“Mang, kereta anjlok di Cibatu!! Buru ditungguan ku urang di ruang humas!!" Indra Trans TV tiba-tiba meneleponku kemarin malam sekitar pukul 20.00 WIB. Kontan saja, aku dan Kemal Tribun Jabar yang tengah melaju menuju Bandung dengan menaiki dua motor berhenti di sekitar kawasan rumah makan Pujasega. "Urang balik deui Mal. Kereta anjlok!!" ajakku. Kemal setuju. Kami berdua langsung membalikkan arah motor kembali menuju ruang humas di Jalan Pahlawan. Semua rencana yang sejak sore dibicarakan dengan kemal buyar. Tadinya, aku berencana pergi ke kantor menemui dua teman karib, Epoy si bonsai kecil dan Mas Eko sang fotografer sebelum memberi kejutan kepada istriku. Kami berencana membicarakan banyak hal, termasuk soal kantor. Sementara Kemal, bermaksud mengambil motornya yang mogok di bengkel kawasan Nagreg. Dengan agak terburu-buru karena khawatir ditinggalkan teman lainnya, kami memacu motor ke ruang humas. Rasa lapar karena belum menyantap nasi setelah seharian puasa tak dihiraukan.
Tiba di ruang humas, Indra sudah menunggu di depan. Ia terlihat sibuk memijit keypad handphone. "Kela mang, urang neangan lokasi pastina heula. Terus berangkat naik mobil," kata Indra. Di ruang humas, Mang Anang Priangan dan Inul Galamedia terlihat masih berkutat di depan komputer. Keduanya memutuskan tidak ikut ke lokasi karena ada keperluan lain. Kemal mulai kasak-kusuk berusaha menelepon Kepala Humas PT KA Daop 2 Bandung Mateta Rizalulhaq. Sempat nyambung namun kembali terputus karena sinyal yang buruk. Aku kemudian mengabarkan kejadian tersebut ke redaktur di Jakarta. Rupanya, berita kereta api anjlok itu diprioritaskan untuk halaman luar sehingga beritanya bakal ditunggu. Selang beberapa menit kemudian, aku menghubungi Epoy. Selain membatalkan rencana ke Bandung, saat itu aku meminta Epoy mencoba menghubungi Mateta. "Iya Kang, nanti aku hubungi," kata Epoy. Aku terdiam sejenak. Tiba-tiba, HP-ku berbunyi. Sebuah SMS dari bapak mampir. "Cep bapak sareng mamah ke Pandeglang. Ema pupus (meninggal) tadi jam 4 sore," begitu isi SMS tersebut. "Innalillahi wa innallilahi Rojiun," ucapku. Mang Anang yang mendengar ucapan itu langsung bertanya. "Kunaon Gin?" tanya Mang Anang. "Nini urang maot," jawabku lirih. Mendengar jawabanku, Mang Anang lantas mengucapkan doa yang sama. Saat itu, Pikiran jadi kalut. Aku bahkan tak sempat menelepon bapak untuk menyampaikan maaf karena tak bisa datang ke Pandeglang. Otakku masih memikirkan kereta anjlok. Selang beberapa menit kemudian, Abah Janur Antv dan Deni Indosiar datang. Mang Anang meminta kami menunggu Pak Cecep PR yang siap bergabung ke ruang humas dan ikut berangkat ke lokasi. "Hayu mang, lokasina di Cibatu-Cipeundeuy," ajak Indra. Setelah menunggu beberapa saat, Pak Cecep akhirnya datang. SMS dari bapak tak kuhiraukan lagi. Aku, Kemal, Deni, dan Pak Cecep ikut mobil Indra. Sementara Abah Janur menunggu Boi TPI yang juga hendak berangkat ke lokasi kejadian dengan menaiki mobil.
Seperti biasa, Indra melajukan mobil sedannya dengan kencang layaknya seorang pembalap formula 1. Saat itu, waktu sudah menunjukkan pukul 20.30 WIB. Lantaran informasi awal kejadian anjloknya kereta di kawasan Cibatu, tujuan kami saat itu tentu saja Kecamatan Cibatu tepatnya Polsek Cibatu. Melintasi malam-malam jahanam dengan kecepatan tinggi, kami akhirnya tiba di Mapolsek Cibatu. Pak Cecep dan Deni turun dari mobil menanyakan lokasi pasti kereta anjlok kepada petugas polsek yang sedang berada di depan. Petugas itu kemudian menyebutkan lokasi anjloknya kereta api di Kecamatan Malangbong, bukan di Cibatu. Setelah Pak Cecep dan Deni masuk mobil, Indra kembali memacu kendaraannya menuju Malangbong. Kami melintasi jalan sempit berbatu. Dalam perjalanan, Kabag Humas Dikdik Hendrajaya mengirimkan pesan. Isi pesan: Kembali kereta api mutiara selatan anjlok di Kampung
Cibangkrong, Desa Mekarmulya, Kecamatan Malangbong pukul 19.30 WIB. Sekian lama melintasi jalan sempit, mobil Kapolres Garut AKBP Rusdi Hartono tiba-tiba terlihat berada di belakang mobil kami. Indra lantas melambatkan mobil, memberi kesempatan mobil kapolres menyusul dan beralih ke depan. Ternyata, di belakang mobil kapolres, mobil Carry milik Boi menempel ketat. Di dalamnya terdapat gerombolan siberat masing-masing Abah Janur, Ahmad TVRI, Tasdik Elshinta, dan tentu saja Boi. Hanya saja, yang mengemudikan mobil bukan Boi, tapi seorang sopir.
Tiga kendaraan akhirnya melaju beriringan di Jalan Raya Malangbong. Mobil kapolres berada di depan, disusul mobil Boi. Mobil Indra berada di urutan terakhir. Di sebuah tikungan, Indra berhasil menyalip Carry milik Boi. Namun, mobil kapolres terhalang sebuah truk. Karena ingin menempel mobil kapolres, Indra pun mencoba menyalip truk tersebut. Tak urung, Deni sempat tercekat karena kaget melihat gaya Indra menyalip truk. Posisi pun beralih. Kini mobil Indra berada di belakang mobil kapolres sementara rombongan Boi tertinggal di belakang. Sebelum sampai di lokasi, kapolres sempat mendatangi Stasiun Cipeundeuy karena belum tahu lokasi pasti anjloknya kereta. Dipandu dua orang yang menaiki motor, kami tiba di sebuah Pesantren Annur dan memarkirkan mobil. Lokasi anjloknya kereta ternyata masih jauh dari tempat parkir mobil. Kami akhirnya berjalan naik turun bukit sepanjang sekitar 3 Km. Kedua mataku sempat berkunang-kunang karena tak kuat menahan lelah akibat perut kosong. Hanya diterangi cahaya lampu senter, kami berjalan tergopoh-gopoh. Sekitar 20 menit, kami tiba di lokasi kejadian. Di sana para teknisi dari PT Kereta Api terlihat sibuk membetulkan roda kereta api yang anjlok dengan menggunakan dongkrak hidrolik.
Hujan gerimis sempat mewarnai proses pembetulan roda kereta api yang anjlok. Aku dan Kemal sibuk mencari data. Karena tak mungkin mengirim berita lewat internet, aku memutuskan menyampaikan data via telepon. Redaktur meminta aku mengirim foto. Melihat waktu yang tidak mencukupi, aku menolak permintaan tersebut. Aku pun hanya berkonsetrasi mencari data selengkap-lengkapnya. Pukul 22.30 WIB, roda kereta api berhasil dibetulkan dan kami kembali berjalan menuju lokasi parkir mobil. Rasa lelah betul-betul menggulungku saat itu. Di dalam mobil, aku menghela napas panjang. Lapar sudah tak terasa namun dahaga menyergap. Ah, perjuangan malam itu memang cukup berat. Di tengah perjalanan menuju kawasan Garut Kota, kami memutuskan berhenti di sebuah warung. Aku menengguk sebotol Mizone. Teman-teman melakukan hal yang sama. Setelah cukup beristirahat, kami melanjutkan perjalanan. Malam semakin larut. Hujan deras tiba-tiba mengguyur. Sepertinya di luar mobil, langit betul-betul susut beku. Lantunan lagu "Tinggal Kenangan" Gabby terdengar dari tape mobil Indra.
Pukul 23.45 WIB, kami tiba di ruang humas. Aku sempat menelepon redaktur meminta petunjuk mengirim foto. Ternyata jam deadline sudah tutup sehingga foto tak bisa lagi dikirim. Tak terasa perut lagi-lagi mulai keroncongan. Dua piring gorengan menemani malam-malam kami menunggu waktu sahur di ruang humas. "Mal, sahur di mana? Maenya jeung cuankie deui?" tanyaku. Kemal yang sudah terlihat lelah hanya tersenyum. "Urang sare heula ah. Hudangkeun jam 3 pas sahur," kata Kemal sambil merebahkan tubuhnya di sofa ruang humas. Larut malam begini, aku sudah tak bisa tidur. Ingatanku melayang pada sebuah perbincangan dengan seorang teman di Bandung via YM kemarin sore mengenai kondisi kantor dan SMS dari bapak yang mengabarkan nenek meninggal. Hmmm, memang sudah saatnya aku menanyakan kembali kontrak kerja yang tak jelas. Terima kasih kawan, tunggu saja langkahku selanjutnya!!
"Terima kasih kawan, tunggu saja langkahku selanjutnya!!"
aku tunggu langkah selanjutnya, kang. kalo ntar2 aku ngilang bukan karena aku ga peduli ya. Aku lagi cape aja..
SALUTE!!!!
sumpah gila abis, antara masa depan yang dipertanyakan, nenek yang wafat,dan tugas kantor, si amang masih milih kerja....
hmmm, keajaiban apalagi yang datang ke dirimu, kawan........
Buat Epoy, langkahku pasti lebih baik dari saat ini. Tks Nas, semoga kita masih diberi semangat yang sama dalam menjalankan tugas....