajang adalah pahlawan korban SUTET.

“Kami sama sekali tidak tahu kepergian Jajang, jadi tidak bisa memberikan keterangan apa-apa. Justru saya tahu Jajang ada di Jakarta dan melakukan aksi jahit mulut dari televisi. Begitu mengetahui kondisi Jajang yang memprihatinkan, kami langsung kaget dan tidak menyangka Jajang berbuat senekat itu,” kata Juariah (50), kakak tertua Jajang, kepada wartawan.

Sekitar pukul 23.00, Jajang tiba di rumah. Ia diangkut dari RS PGI Cikini Jakarta dengan menggunakan mobil ambulans Nopol B 1679 HQ sekitar pukul 20.00. Turut serta bersama Jajang di mobil ambulans, Esih (41) adik iparnya serta beberapa kerabatnya. Sementara di belakang mobil ambulans, tampak sebuah mobil Carry yang membawa anak-anak Jajang.

Ijah Khadijah (44), istri Jajang hingga saat ini belum mengetahui aksi jahit mulut yang dilakukan suaminya. Sejak 9 bulan yang lalu, Ijah bekerja di Malaysia sebagai Tenaga Kerja Wanita (TKW). Sejumlah kerabat Jajang pun mengaku tidak akan memberitahukan aksi yang dilakukan Jajang, kepada istrinya.

“Jajang itu pergi tanpa sepengetahuan istrinya. Soalnya saat itu, istrinya tidak ada di rumah karena tengah bekerja di Malaysia sebagai TKW. Kami masih bingung kalau istri Jajang pulang, apakah akan memberitahukan kondisi Jajang atau tidak. Namun, tampaknya keluarga sepakat tidak akan memberitahukan aksi Jajang kepada istrinya,” kata Anta (55), suami Juariah. (tig)

Read more »