Rabu, 17 September 2008

Berburu Masjid Saat Ramadan



Ada tugas baru dari asisten redaktur (asred) selama bulan Ramadan ini. Aku wajib mencari masjid unik atau memiliki sejarah khusus di wilayah liputan. Selama itu pula, dari awal Ramadan, selain mendapat instruksi langsung dari asred, aku berburu masjid-masjid di wilayah Kabupaten Garut. Sesekali aku mengajak Inul, teman wartawan dari Galamedia, berdiskusi mengenai masjid yang layak diliput dan diekspos di media tempatku bekerja. Beberapa masjid memang sudah masuk list perburuan. Di antaranya Masjid Syekh Jafar Shidik di Kecamatan Cibiuk, Masjid Cipari di Kecamatan Pangatikan, Masjid Harun Arrasyid di Kecamatan Cikajang, dan Masjid Agung Garut. Dari seluruh list masjid yang rencananya aku buru, baru dua yang berhasil diliput. Satu masjid yaitu Masjid Cikajang bahkan diliput tidak sengaja pada Jumat (12/9) lalu, saat aku bersama sejumlah wartawan bermaksud pergi ke Gunung Papandayan untuk melihat aktivitas penambangan belerang liar.

Informasi mengenai suasana di kawasan Gunung Papandayan yang mencekam menyusul penangkapan para penambang liar rupanya membawaku sampai ke Masjid Harun Arrasyid di Kampung Giriwaras, Desa Cibodas, Kecamatan Cikajang, Jumat (12/9) lalu. Saat itu, aku, Dedi Radar Garut, Abah Antv, Ibu Niknik (SCTV), Boi TPI, dan Kemal Tribun Jabar, mengalihkan liputan dari Gunung Papandayan menuju Kecamatan Cikajang, karena informasi mengenai perlawanan warga di Gunung Papandayan Kecamatan Cisurupan, meleset. Kami bersama-sama menaiki mobil sedan milik Dedi. “Mendingan urang teruskeun ka Masjid Cikajang. Kagok udah sampai sini,” kata Dedi, begitu sampai di Polsek Cisurupan. Kami pun menyetujuinya. Selain sudah urunan bensin Rp10 ribu perorang (aku terpaksa pinjam dulu dari Kemal uang urunan), jarak dari Kecamatan Cisurupan menuju Cikajang sudah dekat. Akhirnya, selang 30 menit dari Polsek Cisurupan, kami tiba di Masjid Harun Arrasyid yang cukup megah.

Seperti biasa setiap kali liputan ke wilayah baru, kami selalu menyempatkan diri berfoto. Setelah itu, baru mengambil beberapa foto masjid dari berbagai sudut untuk menuntaskan tugas liputan. Selang beberapa menit kemudian, rombongan wartawan lain menyusul menaiki mobil Kijang Kabag Humas Dikdik Hendrajaya. Mereka masing-masing Irwan Kuir RRI, Indra Trans TV, dan Aep Priangan. Kami pun bergabung dan bersama-sama menelisik seluruh sudut masjid. “Wah, sejuk sekali ya di sini,” kata Irwan. “Saya mah hayang ngaletakan kubah kecil yang jadi gerbang masjid,” kata Aep sambil menunjuk kubah-kubah kecil di pintu gerbang masjid yang berwarna-warni mirip sebuah permen. “Gin, foto urang euy!” teriak Kemal. Kami akhirnya larut dalam kesibukan masing-masing dan mencoba menyamankan diri di masjid tersebut. Data-data sama sekali belum diperoleh sementara waktu terus mengalir hingga menunjukkan pukul 14.30 WIB. Beruntung, belum sempat kami berangkat mencari narasumber, sebuah mobil melintas di komplek masjid, dan mendatangi kami. Seorang lelaki setengah baya turun dari mobil dan menanyai kami. Akhirnya, Abah Janur memulai pembicaraan. Ia menjelaskan maksud kedatangan kami ke masjid tersebut yaitu untuk melakukan liputan.

“Kami datang mau meliput kegiatan di masjid ini pak,” kata Abah. Lelaki yang belakangan diketahui bernama Uban Subarna, pemilik masjid, tampak enggan memberi keterangan. “Saya tidak mau masjid ini diekspose. Selain belum selesai, saya juga takut disangka riya (sombong),” kata Uban. Namun, bukan Abah namanya kalau gagal membujuk narasumber. Sambil sedikit membual, Abah menjelaskan kalau peliputan ini ini akan membuat masjid semakin banyak didatangi orang yang akan beribadah. Uban luluh. Ia akhirnya mau diwawancarai wartawan, meski keterangan yang disampaikannya sangat minim. Aku dan Dedi sempat tersenyum saat dia menceritakan proses pembangunan mesjid dan biaya yang dikeluarkan. Pasalnya, penjelasan Uban bertolak belakang dengan alasan penolakannya memberi keterangan karena khawatir disebut riya. “Total biaya yang dikeluarkan mencapai Rp14 miliar,” kata Uban enteng. “Saya juga sengaja membuat jalur kendaraan berbentuk huruf U, sesuai dengan huruf awal nama saya,” katanya lagi.

Areal masjid tersebut memang tergolong luas hingga mencapai 6 hektare. Kapasitas masjid, mampu menampung hingga 500 jamaah. “Awalnya, saya memang ingin membangun sebuah masjid di Kecamatan Cikajang, karena saya asli orang Cikajang. Ide ini sudah tercetus sejak 10 tahun yang lalu, dan pembangunannya baru terlaksana pada 9 September 2007 lalu. Pembangunan mesjid ini murni dana pribadi dan sumbangan-sumbangan masyarakat lain,” terang Uban. Lokasi masjid yang berada di dekat Gunung Cikuray membuat udara di sekitar masjid terasa sejuk. Sebuah kolam ikan yang berada di pinggir masjid menambah sejuknya suasana masjid. Di pinggir Masjid Harun Arrasyid, berdiri sebuah beduk berdiameter 1,8 meter dan kohkol setinggi sekitar 3 meter. Menurut Uban, kohkol tersebut berusia ratusan tahun peninggalan almarhum kakeknya.“Kohkol ini berasal dari pohon nangka warisan almarhum kakek saya. Usia pohon sudah ratusan tahun. Sengaja saya pasang beduk dan kohkol besar ini karena dari dulu saya ingin membangun masjid yang memiliki beduk besar. Sebab, masjid zaman dulu selalu ditandai dengan keberadaan kohkol dan beduk besar. Kan dulu belum ada sound system, jadi pake beduk besar,” katanya.

Meski data yang diperoleh minim karena Uban pamit hendak pergi ke Garut Kota, kami tetap puas. Saat itu, waktu sudah menunjukkan pukul 15.30 WIB. Kami pun memutuskan kembali ke base camp. Sepanjang perjalanan, cerita Uban yang takut disebut riya menjadi topi pembahasan. “Lucu, takut disebut riya, tapi pas ditanya biaya masjid langsung menyebutkan angka Rp14 miliar,” celetuk Dedi sambil mengemudikan mobil sedannya. Di sebuah rumah makan Ciburial, kami berhenti. Tentu saja bukan hendak menyantap makan sore, tapi meliput sebuah area permainan sepeda air di dekat rumah makan tersebut. Indra, Abah, dan Ibu Niknik, sempat mencoba menaiki sepeda air. Sementara aku hanya menyaksikan mereka bermain sambil melihat sekumpulan ikan mas berebut mengambil makanan. “Mal, berita naon nya?” tanyaku. Kemal terdiam. “Ya, penangkapan penambang belerang. Terus feature masjid. Ku urang geus dilisting,” kata Kemal. “Oh iya. Itu aja ya?” jawabku. Puas bermain sambil mencari data seputar arena permainan sepeda air, kami kembali ke kawasan Garut Kota.

Di depan komputer, rasa malas menghantuiku hingga akhirnya aku enggan menuliskan liputan Masjid Harun Arrasyid. Kemal berseru. “Gin, nu masjid dibikin?” tanya dia. Aku menggeleng. “Wah, urang geus ngalisting!” serunya lagi. “Nanti saja mal, buat stok,” kataku lagi. Kemal pun akhirnya sama-sama tidak menulis hasil liputan masjid. Ia sedikit bergumam. “Wah, listing sama berita yang dikirim jadi beda!” selorohnya. Aku tersenyum sambil tetap mengetik.

Read more »

Kamis, 11 September 2008

Kereta Anjlok, Nenek Meninggal, dan Kontrak Kerja



“Mang, kereta anjlok di Cibatu!! Buru ditungguan ku urang di ruang humas!!" Indra Trans TV tiba-tiba meneleponku kemarin malam sekitar pukul 20.00 WIB. Kontan saja, aku dan Kemal Tribun Jabar yang tengah melaju menuju Bandung dengan menaiki dua motor berhenti di sekitar kawasan rumah makan Pujasega. "Urang balik deui Mal. Kereta anjlok!!" ajakku. Kemal setuju. Kami berdua langsung membalikkan arah motor kembali menuju ruang humas di Jalan Pahlawan. Semua rencana yang sejak sore dibicarakan dengan kemal buyar. Tadinya, aku berencana pergi ke kantor menemui dua teman karib, Epoy si bonsai kecil dan Mas Eko sang fotografer sebelum memberi kejutan kepada istriku. Kami berencana membicarakan banyak hal, termasuk soal kantor. Sementara Kemal, bermaksud mengambil motornya yang mogok di bengkel kawasan Nagreg. Dengan agak terburu-buru karena khawatir ditinggalkan teman lainnya, kami memacu motor ke ruang humas. Rasa lapar karena belum menyantap nasi setelah seharian puasa tak dihiraukan.

Tiba di ruang humas, Indra sudah menunggu di depan. Ia terlihat sibuk memijit keypad handphone. "Kela mang, urang neangan lokasi pastina heula. Terus berangkat naik mobil," kata Indra. Di ruang humas, Mang Anang Priangan dan Inul Galamedia terlihat masih berkutat di depan komputer. Keduanya memutuskan tidak ikut ke lokasi karena ada keperluan lain. Kemal mulai kasak-kusuk berusaha menelepon Kepala Humas PT KA Daop 2 Bandung Mateta Rizalulhaq. Sempat nyambung namun kembali terputus karena sinyal yang buruk. Aku kemudian mengabarkan kejadian tersebut ke redaktur di Jakarta. Rupanya, berita kereta api anjlok itu diprioritaskan untuk halaman luar sehingga beritanya bakal ditunggu. Selang beberapa menit kemudian, aku menghubungi Epoy. Selain membatalkan rencana ke Bandung, saat itu aku meminta Epoy mencoba menghubungi Mateta. "Iya Kang, nanti aku hubungi," kata Epoy. Aku terdiam sejenak. Tiba-tiba, HP-ku berbunyi. Sebuah SMS dari bapak mampir. "Cep bapak sareng mamah ke Pandeglang. Ema pupus (meninggal) tadi jam 4 sore," begitu isi SMS tersebut. "Innalillahi wa innallilahi Rojiun," ucapku. Mang Anang yang mendengar ucapan itu langsung bertanya. "Kunaon Gin?" tanya Mang Anang. "Nini urang maot," jawabku lirih. Mendengar jawabanku, Mang Anang lantas mengucapkan doa yang sama. Saat itu, Pikiran jadi kalut. Aku bahkan tak sempat menelepon bapak untuk menyampaikan maaf karena tak bisa datang ke Pandeglang. Otakku masih memikirkan kereta anjlok. Selang beberapa menit kemudian, Abah Janur Antv dan Deni Indosiar datang. Mang Anang meminta kami menunggu Pak Cecep PR yang siap bergabung ke ruang humas dan ikut berangkat ke lokasi. "Hayu mang, lokasina di Cibatu-Cipeundeuy," ajak Indra. Setelah menunggu beberapa saat, Pak Cecep akhirnya datang. SMS dari bapak tak kuhiraukan lagi. Aku, Kemal, Deni, dan Pak Cecep ikut mobil Indra. Sementara Abah Janur menunggu Boi TPI yang juga hendak berangkat ke lokasi kejadian dengan menaiki mobil.

Seperti biasa, Indra melajukan mobil sedannya dengan kencang layaknya seorang pembalap formula 1. Saat itu, waktu sudah menunjukkan pukul 20.30 WIB. Lantaran informasi awal kejadian anjloknya kereta di kawasan Cibatu, tujuan kami saat itu tentu saja Kecamatan Cibatu tepatnya Polsek Cibatu. Melintasi malam-malam jahanam dengan kecepatan tinggi, kami akhirnya tiba di Mapolsek Cibatu. Pak Cecep dan Deni turun dari mobil menanyakan lokasi pasti kereta anjlok kepada petugas polsek yang sedang berada di depan. Petugas itu kemudian menyebutkan lokasi anjloknya kereta api di Kecamatan Malangbong, bukan di Cibatu. Setelah Pak Cecep dan Deni masuk mobil, Indra kembali memacu kendaraannya menuju Malangbong. Kami melintasi jalan sempit berbatu. Dalam perjalanan, Kabag Humas Dikdik Hendrajaya mengirimkan pesan. Isi pesan: Kembali kereta api mutiara selatan anjlok di Kampung
Cibangkrong, Desa Mekarmulya, Kecamatan Malangbong pukul 19.30 WIB. Sekian lama melintasi jalan sempit, mobil Kapolres Garut AKBP Rusdi Hartono tiba-tiba terlihat berada di belakang mobil kami. Indra lantas melambatkan mobil, memberi kesempatan mobil kapolres menyusul dan beralih ke depan. Ternyata, di belakang mobil kapolres, mobil Carry milik Boi menempel ketat. Di dalamnya terdapat gerombolan siberat masing-masing Abah Janur, Ahmad TVRI, Tasdik Elshinta, dan tentu saja Boi. Hanya saja, yang mengemudikan mobil bukan Boi, tapi seorang sopir.

Tiga kendaraan akhirnya melaju beriringan di Jalan Raya Malangbong. Mobil kapolres berada di depan, disusul mobil Boi. Mobil Indra berada di urutan terakhir. Di sebuah tikungan, Indra berhasil menyalip Carry milik Boi. Namun, mobil kapolres terhalang sebuah truk. Karena ingin menempel mobil kapolres, Indra pun mencoba menyalip truk tersebut. Tak urung, Deni sempat tercekat karena kaget melihat gaya Indra menyalip truk. Posisi pun beralih. Kini mobil Indra berada di belakang mobil kapolres sementara rombongan Boi tertinggal di belakang. Sebelum sampai di lokasi, kapolres sempat mendatangi Stasiun Cipeundeuy karena belum tahu lokasi pasti anjloknya kereta. Dipandu dua orang yang menaiki motor, kami tiba di sebuah Pesantren Annur dan memarkirkan mobil. Lokasi anjloknya kereta ternyata masih jauh dari tempat parkir mobil. Kami akhirnya berjalan naik turun bukit sepanjang sekitar 3 Km. Kedua mataku sempat berkunang-kunang karena tak kuat menahan lelah akibat perut kosong. Hanya diterangi cahaya lampu senter, kami berjalan tergopoh-gopoh. Sekitar 20 menit, kami tiba di lokasi kejadian. Di sana para teknisi dari PT Kereta Api terlihat sibuk membetulkan roda kereta api yang anjlok dengan menggunakan dongkrak hidrolik.

Hujan gerimis sempat mewarnai proses pembetulan roda kereta api yang anjlok. Aku dan Kemal sibuk mencari data. Karena tak mungkin mengirim berita lewat internet, aku memutuskan menyampaikan data via telepon. Redaktur meminta aku mengirim foto. Melihat waktu yang tidak mencukupi, aku menolak permintaan tersebut. Aku pun hanya berkonsetrasi mencari data selengkap-lengkapnya. Pukul 22.30 WIB, roda kereta api berhasil dibetulkan dan kami kembali berjalan menuju lokasi parkir mobil. Rasa lelah betul-betul menggulungku saat itu. Di dalam mobil, aku menghela napas panjang. Lapar sudah tak terasa namun dahaga menyergap. Ah, perjuangan malam itu memang cukup berat. Di tengah perjalanan menuju kawasan Garut Kota, kami memutuskan berhenti di sebuah warung. Aku menengguk sebotol Mizone. Teman-teman melakukan hal yang sama. Setelah cukup beristirahat, kami melanjutkan perjalanan. Malam semakin larut. Hujan deras tiba-tiba mengguyur. Sepertinya di luar mobil, langit betul-betul susut beku. Lantunan lagu "Tinggal Kenangan" Gabby terdengar dari tape mobil Indra.

Pukul 23.45 WIB, kami tiba di ruang humas. Aku sempat menelepon redaktur meminta petunjuk mengirim foto. Ternyata jam deadline sudah tutup sehingga foto tak bisa lagi dikirim. Tak terasa perut lagi-lagi mulai keroncongan. Dua piring gorengan menemani malam-malam kami menunggu waktu sahur di ruang humas. "Mal, sahur di mana? Maenya jeung cuankie deui?" tanyaku. Kemal yang sudah terlihat lelah hanya tersenyum. "Urang sare heula ah. Hudangkeun jam 3 pas sahur," kata Kemal sambil merebahkan tubuhnya di sofa ruang humas. Larut malam begini, aku sudah tak bisa tidur. Ingatanku melayang pada sebuah perbincangan dengan seorang teman di Bandung via YM kemarin sore mengenai kondisi kantor dan SMS dari bapak yang mengabarkan nenek meninggal. Hmmm, memang sudah saatnya aku menanyakan kembali kontrak kerja yang tak jelas. Terima kasih kawan, tunggu saja langkahku selanjutnya!!

Read more »

Selasa, 02 September 2008

Sang Ustadz Salah Baca Hamdallah


Warga Garut tentu kenal betul sosok Ir H Muhammad Iqbal Santoso. Selain menjabat sebagai Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Garut, Iqbal juga dikenal sebagai pimpinan Pondok Pesantren Persis Garut. Namanya juga pimpinan pondok pesantren, urusan ayat-ayat suci Al Quran pastinya sudah menjadi makanan sehari-hari sang ustadz. Nah, entah sudah lama tidak bergelut dengan dunia pesantren karena mengurusi pilkada Kabupaten Garut, sang ustadz membuat kesalahan yang menggelikan saat menutup acara pengundian nomor urut pasangan calon di Gedung Kesenian Bale Paminton Dewata Kabupaten Garut, Minggu (31/8) lalu. Ia tiba-tiba salah membaca kalimat hamdallah. “Dengan mengucapkan kalimat hamdallah kita tutup acara ini. Alhamdullilahirahmannirahim,” ucap Iqbal disambut tawa para hadirin. Menyadari kesalahannya, Iqbal pun ikut tertawa. “Eh, naha jadi geumpeur kieu nya,” ujar Iqbal. Ia kemudian mengulang kalimat penutup sambil membaca kalimat hamdallah yang benar. “Alhamdullilahirabil Alamin,” kata Iqbal kali ini disambut tepukan hadirin.

Setelah ditetapkan sebagai calon Bupati/Wakil Bupati Garut pada pilkada Kabupaten Garut Oktober mendatang, 7 pasangan calon memang diharuskan mengambil nomor urut dengan cara diundi. Hasilnya, pasangan KH Aceng Wahdan Bakri -dr Helmi Budiman (PPP dan PKS) mendapat nomor urut pertama, disusul H Rudi Gunawan- Oim Abdurrohim (Golkar dan PDIP) yang mendapat nomor urut dua. Pasangan Aceng Holik Fikri-Diky Candra (perseorangan) mendapatkan nomor urut tiga. Berturut-turut kemudian, pasangan KH Abdul Halim Lc -Ir Nandang Suhendra MSi (perseorangan), Drs H Harliman MSi-H Ali Rohman (Demokrat, PKB, Pelopor dan PBR), Drs H Sali Iskandar-Asep Kurnia Hamdani (perseorangan), H Syamsu Sugeng Djayusman MEng -Hudan Mushafudin SThI (PAN, PBB, PNBK, Patriot, PPDK dan PKPB), mendapat nomor urut 4, 5, 6, dan 7. Acara pengundian nomor urut dihadiri oleh sejumlah unsur Muspida Kabupaten Garut, seluruh anggota KPU Garut, tim kampanye calon, dan tentu saja pasangan calon itu sendiri.

Banyaknya calon pada pilkada Kabupaten Garut ini membuat wartawan kesulitan mewawancarai setiap pasangan usai mendapatkan nomor urut. Padahal, tanggapan mereka pasti macam-macam terkait nomor urut yang diperoleh. Satu pasangan calon yang berhasil diwawancarai adalah Harliman-Ali Rohman. Mereka mengaku senang mendapatkan nomor urut lima. Sebab, menurut mereka, lima itu banyak mengandung makna tertentu. “Lima itu bisa rukun iman. Bisa juga Pancasila. Terus kalau say hello sama wartawan kan jari yang dikembangkan lima. Masak dua jari,” kata Ali diiyakan Harliman. Sementara pasangan lainnya luput dari perhatian wartawan dan tak sempat diwawancarai. Acara pengundian nomor urut sendiri berlangsung singkat. Tak kurang dari satu jam, acara pengundian nomor urut pun usai. Sambil menunggu masa kampanye berlangsung, seluruh pasangan calon dilarang melakukan kegiatan yang berbau kampanye. Sementara mekanisme kampanye pilkada, baru akan dibahas pada 6 Oktober mendatang dan pelaksanaannya pada tanggal 9 hingga 22 Oktober.

“Sepertinya ini rekor pilkada paling banyak calon. Repotnya, nanti pas kampanye dan hari H. Biasanya kantor minta meliput kegiatan seluruh calon,” ucapku diiyakan Kemal. Pemikiran Mang Anang Priangan lain lagi. Sebelum Ramadan tiba, Mang Anang memperkirakan seluruh calon akan mengundang wartawan buka bersama sebagai ajang sosialisasi. “Kalau setiap calon mengundang buka bersama, berarti 7 hari wartawan bisa gratis makan,” celetuk Mang Anang pada suatu hari. Tapi, perkiraan wartawan yang dikenal jahil itu rupanya meleset. Toh, hingga dua hari Ramadan, belum satu pun calon yang mengajak wartawan buka bersama. Mungkin mereka takut kena semprit panitia pengawas (panwas) Pilkada mengingat bulan Ramadan ini merupakan masa tenang. Ah, yang jelas mah, bulan-bulan ke depan tampaknya bakal makin melelahkan. Tugas liputan bertumpuk. Ya, ngisi halaman Ramadan, pilkada, dan tentu saja berita-berita reguler. Tiba-tiba HP-ku berbunyi. Sebuah SMS dari pemegang halaman mampir. “Mang tolong bikin ficer masjid kanggo halaman 1 nya! Paling telat lusa. Mesjid di Cibiuk we nya. Nuhun.”



Read more »

Busyet, Korban Laka Lantas Hilang!

Sebuah elf warna hitam nopol Z 7881 DX Jurusan Leuwipanjang-Cikajang jungkir balik di kawasan Lebak Jero, Kecamatan Kadungora, Kabupaten Garut, kemarin malam sekitar pukul 21.00 WIB. Diduga, sang sopir tidak bisa mengendalikan mobil yang melaju dari arah Bandung menuju Garut tersebut dengan kecepatan tinggi. Kondisi jalan yang menurun disertai belokan tajam, memang membuat kawasan Lebak Jero rawan terjadi kecelakaan. Sebelum jungkir balik, elf tampaknya terlebih dulu menghantam parit dengan keras. Aparat Polsek Kadungora yang mendapat laporan dari warga, langsung bergerak ke lokasi sekitar lima menit setelah kejadian. Mereka menemukan elf masih tergeletak dengan posisi terbalik miring. Kondisi mobil rusak parah. Bagian depan ringsek. Kaca depan dan pinggir pecah berantakan. Bau solar yang tumpah begitu menyengat. Kawasan Lebak Jero yang gelap gulita karena hanya dikelilingi hutan
dan tebing menyulitkan polisi melihat secara jelas kondisi elf dan para korban. dilihat dari kerusakannya yang sangat parah, korban diduga menderita luka berat. Kasak-kusuk, polisi pun berusaha mencari korban. Mereka menerangi setiap sudut bagian dalam elf dengan senter, khawatir ada korban yang terjepit di antara kursi-kursi. Usaha polisi sia-sia. Tak satu pun korban ditemukan. Bahkan sopir maupun kernet elf menghilang tak tahu rimbanya.

"Kalau dilihat dari kondisi mobil yang rusak parah, pasti korban luka parah. Tapi, di mana mereka?" tanya salah seorang aparat kepolisian dari Polsek Kadungora dengan nada heran. Aku dan Kemal Tribun Jabar yang kebetulan berada di lokasi kejadian juga heran. Jarak waktu antara kecelakaan tersebut dengan kedatangan polisi tidak berbeda jauh. "Waaah, ini aneh. Sepertinya mereka dibawa oleh warga ke rumah sakit atau puskesmas terdekat. Tapi cepat sekali," ujar polisi lainnya menduga-duga. Lewat sarana HT dan telepon genggam, polisi pun mencari tahu keberadaan korban, baik di RS dr Slamet Garut, maupun di RS Cicalengka. Hasilnya nihil. Tidak ada satu pun rumah sakit yang menerima korban kecelakaan elf di kawasan Lebak Jero. "Kalau mereka selamat, sakti benar. Kondisi elf betul-betul hancur. Bagian depannya saja tidak berbentuk. Pasti mereka tergencet badan mobil," kata polisi tadi.

Tak urung, keberadaan korban kecelakaan elf tersebut menjadi perbincangan hangat antara polisi dengan warga sekitar, termasuk aku dan Kemal. Setelah gagal mencari tahu keberadaan korban, polisi berinisiatif menghentikan satu per satu elf yang lewat di lokasi kecelakaan. Mereka kemudian menanyakan pemilik elf nahas tersebut ke sopir elf yang kebetulan melintas. "Tahu siapa yang punya elf ini?" tanya salah seorang polisi kepada sopir elf yang kebetulan tengah melajukan kendaraannya di kawasan Lebak Jero. Sang sopir turun dari mobil dan memperhatikan elf tersebut. "Tidak tahu pak. Ini mah beda jurusan!!" ujarnya sambil kembali menaiki elf yang dikemudikannya. Selama hampir satu jam, polisi bertahan di lokasi kejadian untuk mencari tahu keberadaan korban sekaligus menunggu mobil patroli kecelakaan lalu lintas (lakalantas) Polres Garut datang. Sebuah elf kembali dihentikan. Pertanyaan yang sama diajukan kepada sang sopir. Tidak seperti sebelumnya, kali ini pertanyaan tersebut berbuah hasil. Sang sopir rupanya mengetahui siapa pemilik elf nahas tersebut. "Ieu mah nu si Asep pak. Rumahnya di daerah Kadungora. Biasanya juga dipakai oleh sopir tembak, si Ade yang rumahnya di Jalan Cagak. Eta si Ade nu leutik-leutik ditato," kata sopir tersebut. Polisi pun meminta sopir tersebut pergi ke rumah Asep untuk mengabarkan kecelakaan yang menimpa elf kepunyaannya. "Siap pak,
saya langsung ke rumah Asep," jawab sopir itu bersemangat.

Meski pemilik kendaraan sudah diketahui, aku dan Kemal masih penasaran mengenai jumlah korban. Kemal bersikukuh ada korban luka, bahkan kemungkinan meninggal. Tapi, perasaaanku mengatakan lain."Paling yang ada dalam elf sopir sama kernet. Tidak ada penumpangnya," kilahku. Untuk memastikan apakah ada korban dalam kecelakaan tersebut, kami menunggu hasil penyelidikan polisi. Setengah jam berlalu. Polisi masih kebingungan. Akhirnya, aku mengalah dan mengajak Kemal pergi. “Yuk ah mal. Moal aya korban,” ajakku. Semangat Kemal pun luluh. Ia mengikuti ajakanku. Elf masih tergeletak sementara waktu sudah menunjukkan pukul 22.00 WIB.

Tadi siang, Kemal pergi ke Polres Garut. Kabarnya ada ekspose kasus penyelundupan minyak tanah dengan dua tersangka. Iseng-iseng, Kemal mengaku menanyakan kondisi elf yang kemarin malam jungkir balik di Lebak Jero kepada Kabag Ops Polres Garut Kompol Ade Najmulloh. “Wah, saya juga bingung tuh. Sopir sama kernetnya gak ada. Kayaknya kabur,” kata Ade seperti diceritakan Kemal. Menurut Kemal, Ade juga sempat menunjukkan elf yang terguling tersebut. Kondisinya betul-betul rusak parah. Hmmm, berarti, semalam polisi memang gagal mencari korban, bahkan pemilik elf tersebut. Bisa-bisanya ya, korban kecelakaan menghilang tanpa jejak meski kondisi kendaraan yang ditumpanginya rusak berat. “Kita tunggu saja, nanti juga ada yang datang,” kata Ade.

Read more »