Senin, 15 Agustus 2011

Papandayan Kini dan 9 Tahun Lalu

Ketenangan warga Kecamatan Cisurupan Kabupaten Garut kembali terusik Ramadan tahun ini. Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi mengubah status Gunung Papandayan menjadi Siaga atau level III pada Sabtu (13/8/2011) lalu. Sebelumnya, sejak 2008 lalu, gunung dengan ketinggian lebih dari 2.000 meter di atas permukaan laut itu berstatus waspada atau level II.





Perubahan status itu mengingatkan warga pada letusan Gunung Papandayan 9 tahun lalu. Ya, tepatnya 11 November 2002, Papandayan yang dikenal sebagai salah satu objek wisata terpopuler di Garut meletus. Warga yang saat itu juga tengah menjalankan ibadah puasa kaget. Mereka tak menyangka gunung yang lebih dari 70 tahun tenang tiba-tiba mengamuk.



Tak hanya meletus, Papandayan juga memuntahkan lahar dingin ke Sungai Cibeureum Gede. Belasan rumah penduduk di bantaran Sungai Cibeureum tertimbun longsor. Warga panik. Mereka berlarian ke tempat aman. Ada pula yang terpaksa hijrah ke rumah kerabatnya di Garut. Anak-anak menangis bingung. Sekejap saja, Kantor Kecamatan Cisurupan dipenuhi para pengungsi.



Saya sempat merasakan kepanikan warga sekitar Gunung Papandayan saat meletus 11 November 2002 lalu. Kebetulan sehari sebelumnya saya bersama dua teman masing-masing Machmud Mubarok dan Gani Kurniawan ditugaskan kantor meliput kondisi Gunung Papandayan yang terus menunjukkan aktivitasnya dalam satu minggu terakhir.



Menjelang tengah malam, kami meluncur ke Kabupaten Garut menaiki mobil. Saya bertugas menyetir lantaran dua teman lainnya belum mahir mengemudikan mobil. Tak banyak bekal yang saya bawa, termasuk baju ganti. Saya bahkan lupa membawa sepatu dan hanya beralaskan sandal jepit. Demi memburu berita, kami terpaksa sahur di jalan dan sempat beristirahat di Masjid Agung Garut.



Kami tiba di kawasan Gunung Papandayan Senin 11 November 2002 sekitar pukul 06.00 WIB. Saat itu warga sudah terlihat panik. Pascalongsor di puncak Gunung Papandayan, banyak warga yang sudah mengungsi. Mereka bersiap-siap menghadapi kemungkinan terburuk Papandayan meletus. Kemacetan mulai terjadi. Warga tumplek ke jalan. Mereka berusaha menjauhi kawasan Gunung Papandayan.



Pos Pengamatan Gunung Api Papandayan pun riuh rendah. Tak hanya para ahli dan Muspida Kabupaten Garut, wartawan tumplek di sana. Mereka mengamati perkembangan kawah Papandayan. Senin 11 November 2002, sekitar pukul 15.30 WIB, Papandayan memulai menunjukkan aktivitasnya. Letusan freatik pertama terjadi pukul 16.03 WIB. Debu pekat menyembur dengan ketinggian sekitar 5 Km dari atas puncak. Warga makin panik. Sekejap saja, ruas jalan di kawasan Cisurupan macet.



Inilah letusan pertama yang menyebabkan terjadinya longsor dahsyat di sebagian dinding bukit Nangklak. Seluruh material longsor jatuh ke hulu Sungai Cibeureum Gede. Tercatat sedikitnya 12 rumah warga di Desa Pakuwon dan Naringgul tertimbun longsoran lumpur. Sebuah jembatan penyeberangan pun hancur diterjang banjir lumpur dan memutuskan akses dari Desa Cilimus ke Desa Sirnajaya.



Sialnya, di hari pertama letusan Papandayan itu kami gagal mendapat foto bagus lantaran terjebak di Pos Pengamatan Gunung Api Papandayan. Teguran pun melayang dari pejabat kantor. Kami pasrah, tak bisa memberikan alasan kuat.Terlebih lagi keesokan harinya seluruh foto HL halaman depan koran menggambarkan dahsyatnya letusan Gunung Papandayan. Hanya halaman koran kami yang tidak.



Hari kedua di Papandayan kami pun bertekad mengambil foto letusan dari jarak dekat. Di tengah rasa lapar karena puasa dan lupa sahur, kami mendaki Papandayan. Tak peduli orang-orang menjauh, kami malah mendekati kawah. Tanah bergetar. Beralaskan sandal, saya menaiki puncak berburu pemandangan indah letusan Papandayan. Ada rasa waswas di tengah keberanian mengamati semburan kawah Papandayan dari dekat. Namun semua terbayar setelah kami berhasil mengambil beberapa foto dahsyatnya letusan Papandayan dari jarak dekat. Betul-betul luar biasa!



Hanya tiga hari kami berada di Papandayan. Kantor meminta kami kembali dan bertukar tempat dengan tim lainnya. Ah, sungguh menakjubkan bisa melihat letusan gunung api dari dekat, merasakan tanah bergetar, dan menyaksikan debu pekat menyembur ke udara. Sungguh pengalaman luar biasa. Mungkinkan kejadian sama kembali berulang saat ini setelah aktivitas Papandayan meningkat? Tak ada yang bisa menduga. Saya hanya bersiap saja menanti kabar Gunung Papandayan selanjutnya.

Read more »

Rabu, 08 Juni 2011

Tentang Senja

Senja. Nama itu masih tersimpan di palung hati, tak kunjung terhapus. Sebuah nama yang kerap menghadirkan rindu, debar, dan sekelebat kenangan di masa silam. Entahlah, waktu ternyata tak bisa sedikitpun menghapus pesona alami yang terpancar tanpa alasan hingga aku akhirnya menolak lupa demi sebuah cerita yang pernah tercipta.


Senja. Nama itu masih tetap terdengar indah, selembut halimun terbawa angin. Sebuah nama yang sanggup membuatku bergeming di persimpangan, bingung memilih antara berjalan ke depan atau kembali ke belakang. Entahlah, kenangan itu begitu erat tergenggam meski aku kerap terhuyung menahan rindu tak terperi.

Senja. Nama itu membuatku belajar menerima rasa sakit ketika cinta sepertinya tak lagi butuh keberadaan, tertahan di padang tandus, kering tak tersirami. Entahlah apakah ini sebuah kebodohan hingga aku tak pernah sampai ke ujung perjalanan jiwa. Merasa letih menyimpan asa tak tersampaikan sekadar menatap bening matanya atau menyentuh hangat jemarinya.

Read more »

Rabu, 11 Mei 2011

Akhirnya Kutinggalkan Beranda Senja Itu

Akhirnya kutinggalkan juga beranda senja itu. Menghapus semua jejak yang pernah tercatat lebih dari 2.000 hari. Menanggalkan beribu potong kenangan selama tak kurang dari 42.000 jam. Sungguh, bukan aku tak mau menjaga beranda itu lebih lama lagi. Tapi aku sulit menerjemahkan setiap sudut yang ada di ruang beratap tak berdinding itu.

Akhirnya kutinggalkan juga beranda senja itu. Melepaskan mimpi-mimpi yang kerap muncul di sepertiga sisa malam. Melupakan hari-hari menikmati perubahan warna matahari di batas cakrawala. Maaf, bukan maksud menafikkan keindahan senja yang tak pernah ada habisnya. Bukan pula membenci wajah senja yang begitu lembut dan pantas disentuh. Tapi, aku memang harus pergi, kembali merumuskan diri sendiri yang masih tergeragap.

Akhirnya kutinggalkan juga beranda senja itu. Mencoba mengendalikan hidup yang penuh keterdugaan hingga masa depan kerap lepas dari pegangan. Sungguh, aku tak bisa selamanya menjelma menjadi patung yang berdiri menatap senja sempurna di beranda itu menjelang malam. Seperti katamu, aku memang harus melupakan beranda itu. Karena lupa mungkin akan membebaskanku dari pusaran tak berujung ini.

Read more »

Jumat, 22 April 2011

Dilarang Merindukan Senja

Senja. Setiap hari aku mematung di sini menantimu menyapa lembut, saat matahari mulai beranjak syahdu menuju garis cakrawala. Aku merindukanmu. Senja yang mengantarkan sejuta cerita dari negeri di awan hingga membuatku serasa berada di dunia berbeda. Dari sisi gelapku, saban waktu tak lelah aku mengagumimu.


Senja. Aku masih di sini menunggumu. Berkawan angin bertiup rindu pada burung-burung yang melintas di atap langit. Aku merindukanmu. Senja yang penuh cerita. Tentang hati yang menyepi, terhuyung-huyung bersembunyi dalam ketiadaan. Lalu tenggelam dibalut rasa cinta yang selalu indah dalam ketidakwujudannya

Senja. Aku masih berdiri di sini, menunggumu meski langit tak jua menguning. Sementara hati masih saja nanar, membeku dalam balutan cerita senja. Adakah senja bakal tersenyum walau sesaat sebelum malam datang mengoyak harapan? Ah, sepertinya tidak. Awan hitam menggelayut pertanda langit bakal segera basah. Ia seolah berbisik: Jangan pernah kau merindukan senja itu lagi.

Read more »

Selasa, 19 April 2011

Kembali ke Kota Cirebon

Hari menjelang sore, Jumat (15/4/2011). Saya memacu motor di ruas Jalan Raya Cileunyi menuju arah Timur Utara. Tujuan saya adalah Cirebon, kota yang berjarak sekitar 133 Km dari Bandung. Bom bunuh diri di Masjid Adzikra Mapolres Cirebon Kota (Ciko) saat Jumatan jadi pemicunya. Gara-gara insiden itu, saya pun punya kesempatan kembali liputan setelah lima bulan absen. Tanpa membawa baju ganti, saya berangkat berbekal uang seadanya, hape, dan kamera digital kecil milik teman.

Waktu menunjukkan jam 4 sore. Target sampai ke Cirebon jam 6 sore sepertinya bakal meleset. Terlebih lagi, saya sempat terjebak macet di kawasan Cibiru. Belum lagi membayangkan macet di Pasar Tanjungsari Sumedang. Saya tak sendiri. Ada Baban duduk di belakang jok motor. Ia juga ditugaskan kantor meliput insiden bom bunuh diri di Mapolres Cirebon Kota. Kondisi Baban idem ditto. Ia tak membawa baju ganti, selain bekal uang dan hape.

Seperti diperkirakan sebelumnya, kami terjebak macet di Pasar Tanjung Sari Kabupaten Sumedang. Laju motor tersendat. Kondisi ini sulit dipecahkan. Pasar Tanjung Sari memang jadi salah satu biang kemacetan di jalur Bandung-Cirebon. Antrean kendaraan bahkan terkadang sampai ke kawasan Jatinangor (dari arah Bandung) dan Citali (dari arah Sumedang). Pasrah, saya tak terlalu berharap banyak. Demikian pula Baban. Kami pun hanya bisa menikmati kemacetan, disemprot asap knalpot bus dan truk yang tepat berada di depan motor.

Hujan sempat menghambat perjalanan kami. Cukup deras hingga membuat badan dingin, mata perih, dan pakaian basah. Beruntung, Baban sigap membawa jas hujan. Sejenak kami berhenti sekadar mengenakan jas hujan dan mengamankan barang-barang penting agar tak kehujanan. Sejurus kemudian, kami melanjutkan perjalanan diguyur hujan sore. Hanya setengah jam, hujan berhenti tepat saat kami tiba di pusat Kabupaten Sumedang. Khawatir kembali hujan, kami tak melepas jas. Saya kembali memacu motor. Perasaan sedikit waswas karena rem belakang motor tak terlalu pakem.

Tanpa terasa, kami sudah melintasi jalur Tomo Kabupaten Majalengka. Sebentar lagi Palimanan. Hari mulai gelap rupanya. Saya sempat melirik jam tangan. Waktu sudah menunjukkan sekitar pukul 6 sore lebih. Setengah jam lagi kemungkinan kami tiba di Kabupaten Cirebon. Jalanan rusak membuat saya harus ekstra hati-hati menjalankan motor. Salah sedikit, motor bisa terperosok masuk lubang. Lebih parah lagi, kami berdua bisa saja terjatuh dari motor jika tak hati-hati memperhatikan lubang jalanan.

Menyusuri jalur Bandung-Cirebon ingatan kembali ke 6 tahun silam. Terlebih lagi saat memasuki ruas Jalan Palimanan. Enam tahun silam saya ditugaskan menjajal wilayah III Cirebon yang meliputi Cirebon (kota/kabupaten), Majalengka, Indramayu, dan Kuningan selama tiga bulan sejak 16 Mei 2005. Dua bulan pertama, saya tak pernah melalui jalur Palimanan jika hendak ke Cirebon, atau sebaliknya. Biasanya, sebulan sekali saya pulang pergi lewat jalur Rajagaluh Majalengka yang tembus ke Sumber Kabupaten Cirebon. Namun, 29 Juli 2005, kali pertama saya melintasi jalur Palimanan, saat hendak pulang ke Bandung bersama seseorang. Ah, kenangan itu masih sangat kuat melekat di ingatan saya.

Lamunan saya buyar saat tiba di kawasan Ciwaringin. Ternyata kami sudah sampai di Kabupaten Cirebon. Saya menghentikan motor, membeli pulsa, lantas menelepon teman di Cirebon. Waktu menunjukkan jam setengah 7 malam. Baban melakukan hal serupa. Menelepon teman yang sama-sama ditugaskan kantor meliput perkembangan aksi bom bunuh diri di Masjid Adzikra Mapolres Cirebon Kota. Limabelas menit berlalu, saya kembali melanjutkan perjalanan. Sempat nyasar ke Jalan Cipto, akhirnya kami tiba di Mapolres Cirebon Kota Jalan Veteran jam 7 malam.

Tepat setengah jam setelah kedatangan kami, Gubernur Jabar Ahmad Heryawan tiba di Mapolres Cirebon Kota. Fokus kami pun saat itu mewawancarai gubernur. Malam hari, kami berbincang dengan Kabid Humas Polda Jabar Kombes Pol Agus Rianto. Langit di atas Mapolres Cirebon Kota tampak cerah. Bulan purnama nyaris sempurna, dihiasi lingkaran perak. Awan tegak lurus sempat menarik perhatian kami. Tak terasa, hari sudah berganti. Setelah sempat kesulitan mencari makan, kami mengakhiri liputan, Sabtu (16/4/2011) sekitar jam setengah dua dinihari.

Saya sungguh menikmati liputan di Cirebon. Seolah melakukan napak tilas, saya membawa Baban melintasi ruas jalan dan tempat berkesan saat liputan di Cirebon seperti Jalan Siliwangi, Jalan Kartini, Jalan Cipto Mangunkusumo, Tuparev, dan Mal Grage. Sabtu (16/4/2011) malam, saya pun menyempatkan diri menengok seorang teman liputan yang menginap di Hotel Priangan Jalan Siliwangi, setelah lelah beraktivitas bolak-balik Majalengka-Cirebon. Malam itu, kami menghabiskan waktu di depan Masjid Attaqwa Jalan Kartini bersama teman-teman wartawan Cirebon hingga Minggu (17/4/2011) pagi.

Rencana pulang Minggu (17/4/2011) gagal. Awalnya, kami hanya berniat kembali meminta komentar istri terduga teroris di rumahnya kawasan Majalengka. Namun, setelah selesai mememintai komentar, tim Densus dan identifikasi Polda Jabar ternyata datang menggeledah rumah tersebut. Baban tak bisa pulang hari itu karena kantor memintanya meneruskan liputan. Saya tak mau pulang tanpa Baban. Terlebih lagi, momen penggeledahan tak mungkin dilewatkan begitu saja. Empat jam sejak jam 5 sore hingga jam 9 malam kami terjebak di Majalengka, kehausan dan kelaparan setelah nyaris seharian tak makan nasi. Kami sepakat tak pulang ke Bandung malam itu dan kembali ke Cirebon setelah selesai meliput penggeledahan rumah terduga teroris.

Malam terakhir Kota Cirebon berhias bulan purnama. Saya mengajak Baban makan malam di Rumah Makan Padang Simpang Raya Jalan Kartini. Jam 10 malam kami kembali ke hotel, menyimpan tenaga buat besok kembali ke Bandung. Tiga malam di Cirebon memang tak cukup mengembalikan kenangan enam tahun lalu. Namun saya cukup terpuaskan setelah kembali menyusuri malam-malam jahanam wilayah Pantai Utara menaiki motor. Besok, kami harus pulang ke Bandung, kembali menyusuri Jalan Palimanan, menempuh perjalanan panjang sekitar 133 Km. Ah, Cirebon memang luar biasa. Kota itu menarik saya kembali ke lingkaran masa lalu.

Read more »

Senin, 07 Februari 2011

Senja Terlukis di Pantai Anyer

Senja terlukis di ufuk Barat Pantai Anyer Kabupaten Serang. Cahaya emasnya menyepuh siluet Gunung Krakatau di ujung batas cakrawala. Indah, meski tak begitu sempurna lantaran gumpalan awan sedikit mencoreng wajahnya. Tak jauh di sebelahnya, kepulan asap Anak Krakatau masih terlihat, sisa batuk Desember silam. Sore itu, ombak Januari menghantam pesisir, membuat bibir pantai makin menyempit. Bayu senja membelah langit dan pintu rezeki buat nelayan terbuka.


Menatap wajah senja di pesisir pantai memang tak akan pernah ada habisnya. Ada aura kemesraan dan romantisme terpancar di sana. Keduanya menyatu membentuk harmoni tiada ujung. Senja membuat hamparan laut berdenyar laksana jutaan serakan kilau kristal. Ia seolah menjelma menjadi candu saat ruap ombak menciptakan nada kerinduan, membakar semangat nelayan. Ah, pantai dan laut memang sebuah tempat pelarian sempurna menepikan gundah, dan Tuhan sepertinya menitipkan cinta pada senja jingga di tepi pantai.

Senja mulai padam saat malam menjemput perlahan. Lembayung berlari menjauhi laut. Bocah lelaki enam tahun itu tampak kuyup. Butiran pasir memenuhi rambut tipisnya. Setelah nyaris seharian penuh menari bersama ombak, ia mulai lelah. Meski begitu, dua bola matanya yang memerah tersiram air laut tampak berbinar. Senyumnya terus mengembang. Sayang, sebentar lagi sore susut. Syair sunyi pun berlantun mengiringi datangnya malam, berharap bintang berbinar di tengah gemuruh gelombang. Saatnya membawa anakku pergi dari laut.

Sejak tiba di Pantai Anyer tengah hari bolong, Lembayung memang larut dengan keasyikannya sendiri bermain pasir dan mencari kepiting. Ia tak peduli panas matahari membakar kulit. Dibiarkannya lidah ombak menjilati kaki telanjangnya. Sesekali ia tampak menantang laut yang menggulung anak-anak ombaknya dalam debur terhelai. Tubuh kecilnya berguling terhantam gelombang yang menengadahi langit. Tawa pecah begitu air laut asin bercampur pasir menampar wajahnya.

Aku bahagia melihat Lembayung mulai mencintai laut, seperti ia mengagumi senja. Bagiku, laut laksana tempat peri-peri menjalin mimpi dan memintal asa yang beranjak menua. Laut mengisahkan kepergian dan kepulangan, tempat semesta bermuara. Kepada laut, aku kerap menitipkan pesan tentang luka yang terapung-apung pada botol kaca, terempas entah ke mana, abadi bersama dewa Neptunus. Oh laut, pada setiap pantainya, ada sederet kenangan tak terlupakan saat putaran angin mendesirkan pohon nyiur.

Malam itu awan hitam menyungkup laut Pantai Anyer. Anakku tertidur begitu cendera. Di luar gelombang liar laut pasang yang tak pernah tidur mengiringi keheningan malam. Gaungnya terasa begitu jujur melagukan nyanyian biru para pejalan sunyi. Angin mengempaskan pasir, mencatati setiap jejak putri duyung dan bajak laut yang sembunyi di balik karang. Di pinggir pantai, aku memejamkan mata, mendengarkan dongeng laut tentang lelah hati menggapai senja yang kau kisahkan pada bumi.

Read more »

Senin, 17 Januari 2011

Tentang Gerimis

Gerimis itu tiba-tiba turun dari celah langit. Tipis, nyaris seperti embun. Saya melihatnya dari balik jendela. Tempiasnya membasahi kaca luar jendela, lalu mengucur perlahan seperti membentuk sebuah kaligrafi. Angin berembus pelan, membuat beberapa pucuk pohon melambai ke kiri dan kanan. Satu dua daun jatuh menyentuh tanah. Dingin menusuk pori-pori.

Pagi itu langit memang sedikit gelap namun tidak menakutkan. Nyaris setahun lebih kota ini diguyur hujan. Mungkin memang ini masanya jemari langit menyentuh bumi. Kadang bermain-main dengan lembut, meski sering pula berubah brutal. Kali ini ujung hujan memang tak setajam sebelumnya. Bagai pensil tumpul, ia hanya menuliskan pesan singkat, bukan janji mendatangkan pelangi.

Saya teringat seseorang beberapa tahun lalu. Kami bertemu dalam aroma gerimis yang menerjemahkan tanah-tanah. Menyusuri jalanan basah, kami tertimpa gerimis, membeku dalam dingin. Sepanjang jalan tak bosan kami bertukar kata. Sesekali terdiam mencoba mengurai makna gerimis yang menderai di antara sepi. Sejenak basah dalam percakapan di antara mendung yang semakin menyusut mengikuti sisa gerimis. Sungguh, gerimis mendedas yang menghasut kenangan.

Saya seolah menangkap sebuah nyanyian rindu ketika hujan gerimis itu perlahan turun. Meresonansi masa lalu, membuat saya terhipnotis pada keadaan. Berharap menemukan wajahnya di antara ribuan garis gerimis miris yang berjatuhan menabuh bumi, meresap ke dalam hati. Atau menangkap matanya yang kerap melukiskan pemandangan indah. Ah, gerimis memang menyimpan sebuah rahasia yang tak pernah bisa dibongkar. Ia seperti bercerita soal kerinduan, ketabahan, dan kelembutan.

Rindu pada gerimis ini memang tak pernah berhenti meski menggigil dalam dingin usia. Terus melaju di antara putaran malam dan siang yang terasa sangat singkat. Pada gerimis ini, saya selipkan beberapa bait pesan yang dikirim lewat aliran sungai kata-kata, tentang masa depan rumit dan meresahkan

Read more »