Minggu, 01 November 2009

Hore! Anakku Dapat Piala Lagi!

Ini mungkin hari yang cukup luar biasa bagi kami. Setelah lama menghentikan aktivitasnya bernyanyi di panggung, olah vokal Gisavo ternyata belum habis. Ia mampu membuktikan diri layak mendapat pujian dan hadiah setelah meraih juara tiga ajang Lomba Karaoke Kategori A, (usia 6 tahun ke bawah) di Miko Mal Jalan Kopo, siang tadi. Tidak seperti sebelumnya di ajang yang sama saat dia meraih juara III dari tiga peserta, kali ini ia meraih juara III dari delapan peserta.

Kemenangan itu berarti menambah koleksi piala yang dimilikinya sejak terjun mengikuti perlombaan menyanyi, hampir setahun silam. Selain piala, koleksi hot wheels-nya juga ikut bertambah, lantaran istriku selalu menjanjikan mainan tersebut jika berhasil menyanyi dengan sedikit cela. Semangat Gisavo mengikuti lomba nyanyi di Miko Mal tampaknya tak usah diragukan. Terbukti, begitu bangun sekitar pukul 08.00, ia langsung menanyakan kepastiannya mengikuti perlombaan tersebut. “Mah, hari ini Gisa jadi nyanyi kan?” tanyanya kepada istriku.

Ya, setiap hari sejak informasi lomba itu muncul via SMS sepekan lalu, Gisavo memang rajin berlatih menyanyikan dua lagu, masing-masing “Aku Bisa” dan “Andaikan Aku Punya Sayap”. Sengaja kami memilihkan dua lagu tersebut, karena tingkat kesulitannya cukup tinggi. Selain itu, kedua lagu itu belum pernah dinyanyikan Gisa saat mengikuti lomba. Awalnya, kami menginginkan Gisavo menyanyikan lagu “Aku Bisa”. Namun, dia kukuh ingin menyanyikan lagu “Andai Aku Punya Sayap”. Setelah dicoba berkali-kali, ternyata kekuatan vokal Gisa saat menyanyikan “Andai Aku Punya Sayap” lebih kuat ketimbang lagu “Aku Bisa”. Kami pun sepakat menyerahkan sepenuhnya pemilihan lagu kepada Gisavo. Dengan lantang, dia pun tetap menjawab ingin menyanyikan “Andai Aku Punya Sayap”.

Berbalut kemeja kotak-kotak, kami bertiga menuju Miko Mal di Jalan Kopo dengan menaiki motor. Sebelumnya, kepada istriku dia sempat mengaku enggan menaiki motor karena capek. “Mah, jangan pake motor, pake mobil aja, Gisanya capek kalau pake motor,” keluhnya. Kami berangkat dari rumah sekitar pukul 09.20 dan tiba di Miko Mal pukul 09.50 Begitu tiba di sana, pintu masuk mal belum dibuka. Bersama ibu-ibu lainnya, kami menunggu, hingga akhirnya pintu masuk terbuka lebar sekitar pukul 10.00.

Puluhan ibu-ibu bersama anak-anaknya langsung memasuki mal. Tujuan mereka rupanya sama, mendaftarkan diri mengikuti perlombaan. Sekadar informasi, selain karaoke anak, di sana juga digelar lomba bayi sehat, mewarnai, minum susu, dan top model. Istriku mendaftarkan Gisavo di lomba karaoke anak kategori A, usia 6 tahun ke bawah. Begitu diminta memilih nomor, anakku memilih angka lima.

Pendaftaran selesai. Aku dan Gisavo berjalan melihat-lihat suasana mal. Istriku menunggu di dekat panggung, khawatir acara segera dimulai. Langkahku dan Gisavo terhenti di area pertandingan balap mobil remote, tidak jauh dari panggung. Gisavo pun asyik melihat mobil remote yang sudah dimodifikasi itu melaju kencang di atas trek dilapisi karpet. Satu jam berlalu. Perlombaan pun dimulai. Meski Gisavo memilih angka lima, dia tetap kebagian nomor pertama. Dengan gayanya yang khas tanpa ekspresi, Gisavo pun melantunkan lagu “Andai Aku Punya Sayap”.

“Satu-satu, daun-daun, berguguran tinggalkan tangkainya. Satu-satu, burung kecil, beterbangan tingalkan sarangnya….,” begitu suara Gisavo menyanyikan “Andai Aku Punya Sayap” diiringi alunan musik dari minus one yang kami bawa sendiri. Tepukan penonton pun terdengar begitu Gisavo selesai menyanyi.

Read more »

Senin, 12 Oktober 2009

Chelsea dan Anak Tikus

Pecinta sepakbola, terutama penggemar Premier League, tentu mengenal klub sepakbola Chelsea. Ya, klub asal Kota London Inggris yang dikenal dengan sebutan The Blues ini, sudah menghabiskan banyak sejarah dalam dunia sepakbola Inggris. Berdasarkan data dari Wikipedia Indonesia, klub ini didirikan oleh HA Mears pada tahun 1905 dan memiliki stadion sendiri di Fulham London Barat. Stadion tersebut mampu menampung sekitar 42.360 penonton.


Nah, adik ipar saya adalah salah satu penggemar berat Chelsea. Namanya Nivo Febriantino atau akrab disapa Apo. Meski begitu, empat keponakannya –termasuk anak saya, diwajibkan memanggil nama Apo dengan sebutan Oom Ganteng. Padahal menurut saya sih wajah Apo standar alias tidak terlalu ganteng meski tidak jelek-jelek amat. Saking ngefansnya Apo dengan klub sepakbola Chelsea, segala pernak-pernik yang berbau klub tersebut dia beli. Mulai dari jam dinding, seprei, kaos, gelas, hingga gantungan kunci. Setiap Chelsea bertanding, Apo pun tak pernah melewatkannya. Maksudnya nonton siaran langsung di televisi.

Lantas, apa hubungan Chelsea dengan anak tikus? Begini. Beberapa bulan lalu, Apo mendapat hadiah anak kucing dari temannya. Warna anak kucing itu abu-abu. Seperti sudah menjadi bagian dari keluarga mertua saya, kucing itu dipelihara dengan baik. Makanannya pun dijaga. Meski kadang-kadang menyebalkan juga karena suka sembarangan buang kotoran, Chelsea tetap disayang. Kini, anak kucing jantan itu menjelma menjadi kucing perkasa. Layaknya kucing-kucing lain, Chelsea kerap mencari tikus di dapur. Setiap malam, dia pasti keluyuran di dapur, masuk ke celah-celah lemari, atau ke kolong meja. Usahanya kadang berhasil, kadang tidak.

Sayangnya, Chelsea kebanyakan hanya memangsa anak tikus. Jarang sekali saya melihat dia membawa seekor tikus besar. Anehnya lagi, anak tikus hasil buruannya itu tidak pernah dimakan melainkan diajak main. Setiap berhasil ditangkap, anak tikus itu ia lepaskan. Setelah lepas, ia kejar lagi. Begitu seterusnya. Sekilas, kelakuan Chelsea dan anak tikus buruannya itu mirip adegan di film Tom and Jerry. Anak dan keponakan saya paling senang melihat adegan itu. Bagi mereka, kelakuan Chelsea adalah sebuah hiburan. Saat anak tikus itu lepas, mereka tertawa. Sebaliknya, begitu Chelsea berhasil menangkapnya kembali, mereka bersorak.

Di sisi lain, kelakuan Chelsea juga memicu kehebohan dan kepanikan orang rumah. Seperti yang terjadi siang tadi saat dia kedapatan membawa seekor anak tikus di mulut. Begitu berhasil mendapat anak tikus, Chelsea malah memainkannya di ruang tamu. Tentu saja orang-orang rumah heboh. Apalagi setelah anak tikus itu sempat menghilang beberapa saat gara-gara berhasil kabur dari cengkraman Chelsea. Bodohnya lagi, setelah anak tikus itu hilang, Chelsea mengeong seperti meminta pertolongan. Kontan saja, Apo majikannya, ikut-ikutan mencari. Rupanya sang tikus tengah asyik bersembunyi di balik gorden ruang tamu.

Guna meredam kehebohan di rumah, Apo akhirnya berinisiatif mengeluarkan anak tikus itu dari ruang tamu. Di luar, Chelsea pun kembali asyik bercengkerama dengan sang anak tikus. Lama-lama, anak tikus itu mati kelelahan. Chelsea pun meninggalkannya. Dia melepas lelah persis di depan bangkai tikus.

Read more »

Minggu, 11 Oktober 2009

Anak Saya Meninggal karena Kanker Ginjal

LANGKAH Tita F Rahayu (37) terhenti di pintu masuk Ruang Bougenville RSUD Waled, Rabu (15/6) malam. Tatapannya kosong. Ibu dua anak itu kemudian meneteskan air mata, begitu melihat kondisi penderita kanker ginjal, Siti Romlah (9), duduk tak berdaya. Tangis guru kimia SMA 1 Cileunyi itu pun akhirnya pecah.

“Istri saya teringat anak ketiga kami yang meninggal karena penyakit yang sama dengan Romlah. Namanya Fadillah Khotimah. Usianya saat meninggal baru 4 tahun. Kanker ginjal menggerogoti putri ketiga saya sejak usianya dua tahun. Kami sudah berusaha berobat ke sana ke mari, namun Tuhan memang berkehendak lain. Tanggal 7 Desember 2003, Fadillah meninggal,” kata Yusuf kepada Tribun, menceritakan pengalaman pahitnya.

Menurut Yusuf, Fadillah divonis menderita kanker ginjal saat dirinya berobat ke RS Bromeous Bandung. Saat usia dua tahun, kata Yusuf, Fadillah tiba-tiba terjatuh. Kemudian, warga Jalan Rancabolang Bandung ini melihat benjolan pada bagian perut Fadillah. “Saya mengira benjolan itu disebabkan oleh benturan akibat Fadillah terjatuh. Setelah diperiksa, dokter langsung memvonis anak saya menderita kanker ginjal,” kata Yusuf.

Selang beberapa hari kemudian, ginjal Fadillah diangkat, agar kanker yang dideritanya tidak sampai menyebar ke paru-paru dan hati. Dokter yang menangani Fadillah, kata Yusuf, mengatakan operasi berjalan dengan sukses. Namun, lanjutnya, Fadillah tetap harus dikemoterapi. Yusuf pun menerima saran dokter, dengan harapan anaknya bisa sembuh seperti semula.

“Saya turuti nasihat dokter. Fadillah dikemoterapi di RS Rancabadak Bandung. Bahkan saya sengaja mencari obat kemoterapi hingga ke Singapura, demi kesembuhan anak saya. Setiap bulan sejak ginjalnya diangkat, saya bawa Fadillah ke RS Rancabadak. Selama 16 bulan Fadillah terus dikemoterapi. Uang yang saya keluarkan sudah mencapai Rp 100 juta,” kata Yusuf.

Namun, lanjut Yusuf, usaha kemoterapi yang dilakukan terhadap anaknya rupanya tidak membawa hasil yang baik. Setelah selama 16 bulan dikemoterapi, kata Yusuf, kanker yang diderita Fadillah malah semakin parah. Penyakit tersebut, lanjut Yusuf, bahkan sudah menggerogoti paru-paru dan hati Fadillah. Dokter yang menangani Fadillah, aku Yusuf, sudah tidak sanggup lagi mengobati.

“Saya sempat kecewa, tapi ini memang sudah suratan takdir. Setelah mengetahui penyakit kanker anak saya sudah menggerogoti paru-paru dan hati, saya rawat Fadillah di rumah. Perutnya sudah membuncit, seperti yang dialami Romlah. Setiap hari saya pangku Fadillah. Tepat 7 Desember 2003, Fadillah kemudian meninggal,” kata Yusuf sambil meneteskan air mata. (gin gin tigin ginulur)

Read more »

Menyimpan Tulisan Lama

Dua hari terakhir ini saya punya kegiatan baru. Di sela-sela aktivitas mengedit berita, saya menyempatkan diri meng-copy tulisan hasil reportase di tiga media dalam kurun waktu 2005-2008 yang dikirim ke redaksi via email. Tulisan-tulisan itu lantas saya simpan dalam blog ini sesuai dengan tanggal penulisan dan pengirimannya. Memang, tidak semua tulisan itu saya simpan. Hanya beberapa saja yang saya pikir menarik dan punya cerita di balik peliputannya. Selain itu, apa yang saya simpan juga hanya tulisan saat saya meliput di luar daerah sehingga harus dikirim via email.

Pertengahan 2005 silam, saat masih bekerja di harian Tribun Jabar (Grup Kompas Gramedia), saya sempat ditugaskan meliput di wilayah III Cirebon (Kota/Kabupaten Cirebon, Kabupaten Indramayu, Majalengka, dan Kuningan). Selang beberapa bulan kemudian, tepatnya Desember 2005, saya beralih tugas ke Cianjur, masih dengan bendera yang sama yaitu Tribun Jabar. Dua tahun kemudian, tepatnya Februari 2007, saya hijrah dari Tribun Jabar ke Suplemen Pakuan (grup Pikiran Rakyat). Di suplemen yang terbit mingguan itu, saya ditempatkan di wilayah Kota/Kabupaten Bogor, dan Depok. Hanya bertahan dua bulan, saya kembali bekerja menjadi wartawan harian di koran Seputar Indonesia. Dari Maret 2007 hingga Mei 2008, saya ditempatkan di wilayah Bandung, tepatnya kepolisian, ploting, kejaksaan/kehakiman, dan Pemprov Jabar. Baru pada Mei 2008, saya kembali bertugas di luar kota, kali ini Kabupaten Garut dengan koran yang berbeda.

Memang perlu ketekunan saat menyimpan tulisan itu. Tidak seperti memposting tulisan baru, saat memposting tulisan lama ini, saya harus mengklik opsi entri di kolom posting. Lantas, postingan tersebut saya ganti waktunya, disesuaikan dengan tanggal penulisan dan pengiriman via email. Beberapa tulisan memang cukup berkesan buat saya, karena proses peliputannya yang menyenangkan, menegangkan, atau menyedihkan. Saya masih ingat betapa luasnya lokasi liputan saya saat berada di wilayah III Cirebon. Menembus malam-malam jahanam wilayah Pantura bersama kawan-kawan sekadar mencari lokasi kecelakaan di Eretan Indramayu. Atau bagaimana saya bersama seorang kawan di Kabupaten Cianjur terpaksa harus masuk ke kuburan malam-malam di tengah guyuran hujan lebat saat mencari rumah korban SUTET yang menjahit bibirnya. Belum lagi saya harus nyasar ke Pasar Minggu Jakarta saat ditugaskan meliput rumah si Pitung yang jadi kafe di Kota Depok. Atau tiga hari sekali mengencangkan rantai motor Yamaha Vega yang longgar akibat bolak-balik Bogor via Puncak.

Begitulah. Saya akhirnya berhasil menyimpan naskah-naskah kenangan itu dalam sebuah halaman baru di blog ini. Agar mudah mencarinya, saya simpan naskah itu di link:



Setidaknya, kalau saya merindukan suasana liputan di daerah, atau kawan-kawan liputan saya di daerah, tulisan-tulisan lama itu bisa jadi penghibur.

Read more »

Sabtu, 03 Oktober 2009

Masjid Kubah Emas Depok

Ini hanya hasil iseng-iseng saya menjelajah mesin pencari google. Setelah sekian lama gagal mencari tulisan Masjid Kubah Emas Depok hasil reportase saat bekerja di suplemen Pakuan (grup Pikiran Rakyat) sekitar bulan Februari 2007 silam, saya mencobanya kembali melalui mesin pencari google. Dengan kata kunci "Masjid Kubah Emas Depok", akhirnya saya berhasil menemukannya di antara 20.800 tulisan bertema sama.

Tulisan itu tersimpan di http://jaton.forummotion.com. Semakin yakin itu tulisan saya, karena tertera inisial PK-5 di akhir tulisan. Sekadar informasi, PK-5 adalah inisial saya saat bekerja di suplemen yang terbit di wilayah Kota/Kabupaten Bogor, Kota Depok, Kota/Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten Cianjur itu. Wah, senangnya menemukan tulisan yang hilang karena saya tidak memiliki arsipnya. Terimakasih buat pemilik situs http://jaton.forummotion.com yang sudah menyimpan tulisan saya dengan apik. Biar tidak hilang lagi, saya posting saja di blog ini:

Luar biasa! Itulah kalimat pertama yang diucapkan masyarakat saat berkunjung ke Masjid Dian Al Mahri di Kel. Meruyung, Kec. Limo, Kota Depok. Sebuah masjid megah berkapasitas 20 ribu jemaah tampak berdiri kokoh di atas lahan seluas 100 hektare. Kekaguman pengunjung makin menjadi, tatkala melihat kubah utama masjid yang dilapisi emas 24 karat.

"Masjid ini dibangun April 1999 oleh seorang dermawan bernama Hj. Dian Juriah Maimun Al Rasyid. Rencananya, selain masjid, lahan ini akan dijadikan Islamic Centre. Nantinya akan ada lembaga dakwah, dan rumah tinggal. Pokoknya semua aktivitas keagamaan akan dilakukan di kompleks masjid ini," kata Ir. H. Yudi Camaro, M.M., pengelola Masjid Dian Al Mahri.

Menurut Yudi, saat ini tahap pembangunan Islamic Centre baru separuh jalan. Rencananya, lanjut dia, seluruh pembangunan ditargetkan rampung dalam kurun waktu tiga sampai lima tahun ke depan. Meski begitu, masjid tersebut telah resmi dibuka untuk umum bertepatan dengan Hari Raya Iduladha, 31 Desember 2006.

"Pembangunannya memang sudah berlangsung sejak tahun 1999, namun baru dibuka untuk umum 31 Desember 2006. Setelah salat Iduladha, pemilik masjid langsung meresmikan masjid ini. Saat itu, tak kurang dari 5 ribu jemaah mengikuti pro-sesi peresmian masjid ini," kata Yudi.

Bangunan masjid, kata Yudi, memiliki luas 8.000 meter persegi yang terdiri dari ba-ngunan utama, mezamin, halaman dalam, selasar atas, selasar luar, ruang sepatu, dan ruang wudu. Masjid, lanjut Yudi, mampu menampung 15 ribu jemaah salat dan 20 ribu jemaah taklim.

"Biasanya jumlah pengunjung membeludak sejak Jumat sampai Minggu. Saat Salat Jumat, minimal 5 ribu jemaah memadati masjid. Sementara pada hari Minggu, jumlah pengunjung biasanya mencapai 10 ribu orang. Sedangkan hari-hari biasa, jumlah jemaah tidak terlalu banyak," kata Yudi.

Masjid Dian Al Mahri memiliki 5 kubah. Satu kubah utama dan 4 kubah kecil. Uniknya, seluruh kubah dilapisi emas setebal 2 sampai 3 milimeter dan mozaik kristal. Bentuk kubah utama menyerupai kubah Taj Mahal. Kubah tersebut memiliki diameter bawah 16 meter, diameter tengah 20 meter, dan tinggi 25 meter. Sementara 4 kubah kecil memiliki diameter bawah 6 meter, tengah 7 meter, dan tinggi 8 meter.

"Kita tidak bicara jumlah emas, tapi ketebalan emas. Setiap kubah memiliki ketebalan emas 2 sampai 3 milimeter. Emas kubah tersebut kemudian dilapisi lagi dengan mozaik kristal. Masjid ini terbuka untuk umum, meski ada beberapa bagian yang harus tetap steril seperti menara masjid," kata Yudi.

Meski pengunjung bebas keluar masuk masjid, sejumlah aturan tetap harus dipatuhi. Aturan tersebut, kata Yudi, dibuat agar suasana ibadah tetap nyaman. Misalnya, lanjut Yudi, pengunjung dilarang membawa makanan dan minuman ke lingkungan masjid. Selain itu, anak di bawah usia 9 tahun juga dilarang memasuki lingkungan masjid.

"Namanya ibadah kan harus nyaman. Bagaimana bisa nyaman jika anak-anak berlari-lari di dalam masjid. Atau, pengunjung membawa makanan dan minuman ke dalam masjid. Ini memang tata tertib yang harus ditaati pengunjung agar masjid tetap terjaga," kata Yudi.

Sayangnya, Yudi tidak mau menyebut nilai rupiah yang dihabiskan untuk pembangunan masjid ini. Yang pasti, lanjut Yudi, jika dihitung total biaya pembangunan masjid betul-betul menyentuh angka yang sangat fantastis. "Subhanallah, untuk ukuran tempat ibadah, total biaya pembangunan masjid betul-betul sangat fantastis. Mudah-mudahan ini menjadi spirit bagi umat Islam lain untuk membangun tempat ibadah," kata Yudi.

Rita (40), salah seorang pengunjung asal Kota Cimahi mengaku takjub saat melihat masjid itu dari dekat. Selama ini, Rita mengaku hanya mendengar kemegahan masjid tersebut dari beberapa temannya. "Saya takjub. Selama ini saya hanya mendengar dari teman tentang kemewahan masjid kubah emas ini," kata Rita. (PK-5)

Read more »

Kamis, 24 September 2009

Waspadalah! Jambret Merajalela!

Ketenangan warga Kompleks Margahayu Raya terusik Rabu (23/9) kemarin. Seorang jambret yang menaiki sepeda motor, berhasil menggondol tas milik warga. Ironisnya, aksi itu terjadi di siang bolong, selepas Azan Zuhur atau sekitar pukul 12.30. Warga pun masih banyak yang terlihat beraktivitas di luar rumah. Maklum, saat itu suasana Lebaran masih terasa. Beberapa warga juga terlihat ada yang menerima tamu.

Kejadiannya sendiri berlangsung di sekitar Jalan Jupiter Utama, tidak jauh dari rumah mertua. Seperti biasa, siang itu saya menghabiskan waktu di tengah rumah, menemani Gisavo –sang anak tunggal, menonton tayangan televisi Si Bolang. Mertua laki-laki dan perempuan, duduk di singgasananya masing-masing. Istri saya terlibat adu mulut dengan Gisavo yang lagi-lagi susah makan saat disuapi. Siang itu, Nivo adik ipar, baru beranjak keluar rumah hendak membeli keran dan teh celup.

Baru saja Nivo atau akrab disapa Apo menutup pintu dan hendak menyalakan motor, kami mendengar suara teriakan warga disertai jeritan wanita. Sekilas, kami melihat seorang pemuda mengemudikan motor kencang, melintas di jalan sebelah rumah. Beberapa pemuda dan bapak-bapak terlihat mengejar motor tersebut. Apo pun tiba-tiba menghilang. Dugaan kami, ia ikut mengejar pemuda bersepeda motor itu.

“Maling… maling,” seorang wanita berteriak sambil berlari mengejar laju motor. Tangannya tampak terluka. Baju putihnya kotor. Sambil menangis, ia terus berteriak maling. Belakangan diketahui wanita itu adalah tetangga kami. Ia mengaku dijambret tidak jauh dari rumahnya. Luka di tangan, akibat rebutan tas dengan jambret. Berdasarkan informasi pula, dia sempat terseret sepeda motor yang ditumpangi jambret. Saya sempat berniat ikut mengejar, namun urung karena merasa tak mampu. Lagipula, sudah banyak warga yang berlari mengejar.

Warga pun berkerumun, menolong korban. Dia sempat dibawa ke rumah mertua namun tak lama kemudian minta pulang. Kami harap-harap cemas, menanti para pengejar jambret kembali membawa hasil. Beberapa menit kemudian, pemuda dan bapak-bapak yang mengejar jambret itu kembali dengan wajah lesu. Upaya mengejar jambret gagal total. Dia berhasil lolos melewati jalur pinggir rumah mertua yang tidak diportal.

Tak berapa lama kemudian, Apo muncul. Dia pun mengumpat lantaran gagal mengejar jambret. Jalanan yang tak diportal jadi kambing hitam. “Wah A, gagal yeuh olahraga siang. Padahal Apo geus ngabayangkeun jambret terjebak portal. Ternyata, portalna teu dipasang,” keluh Apo sambil menghela napas panjang. Sepertinya warga di Jalan Jupiter Utama harus betul-betul waspada. Pasalnya, sudah tiga kali kejadian warga jadi korban penjambretan. Barangkali, sepantasnya imbauan bang Napi diingat-ingat. “Waspadalah… Waspadalah…. !!

Read more »

Jumat, 04 September 2009

Abah Salim Orang Baduy

Lelaki tua itu berjalan di trotoar Jalan Diponegoro persis di depan Gedung Sate. Perawakannya tampak tinggi dibalut pakaian serba hitam. Ikat kepala biru khas suku Baduy melilit kepalanya. Ia terlihat menenteng tas anyam dan gembolan kain. Ditemani seorang bocah berusia sekitar 10 tahun, lelaki itu berhenti di depan kerumunan orang, lantas mengeluarkan barang-barang dari gembolan dan tas anyamnya. “Cep, bade gula aren. Asli,” ujarnya kepada seorang warga yang sedang duduk di tembok pagar Gedung Sate. “Sabaraha pa?” tanya pria itu. “Mirah , ngan dalapan rebu rupiah,” jawabnya mantap. Sedikit tawar menawar terjadi. Namun, lantaran harga yang ditawarkan terasa lebih murah ketimbang harga pasar, warga yang duduk di tembok pagar Gedung Sate itu luluh. Ia pun rela merogoh kocek sebesar Rp8.000 demi membeli gula aren tersebut.


Salim . Ya, lelaki tua itu bernama Salim. Ia asli berasal dari suku Baduy. Selain terlihat dari pernak-pernik yang dipakai, keabsahannya sebagai suku Baduy terlihat dari kakinya yang tanpa alas saat berjalan. Usianya sudah 70 tahun tapi masih terlihat sehat. Salim mengaku sengaja datang ke Bandung demi menjual gula aren hasil olahannya di kampung. Ia ditemani Melfri (10), cucunya. Kakek 10 cucu itu mengaku tiba di Bandung pukul 9 malam sebelumnya dengan menaiki kereta api ekonomi, dan menginap di Stasiun Kiara Condong. Pagi-pagi ia sudah menaiki angkutan kota menuju pusat perkotaan, mencoba mengais rezeki dari berjualan gula aren. Rupanya, selain menjual gula aren, Salim juga menjual madu odeng. Satu botol madu odeng, dijual dengan harga Rp70 ribu.

“Abah datangna kamari peuting naek kereta api. Ngahaja datang ti Baduy rek dagang gula,” ujar Salim saat ditanya alasannya mengadu nasib di Kota Bandung. Salim mengaku sudah sering berjualan di kota kembang. Biasanya, ia datang sekali dalam tiga bulan. Namun karena sekarang membutuhkan uang lebih untuk lebaran nanti, Salim pun mengaku hampir setiap hari pergi ke Bandung. “Engke peuting ge Abah balik deui ka Baduy. Nya, dua poe sakali lah ka Bandung,” terang Salim. Sambil berbincang-bincang, Abah tetap menawarkan barang yang dibawanya. Ia mengeluarkan sebotol madu odeng dari tas anyamnya. “Madu odengna bade moal?” tanya Salim. Lantaran harga yang ditawarkan lumayan mahal, tak ada orang yang menyahut. “Moal bah, engke deui we,” jawab saya, mewakili jawaban orang-orang yang mulai tak memedulikannya.

Usai sudah pertemuan itu. Setelah menjual sebongkah gula aren seharga Rp8.000, Salim beranjak sambil membereskan barang dagangannya. Melfri mengikuti langkah kakeknya itu. Tanpa alas kaki, Salim kembali berjalan menyusuri ruas jalan di Kota Bandung. Sebuah perjuangan yang luar biasa dari seorang warga asli suku Baduy.

Read more »

Senin, 20 Juli 2009

Luar Biasa Gisavo!!

Gisavo sungguh luar biasa. Ia berhasil mengatasi ketegangannya saat tampil menyanyi pada acara launching produk Mountea Starfruit rasa belimbing, di Bandung Indah Plaza (BIP), Minggu (19/7) sore. Padahal saat itu adalah kali pertama dia manggung di depan penonton yang lumayan banyak. Belum lagi, ia juga harus tampil bersama sejumlah penyanyi dewasa yang jelas-jelas bukan komunitasnya. Namun, dengan suara kanak-kanaknya yang khas, Gisavo sukses meluncurkan dua lagu. Lagu pertama berjudul “Aku Bisa” sedangkan lagu kedua berjudul “Cinta untuk Mama”. Meski ada beberapa nada yang sedikit meleset, secara keseluruhan penampilannya cukup memukau penonton. Tepukan hangat pun terdengar begitu dia merampungkan dua lagu.


Dua minggu lalu ajakan manggung di BIP memang sudah dilontarkan Kang Deni, guru vokal Gisavo di Purwa Caraka Music Studio (PCMS) Jalan Sriwijaya. Saat itu, Kang Deni memberi kabar mengenai rencananya mengajak Gisavo manggung di BIP pada Minggu (19/7). Meski belum mengetahui persis dalam rangka apa anakku tampil, aku mengiyakan ajakan tersebut. Gisavo pun begitu. Dia sangat bersemangat begitu mengetahui bakal naik panggung lagi setelah lama tidak tampil di depan umum. “Asyik, Gisa nyanyi di panggung lagi pak?” ujar anakku sumringah. “Iya, nanti Gisa manggung lagi sama Oom Deni. Gisa seneng kan naik panggung?” jawabku sambil bertanya. Dia mengangguk.

Kang Deni memang rajin mengajak anakku mentas. Entah lantaran usia anakku yang masih kecil ditambah badannya yang mungil atau memang suaranya bagus, aku tidak tahu. Toh, melihat keberaniannya menyanyi di atas panggung dan ditonton orang banyak, aku sudah cukup puas. “Gisa nanti nyanyi dua lagu: Aku Bisa dan Cinta untuk Mama,” kata Kang Deni, di PCMS Sriwijaya usai mengajari anakku menyanyi. Aku sempat kaget dengan rencana Kang Deni menyuruh Gisavo menyanyikan “Aku Bisa” mengingat lagu itu terbilang cukup sulit, baik dari sisi syair, maupun nada. Selain itu, Gisavo juga baru satu kali belajar menyanyikan lagu itu. Kalau lagu “Cinta untuk Mama” tak terlalu aku pikirkan. Dia sudah sangat hapal betul lagu itu. Untuk memudahkan latihan anakku, Kang Deni merekamkan minus one lagu "Aku Bisa". Sejak saat itu, anakku mulai berlatih di rumah, mendengarkan teks, lantas menyanyikannya diiringi musik.

Sabtu (11/7) lalu, seperti biasa anakku kembali berlatih vokal di PCMS Sriwijaya. Setelah sebelumnya selama satu minggu berlatih lagu “Aku Bisa”, Gisavo sudah mulai mahir, meski ada beberapa kata yang salah. Latihan berjalan mulus. Tingkat kesalahan Gisavo dalam menyanyikan lagu tersebut tidak terlalu banyak. Kang Deni pun mengingatkan lagi tentang rencana pentas di BIP. Tapi, lagi-lagi dia tidak menyebutkan acaranya. “Nanti hari Minggu jangan lupa. Acaranya siang,” kata Kang Deni. “Siap Kang,” jawabku. “Gisa masih mau naik panggung kan?” tanyaku memastikan. Anakku menjawab mantap. “Iya pak, Gisa masih mau naik panggung,” jawab Gisavo.

Ada kisah lucu saat Gisavo diminta berlatih bersama di sebuah studio Jalan Cijagra bersama Kang Deni Cs. Melihat banyaknya pemain band yang tidak dia kenal, Gisavo tiba-tiba mogok berlatih. Aku dan istriku berusaha membujuknya agar mau berlatih diiringi musik band. Namun, Gisavo bergeming, tetap tak mau bernyanyi. Dipaksa pun percuma. Dia malah menangis saat berlatih lagu “Cinta untuk Mama”. Akhirnya, kami pulang. Di rumah, aku menasihatinya agar tidak mogok bernyanyi saat tampil di BIP. Istriku mengiming-imingi dia hadiah. Hampir seisi rumah juga menjanjikan hadiah jika Gisavo tampil bagus. Beberapa saat, Gisavo termenung. Dengan iming-iming sejumlah hadiah, Gisavo pun berjanji akan tampil bagus pada hari H.

Hari yang dinantikan tiba. Selain aku dan istri, bapak, adik ipar, serta mertuaku juga ikut menonton penampilan Gisavo. Melihat gebyar acara launching produk Mountea rasa belimbing yang cukup meriah, aku sempat ragu apakah Gisa masih mau tampil atau tidak. Selain itu, acara launching tersebut tampaknya tak ada kaitannya dengan PCMS. Gisavo murni diajak manggung oleh Kang Deni. “Gisa masih mau nyanyi kan? Gak takut kan?” tanyaku. Beruntung, dia masih menjawab mau. Namun, tetap saja aku tegang. Khawatir Gisavo mogok tampil seperti saat berlatih bersama pemain band. Istriku juga sama. Dia tampak tegang, duduk di pinggir panggung menemani Gisavo.

Sebelum Gisavo tampil, Kang Deni bersama kawan-kawannya menjadi band pembuka. Kalau tidak salah, mereka menyanyikan empat lagu. Di pinggir panggung, Gisavo mulai pucat. Namun, dia tetap mengaku siap menyanyi. Mungkin bayangan hadiah sudah di depan mata. Selesai menyanyi, Kang Deni memanggil nama Gisavo. Ya, Gisavo pun berjalan di atas panggung. Langkahnya tampak mantap. Ia terlihat tampan dengan kemeja kuning dan celana jeans hitam. “Gisavo mau nyanyi lagu apa?” tanya Kang Deni. “Aku Bisa,” jawab Gisavo. Musik mulai terdengar. Kepala Gisavo bergerak ke kiri dan kanan, mengikuti irama lagu. Ketegangan pun cair. Penonton bertepuk begitu Gisavo menyelesaikan dua lagu. Dalam perjalanan pulang, sejumlah ibu-ibu menyalaminya. Ah, anakku memang luar biasa. Sesuai judul lagu yang dinyanyikannya, Gisavo berhasil membuktikan bahwa dia bisa.

Read more »

Rabu, 08 Juli 2009

Si Bolang, Bocah Pencari Belalang

Trans 7 punya tayangan film anak-anak yang diputar selama 30 menit setiap hari pukul 12.30. Film itu berjudul Si Bolang, singkatan dari Bocah Petualang. Sosok Si Bolang adalah sebutan dari seorang anak setempat yang memimpin teman-temannya berpetualang di sekitar tempat tinggalnya. Di setiap episodenya, tokoh itu selalu berganti. Namun, ia tetap digambarkan sebagai bocah yang berusia sekitar 12 tahun. Acara Si Bolang terasa bagaikan oase di tengah kegarangan dan gersangnya dunia anak-anak di televisi. Pasalnya, Si bolang mampu menampilkan satu sisi dunia anak yang sudah lama hilang.


Nah, hampir di setiap episodenya, bocah-bocah dan tokoh Si Bolang akan menampilkan petualangan-petualangan seru. Di sana, bocah-bocah seolah bersatu dengan alam, melakukan kegiatan yang berbau alam. Mereka berburu, memancing, meniti pematang, naik pohon, mencari burung, meski sesekali juga berpetualang di kota-kota besar. Rupanya, Gisavo, anakku sangat senang menonton film itu. Begitu azan Zuhur berkumandang, biasanya dia langsung duduk rapi di atas karpet dengan mata tertuju ke layar televisi, menunggu tayangan Si Bolang. Saking seringnya, ia jadi hapal jingle tayangan Si Bolang. “Bolang si bolang, si bocah petualang,” teriak anakku melantunkan jingle film Si Bolang.

Film Si Bolang rupanya mengilhami khayalan anakku. Ia tiba-tiba menyebut dirinya sebagai Si Bolang. Bukan lantaran sering berpetualang seperti Si Bolang, tapi karena dia sering mencari belalang di mana saja, terutama di lapangan rumput dekat rumah mertua. “Bapak, Gisa juga sekarang jadi Si bolang: Bocah pencari belalang,” ujarnya sambil membawa botol air mineral kosong yang sudah diisi belalang. Ya, setiap hari hobi Gisavo memang mencari belalang. Hampir setiap waktu, entah itu saat hendak pergi sekolah atau sepulang sekolah, dia selalu mendatangi rerumputan. Tubuh kecilnya mengendap-endap di antara rerumputan. Satu, dua, tiga, empat belalang didapat. Dengan sigap, ia masukkan belalang-belalang tersebut ke dalam botol air mineral plastik. Tentu saja botol itu sudah dilubangi agar udara bisa masuk sehingga serangga herbivora yang berhasil ditangkap itu tidak mati.

Belalang yang sudah ditangkap itu lantas dipamerkan ke seluruh penghuni rumah. Beberapa di antaranya dikeluarkan dari botol untuk dimainkan. Botol berisi belalang itu bahkan kerap dibawanya tidur. Tak heran, saat hendak tidur, aku kerap mendengar suara-suara aneh seperti benda berjatuhan di atas plastik. Selidik punya selidik, suara itu berasal dari belalang hasil tangkapan anakku yang berloncatan di dalam botol. Beberapa hari disimpan di dalam botol, belalang itu tentu saja mati. Nah, jika sudah mati, seluruh hewan itu menjadi makanan ikan lele yang ada di kolam mertuaku.

Hmmm, hobi anakku memang aneh. Dia betul-betul penyuka binatang. Tak hanya belalang, serangga pun tak luput dimainkannya. Kalau ikan, waah, jangan ditanya lagi. Kucing, hmmmm, itu binatang favoritnya. Seandainya tak dilarang, Gisavo juga sempat mengaku ingin memelihara ular. Di kebun binatang, hampir seluruh binatang ingin ia pegang. Untung, sebelum hal itu dilakukannya, Gisavo selalu bertanya apakah hewan yang didekatinya termasuk buas atau jinak. Kalau disebut buas ia urung mendekati binatang itu. Tapi kalau binatang itu dibilang jinak, Gisavo langsung memburunya. Begitulah Gisavo Si Bolang, bocah pencari belalang. Bagi bocah yang sebentar lagi berusia 5 tahun itu, sepertinya tiada hari tanpa binatang. Apalagi yang namanya belalang. “Bolang si bolang, si bocah pencari belalang…” senandung Gisavo mengubah syair lagu Si bolang.

Read more »

Minggu, 14 Juni 2009

Jam Publik Nasibmu Kini

Idealnya jam publik dipasang sebagai petunjuk waktu bagi masyarakat di suatu daerah. Namun di Kota Bandung lain lagi. Saat ini, keberadaan jam publik seolah hanya sebatas pajangan, mati segan hidup tak mau. Padahal, sebuah jam bisa menjadi ikon kota. Sebut saja di Bukitinggi dengan jam gadangnya. Atau di London, dengan menara jam setinggi 96 meter yang diberi nama “Big Ben”.


Nah, di Jalan Abdul Rivai Kota Bandung, jam publik berbentuk tugu dengan ukuran lebih dari lima meter tersebut tampak selalu mati. Dari empat buah jam dinding di setiap sisinya, tak satu pun yang aktif sesuai waktu. Logika kerjanya sama, putaran sempurna. Sebagai informasi, jam publik di taman itu masih analog yang masih menggunakan jarum jam panjang dan pendek.

Kemarin, jam publik itu masing-masing menunjukkan waktu yang berbeda. Jam ke-1 menunjukkan pukul 10.34, jam ke-2 dan ke-3 menunjukkan arah pukul 10.36 dan 10.30, sedangkan jam ke-4 menunjukkan pukul 10.13. Padahal, saat mengambil foto jam publik itu, waktu menunjukkan pukul 10.54. Kendati sama-sama menunjukkan pukul 10, keempat jam itu berjalan tidak kompak sebagaimana seharusnya pedoman waktu untuk publik kota kembang.

Nasib serupa dialami jam di dua sudut menara Gedung Bank Mandiri Jalan Asia Afrika yang didesain oleh orang Belanda. Menara jam yang berdiri kokoh di bangunan bekas bagian penjara Banceuy itu juga mati. Menurut Rusmiati (42), seorang penjual ketupat yang biasa mangkal di seputar Jalan Banceuy, jam dinding itu sudah mati sejak puluhan tahun silam. "Saumur teteh, jam nu di gedong eta teh tara pernah bener, tos puluhan taun," jelas Rusmiati sambil menunjukkan jam di menara itu.

Selain di kedua lokasi itu, dulu di persimpangan Jalan Cikapayang, persis di bawah Jalan Layang Pasupati itu ada jam digital yang menunjukkan waktu di daerah Bandung. Namun kini di lokasi yang sama berdiri kokoh tugu provokatif Bandung Emerging Creative City (BECC). Pada tugu itu terdapat sebuah patung yang berpose menunduk di atas kedua lututnya. Di belakangnya terdapat empat pilar bertuliskan "bdg" ukuran besar dan tulisan "bandung emerging creative city" dengan warna kontras. Tempat itu sering menjadi tempat berkumpulnya anak muda untuk bergaul di tengah kota Parijs van Java.

Semoga saja matinya jam publik di Kota Bandung bukan sebuah simbol budaya jam karet para pejabat di kembang.

Read more »

Jumat, 05 Juni 2009

Atim Idola Baru Kebun Binatang Bandung

Atim berjalan mengelilingi Kebun Binatang Bandung Jalan Tamansari, Sabtu (30/5) lalu. Sesekali ia berhenti di tengah keramaian pengunjung. Tingkahnya yang terkadang menggelikan menyedot perhatian massa. Dalam waktu singkat, Atim dikerubuti banyak orang. Bak seorang selebritas, ia mendadak menjadi idola. Sejumlah orang berebut minta berfoto bersama. Tidak sedikit pula yang berusaha menyentuh, bahkan merangkul bahunya.


Kehadiran Atim rupanya tak luput dari perhatian Gisavo, anakku yang saat itu kebetulan berada di Kebun Binatang. Ia pun meminta aku membawanya ke dekat Atim. Tanpa banyak berdebat, aku dan istriku mengiyakan permintaannya. Dengan wajah sumringah, Gisavo duduk di sebelah Atim. Layaknya dua bersaudara, mereka saling merangkul bahu. Aku pun tak lupa mengabadikan momen istimewa itu.

Usia Atim baru 3,2 tahun, terpaut sekitar 1 tahun dengan usia anakku. Saat berjalan mengelilingi Kebun Binatang Bandung, ia dipapah dua orang dewasa. “Ayo, siapa yang mau difoto sama Atim. Bayar seikhlasnya saja,” kata seorang pria yang tampak menuntun Atim. Ya, Atim memang idola baru di kebun binatang. Anak orang utan itu setidaknya berhasil menghibur pengunjung yang tampak mulai bosan melihat hewan di Kebun Binatang Bandung. Wajar saja pengunjung bosan mengingat jumlah hewan yang ada sepertinya tidak bertambah.

Anakku senang menyentuh binatang. Sebelum difoto bersama Atim, ia juga sempat difoto sambil memegang ular piton yang dikalungkan di lehernya. Iseng aku juga menawarinya difoto bersama buaya. Namun istriku malah menimpali. “Kalau mau foto sama buaya gak usah jauh-jauh, sama bapak aja Gi,” seloroh istriku. “Iya, buaya darat,” timpalku sambil tertawa. Meski bingung, Gisavo tetap ikut tertawa. “Hahahaha…. Bapak buaya,” ujarnya.

Hari itu memang harinya Gisavo. Aku dan istriku berusaha memuaskan keinginannya bermain di kebun binatang, setelah sekian lama kami tidak pernah lagi pergi ke sarana hiburan yang cukup murah itu. Semua kandang kami didatangi. Hampir seluruh binatang ia pelototi. Tak hanya itu, hewan tunggang pun tak luput kami naiki seperti gajah dan unta. Usai makan siang, Gisavo berlari memburu salah satu permainan yang sangat ia senangi yaitu flying fox. Seperti biasa, ia menjadi orang pertama yang bermain flying fox. Beberapa orang tua yang melihat keberanian anakku menaiki flying fox lantas meminta anaknya naik. “Tuh, masak kalah sama anak kecil,” ucap seorang bapak kepada anak perempuannya yang sudah remaja.

Remaja putri itu menuruti kemauan bapaknya. Satu per satu ia meniti tangga bambu. Namun, begitu sampai di tengah, ia mogok naik. “Bapak, takut, ayo sama bapak,” rengeknya. Gisavo tertawa. Rasa percaya dirinya timbul. “Bapak, Gisa mah hebat ya, gak takut,” katanya. Orang tua remaja putri itu tetap mengabaikan keinginan anaknya. Dengan susah payah, remaja putri itu berhasil mencapai puncak. Lagi-lagi ia mogok meluncur di flying fox. Sambil terus berteriak memanggil bapaknya, ia enggan meluncur. Hujan deras tiba-tiba mengguyur Kebun Binatang Bandung. Remaja putri itu pun akhirnya urung meluncur. Ia kembali menuruni tangga.

Cukup lama kami terjebak hujan di sebuah shelter. Karena hujan tak kunjung berhenti, kami nekat berlari menerobos hujan ke pelataran parkir menuju mobil. Aku berlari terlebih dulu sambil menggendong Gisavo yang ditutupi jaket. Istriku menyusul di belakang. Gisavo tertawa melihat istriku basah kuyup kehujanan. Sepertinya ia menikmati acara menerobos hujan deras itu. “Gisa seneng hujan-hujanan pak,” ujarnya begitu tiba di mobil. “Kamu seneng ujan-ujanan, bapak capek lari,” timpalku. Gisavo tertawa. Sorot mata kanak-kanaknya seolah mengatakan kalau ia betul-betul menikmati harinya di Kebun Binatang Bandung.

Read more »

Minggu, 17 Mei 2009

Satu Lagu Dua Panggung (2)

Perjalanan dari Margahayu Raya menuju Karawitan sungguh terasa lama. Seperti sudah kuduga, di atas motor Gisavo mulai tertidur. Meski setiap ditanya dia selalu membantah tertidur, aku bisa melihat sorot matanya yang lelah. Di tengah perjalanan, aku kembali mengajukan satu pertanyaan. “Gisa masih mau nyanyi ga?” tanyaku. “Masih pak. Kan nanti sore, Gisa nyanyi lagi,” jawabnya semangat. Syukurlah, dalam keadaan mengantuk, anakku masih bersemangat tampil di panggung.

Kami tiba di Karawitan sekitar pukul 13.45 WIB. Turun dari motor, Gisavo langsung memburu kursi panjang di ruang tengah. “Pak, boleh ga Gisa tidur dulu. Ngantuk,” pintanya. Melihat kondisinya yang sudah lemah, aku pun mengiyakan permintaan Gisavo, meski seharusnya siang itu adalah waktu makan siangnya. Ketimbang nanti tidak bisa mentas karena mengantuk, mending mengikuti permintaannya untuk tidur. Melihat Gisavo terbaring, aku pun ikut berbaring. Namun, baru saja mata terpejam, Gisavo membangunkanku. “Pak, tidurnya nanti aja. Kita berangkat sekarang aja yuk!” ajaknya. Aku bangun lantas memperhatikan jam dinding. Wah, waktu sudah menunjukkan pukul 14.00 WIB. Khawatir terlambat tiba di Riau Junction, aku mengiyakan ajakan Gisavo.

Mesin Mazda silver kunyalakan. Gisavo tampak senang. Duduk di jok depan, ia menyandarkan tubuhnya. Sesekali ia bernyanyi. “Gisa bener masih mau nyanyi?” aku kembali bertanya. “Masih pak, Gisa mau ketemu sama Oom Deni,” jawabnya. Oom Deni adalah guru vokal Gisavo di Purwa Caraka Music Studio (PCMS) Jalan Sriwijaya. Seperti biasa, setiap akhir pekan Jalan Riau kerap dilanda macet. Meski begitu, kami tiba di Riau Junction lebih cepat dari waktu yang ditetapkan. Sekitar pukul 15.00 WIB, kami tiba di lokasi tersebut. “Pak, Gisa ngantuk lagi…” ucapnya begitu mobil sampai di tempat parkir. Wah, celaka. “Jangan tidur dulu Gi, nanti aja abis nyanyi. Katanya Gisa masih mau nyanyi?” aku berusaha membujuknya. Mata kanak-kanak Gisa menerawang, seperti sedang memikirkan sesuatu. Aku berdebar menunggu jawabannya. “Eh, gak jadi pak. Ngantuknya udah hilang,” jawabnya. Fiuhh, aku kembali tenang mendengar jawabannya.

Kami bergegas berjalan ke lantai II Riau Junction, tepatnya ke Toko Yogya. Di sana, tampak sebuah panggung kecil yang dipasang di pusat keramaian. Seorang staf PCMS Jalan Sriwijaya, Teh Uci terlihat menunggu di dekat panggung sambil berbincang dengan seseorang. Aku mendekatinya untuk memberitahu kedatangan kami. “Nanti, nyanyinya sekitar jam 4-an,” kata Teh Uci. Hmmm, ternyata acaranya baru dimulai sekitar pukul 16.00 WIB. Berarti aku masih harus bekerja keras membuat Gisavo tetap segar dan tidak mengantuk. Sambil menunggu acara dimulai, aku ajak Gisavo mengelilingi Riau Junction, meski lama-lama dia bosan juga. Setengah jam berlalu. Istriku tiba-tiba telepon. Ia memberi kabar akan menyusul ke Riau Junction dari PCMS Cimahi dengan menumpang ojek. “Tuh Gi, mamah barusan telepon, katanya mau dateng ke sini. Makanya Gisa jangan tidur dulu ya,” ujarku. “Iya pak, Gisa mau nunggu mamah,” jawab anakku.

Kami duduk di dekat panggung. Kebetulan, lokasi panggung berada di lingkungan mainan anak-anak. Untungnya lagi, ada satu mainan yang bebas dipakai siapa saja. Sambil menunggu pentas, anakku bermain di tempat tersebut. Istriku tiba beberapa saat sebelum Gisa naik panggung. Ia terpaksa harus merelakan uang Rp25 ribu buat bayar ojek dari Cimahi ke Riau Junction. Gisavo kebagian pentas nomor dua. Ia duduk di belakang panggung bersama siswa PCMS yang saat itu juga terpilih menyanyi di Riau Junction. Lucu juga melihat dia duduk di antara beberapa kawannya yang sudah besar. Memang, di lingkungan PCMS, anakku merupakan siswa paling kecil baik dari usia, maupun perawakan.

Waktu pentas akhirnya tiba. Lantaran siswa PCMS yang kebagian nomor 1 belum datang, Gisavo dipanggil pertama oleh pembawa acara. Dengan wajah polos, ia menaiki panggung. Penampilannya lagi-lagi menarik perhatian dua pembawa acara. Mereka sempat berceloteh, meragukan kemampuan anakku bernyayi. “Waah, kecil banget. Bisa ga ya nyanyi?” tanyanya. Saat itu, penonton masih sepi karena pengunjung sibuk berbelanja. “Mau nyanyi apa dek?” tanya pembawa acara. “Cinta untuk mama,” jawab Gisa sambil memegang pelantang dengan kedua tangannya. Musik sudah terdengar. Anakku melangkah maju. Suara kanak-kanaknya terdengar keras, membuat pengunjung Toko Yogya sejenak mengalihkan pandangannya ke arah panggung. “Apa yang kuberikan untuk mama.. untuk mama… tersayang…” begitu bait pertama lagu itu terdengar, pengunjung pun bertepuk. Ya, hari itu tugasku sebagai “manajer” tuntas sudah. Terima kasih anakku, meski lelah, kamu masih mampu menyanyikan satu lagu panjang di atas dua panggung dalam satu hari. (tamat)

Read more »

Kamis, 07 Mei 2009

Satu Lagu Dua Panggung (1)

Sabtu (25/4) lalu barangkali merupakan hari yang cukup melelahkan bagi Gisavo Lembayung Lelaki Akbar. Bocah yang pada 30 Agustus mendatang baru berusia 5 tahun itu mengikuti dua kegiatan menyanyi sekaligus dalam satu hari. Siang hari ia harus mengikuti lomba nyanyi di Taman Kanak-kanak Lestari, sementara sore hari ia diminta melantunkan suara emasnya di Riau Junction Jalan Riau bersama kawan-kawan sesama anak didik Purwa Caraka Music Studio (PCMS). Hmmm, betul-betul hari yang melelahkan buat anak seumuran dia.

Yang ketiban pulung tentu saja orang tuanya, terutama aku. Lantaran setiap Sabtu istriku bekerja dari pagi hingga sore di Kota Cimahi, akulah yang harus menjaga Gisavo agar bisa tampil prima di dua kegiatan sekaligus dalam satu hari. Beruntung, sebelumnya, istriku sudah menyiapkan segala keperluan Gisavo seperti dua baju untuk pentas dan makan siang. Aku pun diberi sedikit bekal buat jaga-jaga, khawatir sang artis ingin membeli mainan di sela-sela pentas. “Titip Gisa. Jangan sampai dia bete. Nanti penampilannya keganggu,” begitu pesan istriku sebelum dia berangkat kerja sekitar pukul 07.30 WIB. Tapi lihatlah Gisavo. Di saat kami berdua sibuk, dia masih tertidur pulas memeluk guling.

Hari itu Gisavo memang dianjurkan tidak sekolah. Namun, Bu Ira, guru TK Islam Al Muhajir –tempat Gisavo sekolah- menyuruh anakku datang sekitar pukul 10.00 WIB untuk berlatih sebelum naik panggung. Di TK Islam Al Muhajir, Bu Ira memang dikenal paling aktif mengajak anak didiknya tampil di acara kesenian. Ia juga tampak paling bersemangat mengajarkan anakku bernyanyi sambil bergaya, diiringi permainan keyboard Kak Irwan. Nah, tidak seperti anak-anak lainnya yang mengikuti lomba nyanyi dengan diiringi keyboard Kak Irwan, Gisavo diminta membawakan lagu “Cinta untuk Mama”. Lagu itu pernah dia nyanyikan waktu konser kecil di PCMS Jalan Bungur yang digelar guru vokalnya, Kang Deni. Walhasil, dia diminta membawa minus one lagu “Cinta untuk Mama” saat tampil. Lagu itu terbilang sulit dinyanyikan untuk ukuran anak-anak seusia Gisavo. Selain syairnya panjang, musik yang mengiringinya juga turun naik. Lantaran anakku sukses menyanyikan lagu itu saat konser mini di PCMS Jalan Bungur, Bu Ira pun memintanya menyanyikan lagu itu di perlombaan antar-TK.

Sekitar pukul 10.00 WIB, aku dan Gisavo tiba di TK Islam Al Muhajir yang jaraknya dekat dengan rumah mertua. Di sana, anak-anak yang hendak mengikuti lomba sudah berkumpul. Untuk mengikuti lomba di TK Lestari, istriku menyuruh aku memakaikan Gisavo baju batik dengan bahan kain yang cukup tebal. Sementara untuk tampil di Riau Junction, istriku menyiapkan kemeja dan rompi. Tak urung, baru saja tiba di TK Islam Al Muhajir, anakku sudah kegerahan. Namanya anak-anak, saat menunggu giliran latihan, Gisavo sibuk bermain bola. Begitu giliran latihan, keringat mengucur deras dari keningnya. Beruntung, latihan berjalan sempurna. Anakku masih hapal betul lagu “Cinta untuk Mama”. Tapi, usai latihan, dia merajuk minta ganti baju. “Pak, bajunya gatel,” ujarnya. Yah, ketimbang bete saat manggung, akhirnya kami kembali pulang ke rumah mertua. Dengan terpaksa, aku memakaikannya baju untuk pentas di Riau Junction.

Setelah ganti baju, aku dan Gisavo kembali ke TK. Ternyata, berdasarkan informasi, perlombaan baru dimulai siang. Sekitar pukul 11.00 WIB, rombongan "artis cilik" dari TK Islam Al Muhajir berangkat ke TK Lestari yang jaraknya tidak jauh dari Al Muhajir. Begitu tiba di TK Lestari, Bu Ira langsung sibuk membawa anak didiknya ke belakang panggung, termasuk Gisavo. Beberapa saat kemudian, ia membawa nomor peserta. Anakku ternyata kebagian nomor 22. Berdasarkan hitungan waktu, kemungkinan ia baru naik panggung setelah Azan Zuhur. Duuuh, lama juga aku harus bersabar membuatnya tetap merasa nyaman dan tidak bete sebelum naik panggung. Sampai Azan Duhur usai, aku berhasil membuatnya tetap nyaman. Namun, peserta yang tampil, belum sampai belasan. Kemungkinan anakku baru tampil sekitar pukul 13.00 WIB. Benar saja, sekitar pukul 13.00 WIB, Gisavo dipanggil ke atas panggung. Seperti biasa, ia disambut tepukan ibu-ibu TK, terutama Bu Ira. Kak Irwan yang sebelumnya mengiringi anak-anak TK menyanyi, turun dari panggung, karena saat tampil, Gisavo diiringi musik dari minus one.

Penampilan Gisavo di panggung cukup menarik perhatian penonton. Wajar memang, mengingat lagu yang dibawakannya terbilang sulit. Terlebih lagi, 21 anak TK yang tampil sebelumnya, hanya menyanyikan lagu anak-anak yang standar. Bait demi bait syair berhasil ia lantunkan. Termasuk saat harus mengambil nada tinggi. Aku yang saat itu memegang handycam sempat merinding melihatnya tampil dan melantunkan bait demi bait syair lagu tanpa cacat sedikit pun. Bu Ira yang berdiri tepat di depan panggung, terlihat bahagia. Selesai bernyanyi, Kak Irwan mengangkat tubuh kecil anakku tinggi-tinggi, seolah sudah menjadi juara. Ah, aku tak terlalu berharap dia juara. Melihat penampilan Gisavo di atas panggung yang mengundang aplaus penonton saja sudah cukup.

Gisavo kemudian turun dari panggung. Bu Ira sudah menyambutnya dengan pelukan dan ciuman. Waktu menunjukkan pukul 13.00 WIB lebih. “Sepertinya aku tak bisa lama-lama lagi berada di sini,” ujarku dalam hati. Maka, begitu Gisavo selesai mengikuti lomba, aku pamit. Panggung lain masih menunggu anakku. Meski jadwal pentas di Riau Junction sekitar pukul 15.30 WIB, tetap saja aku harus bergegas karena berencana mengambil mobil di Karawitan, rumah orangtuaku. Hmmm, tugas masih belum selesai. Aku juga belum memberi makan Gisavo. “Gisa, nanti sebelum pergi, makan dulu di Karawitan yaa,” kataku. Gisavo mengangguk. Kami berdua berangkat menaiki motor. Seperti biasa, Gisavo duduk di depan. Waktu sudah menunjukkan pukul 13.15 WIB. Hmmmm, seharusnya siang ini adalah jadwal tidur anakku. Sepanjang jalan, aku khawatir dia tertidur. Kalau sampai tertidur, dia pasti gagal pentas di Riau Junction. (bersambung)

Read more »

Rabu, 04 Februari 2009

Selamat Tinggal Kawan.......

Awan hitam masih saja menggulung di langit Kantor Biro SINDO Jabar Jalan Aceh 62 hingga menelan sebagian bulan. Sesekali gulungannya bergerak ditiup angin kencang. Dingin menusuk pori-pori. “Sepertinya ini malam terakhir aku di sini,” pikirku sembari menatap bulan yang makin tertutup awan. Sejenak aku pergi menaiki motor. Menghela napas panjang di depan sebuah kios Jalan Lombok, tidak jauh dari kantor biro. Sebatang garam filter dinyalakan. Diisap dalam-dalam lalu asapnya dikeluarkan perlahan. Terlihat jelas membentuk huruf O karena tersorot lampu Kijang Silver yang hendak melintas di depanku. Lima menit berlalu. “Saatnya bicara,” ujarku sambil menyalakan motor Vega oranye yang sudah menjadi teman setiaku bekerja.

Kursi di belakang kantor mengajakku duduk. Tak ada lampu penerang. Aku menelepon Yogi yang berada di ruang redaksi dan memintanya datang. “Mang sibuk?” tanyaku. “Henteu mang,” sahut Yogi. “Saya hayang ngobrol. Ditunggu di kursi belakang,” jawabku. “Oke mang,” jawab Yogi lagi. Entahlah, tiba-tiba detak jantung berubah begitu saat Yogi datang memenuhi permintaanku. Saat itu, aku merasa sangat kesulitan merangkai kata. “Ada apa mang?” tanya Yogi. Ah, betul-betul saat yang sulit. Jari tanganku menjelajah mencari lagi sebatang rokok. “Mang, mulai besok saya sigana cabut. Moal aya di dieu deui,” kataku, kembali sambil menyalakan rokok. Yogi tak banyak mengeluarkan kata. Dia memilih diam, menunggu aku selesai bicara. “Di sini status saya masih belum jelas Gi, jadi mendingan mencari kesempatan di tempat baru,” aku berusaha menerangkan.

Seolah sudah terbiasa dengan ucapan itu, Yogi hanya mengangguk. Ia mengaku tak bisa melarang aku pergi di tengah kondisi kantor yang tidak pasti. Kami tak banyak bicara. “Saya teu bisa ngomong nanaon deui mang. Mudah-mudahan sukses di tempat baru. Mungkin, secara formal harus ada surat pengunduran diri,” kata Yogi datar. Sejenak aku terdiam. “Ah, sepertinya tidak perlu Gi. Kontrak saya kan sudah habis tanggal 31 Desember kemarin? Terus belum ada lagi perpanjangan kontrak,” jawabku. Yogi terdiam. Tapi dalam hati, aku tetap akan menyampaikan surat pengunduran resmi kepada kantor keesokan harinya. “Hampura mang, ini memang pilihan sulit, tapi mau bagimana lagi?” ucapku. “Teu nanaon mang. Mudah-mudahan sukses di tempat baru,” kata Yogi. “Besok semua proses administrasi akan diurus Gi,” kataku lagi. “Oke mang, ditunggu,” jawab Yogi.

Hari semakin malam dan awan hitam masih saja menggulung di langit Kantor Biro SINDO Jabar. Malam itu sebuah pertemuan kecil digelar. Ya, hanya pertemuan kecil yang terdiri dari aku, Rudini, Wisnoe, Rohmat, Kris, dan Dasir. Mereka menanyakan alasan kepergianku. Aku menjelaskan apa adanya. Wisnu terdiam. Dia tidak banyak mengeluarkan kata-kata. “Sorry kawan, aku tak pernah bermaksud meninggalkan kalian. Tapi, ketidakjelasan ini membuatku gelisah,” kataku menjawab pertanyaan mereka. “Kenapa baru cerita sekarang mang?” tanya Wisnoe. “Maaf Noe, aku akan bicara kalau sudah pasti,” sesalku. Wisnoe memaklumi. Dia hanya menyesalkan kepergian kawan-kawan yang selalu mendadak. “Kenapa semua selalu mendadak,” sesalnya. Aku merangkul Wisnoe. Setelah cukup lama berbincang, aku pun pamit. Kali ini betul-betul pamit meninggalkan mereka. Sayang, Epoy bonsai kecilku tak hadir dalam pertemuan kecil itu karena sakit. “Doakan aku kawan,” pintaku. Aku memeluk mereka satu persatu. Waktu sudah menunjukkan pukul 23.45 WIB. Sepanjang jalan menuju rumah, masih terbayang wajah kawan-kawan di biro saat bergelut dengan kesibukan mengejar deadline. Ah, wajah-wajah yang selalu membuatku tertawa sedih. “Bismillah, mudah-mudahan ini jalan terbaik. Selamat tinggal kawan,” ucapku dalam hati.

Read more »

Selasa, 03 Februari 2009

Memecahkan Misteri Rumah Gurita (2)


Tepat di depan rumah Jalan Sukadamai No 6 kami berhenti. Aku menekan bel yang terpasang di tembok sebelah kanan pagar. Baban berteriak mengucapkan salam. Tak ada jawaban. Sekali lagi Baban berteriak dan kali ini pintu garasi terbuka. Seorang lelaki tua keluar menyapa kami dari balik pagar. Ia tidak mau membuka pagar. “Kami wartawan pak, mau tanya-tanya soal rumah gurita,” aku membuka pembicaraan. Baban menimpali. “Iya pak, mungkin kita bisa masuk melihat-lihat rumah,” kata Baban. Lelaki itu menolak dengan halus. Dia mengaku tidak bisa mengizinkan kami masuk karena pemilik rumah sedang tidak ada. “Kebetulan yang punya rumah tidak ada,” jawab lelaki itu. Pintu pagar masih tertutup rapat. “Ga apa-apa pak, kami mengerti. Bisa ngobrol sebentar? Kita mau tahu soal rumah itu, sekalian meluruskan isu yang beredar tentang adanya kegiatan ajaran sesat di rumah itu,” kata Baban. “Ah, tidak benar. Memang, saya juga dengar kalau rumah ini ramai dibicarakan di internet. Katanya rumah setan lah, atau angker. Tapi semua tidak benar,” jawab lelaki berambut pendek itu.

Menurut dia, rumah tersebut memang milik Frans. Dulu, kata dia, Frans berprofesi sebagai pelaut. Itulah alasannya, kenapa di rumah tersebut bertengger patung gurita. “Pak Frans itu pelaut dan lebih banyak menghabiskan waktu di lepas pantai. Patung gurita itu dibangun menutupi rumah karena beliau senang gurita. Selain gurita juga ada patung ular, dan kumang,” terang lelaki itu. Lelaki itu menambahkan, patung gurita itu juga berfungsi sebagai tempat makan. “Kalau ada acara, Pak Frans dan teman-temannya, berkumpul di bawah patung gurita itu,” katanya. Di tengah pembicaraan, seorang lelaki lagi, kali ini tampak berusia lebih tua, keluar dari garasi. Ia memperhatikan kami bertiga namun tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Hanya sejenak, ia kembali masuk. Tak berapa lama kemudian, lelaki yang berbincang dengan kami dipanggil masuk. “Wah sial, kita tak sempat menanyakan namanya,” sesal Baban. “Iya Ban, soalnya keburu dipanggil masuk,” jawabku. Karena belum sempat pamit dan menutup pembicaraan, kami berharap lelaki itu keluar lagi. Aku bergeser agak menjauhi Baban, kembali memperhatikan kondisi rumah. Baban masih berada di depan pagar. Dari luar, aku mendengar percakapan di dalam garasi. Namun tidak begitu jelas. “Wah Ban, kayaknya si bapak tadi lagi diceramahin, gara-gara banyak ngomong,” ujarku. “Iya Kang, sigana mah,” timpal Baban.

Kami masih menanti lelaki itu keluar lagi dan bisa melanjutkan pembicaraan. Penantian berujung baik. Lelaki tadi keluar, kali ini bersama tiga penghuni lainnya. Satu lelaki tua yang memperhatikan kami tadi, dan dua wanita. Baban tersenyum, bermaksud mendekati lelaki tadi. Di luar dugaan, lelaki tua itu marah. Dengan nada tinggi, dia meminta kami pergi. Suaranya bergetar. Ia juga berusaha mendekati Baban. “Rek naon deui ieu teh? Geus, euweuh nanaon!!” teriak lelaki tadi sambil mendekati Baban dengan menaiki motor. Kontan saja, sejumlah warga keluar mengerumuni kami, termasuk seorang pedagang kupat tahu yang sedang mangkal di depan Kantor Pos Cabang Cipedes. Baban sedikit mundur. “Ngga Pak, sudah, kita juga mau pulang,” kata Baban. Aku mendekati Baban dan berusaha menjelaskan maksud kedatangan kami ke rumah tersebut. “Kita kan sudah tanya sama bapak, siapa yang bisa diajak bicara soal rumah gurita. Kalau bapak keberatan tidak apa-apa,” aku mencoba menjelaskan. “Iya!! Tapi semua tidak benar. Tidak ada apa-apa di rumah ini,” kata lelaki itu, masih dengan nada tinggi. Tiga penghuni rumah lainnya berusaha menenangkan. Bahkan, lelaki tua lain yang belakangan diketahui bernama Adun, menyuruh temannya itu pergi. “Geus indit maneh!!” teriak dia. Beberapa warga merangkul kami berdua agar menjauh dari rumah. Namun, kami masih ingin menjelaskan maksud kedatangan ke rumah tersebut.

“Sebentar pak. Kita bukan ingin memperburuk keadaan, tapi justru ingin meluruskan pemberitaan miring soal rumah gurita yang banyak dibahas di internet,” kata Baban. Aku mengiyakannya. “Iya pak, kami juga datang ke sini baik-baik dan meminta izin terlebih dulu. Jadi bapak tidak perlu marah-marah,” aku menimpali omongan Baban. Lelaki itu tidak menjawab. Wajahnya agak memerah. Napasnya juga tersengal-sengal. Di atas motor, dia menatap kami. Penjelasan kami kemudian ditanggapi oleh seorang wanita bernama Leni yang keluar bersama lelaki tadi. “Silakan saja orang menilai macam-macam, itu hak mereka. Tapi tidak ada apa-apa di sini. Ini hanya rumah biasa,” kata dia. Selang beberapa menit kemudian, lelaki yang memarahi kami pergi. “Maaf, ibu penunggu rumah ini,” tanyaku. “Iya, saya kerabatnya,” jawab dia. Aku dan Baban lantas menyampaikan maaf jika dianggap mengganggu ketenangan penghuni rumah. “Oke bu, kalau memang kami tidak bisa masuk, tidak apa-apa. Maaf kalau kami mengganggu ketenangan ibu,” ujarku sekalian pamit. Kami bersalaman. Ibu Leni pun mengucapkan maaf atas kejadian tadi dan menggembok pagar rumah.

Sejenak, kami kemudian berbincang dengan warga. Niat memecahkan misteri rumah gurita langsung dari sumbernya gagal. Baban mengajak pergi mencari rumah RT setempat. Setelah bertanya kepada sejumlah warga, kami menemukan rumah RT 5 RW 5 Kelurahan Sukagalih, Kecamatan Sukajadi. Namanya Ibu Afnizar, 57. Dengan ramah, Afnizar menceritakan soal rumah gurita tersebut. Menurut Afnizar, kabar di internet yang menyatakan di dalam rumah gurita terdapat aktivitas sekte terlarang tidak dapat dibuktikan. “Saya memang pernah mendapat kabar dari internet bahwa di rumah tersebut ada sebuah sekte atau kelompok, tapi sepengetahuan saya tidak ada aktivitas seperti di internet di tempat tersebut,” kata Afnizar. Dia lantas membuka buku data penghuni rumah di RT 5. Data itu menyebutkan, pemilik rumah gurita bernama Frans Halimawan, 62, dan istrinya bernama Leni Sudrajat. Afnizar menambahkan, selama ini, rumah tersebut ditempati oleh tiga orang, dua perempuan dan seorang laki-laki. “Selama ini yang saya kenal pemilik rumah cukup baik,” tutur Afnizar.

Afnizar kemudian mengatakan, pemilik rumah tersebut memang tinggal di Jakarta bersama kedua anaknya masing-masing David dan Daniel. “Empat tahun menjabat sebagai ketua RT, saya tidak pernah mendapatkan laporan warganya terkait dengan isu yang beredar di internet tentang rumah gurita,” kata dia. Pencarian data selesai. Setelah merasa cukup mendapatkan data pelengkap, kami pamit. Meski tidak puas dengan hasil liputan, kami tetap akan menuliskan misteri rumah gurita menjadi sebuah berita lewat sumber-sumber lain. Siang itu pukul 12.00 WIB. Hujan masih juga belum reda. Melintasi Jalan Pasteur, butirannya kembali menerpa wajah kami. Hmmmm, berusaha memecahkan misteri rumah gurita bersama Baban cukup menyenangkan juga. Sama halnya saat dua tahun lalu berusaha memecahkan misteri mobil wilis yang konon masih terkubur di Pasar Kosambi, juga bersama seorang teman. (Tamat)

Read more »

Senin, 02 Februari 2009

Memecahkan Misteri Rumah Gurita (1)


Butiran air hujan menerpa wajahku saat melintas di Jalan Layang Paspati dengan menaiki motor tadi pagi. Ini terjadi lantaran kaca helm tidak ditutup. Cukup merepotkan memang, dan tentunya membuat mata perih. Tapi kalau kaca helm ditutup, lebih merepotkan lagi karena pemandangan jadi terhalang. Baban, wartawan tangguh dari detikbandung.com sudah berada di depan dengan motor Shogun kesayangannya. Sepertinya dia juga mengalami hal yang sama, tertimpa butiran hujan yang tampak kurang bersahabat. Jaket yang dipakainya sedikit berkibar, pertanda angin begitu kencang. Hari itu, meski diguyur hujan gerimis, kami bertekad berangkat menuju Komplek Perumahan Sukadamai di kawasan Pasteur untuk mengungkap misteri rumah Gurita yang kembali ramai dibicarakan di jagat maya.

Ide mengungkap misteri rumah Gurita memang dilontarkan Baban hari Minggu (1/2) lalu usai meliput ekspos kasus kejahatan jalanan selama 10 hari di Polresta Bandung Barat. Mantan aktivis kampus yang fotonya pernah nampang di Harian Metro Bandung (sekarang Tribun Jabar) tahun 2003 silam itu mengaku penasaran dengan keberadaan rumah gurita. Konon, berdasarkan hasil pencariannya di sejumlah blog, rumah tersebut terbilang angker. Bahkan, ada juga yang menyebut rumah gurita sebagai tempat ibadah aliran sesat. “Kang, saya besok menulusuri rumah gurita. Kantor sudah setuju. Akang mau ikut?” ajak Baban. Penasaran dengan cerita misteri di balik rumah gurita, aku pun mengamini ajakannya. “Saya pagi-pagi kang. Bagusnya jam berapa?” tanya Baban mempertimbangkan waktu. “Bagusnya jam 9 aja Ban. Kalau jam 8, saya nganter anak dulu,” jawabku diiyakan Baban. “Besok kita kontak-kontak lagi,” ujar Baban.

Tadi pagi, pukul 08.00 WIB aku mengontak Baban, memastikan waktu dan tempat janjian. Baban memberi usul agar kita bertemu di Gedung Sate, tepatnya di sekitar bakso Cuankie tempat biasa mangkal kawan-kawan wartawan. Aku menyepakatinya. Setelah mengantar anak ke TK, aku langsung menyalakan motor dan meluncur ke Gedung Sate. Sial, gara-gara terjebak macet di kawasan Samsat perempatan Soekarno-Hatta, aku terlambat 10 menit tiba di Gedung Sate. Baban sudah menunggu. Sejenak mengisap rokok, kami akhirnya berangkat karena khawatir hujan keburu turun. Benar saja, baru saja beranjak hujan sudah mengguyur. Tidak begitu deras memang, tapi cukup mengganggu. Sedikit kuyup, kami tiba di Komplek Perumahan Sukadamai tidak jauh dari Hotel Grand Aquila. Tanpa mengalami banyak kesulitan, kami sampai di seberang rumah tersebut. Sepi. Tak ada aktivitas di rumah megah namun terlihat tak terurus itu. Baban mengeluarkan kamera HP, aku mengikuti langkahnya. Setelah mengambil beberapa gambar rumah gurita dari depan, kami bertanya pada seorang ibu yang sedang menyapu mengenai riwayat rumah tersebut. Tidak banyak data yang diperoleh. Ia hanya mengatakan, rumah gurita tersebut berada di belakang rumah di Jalan Sukadamai No 6 dan 47. Sementara pintu masuknya dari rumah No 6. Ibu itu lantas menyarankan kami bertanya kepada pemilik kios, tidak jauh dari tempat kami berdiri.

Sebelum beranjak, kami memperhatikan terlebih dulu detail rumah itu. Disebut rumah gurita, karena di atas rumah bertengger patung gurita menutupi hampir seluruh atapnya. Patung gurita itu berwarna gelap, sangat kontras dengan dinding rumah yang berwarna putih kusam. Bisa terlihat dari kejauhan, karena bentuk rumahnya yang megah dan tinggi, lebih tinggi dari rumah utama. Dua buah kaca besar bergambar kartu King dan Queen sekop, menghiasi bagian depan rumah tersebut. Di sebelah kaca utama terdapat gambar lelaki berjanggut. Tak jauh dari situ, terpasang lagi dua kaca yang masih bergambar kartu King dan Queen, kali ini dalam ukuran lebih kecil. Kaca bergambar kartu King dan Queen itu dikelilingi lukisan 8 wajah, 6 di atas dan 2 di bawah. Entah lukisan wajah siapa yang terpasang di kaca itu. Yang jelas, lukisan masing-masing wajah berbeda satu sama lain. Tidak hanya bisa dilihat dari Jalan Sukadamai, rumah gurita juga bisa dilihat dari Jalan Sukagalih. Dari sana, terlihat bagian belakang rumah dan patung gurita yang lebih jelas. Sementara dari Jalan Cipedes Selatan, terlihat bagian kaca pinggir rumah bergambar orang sedang menaiki kereta kuda.

“Rumah itu kepunyaan Pak Frans. Tapi orangnya jarang datang. Kalau tidak salah, sebelum Hotel Grand Aquilla dibangun, rumah itu sudah ada,” kata Yana, 37, pemilik kios yang ditunjukkan ibu tadi. Menurut Yana, karena bentuknya yang aneh, banyak orang yang bertanya-tanya mengenai rumah tersebut. “Banyak yang datang. Terus nanya yang aneh-aneh. Katanya dibilang rumah setan. Tapi, sejak saya buka kios tahun 1991, belum pernah ada sekelompok orang datang ke rumah itu,” kata Yana. Sebelum berbincang, kami memesan dua gelas kopi. Visto, 40, seorang house keeping Hotel Grand Aquilla yang kebetulan sedang berada di kios mengatakan, rumah tersebut memang menjadi perhatian banyak orang, terutama warga luar Bandung. “Warga Jakarta banyak yang sengaja menginap di Hotel Aquilla untuk melihat rumah gurita. Mereka nanya keberadaan rumah itu,” katanya. Cukup lama kami berbincang dengan Yana dan Visto. Namun, misteri rumah gurita itu sama sekali belum terbuka. Baik Yana maupun Visto mengaku hanya mendengar selentingan saja mengenai keberadaan rumah tersebut. Akhirnya, kami memutuskan mendatangi rumah Jalan Sukadamai No 6 yang disebut satu-satunya pintu masuk rumah gurita. Hujan masih terus mengguyur dan kopi pun sudah habis diminum.(bersambung)

Read more »

Rabu, 21 Januari 2009

Kembali ke Pulau Dewata

Setelah bercokol sejak April 2008 lalu di Biro SINDO Jabar, Putu Nova pulang ke tanah kelahirannya,Pulau Dewata Bali. Wartawan limpahan dari SINDO Bali ini akhirnya berhasil melepaskan keresahan yang menelikungnya selama ini dengan cara mengundurkan diri dari lingkungan kerja sejak hari ini. Hanya lewat sebuah SMS singkat, Putu menyampaikan kata perpisahan. “Teman, saya mohon maaf kalau selama tugas di Bandung punya kesalahan. Mulai hari ini saya undur diri dari SINDO sekaligus pamitan karena hari ini saya juga pulang ke Bali. Mari kita melangkah gapai sukses dari tempat yang berbeda. Trims teman,” begitu isi SMS yang mungkin dia kirim ke seluruh kawan-kawan. Aku tak sempat membalas SMS itu. Alasannya, apalagi kalau karena tidak punya pulsa. Ah, Putu, Putu, sejak balik lagi ke Bandung awal Januari lalu, aku memang tak sempat bicara banyak dengan wartawan yang satu ini. Terakhir, kita sempat piket sama-sama pada Senin (19/1) lalu dan seperti biasa Putu tidak banyak bicara kecuali menghabiskan segelas minuman.

Rencana kepergian Putu memang sudah aku dengar sebelumnya dari Yogi, sang kepala redaksi (kepred). Di tengah kesibukan menulis berita, Senin (19/1), Yogi menyapaku via Yahoo Messenger (YM). Katanya, dia ingin membicarakan sesuatu yang penting. Lantaran saat itu aku belum selesai mengetik berita, pembicaraan akhirnya berlangsung tengah malam setelah kantor sepi. Malam itu juga Yogi bercerita. Semua pembicaraan mengalir bagai air. Selain rencana keluarnya Putu, dia juga banyak bicara soal kondisi kantor, termasuk kedatangan pejabat SINDO Jakarta beberapa waktu lalu yang bikin resah wartawan di Biro Jabar khususnya Bandung. Tak ada kesimpulan. Pembicaraan terhenti dengan tetap masih menyisakan tanda tanya besar ditambah sebuah tanda seru di depannya. “Kita pikirkan lagi bagaimana rencana ke depan selanjutnya,” aku menutup pembicaraan dan Yogi pun mengiyakannya. Meski begitu, kerutan di dahinya tampak semakin meluas.

Malam ini, Krisiandi dan Rudini kebagian piket. Tapi di kantor, aku, Wisnoe, Yogi, dan Irvan masih bertahan di depan komputer. Yang lain sudah dari tadi pulang, termasuk Epoy si Bonsai kecil. Entahlah, hari ini dia tampak lebih banyak diam. Terpukul? Bisa jadi. Atau mungkin ia masih meratapi nasib karena belum juga naik gaji meski sudah diangkat. Irvan sibuk dengan pekerjaan sampingannya men-down load lagu dan Wisnoe chatting entah dengan siapa. Tidak jauh dari tempatku duduk, Krisiandi teriak-teriak tak karuan sambil mendengarkan musik lewat earphone. Sementara Yogi juga sibuk di depan komputer menikmati sebotol Coca cola. Rudini? Dia berada di ruangan lain, menunggu waktu yang semakin merayap menuju malam. Aku sendiri disibukkan dengan telepon dari redaktur Jakarta yang menanyakan berita mengenai korban salah tembak. Sebelumnya, Irvan yang selama ini berpasangan dengan Putu di ekonomi sempat bertanya pada Yogi. “Besok siapa yang garap ekonomi?” tanyanya karena besok, dia di-BKO-kan ke olahraga menyusul liburnya Taufik, wartawan sejati di dunia olahraga. Mendengar pertanyaan Irvan, Yogi menjawab sambil tersenyum. “Aing mang!!” serunya.

Putu sudah pergi, apakah ada yang akan menyusul kemudian? Entahlah. Yang jelas, kehilangan Putu tentu membuat kekuatan di Biro Jabar berkurang, dan secara pribadi, aku kehilangan teman piket. Tapi baiklah Putu, doaku pasti mengiringi kepergianmu dari ruang yang tak jelas ini untuk mencoba menganyam nasib menuju arah yang lebih baik lagi. Semoga jalan yang kau ambil membuahkan hasil yang manis. Selamat tinggal beli. Sampaikan kabar baik begitu kau tiba di Pulau Dewata nanti.

Read more »

Minggu, 18 Januari 2009

Meraih Mimpi Menjadi Afgan

Sudah 3 kali Sabtu, Gisavo anakku mengikuti les vokal di Purwacaraka Music Studio (PCMS) Jalan Sriwijaya. Di bawah bimbingan Oom Deni, seorang guru vokal PCMS, anakku belajar menyanyi, mulai dari olah vokal, sampai mengatur suara agar sesuai dengan nada dasar musik. Lantaran setiap Sabtu istriku bekerja mengajar keyboard di PCMS Cimahi, tugas mengantar Gisavo diserahkan kepadaku. Maka, setiap Sabtu pula sejak tanggal 3 Januari 2009, aku selalu mendengar lengkingan suara Gisavo saat berlatih menyanyi di salah satu ruangan dengan menggunakan pengeras suara, antara pukul 12.30 hingga 13.00 WIB. Logatnya yang masih cadel membuat dia sempat menjadi bahan tertawaan karyawan dan guru musik yang ada di lingkungan Kantor PCMS Sriwijaya . Bahkan, mereka pun sempat jadi ikut-ikutan cadel ketika bicara. Aku yang selalu menunggu di luar pintu masuk begitu Gisavo masuk salah satu ruangan, tertawa mendengar celotehan guru dan karyawan PCMS saat menirukan gaya cadelnya Gisavo. Hmm, ternyata keberadaan Gisavo di PCMS cukup menarik perhatian mereka. Sebab, dia satu-satunya murid vokal yang usianya belum sampai 5 tahun.

Sebetulnya keinginan Gisavo untuk mengikuti les vokal di PCMS sudah lama diutarakan. Kalau tidak salah, sekitar 3 bulan yang lalu. Saat itu, dia sempat dibawa istriku ke Kantor PCMS Jalan Sriwijaya dan melihat beberapa orang berlatih menyanyi. Dari sanalah keinginan itu muncul. Selain itu sejak usia 6 bulan, Gisavo sering sekali mendendangkan sebuah nyanyian meski tidak begitu jelas, terutama saat hendak tidur. Kemudian menginjak usia satu tahun, dia mulai berusaha mengikuti lagu yang sedang dimainkan oleh salah satu artis baik di televisi, radio, atau tape recorder. Nah, bakat meniru lagu-lagu mulai terlihat saat dia berusia 3 tahun. Hampir setiap lagu yang sedang hit saat itu dia hapal atau setidaknya bisa menyanyikannya sampai tamat. Tentu saja syair yang dinyanyikannya hanya sebatas yang dia dengar dan terkadang tidak sesuai dengan lirik sebenarnya. Tapi menghapal lagu yang baru sekali didengar untuk ukuran anak seusia dia, cukup lumayan.

Awalnya, sejumlah guru vokal menolak mengajari Gisavo menyanyi, termasuk Oom Deni. Alasannya karena dia masih terlalu kecil. Lagipula guru-guru vokal di PCMS kebanyakan sudah mematok usia minimal anak saat mengikuti les vokal yaitu lima tahun. “Umurnya masih empat tahun? Waah, nanti saja kalau sudah lima tahun ya,” kata Oom Deni saat istriku memintanya mengajari Gisavo. Namun Oom Deni tiba-tiba luluh setelah mendengarkan Gisavo menyanyi. Rupanya dia tertegun dengan gaya dan suara anakku saat melantunkan sebuah lagu karena sudah bisa menyesuaikan nada. “Tune-nya udah bagus. Ya udah, nanti aja awal Januari mulai les vokalnya. Jadwalnya disesuaikan,” kata Oom Deni kepada istriku. Gisavo pun tersenyum begitu mengetahui dia bisa berlatih vokal bersama Oom Deni.

Latihan pertama, Gisavo diminta menyanyikan lagu-lagu yang dia hapal. Kemudian, pada sesi latihan kedua, dia diminta menyanyikan 3 lagu masing-masing Tik, tik, tik bunyi hujan, cicak-cicak di dinding, dan nina bobok diiringi musik dan direkam dalam kaset kosong. Sesi latihan ketiga pada Sabtu (17/1) lalu, dia mulai mengenal nada dasar. Materi latihannya berupa menyanyi satu lagu diiringi musik yang terus naik hingga 3 oktaf. Pada oktaf yang ketiga, suaranya terdengar keras melengking. Hahaha, tampaknya Gisavo betul-betul berusaha maksimal ingin menunjukkan kemampuannya menyanyi keras-keras. Oh iya, di sesi latihan ketiga ini, dia terlambat masuk gara-gara aku sibuk mengurus mobil yang mati kabel accu-nya dicabut. Kami baru berangkat dari rumah orangtua di Karawitan sekitar pukul 12.20 WIB, atau 10 menit sebelum latihan dimulai. Aku sudah membayangkan jalan menuju PCMS Sriwijaya bakal macet. Benar saja, beberapa kali kami terjebak macet hingga akhirnya baru tiba di lokasi latihan pukul 12.45 WIB.

Sepanjang perjalanan menuju PCMS Jalan Sriwijaya beberapa kali Gisavo melontarkan pertanyaan. “Pak, Gisa kesiangan ya?” tanyanya. “Iya, makanya bapak ngebut,” jawabku sambil tetap fokus mengemudikan mobil. “Kalau kesiangan, ga apa-apa pak?” lagi-lagi Gisavo bertannya. “Ga apa-apa, nanti bapak bilang sama Oom Deni kalau kena macet di jalan,” ujarku. Begitu sampai di PCMS Jalan Sriwijaya, lagi-lagi masalah muncul. Aku tidak bisa memarkirkan mobil karena tak ada lahan parkir yang kosong. Dua kali bolak-balik melewati Kantor PCMS, Gisavo menyampaikan usul. “Pak, udah aja Gisa turun di sini, bapak cari parkir sendiri,” katanya. Kontan saja, aku menolak usulnya itu. “Nanti saja, sebentar lagi juga bapak dapat tempat parkir,” jawabku. Setengah memaksakan diri, aku berhasil mendapatkan lahan parkir, tidak jauh dari Kantor PCMS. Terburu-buru aku menyuruh Gisavo turun dari mobil dan menuntunnya memasuki PCMS. Di depan, Oom Deni sudah menunggu. Tanpa pamit dulu, Gisavo pun langsung masuk ke salah satu ruangan tempat dia berlatih. Sejauh ini, semangat Gisavo untuk mengikuti jejak Afgan memang masih tinggi. Mudah-mudahan saja dia masih terus semangat latihan vokal dan bisa ikut Idola Cilik.

Read more »

Rabu, 14 Januari 2009

Mengenal Gilles, Sang Perakit Gitar



Wajah pria itu bule abis. Perawakannya pun tinggi seperti bule-bule pada umumnya. Namun ia sangat fasih berbahasa Indonesia, bahkan juga bahasa Sunda. Ya, Gilles E.D de Néve, begitu ia mengenalkan diri. Sejak tahun 2000, pria berusia 54 tahun itu membuka usaha merakit gitar elektrik dan akustik di sebuah workshop Jalan Dago Golf No 3. Tidak tanggung-tanggung, gitar hasil rakitannya kerap menjadi langganan personel grup band papan atas. Sebut saja mantan gitaris Gigi, Baron dan bassis Gigi, Thomas. Atau personel Peter Pan dan Cokelat. Mereka adalah grup band kerap menggunakan gitar hasil produksi Gilles di bawah naungan PT Abadi Senikreasi Indonesia. Kalau dipakai oleh personel band papan atas, tentu saja harga gitar hasil rakitan Gilles nilainya cukup tinggi. Sayangnya, Gilles tidak mau menyebutkan harganya.

Sebetulnya sudah lama aku ingin menulis kiprah Gilles di dunia merakit gitar. Namun, keinginan itu baru tercapai Selasa (13/1) kemarin. Kebetulan, saat itu aku mendapat giliran tugas mencari feature. Maka, begitu keluar dari rumah, niat awalku adalah menemui pria bule itu. Sayang, hujan terus mengguyur Bandung sejak pagi, hingga aku tak bisa ke mana-mana dan memilih diam di rumah orangtua. Lantaran hari semakin siang, aku akhirnya memaksakan diri pergi meski hujan masih turun dengan derasnya. Sebelumnya, aku membuat janji dengan Gilles via telepon. Ia menyanggupi wawancara sekitar pukul 13.00 WIB. “Kita ketemu jam 1 siang di workshop saya Jalan Dago Golf No 3,” kata Gilles saat aku meneleponnya untuk membuat janji. “Oke Pak, saya datang paling telat jam ½ 2,” jawabku. “Jangan ½ 2 tapi jam 1 siang,” tandasnya lagi. “Oke pak. Saya datang jam 1 siang. Terima kasih,” ujarku sambil menutup telepon. Sejurus kemudian, aku melihat jam dinding. “Wah, sudah jam 12 lebih,” pikirku. Khawatir tak bisa menepati janji, aku langsung meluncur meski hujan masih mengguyur dengan lebat.

Setelah tanya sana tanya sini, aku berhasil menemukan workshop milik Gilles. Workshop itu berupa sebuah rumah yang luas dan terdiri dari beberapa ruangan. Di depan, sejumlah gitar elektrik dipajang dengan rapi. Sementara di tengah rumah, terdapat sebuah ruangan seperti studio. Agak ke belakang sedikit, tampak sebuah gudang yang dijadikan tempat merakit gitar. Langkahku untuk memasuki workshop sempat terhenti. Pasalnya, di halaman terlihat seekor anjing sedang duduk memperhatikanku. Lantaran takut masuk, aku sempat kembali menelepon Gilles. “Pak, saya sudah ada di depan workshop,” kataku. “Oh, masuk saja,” jawab Gilles. “Rumahnya yang ada anjingnya pak?” tanyaku basa-basi, berharap dia keluar. “Iya, langsung masuk saja, anjingnya juga diikat,” ia kembali menjawab seolah-olah mengerti kekhawatiranku. Setelah tahu anjing itu diikat, aku pun berani masuk.

Dunia gitar tampaknya memang sudah akrab dengan keseharian Giilles. Dia mengaku sudah menekuni alat musik buatan Italia itu sejak usia 13 tahun. “Semua ini tidak tiba-tiba. Saya mempelajari semuanya. Secara serius, saya mulai mempelajari gitar pada tahun 1969. Saat itu, saya baru berusia 14 tahun dan berminat pada aliran musik Blues Rock Progresive,” kata Gilles saat aku menanyakan awal mula dia mulai tertarik merakit gitar. Beberapa kali Gilles meminta aku untuk tidak mengucapkan kalimat tiba-tiba. “Jangan pernah katakan tiba-tiba. Karena semua ini saya lakukan dengan perjuangan,” tandas Gilles. Di mata Gilles, musik adalah sarana terapi melatih kesabaran. Maka ia berharap musik menjadi pelajaran wajib dan masuk kurikulum sejak sekolah tingkat dasar. “Seharusnya, musik itu menjadi pelajaran dasar dan masuk kurikulum, termasuk bagi anak-anak TK,” kata suami Eni, 54, ini.

Entah karena aku sangat menyukai gitar, wawancara dengan Gilles terasa sangat menyenangkan. Ia tampak terbuka menjawab seluruh pertanyaan yang diajukan. Proses wawancara bahkan lebih mirip diskusi karena kami juga saling bertukar pikiran. Sesaat sebelum sesi foto di gudang tempat merakit gitar yang ada di belakang workshop, aku sempat meminta Gilles memainkan sebuah lagu. “Bapak kidal?” tanyaku begitu melihat dia memainkan sebuah musik blues dengan gitar elektriknya. “Iya, memang salah kalau saya kidal?” tanyanya. “Ah, ngga pak, saya justru kagum,” jawabku sambil terus mengabadikan kelihaiannya memainkan gitar elektrik. Sampai akhir sesi foto, dia masih terus berbincang mengenai dunia musik di tengah udara Jalan Dago Golf yang betul-betul dingin. Terakhir, Gilles mengatakan keengganannya berangkat ke pusat Kota Bandung. Saking malasnya berada di perkotaan, dia memilih tinggal di kawasan Lembang, di bawah kaki Gunung Tangkuban Parahu. “Kamu lihat bukit itu? Bersama istri, saya tinggal di sana. Saya malas berada di kota. Betul-betul sangat semrawut,” keluh Gilles. “Sama pak, saya juga malas ada di Kota Bandung. Sumpek,” aku mengamininya. Baru saja pamit, HP-ku berbunyi. Yogi Kepala Redaksi (Kepred) menelepon. “Mang ada kebakaran di Naripan,” ucapnya. “Siap Gi, urang meluncur!” jawabku sambil menyalakan motor dan meluncur ke lokasi kejadian.

Read more »

Minggu, 11 Januari 2009

Lagi-lagi Masalah yang Sama

Lagi-lagi masalah yang sama setiap hari Minggu. Apalagi kalau bukan kurang berita. Ini sudah kali kedua di hari yang sama, asisten redaktur (asred) berteriak meminta berita. Tidak tanggung-tanggung, 7 berita yang diminta. Meski hari Minggu hanya dua wartawan yang libur, pasokan berita tetap sepi. Aku saja hanya mengirim satu berita karena dari pagi sama sekali tidak menemukan kejadian. Sementara wartawan lain rata-rata mengirim 2 sampai 3 berita. Wuih, 7 berita! Bukan hanya berita, pasokan foto juga minim lantaran satu fotografer tumbang. Stok foto teman-teman juga kurang, termasuk aku.“Kumaha euy?? Berita kurang 7, foto kosong!! Usahakeun nya!!” teriak seorang asred di Jakarta via telepon. “Siap, nanti diusahakan!!” ujarku.

Kantor biro sendiri sepi sejak sore. Beberapa wartawan yang hari itu masuk, sudah kembali ke alamnya masing-masing. Dipaksakan bagaimana pun juga, mencari 7 berita dalam waktu singkat bukan seperti membalikkan telapak tangan. Telepon sana telepon sini, tetap gagal. Buka media online, sami mawon. Akhirnya, Kris menambah berita. Dasir kirim foto lagi. Aku tetap buntu, tak ada ide menambah berita kejadian sambil menunggu telepon dari asred. Benar saja, pukul 20.00 WIB, asred kembali menelepon. “Sudah ada berita???” tanyanya was was. “Tunggu sampai jam setengah sembilan bos!!” seruku sambil masih kebingungan mencari tambahan berita lagi. Aku kembali menanyai teman-teman, termasuk Wisnoe yang kebetulan hari itu kebagian jatah libur. Ugie sudah mengirim 3 berita dan dia pun sudah kehabisan bahan berita. Wisnoe tak punya stok berita. Akhirnya Kris menambah lagi satu berita.

Nada dering lagu Indonesia Raya kembali terdengar. Asred lagi-lagi meneleponku. “Punya berita yang ada fotonya gak? Udah aja, tinggal itu. Yang lain udah beres diakalin,” tanya dia lagi. Seperti biasa, aku menjawab normatif, tidak menjanjikan tetapi hanya menjawab akan diusahakan. Lagi-lagi apes. Bahan yang diminta kosong. Dasir sang fotografer menawarkan foto dan aku berencana membuat beritanya. Tapi setelah dipikir-pikir, foto tersebut sepertinya tidak layak untuk ukuran koran yang katanya kelas menengah ke atas. Gagal melayani permintaan asred, Kris aku minta menambah berita dan dia mengamininya. Setengah jam aku masih menunggu telepon dari asred, memastikan apakah halaman sudah beres atau belum. Sepertinya sudah beres. Telepon terakhir dari asred hanya menanyakan alamat salah satu organisasi wartawan di Bandung.

Secara pribadi, aku memang merasa kehilangan semangat liputan beberapa hari ini, sejak kembali ke Bandung dan menempati pos semula, kriminal dan ploating. Selain karena selama seminggu tidak ada kejadian menonjol, gairah kerjaku sedikit menurun. Aku kurang paham penyebab pastinya. Mungkinkah kedatangan seorang pejabat perusahaan di Jakarta ke kantor biro beberapa waktu lalu menjadi salah satu pemicu? Bisa saja. Meski aku tak hadir dalam pertemuan itu, cerita teman-teman tentang isi pembicaraan dengan pejabat tersebut membuatku goyah. Entahlah!! Mundur memang bukan jalan yang baik. Tapi bertahan?? Ah, mudah-mudahan jalan terbaik segera terbuka dan kebahagiaan bisa diraih dengan sempurna.

Read more »

Kamis, 08 Januari 2009

Lima Hari Kriminal Sepi!!

Ini sudah hari kelima aku liputan di Bandung, kembali ke pos kriminal dan ploating. Parahnya, selama lima hari, aku sama sekali belum menemukan berita kriminal yang besar atau sebuah peristiwa besar. Meski sudah keliling ke beberapa lokasi, tak ada satu pun berita kriminal yang didapat. Hari Minggu (4/1) misalnya, aku hanya mendapat informasi seorang maling tewas dihajar massa dari seorang teman liputan di kepolisian. Tentu saja bagi koran tempatku bekerja, maling dihajar massa bukan sebuah peristiwa besar. Walhasil, aku biarkan saja informasi itu menguap. Keesokan harinya juga idem ditto. Pagi-pagi, Arif teman liputanku dari okezone menyampaikan informasi sebuah ledakan gardu listrik di Jalan Jamika. Aku pun meluncur ke lokasi kejadian ditemani seorang anak job. Dasar sial, begitu sampai di lokasi yang disebutkan Arif, ledakan gardu listrik itu tidak ada. Yang ada hanya sikring putus sehingga menimbulkan suara ledakan.

Masih di hari yang sama, Aap wartawan Radar Bandung mendapat informasi ada jenazah korban perampokan dilarikan RS Hasan Sadikin (RSHS) Bandung. Kabarnya, korban merupakan limpahan dari tempat kejadian perkara (TKP) di kawasan Lembang. Dari Jalan Jamika, kami meluncur ke RSHS. Cuaca saat itu betul-betul panas. Dahaga juga menyerang dengan amat sangat. Kami akhirnya sampai ke RSHS sekitar pukul 12.00 WIB. Lagi-lagi sial. Ternyata tidak ada jenazah korban perampokan limpahan dari kawasan Lembang. Perampokan memang terjadi, tapi tidak ada korban luka, apalagi meninggal. Setelah beristirahat sejenak di RSHS, kami melanjutkan perjalanan ke Mapolwiltabes Bandung, Jalan Jawa. Berita belum juga diperoleh dan kami pun duduk di tenda biru, tempat nongkrongnya para wartawan kriminal.

Sore-sore masih di hari yang sama, H Ucup PR memberi saran agar kami beramai-ramai mendatangi Kasat Narkoba dan meminta berita. Gayung bersambut. Kawan-kawan kemudian beramai-ramai mendatangi ruangan Kasat Narkoba Polwiltabes Bandung, AKBP Sukirman. Setelah ngobrol ngalor-ngidul, dua berita tentang penangkapan pengedar narkoba pun diperoleh, meski untuk ukuran koran SINDO, berita itu terbilang kecil. Namun, di sela-sela perbincangan dengan Kasat Narkoba, kami mendapat satu berita tambahan tentang seorang masiswa yang nekat mencuri motor temannya sendiri. Maka, berangkatlah aku ke kantor bersama anak job dengan hati sedikit lega. Setidaknya, hari itu aku masih bisa menyetor dua berita ke Jakarta.

Hari Selasa (6/1) kondisi masih sama. Seharian kami tidak mendapat berita kriminal. Yang kami dapat hanya berita razia helm standar di Jalan Cihampelas. Namun sore harinya, aku mendapat informasi tentang rencana pemeriksaan Bupati Bandung Obar Sobarna dan Bupati Bandung Barat Abubakar oleh Satuan Tindak Pidana Korupsi (Sat Tipikor) Polda Jabar, terkait kasus korupsi dana KONI Kabupaten Bandung. Obar diperiksa sebagai saksi karena dia juga menjabat Ketua KONI Kabupaten Bandung, sementara Abubakar sempat menjadi Sekda Kabupaten Bandung yang berwenang mencairkan dana. Rencana pemeriksaan dua kepala daerah menjadi salah satu andalan berita yang kemungkinan bakal dijadikan headline halaman dalam. Sementara berita razia helm, kemungkinan menjadi berita kecil saja.

Memasuki hari Rabu (7/1), lagi-lagi sepi berita kriminal. Meski begitu, kami diselamatkan oleh ekspos di Polresta Bandung Barat tentang kasus penipuan yang dilakukan seorang kakek berusia 63 tahun. Satu berita lagi aku dapat dari Polda Jabar mengenai masih kurangnya jumlah polsek di Jawa Barat. Dibantu anak job, berita tentang penipuan dibuat cukup panjang. Sementara berita Polda Jabar masih kekurangan Polsek, aku buat pendek. Di luar dugaan, redaksi Jakarta lebih tertarik dengan berita kekurangan polsek di Jabar, dan meminta aku menambah narasumber seorang pengamat hukum. Dua berita selesai dibuat. Tapi aku tetap merasa tidak puas karena belum mendapat berita kriminal yang besar. “Yah, memang kriminal lagi sepi. Kebayang koran Galamedia kalau tidak ada berita kriminal,” celetuk salah seorang wartawan.

Hari ini, aku mendapat tugas mengasuh Gisavo, anakku, karena di rumah tidak ada orang sementara istriku harus bekerja di Cimahi. Adik iparku menawarkan jasa agar Gisavo dibawa ke rumah orangtua suaminya di kawasan Ciumbuleuit. Aku setuju dan berencana menjemput Gisavo begitu hendak berangkat ke kantor. Pukul 16.00 WIB, Gisavo aku jemput. Sebelum ke kantor, aku singgah ke Polwiltabes Bandung. Kali ini aku mendapat 3 berita. Dua dari Polda Jabar tentang penembakan dua dari 6 kawanan perampok, dan rencana penahanan Ali Rohman, Ketua Komisi A DPRD Garut. Setelah berbincang sejenak dengan kawan liputan, aku beranjak ke kantor bersama Gisavo. Hujan gerimis sempat mengguyur. Sesampainya di kantor, Gisavo langsung mendatangi kandang kelinci. Ditemani Epoy si bonsai kecil, dia memberi makan kelinci. Bosan, Gisavo masuk ruang redaksi dan bermain komputer sebelum istriku menjemputnya.

Read more »

Kisah Seekor Tikus Dungu


Hari Selasa (6/1) pagi lalu, aku sudah dihebohkan oleh kejadian aneh di rumah mertuaku. Seekor tikus berukuran cukup besar terjepit di lubang kecil langit-langit WC belakang rumah. Tikus itu tak bisa naik juga tak bisa turun. Setengah badannya menggantung di langit-langit sementara kakinya terus bergerak berusaha melepaskan diri dari lubang. Aku yang saat itu ditemani Ferry, suami adik iparku, sempat kaget namun kemudian tertawa melihat pemandangan itu. Mungkin si tikus tidak sadar diri dengan berat badannya yang bertambah setiap selesai mencuri makanan. Akibatnya fatal. Begitu hendak melarikan diri, lubang yang biasa dijadikan jalan keluar masuk si tikus mendadak sempit. Tikus itu pun tak berdaya karena kebodohannya sendiri. “Dasar tikus bodoh, gak sadar kalau berat badannya naik,” gumamku sambil mengambil kamera dan memotret momen lucu itu.


Ferry kemudian mulai sibuk mencari cara bagaimana melepaskan tikus itu dari jepitan lubang. Bukan karena kasihan, tapi ingin segera melihat tikus itu mati. Selain itu, kalau si tikus dibiarkan terus menggantung di langit-langit juga akan menimbulkan pemandangan yang tidak enak dipandang. “Kalau ekornya langsung ditarik, nanti bisa lepas. Kalau dibiarkan mati lemas juga khawatir kotorannya jatuh,” kata Ferry. Aku tak banyak memberikan usul. Lagipula, bukan Ferry namanya kalau kehabisan akal. Benar saja. Setelah terdiam sejenak, dia mengambil tangga dan seutas tali rafia. Dinaikinya tangga itu, dan dengan menggunakan simpul ikat ala pramuka, dijeratnya badan tikus lalu ia tarik kuat-kuat. Tikus itu sempat berontak, namun tiba-tiba diam tak bergerak. Sepertinya usaha Ferry berhasil. Sang tikus dungu mati lemas karena jeratan tali rafia. Tanpa basa-basi lagi, Ferry langsung menariknya dari lubang dengan sukses. Aku kebagian tugas membawa bangkai tikus dan membuangnya keluar rumah.

Keberadaan tikus di rumah mertuaku memang cukup mengganggu. Sudah berhari-hari lamanya, banyak makanan yang tiba-tiba hilang tak berbekas. Usaha untuk menangkap binatang yang kerap dijadikan lambang korupsi itu pun sia-sia. Tikus itu selalu saja berhasil lolos. Namun, Tuhan rupanya memberikan jalan lain. Tanpa perlu bersusah payah, si tikus mati karena kedunguannya sendiri. Entah dari pukul berapa tikus itu terjepit di lubang langit-langit WC, yang jelas istriku pertama kali melihatnya sekitar pukul 05.30 WIB. “Pak ada tikus di WC, tapi aneh. Setengah badannya menggantung di langit-langit!!” teriaknya berusaha membangunkanku. Awalnya aku tak menggubrisnya. Saat itu mata betul-betul tak bisa dibuka setelah sebelumnya menjalankan tugas piket di kantor. Gagal membangunkanku, istriku kemudian mengabarkan kejadian itu pada Ferry yang juga sudah bangun. Penasaran, aku akhirnya bangun dan benar-benar menyaksikan kedunguan seekor tikus. Yaah, kejadian itu seharusnya menjadi pelajaran bagi para tikus agar sadar diri dengan berat badannya. Sebaiknya, sehabis sukses mencuri makanan di dapur, para tikus menimbang berat badannya sendiri. Kalau berat badannya bertambah, jangan pulang melalui jalan yang sama.

Read more »