Rabu, 21 Januari 2009

Kembali ke Pulau Dewata

Setelah bercokol sejak April 2008 lalu di Biro SINDO Jabar, Putu Nova pulang ke tanah kelahirannya,Pulau Dewata Bali. Wartawan limpahan dari SINDO Bali ini akhirnya berhasil melepaskan keresahan yang menelikungnya selama ini dengan cara mengundurkan diri dari lingkungan kerja sejak hari ini. Hanya lewat sebuah SMS singkat, Putu menyampaikan kata perpisahan. “Teman, saya mohon maaf kalau selama tugas di Bandung punya kesalahan. Mulai hari ini saya undur diri dari SINDO sekaligus pamitan karena hari ini saya juga pulang ke Bali. Mari kita melangkah gapai sukses dari tempat yang berbeda. Trims teman,” begitu isi SMS yang mungkin dia kirim ke seluruh kawan-kawan. Aku tak sempat membalas SMS itu. Alasannya, apalagi kalau karena tidak punya pulsa. Ah, Putu, Putu, sejak balik lagi ke Bandung awal Januari lalu, aku memang tak sempat bicara banyak dengan wartawan yang satu ini. Terakhir, kita sempat piket sama-sama pada Senin (19/1) lalu dan seperti biasa Putu tidak banyak bicara kecuali menghabiskan segelas minuman.

Rencana kepergian Putu memang sudah aku dengar sebelumnya dari Yogi, sang kepala redaksi (kepred). Di tengah kesibukan menulis berita, Senin (19/1), Yogi menyapaku via Yahoo Messenger (YM). Katanya, dia ingin membicarakan sesuatu yang penting. Lantaran saat itu aku belum selesai mengetik berita, pembicaraan akhirnya berlangsung tengah malam setelah kantor sepi. Malam itu juga Yogi bercerita. Semua pembicaraan mengalir bagai air. Selain rencana keluarnya Putu, dia juga banyak bicara soal kondisi kantor, termasuk kedatangan pejabat SINDO Jakarta beberapa waktu lalu yang bikin resah wartawan di Biro Jabar khususnya Bandung. Tak ada kesimpulan. Pembicaraan terhenti dengan tetap masih menyisakan tanda tanya besar ditambah sebuah tanda seru di depannya. “Kita pikirkan lagi bagaimana rencana ke depan selanjutnya,” aku menutup pembicaraan dan Yogi pun mengiyakannya. Meski begitu, kerutan di dahinya tampak semakin meluas.

Malam ini, Krisiandi dan Rudini kebagian piket. Tapi di kantor, aku, Wisnoe, Yogi, dan Irvan masih bertahan di depan komputer. Yang lain sudah dari tadi pulang, termasuk Epoy si Bonsai kecil. Entahlah, hari ini dia tampak lebih banyak diam. Terpukul? Bisa jadi. Atau mungkin ia masih meratapi nasib karena belum juga naik gaji meski sudah diangkat. Irvan sibuk dengan pekerjaan sampingannya men-down load lagu dan Wisnoe chatting entah dengan siapa. Tidak jauh dari tempatku duduk, Krisiandi teriak-teriak tak karuan sambil mendengarkan musik lewat earphone. Sementara Yogi juga sibuk di depan komputer menikmati sebotol Coca cola. Rudini? Dia berada di ruangan lain, menunggu waktu yang semakin merayap menuju malam. Aku sendiri disibukkan dengan telepon dari redaktur Jakarta yang menanyakan berita mengenai korban salah tembak. Sebelumnya, Irvan yang selama ini berpasangan dengan Putu di ekonomi sempat bertanya pada Yogi. “Besok siapa yang garap ekonomi?” tanyanya karena besok, dia di-BKO-kan ke olahraga menyusul liburnya Taufik, wartawan sejati di dunia olahraga. Mendengar pertanyaan Irvan, Yogi menjawab sambil tersenyum. “Aing mang!!” serunya.

Putu sudah pergi, apakah ada yang akan menyusul kemudian? Entahlah. Yang jelas, kehilangan Putu tentu membuat kekuatan di Biro Jabar berkurang, dan secara pribadi, aku kehilangan teman piket. Tapi baiklah Putu, doaku pasti mengiringi kepergianmu dari ruang yang tak jelas ini untuk mencoba menganyam nasib menuju arah yang lebih baik lagi. Semoga jalan yang kau ambil membuahkan hasil yang manis. Selamat tinggal beli. Sampaikan kabar baik begitu kau tiba di Pulau Dewata nanti.

Read more »

Minggu, 18 Januari 2009

Meraih Mimpi Menjadi Afgan

Sudah 3 kali Sabtu, Gisavo anakku mengikuti les vokal di Purwacaraka Music Studio (PCMS) Jalan Sriwijaya. Di bawah bimbingan Oom Deni, seorang guru vokal PCMS, anakku belajar menyanyi, mulai dari olah vokal, sampai mengatur suara agar sesuai dengan nada dasar musik. Lantaran setiap Sabtu istriku bekerja mengajar keyboard di PCMS Cimahi, tugas mengantar Gisavo diserahkan kepadaku. Maka, setiap Sabtu pula sejak tanggal 3 Januari 2009, aku selalu mendengar lengkingan suara Gisavo saat berlatih menyanyi di salah satu ruangan dengan menggunakan pengeras suara, antara pukul 12.30 hingga 13.00 WIB. Logatnya yang masih cadel membuat dia sempat menjadi bahan tertawaan karyawan dan guru musik yang ada di lingkungan Kantor PCMS Sriwijaya . Bahkan, mereka pun sempat jadi ikut-ikutan cadel ketika bicara. Aku yang selalu menunggu di luar pintu masuk begitu Gisavo masuk salah satu ruangan, tertawa mendengar celotehan guru dan karyawan PCMS saat menirukan gaya cadelnya Gisavo. Hmm, ternyata keberadaan Gisavo di PCMS cukup menarik perhatian mereka. Sebab, dia satu-satunya murid vokal yang usianya belum sampai 5 tahun.

Sebetulnya keinginan Gisavo untuk mengikuti les vokal di PCMS sudah lama diutarakan. Kalau tidak salah, sekitar 3 bulan yang lalu. Saat itu, dia sempat dibawa istriku ke Kantor PCMS Jalan Sriwijaya dan melihat beberapa orang berlatih menyanyi. Dari sanalah keinginan itu muncul. Selain itu sejak usia 6 bulan, Gisavo sering sekali mendendangkan sebuah nyanyian meski tidak begitu jelas, terutama saat hendak tidur. Kemudian menginjak usia satu tahun, dia mulai berusaha mengikuti lagu yang sedang dimainkan oleh salah satu artis baik di televisi, radio, atau tape recorder. Nah, bakat meniru lagu-lagu mulai terlihat saat dia berusia 3 tahun. Hampir setiap lagu yang sedang hit saat itu dia hapal atau setidaknya bisa menyanyikannya sampai tamat. Tentu saja syair yang dinyanyikannya hanya sebatas yang dia dengar dan terkadang tidak sesuai dengan lirik sebenarnya. Tapi menghapal lagu yang baru sekali didengar untuk ukuran anak seusia dia, cukup lumayan.

Awalnya, sejumlah guru vokal menolak mengajari Gisavo menyanyi, termasuk Oom Deni. Alasannya karena dia masih terlalu kecil. Lagipula guru-guru vokal di PCMS kebanyakan sudah mematok usia minimal anak saat mengikuti les vokal yaitu lima tahun. “Umurnya masih empat tahun? Waah, nanti saja kalau sudah lima tahun ya,” kata Oom Deni saat istriku memintanya mengajari Gisavo. Namun Oom Deni tiba-tiba luluh setelah mendengarkan Gisavo menyanyi. Rupanya dia tertegun dengan gaya dan suara anakku saat melantunkan sebuah lagu karena sudah bisa menyesuaikan nada. “Tune-nya udah bagus. Ya udah, nanti aja awal Januari mulai les vokalnya. Jadwalnya disesuaikan,” kata Oom Deni kepada istriku. Gisavo pun tersenyum begitu mengetahui dia bisa berlatih vokal bersama Oom Deni.

Latihan pertama, Gisavo diminta menyanyikan lagu-lagu yang dia hapal. Kemudian, pada sesi latihan kedua, dia diminta menyanyikan 3 lagu masing-masing Tik, tik, tik bunyi hujan, cicak-cicak di dinding, dan nina bobok diiringi musik dan direkam dalam kaset kosong. Sesi latihan ketiga pada Sabtu (17/1) lalu, dia mulai mengenal nada dasar. Materi latihannya berupa menyanyi satu lagu diiringi musik yang terus naik hingga 3 oktaf. Pada oktaf yang ketiga, suaranya terdengar keras melengking. Hahaha, tampaknya Gisavo betul-betul berusaha maksimal ingin menunjukkan kemampuannya menyanyi keras-keras. Oh iya, di sesi latihan ketiga ini, dia terlambat masuk gara-gara aku sibuk mengurus mobil yang mati kabel accu-nya dicabut. Kami baru berangkat dari rumah orangtua di Karawitan sekitar pukul 12.20 WIB, atau 10 menit sebelum latihan dimulai. Aku sudah membayangkan jalan menuju PCMS Sriwijaya bakal macet. Benar saja, beberapa kali kami terjebak macet hingga akhirnya baru tiba di lokasi latihan pukul 12.45 WIB.

Sepanjang perjalanan menuju PCMS Jalan Sriwijaya beberapa kali Gisavo melontarkan pertanyaan. “Pak, Gisa kesiangan ya?” tanyanya. “Iya, makanya bapak ngebut,” jawabku sambil tetap fokus mengemudikan mobil. “Kalau kesiangan, ga apa-apa pak?” lagi-lagi Gisavo bertannya. “Ga apa-apa, nanti bapak bilang sama Oom Deni kalau kena macet di jalan,” ujarku. Begitu sampai di PCMS Jalan Sriwijaya, lagi-lagi masalah muncul. Aku tidak bisa memarkirkan mobil karena tak ada lahan parkir yang kosong. Dua kali bolak-balik melewati Kantor PCMS, Gisavo menyampaikan usul. “Pak, udah aja Gisa turun di sini, bapak cari parkir sendiri,” katanya. Kontan saja, aku menolak usulnya itu. “Nanti saja, sebentar lagi juga bapak dapat tempat parkir,” jawabku. Setengah memaksakan diri, aku berhasil mendapatkan lahan parkir, tidak jauh dari Kantor PCMS. Terburu-buru aku menyuruh Gisavo turun dari mobil dan menuntunnya memasuki PCMS. Di depan, Oom Deni sudah menunggu. Tanpa pamit dulu, Gisavo pun langsung masuk ke salah satu ruangan tempat dia berlatih. Sejauh ini, semangat Gisavo untuk mengikuti jejak Afgan memang masih tinggi. Mudah-mudahan saja dia masih terus semangat latihan vokal dan bisa ikut Idola Cilik.

Read more »

Rabu, 14 Januari 2009

Mengenal Gilles, Sang Perakit Gitar



Wajah pria itu bule abis. Perawakannya pun tinggi seperti bule-bule pada umumnya. Namun ia sangat fasih berbahasa Indonesia, bahkan juga bahasa Sunda. Ya, Gilles E.D de Néve, begitu ia mengenalkan diri. Sejak tahun 2000, pria berusia 54 tahun itu membuka usaha merakit gitar elektrik dan akustik di sebuah workshop Jalan Dago Golf No 3. Tidak tanggung-tanggung, gitar hasil rakitannya kerap menjadi langganan personel grup band papan atas. Sebut saja mantan gitaris Gigi, Baron dan bassis Gigi, Thomas. Atau personel Peter Pan dan Cokelat. Mereka adalah grup band kerap menggunakan gitar hasil produksi Gilles di bawah naungan PT Abadi Senikreasi Indonesia. Kalau dipakai oleh personel band papan atas, tentu saja harga gitar hasil rakitan Gilles nilainya cukup tinggi. Sayangnya, Gilles tidak mau menyebutkan harganya.

Sebetulnya sudah lama aku ingin menulis kiprah Gilles di dunia merakit gitar. Namun, keinginan itu baru tercapai Selasa (13/1) kemarin. Kebetulan, saat itu aku mendapat giliran tugas mencari feature. Maka, begitu keluar dari rumah, niat awalku adalah menemui pria bule itu. Sayang, hujan terus mengguyur Bandung sejak pagi, hingga aku tak bisa ke mana-mana dan memilih diam di rumah orangtua. Lantaran hari semakin siang, aku akhirnya memaksakan diri pergi meski hujan masih turun dengan derasnya. Sebelumnya, aku membuat janji dengan Gilles via telepon. Ia menyanggupi wawancara sekitar pukul 13.00 WIB. “Kita ketemu jam 1 siang di workshop saya Jalan Dago Golf No 3,” kata Gilles saat aku meneleponnya untuk membuat janji. “Oke Pak, saya datang paling telat jam ½ 2,” jawabku. “Jangan ½ 2 tapi jam 1 siang,” tandasnya lagi. “Oke pak. Saya datang jam 1 siang. Terima kasih,” ujarku sambil menutup telepon. Sejurus kemudian, aku melihat jam dinding. “Wah, sudah jam 12 lebih,” pikirku. Khawatir tak bisa menepati janji, aku langsung meluncur meski hujan masih mengguyur dengan lebat.

Setelah tanya sana tanya sini, aku berhasil menemukan workshop milik Gilles. Workshop itu berupa sebuah rumah yang luas dan terdiri dari beberapa ruangan. Di depan, sejumlah gitar elektrik dipajang dengan rapi. Sementara di tengah rumah, terdapat sebuah ruangan seperti studio. Agak ke belakang sedikit, tampak sebuah gudang yang dijadikan tempat merakit gitar. Langkahku untuk memasuki workshop sempat terhenti. Pasalnya, di halaman terlihat seekor anjing sedang duduk memperhatikanku. Lantaran takut masuk, aku sempat kembali menelepon Gilles. “Pak, saya sudah ada di depan workshop,” kataku. “Oh, masuk saja,” jawab Gilles. “Rumahnya yang ada anjingnya pak?” tanyaku basa-basi, berharap dia keluar. “Iya, langsung masuk saja, anjingnya juga diikat,” ia kembali menjawab seolah-olah mengerti kekhawatiranku. Setelah tahu anjing itu diikat, aku pun berani masuk.

Dunia gitar tampaknya memang sudah akrab dengan keseharian Giilles. Dia mengaku sudah menekuni alat musik buatan Italia itu sejak usia 13 tahun. “Semua ini tidak tiba-tiba. Saya mempelajari semuanya. Secara serius, saya mulai mempelajari gitar pada tahun 1969. Saat itu, saya baru berusia 14 tahun dan berminat pada aliran musik Blues Rock Progresive,” kata Gilles saat aku menanyakan awal mula dia mulai tertarik merakit gitar. Beberapa kali Gilles meminta aku untuk tidak mengucapkan kalimat tiba-tiba. “Jangan pernah katakan tiba-tiba. Karena semua ini saya lakukan dengan perjuangan,” tandas Gilles. Di mata Gilles, musik adalah sarana terapi melatih kesabaran. Maka ia berharap musik menjadi pelajaran wajib dan masuk kurikulum sejak sekolah tingkat dasar. “Seharusnya, musik itu menjadi pelajaran dasar dan masuk kurikulum, termasuk bagi anak-anak TK,” kata suami Eni, 54, ini.

Entah karena aku sangat menyukai gitar, wawancara dengan Gilles terasa sangat menyenangkan. Ia tampak terbuka menjawab seluruh pertanyaan yang diajukan. Proses wawancara bahkan lebih mirip diskusi karena kami juga saling bertukar pikiran. Sesaat sebelum sesi foto di gudang tempat merakit gitar yang ada di belakang workshop, aku sempat meminta Gilles memainkan sebuah lagu. “Bapak kidal?” tanyaku begitu melihat dia memainkan sebuah musik blues dengan gitar elektriknya. “Iya, memang salah kalau saya kidal?” tanyanya. “Ah, ngga pak, saya justru kagum,” jawabku sambil terus mengabadikan kelihaiannya memainkan gitar elektrik. Sampai akhir sesi foto, dia masih terus berbincang mengenai dunia musik di tengah udara Jalan Dago Golf yang betul-betul dingin. Terakhir, Gilles mengatakan keengganannya berangkat ke pusat Kota Bandung. Saking malasnya berada di perkotaan, dia memilih tinggal di kawasan Lembang, di bawah kaki Gunung Tangkuban Parahu. “Kamu lihat bukit itu? Bersama istri, saya tinggal di sana. Saya malas berada di kota. Betul-betul sangat semrawut,” keluh Gilles. “Sama pak, saya juga malas ada di Kota Bandung. Sumpek,” aku mengamininya. Baru saja pamit, HP-ku berbunyi. Yogi Kepala Redaksi (Kepred) menelepon. “Mang ada kebakaran di Naripan,” ucapnya. “Siap Gi, urang meluncur!” jawabku sambil menyalakan motor dan meluncur ke lokasi kejadian.

Read more »

Minggu, 11 Januari 2009

Lagi-lagi Masalah yang Sama

Lagi-lagi masalah yang sama setiap hari Minggu. Apalagi kalau bukan kurang berita. Ini sudah kali kedua di hari yang sama, asisten redaktur (asred) berteriak meminta berita. Tidak tanggung-tanggung, 7 berita yang diminta. Meski hari Minggu hanya dua wartawan yang libur, pasokan berita tetap sepi. Aku saja hanya mengirim satu berita karena dari pagi sama sekali tidak menemukan kejadian. Sementara wartawan lain rata-rata mengirim 2 sampai 3 berita. Wuih, 7 berita! Bukan hanya berita, pasokan foto juga minim lantaran satu fotografer tumbang. Stok foto teman-teman juga kurang, termasuk aku.“Kumaha euy?? Berita kurang 7, foto kosong!! Usahakeun nya!!” teriak seorang asred di Jakarta via telepon. “Siap, nanti diusahakan!!” ujarku.

Kantor biro sendiri sepi sejak sore. Beberapa wartawan yang hari itu masuk, sudah kembali ke alamnya masing-masing. Dipaksakan bagaimana pun juga, mencari 7 berita dalam waktu singkat bukan seperti membalikkan telapak tangan. Telepon sana telepon sini, tetap gagal. Buka media online, sami mawon. Akhirnya, Kris menambah berita. Dasir kirim foto lagi. Aku tetap buntu, tak ada ide menambah berita kejadian sambil menunggu telepon dari asred. Benar saja, pukul 20.00 WIB, asred kembali menelepon. “Sudah ada berita???” tanyanya was was. “Tunggu sampai jam setengah sembilan bos!!” seruku sambil masih kebingungan mencari tambahan berita lagi. Aku kembali menanyai teman-teman, termasuk Wisnoe yang kebetulan hari itu kebagian jatah libur. Ugie sudah mengirim 3 berita dan dia pun sudah kehabisan bahan berita. Wisnoe tak punya stok berita. Akhirnya Kris menambah lagi satu berita.

Nada dering lagu Indonesia Raya kembali terdengar. Asred lagi-lagi meneleponku. “Punya berita yang ada fotonya gak? Udah aja, tinggal itu. Yang lain udah beres diakalin,” tanya dia lagi. Seperti biasa, aku menjawab normatif, tidak menjanjikan tetapi hanya menjawab akan diusahakan. Lagi-lagi apes. Bahan yang diminta kosong. Dasir sang fotografer menawarkan foto dan aku berencana membuat beritanya. Tapi setelah dipikir-pikir, foto tersebut sepertinya tidak layak untuk ukuran koran yang katanya kelas menengah ke atas. Gagal melayani permintaan asred, Kris aku minta menambah berita dan dia mengamininya. Setengah jam aku masih menunggu telepon dari asred, memastikan apakah halaman sudah beres atau belum. Sepertinya sudah beres. Telepon terakhir dari asred hanya menanyakan alamat salah satu organisasi wartawan di Bandung.

Secara pribadi, aku memang merasa kehilangan semangat liputan beberapa hari ini, sejak kembali ke Bandung dan menempati pos semula, kriminal dan ploating. Selain karena selama seminggu tidak ada kejadian menonjol, gairah kerjaku sedikit menurun. Aku kurang paham penyebab pastinya. Mungkinkah kedatangan seorang pejabat perusahaan di Jakarta ke kantor biro beberapa waktu lalu menjadi salah satu pemicu? Bisa saja. Meski aku tak hadir dalam pertemuan itu, cerita teman-teman tentang isi pembicaraan dengan pejabat tersebut membuatku goyah. Entahlah!! Mundur memang bukan jalan yang baik. Tapi bertahan?? Ah, mudah-mudahan jalan terbaik segera terbuka dan kebahagiaan bisa diraih dengan sempurna.

Read more »

Kamis, 08 Januari 2009

Lima Hari Kriminal Sepi!!

Ini sudah hari kelima aku liputan di Bandung, kembali ke pos kriminal dan ploating. Parahnya, selama lima hari, aku sama sekali belum menemukan berita kriminal yang besar atau sebuah peristiwa besar. Meski sudah keliling ke beberapa lokasi, tak ada satu pun berita kriminal yang didapat. Hari Minggu (4/1) misalnya, aku hanya mendapat informasi seorang maling tewas dihajar massa dari seorang teman liputan di kepolisian. Tentu saja bagi koran tempatku bekerja, maling dihajar massa bukan sebuah peristiwa besar. Walhasil, aku biarkan saja informasi itu menguap. Keesokan harinya juga idem ditto. Pagi-pagi, Arif teman liputanku dari okezone menyampaikan informasi sebuah ledakan gardu listrik di Jalan Jamika. Aku pun meluncur ke lokasi kejadian ditemani seorang anak job. Dasar sial, begitu sampai di lokasi yang disebutkan Arif, ledakan gardu listrik itu tidak ada. Yang ada hanya sikring putus sehingga menimbulkan suara ledakan.

Masih di hari yang sama, Aap wartawan Radar Bandung mendapat informasi ada jenazah korban perampokan dilarikan RS Hasan Sadikin (RSHS) Bandung. Kabarnya, korban merupakan limpahan dari tempat kejadian perkara (TKP) di kawasan Lembang. Dari Jalan Jamika, kami meluncur ke RSHS. Cuaca saat itu betul-betul panas. Dahaga juga menyerang dengan amat sangat. Kami akhirnya sampai ke RSHS sekitar pukul 12.00 WIB. Lagi-lagi sial. Ternyata tidak ada jenazah korban perampokan limpahan dari kawasan Lembang. Perampokan memang terjadi, tapi tidak ada korban luka, apalagi meninggal. Setelah beristirahat sejenak di RSHS, kami melanjutkan perjalanan ke Mapolwiltabes Bandung, Jalan Jawa. Berita belum juga diperoleh dan kami pun duduk di tenda biru, tempat nongkrongnya para wartawan kriminal.

Sore-sore masih di hari yang sama, H Ucup PR memberi saran agar kami beramai-ramai mendatangi Kasat Narkoba dan meminta berita. Gayung bersambut. Kawan-kawan kemudian beramai-ramai mendatangi ruangan Kasat Narkoba Polwiltabes Bandung, AKBP Sukirman. Setelah ngobrol ngalor-ngidul, dua berita tentang penangkapan pengedar narkoba pun diperoleh, meski untuk ukuran koran SINDO, berita itu terbilang kecil. Namun, di sela-sela perbincangan dengan Kasat Narkoba, kami mendapat satu berita tambahan tentang seorang masiswa yang nekat mencuri motor temannya sendiri. Maka, berangkatlah aku ke kantor bersama anak job dengan hati sedikit lega. Setidaknya, hari itu aku masih bisa menyetor dua berita ke Jakarta.

Hari Selasa (6/1) kondisi masih sama. Seharian kami tidak mendapat berita kriminal. Yang kami dapat hanya berita razia helm standar di Jalan Cihampelas. Namun sore harinya, aku mendapat informasi tentang rencana pemeriksaan Bupati Bandung Obar Sobarna dan Bupati Bandung Barat Abubakar oleh Satuan Tindak Pidana Korupsi (Sat Tipikor) Polda Jabar, terkait kasus korupsi dana KONI Kabupaten Bandung. Obar diperiksa sebagai saksi karena dia juga menjabat Ketua KONI Kabupaten Bandung, sementara Abubakar sempat menjadi Sekda Kabupaten Bandung yang berwenang mencairkan dana. Rencana pemeriksaan dua kepala daerah menjadi salah satu andalan berita yang kemungkinan bakal dijadikan headline halaman dalam. Sementara berita razia helm, kemungkinan menjadi berita kecil saja.

Memasuki hari Rabu (7/1), lagi-lagi sepi berita kriminal. Meski begitu, kami diselamatkan oleh ekspos di Polresta Bandung Barat tentang kasus penipuan yang dilakukan seorang kakek berusia 63 tahun. Satu berita lagi aku dapat dari Polda Jabar mengenai masih kurangnya jumlah polsek di Jawa Barat. Dibantu anak job, berita tentang penipuan dibuat cukup panjang. Sementara berita Polda Jabar masih kekurangan Polsek, aku buat pendek. Di luar dugaan, redaksi Jakarta lebih tertarik dengan berita kekurangan polsek di Jabar, dan meminta aku menambah narasumber seorang pengamat hukum. Dua berita selesai dibuat. Tapi aku tetap merasa tidak puas karena belum mendapat berita kriminal yang besar. “Yah, memang kriminal lagi sepi. Kebayang koran Galamedia kalau tidak ada berita kriminal,” celetuk salah seorang wartawan.

Hari ini, aku mendapat tugas mengasuh Gisavo, anakku, karena di rumah tidak ada orang sementara istriku harus bekerja di Cimahi. Adik iparku menawarkan jasa agar Gisavo dibawa ke rumah orangtua suaminya di kawasan Ciumbuleuit. Aku setuju dan berencana menjemput Gisavo begitu hendak berangkat ke kantor. Pukul 16.00 WIB, Gisavo aku jemput. Sebelum ke kantor, aku singgah ke Polwiltabes Bandung. Kali ini aku mendapat 3 berita. Dua dari Polda Jabar tentang penembakan dua dari 6 kawanan perampok, dan rencana penahanan Ali Rohman, Ketua Komisi A DPRD Garut. Setelah berbincang sejenak dengan kawan liputan, aku beranjak ke kantor bersama Gisavo. Hujan gerimis sempat mengguyur. Sesampainya di kantor, Gisavo langsung mendatangi kandang kelinci. Ditemani Epoy si bonsai kecil, dia memberi makan kelinci. Bosan, Gisavo masuk ruang redaksi dan bermain komputer sebelum istriku menjemputnya.

Read more »

Kisah Seekor Tikus Dungu


Hari Selasa (6/1) pagi lalu, aku sudah dihebohkan oleh kejadian aneh di rumah mertuaku. Seekor tikus berukuran cukup besar terjepit di lubang kecil langit-langit WC belakang rumah. Tikus itu tak bisa naik juga tak bisa turun. Setengah badannya menggantung di langit-langit sementara kakinya terus bergerak berusaha melepaskan diri dari lubang. Aku yang saat itu ditemani Ferry, suami adik iparku, sempat kaget namun kemudian tertawa melihat pemandangan itu. Mungkin si tikus tidak sadar diri dengan berat badannya yang bertambah setiap selesai mencuri makanan. Akibatnya fatal. Begitu hendak melarikan diri, lubang yang biasa dijadikan jalan keluar masuk si tikus mendadak sempit. Tikus itu pun tak berdaya karena kebodohannya sendiri. “Dasar tikus bodoh, gak sadar kalau berat badannya naik,” gumamku sambil mengambil kamera dan memotret momen lucu itu.


Ferry kemudian mulai sibuk mencari cara bagaimana melepaskan tikus itu dari jepitan lubang. Bukan karena kasihan, tapi ingin segera melihat tikus itu mati. Selain itu, kalau si tikus dibiarkan terus menggantung di langit-langit juga akan menimbulkan pemandangan yang tidak enak dipandang. “Kalau ekornya langsung ditarik, nanti bisa lepas. Kalau dibiarkan mati lemas juga khawatir kotorannya jatuh,” kata Ferry. Aku tak banyak memberikan usul. Lagipula, bukan Ferry namanya kalau kehabisan akal. Benar saja. Setelah terdiam sejenak, dia mengambil tangga dan seutas tali rafia. Dinaikinya tangga itu, dan dengan menggunakan simpul ikat ala pramuka, dijeratnya badan tikus lalu ia tarik kuat-kuat. Tikus itu sempat berontak, namun tiba-tiba diam tak bergerak. Sepertinya usaha Ferry berhasil. Sang tikus dungu mati lemas karena jeratan tali rafia. Tanpa basa-basi lagi, Ferry langsung menariknya dari lubang dengan sukses. Aku kebagian tugas membawa bangkai tikus dan membuangnya keluar rumah.

Keberadaan tikus di rumah mertuaku memang cukup mengganggu. Sudah berhari-hari lamanya, banyak makanan yang tiba-tiba hilang tak berbekas. Usaha untuk menangkap binatang yang kerap dijadikan lambang korupsi itu pun sia-sia. Tikus itu selalu saja berhasil lolos. Namun, Tuhan rupanya memberikan jalan lain. Tanpa perlu bersusah payah, si tikus mati karena kedunguannya sendiri. Entah dari pukul berapa tikus itu terjepit di lubang langit-langit WC, yang jelas istriku pertama kali melihatnya sekitar pukul 05.30 WIB. “Pak ada tikus di WC, tapi aneh. Setengah badannya menggantung di langit-langit!!” teriaknya berusaha membangunkanku. Awalnya aku tak menggubrisnya. Saat itu mata betul-betul tak bisa dibuka setelah sebelumnya menjalankan tugas piket di kantor. Gagal membangunkanku, istriku kemudian mengabarkan kejadian itu pada Ferry yang juga sudah bangun. Penasaran, aku akhirnya bangun dan benar-benar menyaksikan kedunguan seekor tikus. Yaah, kejadian itu seharusnya menjadi pelajaran bagi para tikus agar sadar diri dengan berat badannya. Sebaiknya, sehabis sukses mencuri makanan di dapur, para tikus menimbang berat badannya sendiri. Kalau berat badannya bertambah, jangan pulang melalui jalan yang sama.

Read more »