Kamis, 24 September 2009

Waspadalah! Jambret Merajalela!

Ketenangan warga Kompleks Margahayu Raya terusik Rabu (23/9) kemarin. Seorang jambret yang menaiki sepeda motor, berhasil menggondol tas milik warga. Ironisnya, aksi itu terjadi di siang bolong, selepas Azan Zuhur atau sekitar pukul 12.30. Warga pun masih banyak yang terlihat beraktivitas di luar rumah. Maklum, saat itu suasana Lebaran masih terasa. Beberapa warga juga terlihat ada yang menerima tamu.

Kejadiannya sendiri berlangsung di sekitar Jalan Jupiter Utama, tidak jauh dari rumah mertua. Seperti biasa, siang itu saya menghabiskan waktu di tengah rumah, menemani Gisavo –sang anak tunggal, menonton tayangan televisi Si Bolang. Mertua laki-laki dan perempuan, duduk di singgasananya masing-masing. Istri saya terlibat adu mulut dengan Gisavo yang lagi-lagi susah makan saat disuapi. Siang itu, Nivo adik ipar, baru beranjak keluar rumah hendak membeli keran dan teh celup.

Baru saja Nivo atau akrab disapa Apo menutup pintu dan hendak menyalakan motor, kami mendengar suara teriakan warga disertai jeritan wanita. Sekilas, kami melihat seorang pemuda mengemudikan motor kencang, melintas di jalan sebelah rumah. Beberapa pemuda dan bapak-bapak terlihat mengejar motor tersebut. Apo pun tiba-tiba menghilang. Dugaan kami, ia ikut mengejar pemuda bersepeda motor itu.

“Maling… maling,” seorang wanita berteriak sambil berlari mengejar laju motor. Tangannya tampak terluka. Baju putihnya kotor. Sambil menangis, ia terus berteriak maling. Belakangan diketahui wanita itu adalah tetangga kami. Ia mengaku dijambret tidak jauh dari rumahnya. Luka di tangan, akibat rebutan tas dengan jambret. Berdasarkan informasi pula, dia sempat terseret sepeda motor yang ditumpangi jambret. Saya sempat berniat ikut mengejar, namun urung karena merasa tak mampu. Lagipula, sudah banyak warga yang berlari mengejar.

Warga pun berkerumun, menolong korban. Dia sempat dibawa ke rumah mertua namun tak lama kemudian minta pulang. Kami harap-harap cemas, menanti para pengejar jambret kembali membawa hasil. Beberapa menit kemudian, pemuda dan bapak-bapak yang mengejar jambret itu kembali dengan wajah lesu. Upaya mengejar jambret gagal total. Dia berhasil lolos melewati jalur pinggir rumah mertua yang tidak diportal.

Tak berapa lama kemudian, Apo muncul. Dia pun mengumpat lantaran gagal mengejar jambret. Jalanan yang tak diportal jadi kambing hitam. “Wah A, gagal yeuh olahraga siang. Padahal Apo geus ngabayangkeun jambret terjebak portal. Ternyata, portalna teu dipasang,” keluh Apo sambil menghela napas panjang. Sepertinya warga di Jalan Jupiter Utama harus betul-betul waspada. Pasalnya, sudah tiga kali kejadian warga jadi korban penjambretan. Barangkali, sepantasnya imbauan bang Napi diingat-ingat. “Waspadalah… Waspadalah…. !!

Read more »

Jumat, 04 September 2009

Abah Salim Orang Baduy

Lelaki tua itu berjalan di trotoar Jalan Diponegoro persis di depan Gedung Sate. Perawakannya tampak tinggi dibalut pakaian serba hitam. Ikat kepala biru khas suku Baduy melilit kepalanya. Ia terlihat menenteng tas anyam dan gembolan kain. Ditemani seorang bocah berusia sekitar 10 tahun, lelaki itu berhenti di depan kerumunan orang, lantas mengeluarkan barang-barang dari gembolan dan tas anyamnya. “Cep, bade gula aren. Asli,” ujarnya kepada seorang warga yang sedang duduk di tembok pagar Gedung Sate. “Sabaraha pa?” tanya pria itu. “Mirah , ngan dalapan rebu rupiah,” jawabnya mantap. Sedikit tawar menawar terjadi. Namun, lantaran harga yang ditawarkan terasa lebih murah ketimbang harga pasar, warga yang duduk di tembok pagar Gedung Sate itu luluh. Ia pun rela merogoh kocek sebesar Rp8.000 demi membeli gula aren tersebut.


Salim . Ya, lelaki tua itu bernama Salim. Ia asli berasal dari suku Baduy. Selain terlihat dari pernak-pernik yang dipakai, keabsahannya sebagai suku Baduy terlihat dari kakinya yang tanpa alas saat berjalan. Usianya sudah 70 tahun tapi masih terlihat sehat. Salim mengaku sengaja datang ke Bandung demi menjual gula aren hasil olahannya di kampung. Ia ditemani Melfri (10), cucunya. Kakek 10 cucu itu mengaku tiba di Bandung pukul 9 malam sebelumnya dengan menaiki kereta api ekonomi, dan menginap di Stasiun Kiara Condong. Pagi-pagi ia sudah menaiki angkutan kota menuju pusat perkotaan, mencoba mengais rezeki dari berjualan gula aren. Rupanya, selain menjual gula aren, Salim juga menjual madu odeng. Satu botol madu odeng, dijual dengan harga Rp70 ribu.

“Abah datangna kamari peuting naek kereta api. Ngahaja datang ti Baduy rek dagang gula,” ujar Salim saat ditanya alasannya mengadu nasib di Kota Bandung. Salim mengaku sudah sering berjualan di kota kembang. Biasanya, ia datang sekali dalam tiga bulan. Namun karena sekarang membutuhkan uang lebih untuk lebaran nanti, Salim pun mengaku hampir setiap hari pergi ke Bandung. “Engke peuting ge Abah balik deui ka Baduy. Nya, dua poe sakali lah ka Bandung,” terang Salim. Sambil berbincang-bincang, Abah tetap menawarkan barang yang dibawanya. Ia mengeluarkan sebotol madu odeng dari tas anyamnya. “Madu odengna bade moal?” tanya Salim. Lantaran harga yang ditawarkan lumayan mahal, tak ada orang yang menyahut. “Moal bah, engke deui we,” jawab saya, mewakili jawaban orang-orang yang mulai tak memedulikannya.

Usai sudah pertemuan itu. Setelah menjual sebongkah gula aren seharga Rp8.000, Salim beranjak sambil membereskan barang dagangannya. Melfri mengikuti langkah kakeknya itu. Tanpa alas kaki, Salim kembali berjalan menyusuri ruas jalan di Kota Bandung. Sebuah perjuangan yang luar biasa dari seorang warga asli suku Baduy.

Read more »