Rabu, 31 Desember 2008

Joni, Tukang Parkir Berdasi


Siang tadi di Jalan Ranggalawe Kabupaten Garut tepatnya di depan sebuah Rumah Makan (RM) Padang, aku melihat seorang tukang parkir yang berpenampilan agak unik. Dibilang unik, karena meski memakai rompi oranye khas tukang parkir, ia tampak rapi. Layaknya seseorang yang baru pulang dari pesta pernikahan, pria itu mengenakan kemeja dan celana katun lengkap dengan dasi serta kopiah. Waah, sepertinya baru kali ini aku melihat tukang parkir berdasi. Makanya, sehabis menyantap makan siang bersama Kabag Humas Dikdik Hendrajaya dan beberapa wartawan lainnya, aku menyempatkan diri berbincang dengan tukang parkir berdasi itu di sela-sela kesibukannya mengatur mobil dan motor yang hendak parkir atau keluar dari rumah makan.

“Saya sudah tiga tahun mengenakan dasi saat bekerja jadi tukang parkir,” kata pria satu anak yang belakangan diketahui bernama Joni Syam, 44. Warga Jalan Gunung Lumbung Kecamatan Garut Kota itu pun menceritakan alasannya menjadi tukang parkir dengan pakaian rapi dan berdasi. “Kalau jadi tukang parkir, saya sudah tujuh tahun,” ujar Joni membuka cerita. Menurut Joni, pada suatu hari tiga tahun lalu, ia bersama istri diundang ke sebuah acara pernikahan. Namanya memenuhi undangan pernikahan, pakaian yang dikenakan juga harus rapi. Maka, berangkatlah Joni dan istri ke acara pernikahan tersebut dengan mengenakan kemeja, celana katun, dan dasi di leher. Rupanya, jiwa tukang parkirnya terus melekat. Sehabis acara pernikahan, tugas mengatur kendaraan yang parkir di RM Padang Jalan Ranggalawe memanggilnya. Tidak langsung ke rumah, Joni pun bergegas berangkat kerja, masih lengkap dengan mengenakan kemeja dan dasi.

“Saya memarkirkan kendaraan masih dengan mengenakan pakaian rapi terus pakai dasi karena baru pulang dari hajatan dan tidak langsung ke rumah. Ternyata, uang yang saya dapat dari parkir saat itu banyak. Makanya, sejak saat itu, setiap bertugas, saya selalu pakai kemeja dan dasi,” kata Joni tanpa mau menyebutkan berapa uang yang dihasilkannya setiap hari sebagai tukang parkir. Bagi Joni, menjadi tukang parkir tidak bisa dinilai dari jumlah penghasilan, melainkan kenyamanan bekerja. Meski rata-rata uang yang diperolehnya setiap hari relatif kecil, Joni mengaku tetap akan mempertahankan pekerjaannya itu. “Saya bekerja sambil beramal. Jangan dihitung dari uangnya, tapi dari kenyamanan bekerja. Selama ini, saya merasa nyaman bekerja menjadi tukang parkir,” tandas Joni. Saat ini, Joni mengaku memiliki 40 dasi yang dia pakai bergantian setiap tugas. Seluruh dasi itu ia peroleh dari pemberian orang. “Buat apa saya beli dasi. Mendingan buat beli beras,” Joni tersenyum.

Sebelum menjadi tukang parkir, Joni mengaku sempat kerja kantoran, mula dari menjadi tenaga honorer di Pemkab Garut, mengelola KUD, sampai mengerjakan sebuah proyek besar. Selain itu, dia juga mengaku mahir menggunakan komputer dan cukup paham berbahasa Inggris. Lantas, kenapa Joni tidak mau kerja kantoran lagi? “Sudah cukup saya kerja kantoran. Mending jadi tukang parkir. Tak terikat waktu. Bebas datang kapan saja,” ujar Joni. Ungkapan Joni mungkin benar. Dari pekerjaan sebagai tukang parkir, dia berhasil membiayai keluarganya hingga menyekolahkan anak. Sekarang, anaknya sudah besar dan menimba ilmu di salah satu SMP di Garut. “Saat menjadi tukang parkir, saya juga banyak belajar menghargai orang, dan tidak dihargai orang. Ada orang yang sama sekali tidak mau bayar meski sudah saya parkirin kendaraannya. Ada juga orang yang betul-betul menghargai pekerjaan saya, dan memberi upah layak,” kata Joni. Dia lantas berlari mengejar sebuah mobil yang hendak keluar dari halaman rumah makan. Ah, tukang parkir saja bisa berpakaian rapi. Kalau wartawan????

Read more »

Selasa, 30 Desember 2008

Hmmmm... Kembali ke Pos Awal

Usai sudah pengembaraanku di Kabupaten Garut. Dalam sebuah rapat redaksi, Sabtu (28/12) malam lalu, Kantor Biro SINDO Jabar melalui Kepala Redaksi (Kepred) Yogi Pasha memutuskan menarik aku kembali ke Bandung, menempati pos awal, kepolisian dan ploating. Selain aku, biro juga menarik Rudini, wartawan yang selama ini bertugas di Kabupaten Sumedang, untuk memperkuat liputan di Bandung Raya. Dia ditempatkan di rubrik khusus. Risikonya, wilayah Sumedang dikosongkan. Berita-berita besar di wilayah tersebut, akan di-back up langsung dari Bandung. Tak hanya aku dan Rudini yang kena rolling. Beberapa wartawan juga harus menjalani hari-harinya di pos baru. Si Arab Raka Zaipul misalnya. Ia “ditendang” ke Kabupaten Bandung menggantikan posisi Iwa Ahmad Sugriwa setelah lama berkutat di rubrik khusus. Sementara Iwa, ditarik ke Bandung menempati pos politik dan pemilu mendampingi Radi Saputro yang ditarik dari pos Gedung Sate /DPRD Jabar.

Krisiandi atau akrab disapa Kris, naik tingkat dari pos liputan di Pemkot Bandung ke Gedung Sate/DPRD Jabar menggantikan posisi Radi. Posisi Kris kemudian diisi Wisnu “si anak pantai”. Arif Budianto yang sebelumnya menempati pos pendidikan beralih tugas ke lifestyle. Pos pendidikan diisi Evi “bonsai kecil” Panjaitan setelah berkutat cukup lama di desk ekonomi. Di pos itu, Evi duet dengan Rohmat. Dede Ibin “terlempar” ke Kabupaten Garut menggantikan posisiku. Putu Nova, menempati posisi barunya di desk ekonomi. Jebolan SINDO Bali itu sebelumnya menggarap rubrik politik dan pemilu. Beberapa wartawan lain masih menempati pos lama. Eko dan Dasir tetap bertugas sebagai fotografer, tidak dirolling jadi wartawan. Si hideung Ugie menempati pos kejaksaan dan pengadilan. Tugasnya lebih ringan karena ia melepas pos kepolisian dan ploating. Adi Haryanto bertahan di Kabupaten Bandung Barat meski juga harus merambah wilayah Cimahi. M Taufik selamanya bersama olahraga dan Persib Bandung. Irvan juga tetap berada di desk ekonomi. Untuk daerah, tak ada perubahan berarti, kecuali Kabupaten Garut dan Sumedang.

Rapat rolling sendiri dimulai sekitar pukul 22.30 WIB dan dihadiri beberapa wartawan yang bertugas di daerah, kecuali Tantan (Cirebon), Tomi (Indramayu), Annas (Subang), Ricky (Cianjur), dan Toni (Sukabumi). Selebihnya, hadir memeriahkan suasana rapat. Sebelum rolling diumumkan, Kepala Biro Mr Dennis memberikan pengarahan, meski tampaknya tidak terlalu ditanggapi serius oleh para wartawan (karena pikirannya sudah tertuju ke rolling). Namun, usai Dennis memberi pengarahan, beberapa wartawan mengajukan pertanyaan. Taufik (Majalengka) yang paling semangat, setelah sebelumnya Rudini angkat bicara. Asep Supiandi (Purwakarta) ikut menanggapi, selain Adi Haryanto (Bandung Barat). Sisanya senyum-senyum sendiri, sibuk dengan pikiran masing-masing, menanti pengumuman rolling. Entah haus atau tegang, belum sampai pada pengumuman rolling, dua botol minuman sudah ludes dikeroyok.

Pengumuman rolling tiba. Suasana berubah, persis seperti menunggu saat-saat pengumuman eliminasi Indonesian Idol. Ada sedikit ketegangan di sana. Berbagai komentar kemudian muncul dari mulut para wartawan, terutama yang bertugas di daerah, saat teman-temannya berpindah tugas atau tetap bertahan. Reaksi teman-teman yang kena rolling juga beragam. Ada yang tersenyum, ada yang mesem-mesem, cemberut, bahkan ada pula yang melamun. Iwa dan Wisnu tampaknya lebih banyak melamun. Entah apa
yang ada di pikirannya. Kalau Iwa, mungkin merasa berat meninggalkan Kabupaten Bandung karena sejak awal di SINDO, ia jarang kena rolling meski sempat menempati pos Pemkot Bandung.

“Wah mang! Gimana G2W?” celetuk Nanang sesaat setelah Yogi mengumumkan kepindahanku dari Kabupaten Garut ke kepolisian dan ploating. Maklum, selama bertugas di Kabupaten Garut, aku kerap menjadikan LSM tersebut sebagai sumber berita. Hampir setiap hari, nama Sekjen Garut Governance Watch (G2W) Garut Agus Sugandhi mengisi halaman wilayah Priangan Timur. Celetukan Nanang diamini Ujang Ciamis, sementara yang lainnya tertawa. Yang paling ramai saat Dede Ibin diumumkan pindah ke Kabupaten Garut. Hampir semua wartawan, terutama di daerah tertawa. Pasalnya, Ibin tadinya hendak dikembalikan ke pos sebelumnya, Kabupaten Tasikmalaya, mengingat keluarganya berada di sana. Tentu saja saat mengetahui dia akhirnya dipindah ke Garut, beberapa wartawan yang mengetahui sejarah Ibin tertawa. Ujang yang paling keras tertawa, disusul Nanang. Sayangnya, Dede Ibin tidak hadir dalam rapat tersebut karena sakit.

Rudini tidak banyak berkomentar saat Yogi mengumumkan kepindahannya ke Bandung, meninggalkan Kabupaten Sumedang. Justru komentar keluar dari mulut Ugie. “Waah mang, jadi punya anak teh!!!” seru Ugie. Rudini tersenyum. Jebolan FISIP Unpad itu memang baru saja menikah dengan wartawan detikbandung pada 9 November lalu. Nah, pertanyaan selanjutnya, siapa yang bertugas di Sumedang kalau ada kejadian besar??? Siapa yang ditugaskan ke IPDN kalau kampus itu kembali bermasalah? Ternyata seperti yang sudah dibayangkan sebelumnya. “Nya wartawan ploating yang harus tugas ke sana!!” kata beberapa wartawan sambil tertawa. Rapat rolling ditutup Minggu (29/12) sekitar pukul 01.30 WIB. Aku dan Nanang pergi sejenak, menikmati malam jahanam di Bandung. Sementara wartawan yang lain, berembuk membicarakan pos baru mereka. Bagiku, tak ada yang berbeda. Pos kepolisian dan ploating memang sudah aku tempati sebelumnya saat baru bergabung dengan SINDO. Pos baru semangat baru!! Hanya saja, sekarang aku mungkin harus bekerja lebih keras lagi. Menciptakan suasana baru, kenyamanan baru, dan mungkin kehidupan yang lebih baru.

Read more »

Senin, 29 Desember 2008

Sore di Sebuah Plaza

ANDRI duduk di kafe sebuah plaza petang itu. Sendiri menunggu seseorang. Masih sepi hingga lama-lama puluhan orang mulai ramai berdatangan. Sebatang garam filter di tangannya sudah sampai pada gambar jalan dan rumah-rumah berjajar, logo rokok itu. Dimatikan rokok itu, lalu ia ambil yang baru.
"Sudah rokok ke sembilan," ucapnya dalam hati. Segelas kopi entah merek apa, tersudut di siku-siku dinding, menunggu diminum. Andri mulai mengalihkan pandangannya pada keramaian di depannya. Dua gadis melirik, masih dengan seragam SMA.

Sejenak ia ingat hari-hari silamnya yang masih dijalani sampai sekarang. Dijuluki si biang ribut, ia kerap berpindah-pindah sekolah dengan serunya. Tak naik satu kali, pindah swasta, dipecat, pindah lagi, begitu seterusnya. Ayahnya pusing. Bukan berarti ibunya tidak. Andri jarang melihat ibunya. Mereka tak tinggal serumah, cerai. Andri pun mencoba tidak menyalahkan siapa-siapa. Mencoba menghadapi sendiri. Terlalu berat. Sampai datang seorang teman menawarkan sebungkus pil warna-warni.
Pfffff..... Itu asap yang kesekian kali keluar dari mulut hitamnya. Semakin berat saja. Segerombolan anak SMA lagi-lagi melintas. Semuanya laki-laki. Samar ia melihat sesuatu tersembul di balik pakaian mereka. Lalu di seberang eskalalator, terlihat segerombolan anak SMA lainnya. Dua gerombolan itu saling pandang. Andri mencium gelagat tak beres. Hanya sekejap ia mendengar teriakan-teriakan tak berarti. Satu terkapar bersimbah darah. Benda tersembul tadi telah bicara pada lambungnya.
Refleks, Andri pun meraba pinggangnya. Ada goresan memanjang sampai dada. Ia meringis. Melihat anak itu terkapar bagai melihat dirinya. Santer bau amis, aspal panas, kerumunan, dan gelap gulita. Lalu kamar serba putih dan tangisan ibunya. Semua terjadi begitu saja dan tak disadari.
Dua gerombolan anak SMA itu sudah pergi. Korban dilarikan ke rumah sakit. Kopi disudut yang sedari tadi tak disentuh mulai diseruputnya. Bukan panas, tapi hemat. Soalnya, ia sedang menunggu dan tak mau buru-buru pulang. Keramaian baru pun terbentuk lagi. Malam merangkak perlahan. Lima menit berlalu tatapannya terarah pada seorang gadis berkaos putih plus rompi hitam. Dua kakinya dibalut jeans belel. Rambut gadis itu tergerai sebahu. Andri berkedip. Lalu terlihat seorang Anes.
"Ndri, kalau kamu mabuk, jangan ke sini, Anes takut!!
Ditembak seperti itu, Andri hanya bisa mengangguk pelan. Di mata Andri, gadis itu begitu pengertian, walau egonya begitu besar. Anes sendiri termakan pengertiannya hingga mereka putus. Lama-lama Anes pergi melihat mantan kekasihnya tak banyak bicara. Andri kembali sendiri.
"Permisi....," seorang gadis mengenakan rok mini meminggirkan kursinya beberapa senti, memberi ruang. Si gadis duduk, roknya terangkat sedikit.
"Milk shake satu," teriaknya sambil mengeluarkan sebungkus Marlboro light. Sejenak melirik Andri.
"Hmmm, punya korek?" Tiingg, Andri mengeluarkan zippo.
"Makasih. Sendiri aja? Lagi nunggu orang ya?" tanya si rok mini.
Front telah dibuka. Andri menatap lekat si rok mini. Mengangguk, mengisap rokok lagi, menyeruput kopi, dan kembali sibuk dengan lamunannya. Si rok mini salah tingkah.
"Pesen apalagi mbak?" pelayan mengangsurkan pesanan.
"Udah, ini aja." Hening sejenak.
"Kamu pendiam, atau bisu?!"
Kali ini Andri melihat ke bawah. Yang dilihat tenang-tenang saja, tak berusaha menutupi. Tersenyum nakal.
"Ngga juga," ujar Andri.
"Syukur kalau gitu. Saya Mimi... Kamu?"
Melihat pancingannya mengena, Andri tersenyum. Shinta! Ya dia ingat Shinta! Sejak kejadian dulu Shinta merasa dikucilkan. Merasa kotor, dan (bukan lelucon) sibuk mendengarkan program-program pemerintah tentang kesehatan bayi. Sementara si calon ayah mungkin sedang sibuk dugem di diskotik-diskotik lain, mencari Shinta Shinta yang lain. Andri geram. Namun bagaimana pun, Shinta juga adiknya. Sekotor apa pun dia. Kembali Andri tak bisa menyalahkan siapa-siapa.
"Heh, ditanya kok bengong. Pake senyum-senyum sendiri lagi!" si rok mini membuyarkan lamunan.
"Hmm, Andri...."
Diam lagi. Si rok mini kemudian seperti memikirkan kata-kata selanjutnya. Andri termenung lagi.
"Pintu teater 1 telah dibuka...... " Terdengar sayup-sayup pemberitahuan di salah satu teater. Seperti diingatkan, Andri mengedarkan pandangannya, mencari. Pukul 19.15 WIB. Ke mana dia??
"Hmmm Andri," si rok mini angkat bicara.
"Maaf kalo Mimi ngeganggu acara nunggunya Andri. Tapi Mimi lagi butuh temen ngobrol nih," dia berhenti sejenak, menunggu reaksi Andri.
"Iya?" sahut Andri.
"Ya gitu deh. Andri mau kan nemenin Mimi ngobrol?" suara si rok mini terdengar maksa dan begitu akrab.
"Lagian ngapain bengong, mending ngobrol sambil nunggu temen Andri, oke!!"
Teman? Begitu asing kata itu di telinga Andri. Kapan terakhir dia punya teman? Kemarin? Seminggu lalu? Sebulan? Setahun? Ah lebih lama. Yah, pada waktu pertandingan basket antar-SMA dulu. Timnya sudah unggul 10 angka. Tiba-tiba terjadi ketidaksengajaan berbuntut keributan. Vonis jatuh pada Andri. Yang pasti timnya didiskualifikasi. Sejak itulah, Andri merasa tak pernah lagi punya teman, karena selalu disudutkan.
"Tuh kan bengong lagi??"
"Hehehehe, sorry...."
Sebetulnya tak ada sedikit pun keinginan Andri buat berbincang-bincang saat itu. Suasana hatinya tak menentu. Ia sedang menunggu teman untuk menuntaskan masalah tempo hari. Seperti biasa menawarkan beberapa barang. Dan Andri selalu menganut paham, "Ada uang, ada barang". Hanya kemarin, "ada uangnya" sedikit terlambat. Temannya tak senang, hingga hari ini ia berniat menyelesaikannya.
"Andri! Lagi-lagi kamu begong. Kalau kamu bengong lagi, Mimi pergi nih!" si rok mini mengancam.
"Sorry mbak. Garam filter sebungkus!!"
"Kamu anak SMA berapa Ndri?"
"Widya Gama."
"Kelas?"
"Dua...."
Andri merasa tidak enak dengan kegigihan si rok mini.
"Kalo kamu?"
"Mmmmm, SMA? Ah ngga usah disebut. Takut ngetop."
Andri tersenyum.
"Andri belum punya pacar ya? Kok malam minggu begini kerjanya keluyuran, bukannya apel. Kalau Mimi baru kemarin putus. Gara-gara dia punya cewek baru. Sebel!!" akhirnya Mimi berani bercerita. Andri terdiam. Matanya gelisah.
"Emang setiap cowok apa gitu ya? Kalau Andri gimana? Ndri? Kamu ngeliatin apa sih?!!!

Tanpa bicara lagi Andri berdiri. Yang ditunggunya sudah datang. Dua matanya berkilat. Perasaannya mengatakan sesuatu tak wajar begitu melihat gerombolan teman-temannya. Ah, mengapa begitu ramai? Satu.. dua... tiga...tujuh orang! Sejenak, ia meraba pinggangnya. Ada perasaan sejuk. All Star hitam diseretnya mendekati gerombolan tadi. Teriakan si rok mini tak dihiraukan.
"Nah, ini dia. Ke mana aja lo? Gue nyari ke mana-mana, eh malah di sini enak-enak ngopi. Bareng cewek lagi. Sial lo!!!"
Permulaan yang buruk.
"Sorry Din, gue dah nungguin lo dari tadi. Kan kita janjian....."
Pertanyaan yang lekat, mereka begitu dekat. Tercium bau minuman keras.
"Buruan, gue lagi butuh duit nih!!!!"
"Gini aja Din, gue kagak bisa bayar sekarang semua. Gimana kalo setengahnya dulu? Sisanya ntar gue lunasin......"
"Apaan lo.... Belum bisa bayar sekarang juga???" main potong saja si Udin.
Sementara Udin ngotot, teman-temannya satu persatu mengelilingi Andri. "Ah kacau," pikir Andri. Mereka kelihatan tidak wajar. Matanya merah.
"Gimana nih Din," kaos red hot nimbrung.
"Ah payah!!!!" si anting sebelah tak mau kalah.
Udin satu-satunya yang Andri kenal di antara mereka, mencekal lengannya dengan keras.
"Kalo lo kagak bisa bayar sekarang, gue ngga bisa nanggung tindakan temen-temen gue!!!!" ancam Udin.
Andri tersinggung. Cepat ia melepaskan cekalan. Suasana memanas. Mereka jadi perhatian orang sekitar.
"Emang lo mau ngapain???? Kalo ada duit, ngapain gue tunda-tunda???? Gue janji minggu depan gue bayar!!!!!" teriak Andri sewot.
"Ah, banyak omong lo!!!!" si kriting maju dan mendorong Andri, pelan.
"Heh!!!! Apa-apaan lo???? Maen dorong segala!!!!" naluri tawuran Andri pecah. Dorongan tadi ia anggap sebuah pertanda. Andri mendorong lebih kuat lagi.
Entah siapa yang memulai, sebuah pukulan mendarat mulus di pipinya. Seharusnya Andri sadar dan mengalah. Tapi keadaan menjepitnya dan ia terbiasa menghadapi hal ini dengan caranya sendiri. Si kaos red hot jadi sasaran pertama. Dibalas, pukul lagi. Beberapa pukulan membuatnya pusing.
Walau mabuk, Udin cs tetap tujuh orang, dan Andri sendirian. Tapi dia tak mau tahu itu. Bergerak terus, lupa keadaan sekitar, lupa posisi, lupa tujuan, lupa bekas luka di pinggangnya. Semua terjadi begitu cepat sampai sebuah benda di tangan si kriting membuatnya berhenti, terpaku.
Udin cs pergi. Andri duduk, menunduk, menoleh ke perutnya. Ah, ada bercak merah.
"Ya Tuhan, terjadi lagi," batin Andri.
Kerumunan itu, bau amis, rasa panas, semua terjadi lagi. Bedanya, tak ada lagi tangis ibunya. Dan sekarang yang terlihat bukan putih. Tapi hitam dan gelap……

Buat Bambang "Ibenk" Triadi

Read more »

Rabu, 24 Desember 2008

Sidang Terbuka Kok Dibatasi?!

Biasanya, dalam sebuah sidang terbuka, wartawan bebas mengambil gambar atau foto suasana sidang, termasuk terdakwa. Namun di Pengadilan Negeri (PN) Garut, kondisinya berbeda. Entah memang merupakan aturan baru di PN Garut atau sudah lama diterapkan, Selasa (23/12) lalu, sebuah pengumuman terpasang di salah satu tembok PN Garut. Isinya berupa larangan bagi para wartawan mengambil foto atau gambar, kecuali sudah mendapat izin dari majelis hakim. Hal tersebut tentu saja membuat para wartawan bingung. Sejak kapan aturan ini dipasang? Kenapa harus izin dulu ke majelis hakim? Toh sidangnya juga terbuka. Berbagai spekulasi terkait larangan tersebut kemudian berkembang. Ada wartawan yang bilang, larangan itu muncul karena kebetulan hari itu merupakan sidang pembacaan vonis bagi 7 terdakwa kasus korupsi dana bencana alam (DBA) yang salah satunya adalah Ketua DPD Partai Golkar Garut, HE Ruhiyat Prawira. Sebab dalam beberapa kali sidang kasus korupsi DBA, wartawan selalu kesulitan mengambil foto karena dihalang-halangi oleh massa pendukung Ruhiyat. Namun ada juga wartawan yang bilang, pengumuman itu dipasang oleh penyusup atau pendukung HE Ruhiyat yang tidak mau kasus tersebut di-blow up media.

Memang, dalam sidang pembacaan vonis kasus DBA, massa pendukung terdakwa yang rata-rata pengurus Partai Golkar itu membeludak. Mereka datang untuk menyatakan simpati kepada para terdakwa meski tampaknya tak begitu mempengaruhi keputusan majelis hakim. Walhasil, pihak PN Garut pun terpaksa menyiapkan kursi cadangan tepat di depan pintu masuk, karena kursi di dalam ruangan tidak cukup. Sidang dimulai sekitar pukul 11.00 WIB. Namun, aku dan beberapa teman lainnya terlambat datang karena terlebih dulu meliput di Dinas Perhubungan (Dishub) Garut untuk menanyakan penurunan tariff angkutan kota. Selain itu berbagai pertimbangan sempat mengemuka sebelum memutuskan meliput sidang tersebut setelah mendapat kabar banyaknya massa yang hadir di persidangan. Beberapa hari sebelum sidang vonis digelar, sejumlah wartawan sempat mendapat ancaman dari pendukung salah satu terdakwa agar pemberitaan mengenai kasus itu tidak terlalu dibesar-besarkan. Mereka juga keberatan jika nama HE Ruhiyat dikaitkan dengan jabatannya sebagai Ketua Partai Golkar Garut dalam setiap pemberitaan kasus korupsi DBA.

HE Ruhiyat sempat marah besar ketika dalam pemberitaan kasus korupsi DBA, media menyebut jabatannya sebagai Ketua Partai Golkar Garut. Dulu, saat kasus ini baru dilimpahkan ke Kejati Jabar, dua wartawan dari dua media berbeda yang bertugas di Garut, yaitu Raden (SINDO) dan Kemal (Tribun Jabar) sempat kena semprot karena menuliskan jabatan HE Ruhiyat dalam pemberitaan. Padahal, yang menulis berita itu bukan mereka melainkan wartawan yang bertugas di Kejati Jabar Bandung. Sejak saat itu, wartawan kerap berhati-hati dalam menuliskan kasus korupsi DBA, termasuk aku yang menggantikan posisi Raden di Garut. Toh, tetap saja, jabatan Ketua Partai Golkar melekat di tubuh HE Ruhiyat. “Yang penting semua koran menyebut namanya sebagai Ketua Partai Golkar. Jadi kalau kena semprot semuanya.” kata salah seorang wartawan.

Saat meliput vonis kasus korupsi DBA, perasaan was was muncul melihat banyaknya massa. Salah seorang wartawan yang hedak mengambil foto HE Ruhiyat tiba-tiba dihalang-halangi oleh massa hingga dia urung mengeluarkan kamera. Aku jadi kesulitan mencari ruang kosong untuk mengambil beberapa foto, apalagi wartawan televisi hingga akhirnya, gagal mengambil foto HE Ruhiyat yang mendapat giliran pertama mendengarkan vonis hakim. Pada kesempatan kedua, aku berhasil mengambil foto terdakwa Ricky Agustian yang juga anak HE Ruhiyat meski dilakukan sembunyi-sembuyi. Sementara lima terdakwa lainnya aku lewatkan karena posisinya tidak begitu menonjol dan kebetulan batere kamera habis. Seluruh terdakwa divonis 4 tahun penjara atau lebih ringan satu tahun dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Pengacara banding, JPU pikir-pikir. HE Ruhiyat menangis, Ricky nyaris pingsan usai mendengarkan vonis. Aku juga nyaris pingsan kelaparan karena dari pagi belum makan.

Karena suara hakim saat membacakan putusan tidak terdengar jelas, kami memutuskan menanyakannya kepada salah seorang JPU, Neneng Rahmawati. Aku cukup mengagumi karakternya sebagai JPU karena pertanyaan yang diajukan lugas dan tepat sasaran. Ia kemudian menjelaskan materi vonis. Namun, untuk jumlah uang denda dan ganti rugi, mereka juga tidak mengetahui secara persis. Saat tengah asyik mewawancarai JPU, penasihat terdakwa, Djohan Djauhari menghampiri kami. Ia lantas meminta kami untuk tidak menyebutkan jabatan HE Ruhiyat sebagai Ketua Partai Golkar Garut. Menurut Djohan, kasus ini tidak terkait ada kaitannya dengan partai. “Saya harap teman-teman wartawan mengerti dengan tidak mencantumkan jabatan HE Ruhiyat sebagai Ketua Golkar,” ujarnya. JPU tersenyum, kami terdiam. “Kalau harapan kan tidak perlu dikabulkan ya pak?” celetuk seorang wartawan. “Ya harus,” ujar Djohan lagi. Akhirnya, kami menulis berita itu dengan beberapa catatan. Persoalan jabatan Ketua Golkar nantinya muncul di pemberitaan, seluruhnya menjadi hak redaksi. Toh tugas kami menulis berita sudah terpenuhi sesuai target yang dibebankan masing-masing redaksi.

Read more »

Minggu, 21 Desember 2008

Bibir Jontor Gara-gara Sepakbola

Kasihan Gisavo, anakku. Gara-gara mengikuti ekstra kurikuler (ekskul) sepakbola di TK Al Muhajir Sabtu (20/12) lalu, ia terjatuh dan terluka mulai dari ujung hidung hingga bibir bagian atas. Aku sempat panik melihat kondisi lukanya. Hidungnya berdarah. Bibirnya juga jadi jontor dan sempat kesulitan mengunyah makanan. Tapi, melihat dia tenang-tenang saja dan tetap tertawa, aku sedikit lega. Gisavo lantas menceritakan kejadian yang menimpanya. “Bapak, tadi Gisa jatuh abis balap lari sama Zaki. Tapi gak nangis kok. Laki-laki kan gak boleh nangis ya pak?” katanya.Aku mengangguk sambil tersenyum. “Larinya kalah menang?” tanyaku. “Kalah pak, kan jatuh,” ujar Gisavo lagi. Kami berjalan menjauhi sekolah menuju rumah.

Anakku memang memilih ekskul sepak bola dan menyanyi di sekolah. Dalam satu minggu, ia berlatih menyanyi pada hari Senin, dan sepakbola pada hari Sabtu. Aku tidak tahu dari mana awalnya ia sangat menyukai sepak bola. Namun sejak lahir, kedua kakinya memang tak pernah berhenti bergerak. Selain itu, saat usianya barui baru satu tahun, Gisavo juga sangat senang mengoleksi bola. Berbagai jenis bola mulai dari yang kecil sampai besar, menumpuk di rumah. Saking banyaknya, sebagian aku hibahkan pada sepupu yang kebetulan mempunyai anak seusia Gisavo. Hampir setiap pagi, aku juga menyempatkan diri membawanya ke lapangan, baik saat berada di rumah orangtua maupun rumah mertua.

“Pak, Gisavo jatuh. Hidungnya berdarah!” seru istriku, Sabtu (20/12) pagi. Rupanya, ia mendapatkan kabar itu lewat telepon dari sesama orangtua murid di TK Al Muhajir. Aku langsung berangkat dan mematikan rokok. Istriku menyusul kemudian. Begitu sampai di sekolah, beberapa anak tampak sedang berlatih sepakbola. Mereka melakukan pemanasan dengan adu kecepatan lari. “Hmm, mungkin Gisavo jatuh saat adu kecepatan lari,” pikirku. Namanya anak-anak, saat berlari cepat, keseimbangan badannya tentu belum kuat benar sehingga wajar kalau terjatuh. Gisavo memang tidak ada dalam kelompok anak-anak yang sedang bermain bola. Aku pun mulai mencarinya dengan bertanya kepada ibu-ibu yang berkumpul di depan kelas.

“Iya, tadi Gisavo jatuh, terus hidungnya dan bibirnya berdarah. Tapi hebat, dia gak nangis. Sekarang dibawa ibu guru jalan-jalan sama anak-anak kelas B,” kata salah seorang orangtua siswa yang anaknya sekelas dengan Gisavo, menjawab pertanyaanku. Syukurlah. Aku pikir Gisavo terluka parah. Kalau masih bisa diajak jalan-jalan dan tidak menangis, berarti lukanya tidak terlalu serius. Tapi, rasa khawatir tetap saja ada hingga aku tetap menunggu Gisavo di sekolah. Limabelas menit berlalu, Gisavo masih belum tampak. Akhirnya, karena yakin dia tidak menderita luka serius, aku kembali ke rumah, menghabiskan sisa rokok yang ditinggal di asbak. Saat itu, waktu masih menunjukkan pukul 09.30 WIB. Berarti masih ada 30 menit lagi waktu santai sebelum menjemput kembali Gisavo ke sekolah.

Pukul 10.05 WIB, aku kembali ke sekolah. Gisavo bersama teman-temannya sudah ada di kelas. Lewat kaca jendela, aku melihat dengan seksama wajah Gisavo karena penasaran dengan luka yang dideritanya. Ya ampun, ternyata bibirnya masih berdarah. Di antara hidung dan mulut juga tampak luka yang sedikit menganga. Sementara ujung hidungnya terlihat baret-baret. Mungkin karena luka, bibir atasnya jadi bengkak. Iih, kok bibir anakku jadi jontor ya. Melihat aku berada di jendela, Gisavo tersenyum. Ia seperti tak sabar ingin segera pulang dan menceritakan pengalamannya terjatuh saat berlatih sepakbola. Benar saja, begitu bel sekolah berbunyi, Gisavo langsung berlari memburuku. Dengan semangat 45, ia kemudian menceritakan seluruh kejadian yang menimpanya saat berlatih sepakbola. Ah, meski bibirnya jontor, anakku ternyata masih tetap lucu. “Pak, gendong ya,” pinta Gisavo. Aku tersenyum dan meraihnya.

Read more »

Kamis, 18 Desember 2008

Demi Jabatan, Asda Rela Jadi Supir Kasi


Lebih tinggi mana jabatan sekretaris daerah (sekda) dan asisten sekda (asda) dengan kepala seksi (kasi)? Jawabannya tentu sudah bisa ditebak, jabatan sekda dan asda yang lebih lebih tinggi dari kasi. Di lingkungan pemerintahan, sekda termasuk golongan eselon II dan asda eselon II b. Sementara kasi termasuk golongan eselon IV. Dari segi gaji pun jelas lebih tinggi sekda dan asda ketimbang kasi. Nah, kedua jabatan itu boleh saja lebih tinggi dari kasi. Tapi di Kabupaten Garut seorang kasi ternyata bisa memerintah asda bahkan sekda. Ini benar-benar nyata dan lagi-lagi terkait dengan kasus dugaan korupsi dana makan minum (mamin) yang saat ini sudah masuk persidangan. Seperti diketahui, kasus tersebut menyeret mantan Sekda Garut Achmad Muttaqien, mantan Asda III Garut Kuparman, mantan Kasi Perbendaharaan Badan Pengelolaan Keuangan Daerah (BPKD) Erlan Rivan, dan mantan Kabid Belanja BPKD Yaya Zakaria.

Dalam persidangan kasus korupsi dana mamin yang digelar tadi siang di ruang utama Pengadilan Negeri (PN) Garut, Kamis (18/12), masing-masing terdakwa menjadi saksi satu sama lain atau biasa disebut saksi mahkota. Muttaqien dan Kuparman menjadi saksi bagi Erlan serta Yaya, demikian pula sebaliknya. Muttaqien mendapat giliran pertama memberikan kesaksian dengan terdakwa Erlan dan Yaya. Mantan orang ketiga di Pemkab Garut itu dicecar sejumlah pertanyaan baik oleh jaksa penuntut umum maupun majelis hakim. Ia pun mengaku memang telah menandatangani surat perintah mencairkan (SPM) dana mamin yang tidak lengkap alias bodong dari BPKD. Padahal dari segi aturan pun, pengajuan SPM dana mamin dari BPKD jelas-jelas salah. “BPKD memang seharusnya tidak boleh mengajukan SPM dana mamin. Yang seharusnya mengajukan adalah bagian umum,” ujar Muttaqien dalam kesaksiannya.

Ujung-ujungnya Muttaqien menangis. Air matanya tiba-tiba meleleh saat JPU menanyakan alasan dia menandatangani SPM bodong tersebut padahal Muttaqien hapal betul tindakannya itu melanggar aturan dan berbenturan dengan hukum. “Saya di bawah tekanan. Waktu itu posisi saya dilematis. Kalau saya tidak menandatangani SPM, Bupati Garut saat itu (Agus Supriadi) marah besar dan mengancam menggeser posisi saya. Selain takut sama bupati, saya juga takut sama Pak Anton Heryanto yang saat itu menjadi orang kepercayaan bupati,” ujar Muttaqien tersendat. Kedua matanya berlinang. Pada saat itu Anton Heryanto memang menjabat sebagai Kasi Anggaran BPKD Garut. Meski badannya kecil dan jabatannya kasi, ia termasuk orang paling berpengaruh di Kabupaten Garut, setelah bupati. Tak heran, Muttaqien betul-betul tunduk kepada perintah Anton yang selalu membawa-bawa nama bupati. “Perintah Pak Anton sama dengan perintah bupati. Jadi saya tidak bisa membantahnya,” aku Muttaqien lagi.

Menurut Muttaqien, Anton dikenal memiliki pergaulan luas, dekat dengan LSM, wartawan, aparat penegak hukum, dan preman. Pernah suatu hari, dirinya mengaku didatangi lima preman lengkap dengan golok di tangan karena belum juga menandatangani SPM. “Saya jelas takut pak,” tegas Muttaqien kepada JPU yang menanyainya. “Masa sekda takut sama preman?” tanya JPU lagi. Muttaqien tidak menjawab. Ia kembali terdiam, seolah menyesali seluruh perbuatannya semasa menjabat menjadi sekda. Pernyataan Muttaqien soal ketakutannya terhadap bupati, Anton, dan para preman sempat mendapat cemooh dari pengunjung yang memenuhi ruang persidangan. Meski rata-rata mereka sudah tahu kondisi Kabupaten Garut saat dipimpin Agus Supriadi, banyak pula yang geleng-geleng kepala karena kaget. Sungguh aneh. Sebuah jabatan ternyata sama sekali tak berpengaruh. Bupati lebih memilih kasi sebagai orang kepercayaannya dan menabrak struktur yang seharusnya dijalankan. “Saya tidak tahu kenapa Pak Anton yang menjadi orang kepercayaan bupati,” ujar Muttaqien.

Kesaksian yang tak kalah mencengangkan diungkapkan mantan Asda III Kuparman. Sama dengan Muttaqien, Kuparman yang sempat menggantikan posisi Muttaqien dalam menandatangani SPM mengaku takut terhadap bupati dan Anton Heryanto. Meski jabatannya lebih tinggi, Kuparman bahkan rela menjadi supir Anton saat berangkat ke Bandung untuk menggelar pertemuan dan dugem. “Ini bukan persoalan jabatan. Tapi saat itu Pak Anton memang sangat berpengaruh. Lagipula saya bisa nyetir mobil. Jadi saya yang mengantar Pak Anton ke Bandung,” kata Kuparman menjawab pertanyaan JPU. Kuparman juga mengaku tak berani melawan perintah bupati dan Anton karena takut jabatannnya digeser. “Saya tidak berani melawan karena nanti dianggap tidak bekerja dengan baik dan dikeluarkan,” kata pria yang usianya lebih tua dari Anton tersebut. JPU sempat bertanya pada Kuparman siapa yang bertanggung jawab terhadap kerugian negara akibat korupsi dana mamin tersebut. Dengan tegas Kuparman mengatakan pembuat SPM. “Tapi kan bapak menandatangani SPM itu, berarti bapak juga bertanggung jawab?” tanya JPU lagi. Kuparman terdiam sambil mengangguk-angguk. Barangkali seperti itulah gambaran kondisi pemerintahan di Kabupaten Garut saat Agus Supriadi menjabat sebagai bupati. Bahkan, demi mempertahankan jabatan, seorang asda rela menjadi supir kasi.

Read more »

Rabu, 17 Desember 2008

Kisah Si Aris, Sang Pemula


Tadi siang, Rabu (17/12), Polres Garut menggelar ekspos kasus pencurian kendaraan bermotor (curanmor). Sebanyak 20 tersangka yang masing-masing terdiri dari 14 pelaku dan 6 penadah pun digiring ke halaman Mapolres Garut. Mereka diminta berdiri berjajar tepat di depan 30 unit sepeda motor curian yang berhasil diamankan petugas. Kawan-kawan wartawan televisi kemudian berburu mengambil gambar para tersangka. Aku yang datang belakangan tak ketinggalan mengeluarkan kamera digital dan memotret para tersangka. Mereka mengenakan pakaian tahanan Polres Garut berwarna oranye. Sekilas, penampilan para tersangka betul-betul mirip pasukan sepakbola Belanda yang memiliki seragam kebanggaan berwarna oranye.

Dari sekian banyak tersangka yang diamankan polisi, Aris menjadi salah satu yang diwawancarai para wartawan. Usianya masih terbilang muda, baru 22 tahun. Entah dusta atau memang benar adanya, kepada wartawan Aris mengaku baru satu kali melakukan aksi curanmor. Dengan terbata-bata (bukan tersemen-semen) warga Desa Maroko Kecamatan Singajaya ini pun menceritakan alasannya mencuri motor. “Saya baru sekali mencuri sepeda motor, tapi keburu ketahuan. Saya benar-benar terpaksa karena tidak punya pekerjaan, sementara kebutuhan hidup dari ke hari makin berat,” aku Aris. Lantaran baru sekali menggasak motor orang, Aris pun mengaku membutuhkan waktu sekitar setengah jam untuk menggunakan kunci letter T yang biasa dipakai membobol dudukan kunci kontak. Sementara teman-temannya yang sudah mahir, hanya membutuhkan waktu sekitar 1 menit. Ck ck ck, gila! Maling profesional hanya butuh waktu satu menit buat melancarkan aksinya.

"Saya memang belum mahir benar, makanya meski menggunakan kunci leter T saat operasi, saya masih butuh waktu setengah jam sebelum berhasil membawa kabur motor yang jadi sasaran,” ujar Aris sambil tertunduk. Menyesalkah Aris? Tentu saja. Seperti para pelaku kejahatan lainnya, setiap tertangkap polisi mereka pasti mengaku menyesal. “Saya hanya pasrah saja dan kapok,” sesal Aris. Tapi kalau dilihat dari perilakunya saat disorot kamera, penyesalan Aris seperti dibuat-buat ya. Hampir seluruh tersangka termasuk Aris, malah cengar-cengir saat disuruh berbaris di halaman Mapolres Garut. Mereka juga terlihat tidak menunjukkan wajah penyesalan saat digiring kembali masuk ke tahanan Mapolres Garut.

Sepulang dari Polres Garut, Tasdik cerita sama Indra Trans TV. Katanya, saat meliput ekspos kasus curanmor, dia memeriksa beberapa sepeda motor. Siapa tahu ada motor Mio milik istrinya Indra yang sempat hilang setahun silam. “Tapi ga ada mang. Padahal saya nyari motor ente. Siapa tahu ada,” ujar Tasdik disambut senyuman Indra. Selain Indra, Inul Galamedia juga sempat merasakan ganasnya pelaku curanmor di Garut. Padahal, pria yang aslinya bernama Zainul itu terkenal paling apik. Ia tidak pernah lupa memasang kunci ganda di sepeda motornya. Menurut pengakuan Dedi Radar Garut, saat kawan-kawan sudah memulai liputan, Inul malah sibuk dengan sepeda motornya. “Musibah mah teu pilih-pilih,” sambar Kang Slamet KBR 68 H. “Meski dikunci rapat dengan kunci ganda, kalau sudah waktunya hilang, ya hilang,” ujarnya lagi.

Kasus curanmor di Kabupaten Garut memang terbilang tinggi akhir-akhir ini. Dalam kurun waktu 3 bulan dari September hingga November, tercatat 62 kasus curanmor. Aksi curanmor tertinggi terjadi pada bulan September yaitu sebanyak 30 kasus. Kasatreskrim Polres Garut AKP Oon Suhendar kemudian mengingatkan warga agar benar-benar menyayangi sepeda motor milik mereka. “Sekarang, beli sepeda motor juga bisa dengan uang Rp1 juta. Belum ada asuransi. Makanya, rasa memiliki warga terhadap sepeda motor kurang,” kata Oon. Siap Ndan!! Meski musibah bisa saja menimpa siapa pun, buat jaga-jaga ya sayangilah barang milik kita.

Read more »

Senin, 15 Desember 2008

Hujan di Leuweung Tiis

Siapa tak kenal kawasan Leuweung Tiis Kabupaten Garut? Jalan penuh tanjakan dan turunan dengan panjang sekitar 1 Km di Kecamatan Leles tersebut memang wajib dilalui pengemudi kendaraan roda dua dan empat saat hendak menuju Kabupaten Garut atau sebaliknya. Memang ada jalan alternatif melalui kawasan Limbangan, tapi jaraknya jadi cukup jauh dan memutar. Walhasil, bagi pengemudi yang ingin cepat sampai ke Kabupaten Garut, mau tidak mau harus melalui jalur tersebut. Nah, disebut Leuweung Tiis, karena sepanjang jalan, pengemudi kendaraan hanya bisa melihat hamparan hutan lebat tanpa rumah penduduk. Selain itu, cuaca di sana juga dikenal dingin. Jadi nama Leuweung Tiis memang diambil dari fakta yang terasa saat berada di sana yaitu hutan (leuweung) yang dingin (tiis) dan tanpa penghuni atau dalam bahasa sunda tiiseun.

Melintasi kawasan Leuweung Tiis dengan menaiki motor memang sudah menjadi santapan rutinku dalam tujuh bulan terakhir ini, sejak aku pindah tugas dari Kota Bandung ke Kabupaten Garut. Tidak jarang dalam seminggu aku setiap hari melintasi Leuweung Tiis baik siang maupun malam. Semua tergantung mood. Kalau malam memang ingin ke Bandung, aku pasti berangkat. Begitu juga sebaliknya. Dari sekian banyak waktu melintasi kawasan Leuweung Tiis, satu hal yang paling kubenci adalah hujan. Ya, kehujanan di Leuweung Tiis memang repot. Apalagi kalau malam hari. Soalnya, di sana tidak ada satu pun tempat berteduh. Untuk berhenti sejenak dan mengenakan jas hujan juga sulit karena kondisi sekitar yang gelap tanpa lampu penerangan. Ketimbang berhenti di pinggir jalan yang dipenuhi hutan, mendingan jalan terus menembus hujan, meski lebat sekali pun.

Terakhir kehujanan di kawasan Leuweung Tiis saat aku pulang ke Bandung Jumat (12/12) sekitar pukul 20.00 WIB. Tepat di ruas jalan tersebut, hujan lebat tiba-tiba turun. Parahnya lagi, saat itu aku tidak membawa jas hujan. Mau berhenti, tak ada tempat berteduh. Akhirnya, aku meneruskan perjalanan meski harus ditimpa hujan deras. Kondisi ban depan yang gundul membuatku terpaksa menjalankan motor dengan perlahan sehingga hujan terasa sangat lama sebelum akhirnya aku menemukan tempat berteduh. Buntutnya memang fatal. Setibanya di Bandung, dua hari aku terserang flu cukup berat hingga tak bisa pergi ke mana-mana. "Gara-gara kehujanan di Leuweung Tiis, jadi flu. Jangan pernah kehujanan di Leuweung Tiis," ujarku pada seorang teman via YM. "Jangan pernah kehujanan di mana pun," timpalnya.

"Dulu tahun 1960 sampai 1970-an, di kawasan Leuweung Tiis ada legenda jawara yang terkenal dengan sebutan Andi jago tutugan. Wallahualam benar tidaknya," kata Kang Sony, warga Garut yang hampir setiap hari berada di ruang humas. "Legenda itu terkenal di radio-radio lokal di Garut," ujar Kang Sony lagi. Menurut Kang Sony, Leuweung Tiis memang termasuk kawasan yang angker. Dulu, kata Kang Sony, sangat banyak kecelakaan yang terjadi di kawasan tersebut. "Wah, dulu mah banyak bus yang masuk jurang. Jadi, di Leuweung Tiis juga cukup banyak penghuni alam gaib," cerita Kang Sony. Memang, kontur jalan di kawasan Leuweung Tiis, selain menanjak dan menurun juga berliku-liku. Pengemudi kendaraan yang tak hapal betul medan, harus ekstra hati-hati menjalankan kendaraannya.

Kang Sony melanjutkan ceritanya. Menurut dia, tahun 1960-an kawasan Leuweung Tiis sempat hendak dijadikan tempat peristirahatan tapi batal. "Kalau di Bandung seperti Dago Tea House," ujarnya. Dulu, kata dia, tahun 1960-an ada pengusaha terkaya di Kabupaten Garut bernama Ii Hartaji. Pengusaha itulah yang hendak membangun kawasan Leuweung Tiis. "Sok aja lihat di sana, banyak bekas vila kan?" kata Kang Sony. "Sekarang bekas vila itu sudah diisi oleh penghuni alam gaib. Hahaha," ujar tambah Kang Sony. Cerita Kang Sony soal penghuni gaib di kawasan Leuweung Tiis mungkin benar. Kalau tengah malam melintasi jalan tersebut, sepinya memang minta ampun. Kadang-kadang suka merinding juga setiap melihat kiri kanan jalan yang hanya dipenuhi hutan. Hmmm, ternyata masih untung juga cuma kehujanan di Leuweung Tiis. Bayangkan kalau tengah malam melintas di di sana dan tiba-tiba ban motor pecah atau kehabisan bensin? Ah, jangan sampai deh..........

Read more »

Kamis, 11 Desember 2008

Pelajaran di Balik Kasus Mamin

Ketua Majelis Hakim I Nyoman Adi Juliansah tampaknya memang pandai melontarkan pertanyaan kepada saksi maupun terdakwa kasus dugaan korupsi dana makan minum (mamin) APBD Kabupaten Garut sebesar Rp4,5 miliar. Tadi siang, dalam sidang lanjutan kasus korupsi yang melibatkan empat mantan pejabat di Pemkab Garut tersebut, ia bertanya kepada saksi Anton Heryanto, mantan Kasi Anggaran pada Badan Pengelolaan Keuangan Daerah (BPKD) Garut yang mengaku bersahabat dengan salah satu terdakwa, Erlan Rivan (mantan Kasi Perbendaharaan BPKD). Pertanyaannya sangat sederhana. Nyoman yang juga menjabat sebagai Ketua Pengadilan Negeri (PN) Garut itu bertanya kenapa Anton tidak pernah mengingatkan tindakan Erlan menggelapkan uang negara, dalam hal ini anggaran mamin. Sementara tindakan Erlan tersebut, kata Nyoman, terkait dengan permintaan Anton atas nama Bupati Garut saat itu, Agus Supriadi.

“Saudara saksi berkawan dekat dengan terdakwa Erlan Rivan. Saudara saksi juga yang meminta terdakwa mencairkan uang untuk kepentingan Bupati Garut Agus Supriadi. Tapi saudara saksi tidak pernah bertanya dari mana Erlan mendapatkan uang. Apakah saudara saksi merasa ikut andil menjerumuskan kawan hingga menjadi terdakwa?” tanya Nyoman kepada Anton. Tak ada jawaban dari mulut Anton yang menurut para wartawan di Garut memiliki pengaruh kuat di kalangan pejabat ini. Ia sempat terdiam sebelum Nyoman mengulangi pertanyaannya. “Saya ulangi lagi, apakah saudara saksi merasa ikut andil menjerumuskan kawan hingga menjadi terdakwa seperti sekarang?” tanya Nyoman lagi. Setelah beberapa saat terdiam, Anton akhirnya menjawab. “Saya prihatin pak,” kata lelaki bertubuh kurus itu. Nyoman tersenyum. “Ya, ya, jadi saudara saksi merasa prihatin,” ujar Nyoman mengulang perkataan Anton.

Anton memang mengaku berkawan dekat dengan Erlan hingga akhirnya dia seperti kesulitan membedakan urusan yang terkait pekerjaan dengan pribadi. Namun dalam persidangan, ia justru lebih banyak memojokkan Erlan. Setiap pertanyaan hakim, Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan kuasa hukum terdakwa yang menjurus pada tindakan Erlan, ia jawab tidak tahu. Termasuk soal uang yang diperoleh Erlan untuk kepentingan bupati melalui tangan Anton. “Waah, saya tidak tahu dari mana Erlan mendapat uang itu. Saya hanya mendapat amanat dari Bupati Garut untuk meminta uang pada Erlan. Saat itu, saya tidak berani menolak meski permintaan yang salah sekali pun. Kalau menolak, saya bisa kena marah bupati,” kata Anton saat JPU menanyakan apakah dirinya tahu soal penyelewengan dana mamin. ‘Saya tahunya justru setelah tidak menjabat sebagai Kasi Anggaran dan saya sempat kaget,” tambahnya lagi. Jawaban Anton kontan membuat JPU bereaksi. “Sebagai sahabat, masa Anda tidak tahu? Anda kan mengaku sangat dekat dengan Erlan? Masa Erlan tidak pernah cerita?” JPU kembali bertanya. “Erlan tidak begitu terbuka soal keuangan,” kilah Anton.

Terkait kegiatan dugem yang disebut-sebut menggunakan dana mamin, Anton juga mengaku tidak tahu. Ia memang sempat ikut ke tempat dugem di Bandung bersama pejabat BPKD lainnya karena ditraktir oleh Erlan. “Saya ikut ya karena ditraktir Erlan. Soal uangnya dari mana, saya tidak tahu. Saya kan ditraktir,” ujar Anton. Uniknya, Erlan justru membantah beberapa pernyataan Anton. Di akhir sidang, ia sempat bertanya pada Anton dengan nada gusar. “Saya mau bertanya kepada saudara saksi. Apakah saudara saksi benar-benar tidak tahu soal penyimpangan dana mamin?” tanya Erlan kepada Anton. Jawaban Anton tetap sama. “Iya, saya tidak tahu,” ujar Anton. Mendengar jawaban kawan dekatnya itu, Erlan tampak menghela napas. “Boleh saya luruskan Pak Hakim?” tanya Erlan disambut anggukan Nyoman. “Sebenarnya saudara saksi mengetahui penyelewengan dana mamin karena sebelumnya kita sudah pernah membicarakan hal itu. Selain itu, setiap selesai pencairan dana, saya selalu lapor kepada saudara saksi,” sanggah Erlan. Lagi-lagi Anton bergeming dengan keterangannya. “Saya tidak akan mengubah keterangan,” tandas Anton.

Di balik persidangan tadi memang ada beberapa pelajaran soal persahabatan yang bisa diambil. Mungkin di mata Anton, tak ada istilah kawan dalam kasus korupsi meski dirinya sempat disebut-sebut sebagai aktor intelektual penyelewengan dana mamin oleh beberapa saksi. Ia seolah lepas tangan melihat kawan dekatnya menjadi terdakwa dan harus berada di tahanan. Padahal, berdasarkan pengakuan Erlan, Anton juga ikut menikmati hasil korupsi dana mamin. Pertanyaan hakim pun seolah mengingatkan kembali arti sebuah persahabatan. Bagaimana seorang sahabat harus bisa saling mengingatkan ketika salah satunya berbuat salah. Kata prihatin saja yang keluar dari mulut Anton melihat Erlan menjadi terdakwa tampaknya cukup membuktikan seperti apa wajah pertemanan mereka. Hmmm, mungkin Anton menganut paham pertemanan: senangmu,senangku juga. Sedihmu, senangku juga.

Read more »

Selasa, 09 Desember 2008

Selamat Datang Haji Gisavo!!



Anak-anak yang menimba ilmu di Taman Kanak-kanak (TK) Al Muhajir tampaknya memang harus selalu siap mengikuti berbagai kegiatan. Setelah sebelumnya belajar mengenal alam di lokasi outbond Natural Hill Lembang, mereka kemudian mengikuti kegiatan manasik haji di halaman TK Al Muhajir, Sabtu (6/12) lalu. Anakku Gisavo tak mau ketinggalan. Bersama teman-teman dari TK lain, ia pun rela mengenakan pakaian ihram meski sempat mengaku kedinginan. Dalam kegiatan tersebut, dia belajar bagaimana cara menunaikan ibadah haji, di antaranya melempar jumrah Aqabah dan mengelilingi miniatur kabah. Namanya anak TK yang rata-rata berusia 4 sampai 5 tahun, saat mengikuti manasik haji, tingkah laku mereka tentu bermacam-macam. Ada yang berlari sambil tertawa, ada yang saling dorong, ada yang muntah, ada mogok, dan banyak lagi. Aku sendiri tak tahu apakah anakku mengerti apa yang disampaikan dalam materi manasik haji. Aku yakin dia tidak paham. Namun dari wajahnya, ia tampak menikmati kegiatan tersebut.

Pagi-pagi sekali anakku sudah bangun. Seperti biasa, ia minum segelas susu, mandi pagi, dan sarapan. Karena hari itu istriku bekerja mengajar di Purwacaraka Cimahi, seluruh tugas yang berkaitan dengan anak aku ambil alih, termasuk menemaninya mengikuti kegiatan manasik haji. Dalam kegiatan itu, anakku diharuskan mengenakan pakaian ihram. Lewat bantuan tangan mertua, pagi itu anakku mengenakan pakaian yang biasa digunakan para jamaah haji dan siap mengikuti manasik haji. Layaknya seorang calon haji, ia juga dikalungi sebuah tas kecil bertuliskan TK Al Muhajir. Tas kecil itu kemudian diisi biji lengkeng untuk melempar jumrah Aqabah. Ada 10 biji lengkeng di tas tersebut. “Pokoknya nanti Gisavo harus ikut apa kata guru. Jangan nakal. Kan mau jadi haji,” pesanku pada Gisavo sebelum dia berangkat sekolah. Anakku mengangguk. Setelah pamit, kami berdua berangkat menuju TK. Aku sempat mengantar istri ke Leuwipanjang sebelum kembali ke TK untuk mengawal kegiatan anakku.

Awalnya, seluruh anak-anak TK dikumpulkan dan dibagi dalam beberapa kloter. Anakku kebagian kloter pertama. Sebelum dimulai, berbagai acara seremonial digelar. Saat itulah, anak-anak terlihat asyik dengan dunia mereka sendiri. Belum juga acara dimulai, pakaian ihram berwarna putih sudah kotor. Bagaimana tidak, saat acara seremonial berlangsung, banyak anak-anak yang berlarian atau berguling di halaman TK. Teriakan guru yang meminta mereka diam dan mendengarkan petunjuk dari penyelenggara manasik haji tak digubris. Beberapa orangtua siswa yang ikut menjadi pembimbing juga tak kalah sibuk. Mereka berlari mengejar anak-anak agar tetap tertib dan berada di barisan. Acara seremonial diakhiri dengan pemukulan beduk tanda kegiatan manasik haji dimulai. Anak-anak bersorak. Mereka mulai berjalan mengikuti petunjuk dari para guru yang tak henti-hentinya berteriak melalui pengeras suara. “Labaik Allahuma Labaik,” begitu teriak anak-anak TK mengikuti suara guru.

Acara mengelilingi miniatur kabah sempat sedikit terganggu dengan ulah Fadlan, salah seorang siswa kelas A1 TK Al Muhajir yang tiba-tiba muntah persis di depan miniatur kabah. Panitia langsung bertindak. Miniatur kabah segera dipindahkan agar anak-anak lain tidak terganggu dengan insiden tersebut. Usai mengelilingi kabah, anak-anak kembali berjalan dan meminum susu cokelat yang diibaratkan sebagai air zamzam. Rasa air susu yang enak sempat membuat anak-anak ketagihan. Banyak di antara mereka yang tidak mau beranjak karena masih ingin menikmati susu cokelat tersebut. Walhasil, para guru lagi-lagi sibuk mengatur barisan agar tidak tercecer. Tuntas mengikuti seluruh kegiatan manasik haji, anak-anak dibagi konsumsi berupa nasi dus. Saat itu, seluruh anak harus makan di kelas dan tidak boleh berkeliaran. Aku pun terpaksa berada di kelas bergabung dengan ibu-ibu untuk menjalankan tugas menyuapi Gisavo.

Sebelum pulang, seluruh anak-anak berfoto bersama para guru di depan miniatur kabah. Hahahaha, sudah kuduga sebelumnya, gaya anakku saat difoto pasti standar yaitu menempelkan kedua telunjuk ke arah pipi sambil tersenyum. Pukul 11.00 WIB, seluruh kegiatan manasik haji selesai. Anakku berlari memburu tukang mainan yang sejak pagi berada di halaman TK. Aku sempat berpikir bagaimana kalau anakku betul-betul menjadi haji. Sepertinya lucu ketika menyebut nama Haji Gisavo. Kok jadi terdengar asing di telinga ya? Hmmm, selamat datang Haji Gisavo!!

Read more »

Kamis, 04 Desember 2008

Gila! Dugem Habis Rp27 Juta Semalam!



Meliput sidang kasus dugaan korupsi dana makan minum (mamin) APBD Kabupaten Garut tahun 2007 di Pengadilan Negeri (PN) Garut memang boleh dibilang melelahkan sekaligus juga menyenangkan. Melelahkan karena proses sidang memakan waktu cukup lama, apalagi saat mendengarkan keterangan saksi. Ini diperparah dengan ketiadaan fasilitas pengeras suara di PN Garut sehingga dalam setiap persidangan, aku dan beberapa wartawan lainnya harus betul-betul memasang telinga lebar-lebar saat mendengar keterangan saksi. Masih mending kalau saksi yang dihadirkan menjawab pertanyaan hakim, JPU, dan pengacara dengan keras. Banyak pula saksi yang dihadirkan menjawab pertanyaan dengan pelan, nyaris tak terdengar. Huh, sudah tidak ada pengeras suara, saksi yang dihadirkan malah menjawab pertanyaan dengan suara pelan.

Itu hanya sebagian kecil hal yang melelahkan. Di balik rasa lelah, ada pula hal yang menyenangkan saat meliput sidang mamin. Dari persidangan tersebut, aku jadi mengetahui informasi di balik penyimpangan dana miliaran rupiah itu, termasuk alur penyimpangan dana. Beberapa saksi bahkan ada yang secara terbuka menyatakan ke mana saja aliran dana hasil korupsi tersebut, termasuk digunakan untuk biaya hiburan alias dugem pejabat Garut. Aku juga jadi mengetahui siapa sebetulnya aktor intelektual korupsi tersebut yang hingga saat ini seolah sama sekali tidak tersentuh aparat hukum. Sementara di luar materi sidang, ada pula beberapa hal yang unik dan membuatku tak kuat menahan senyum. Misalnya saat dua kuasa hukum terdakwa tertidur dalam persidangan ketika JPU tengah serius mendengarkan keterangan saksi, atau saksi yang menjawab pertanyaan berbelit-belit. Semuanya terasa menyenangkan di tengah liputan kasus mamin yang centang-perenang.

Kasus korupsi mamin sendiri menyeret empat mantan pejabat di Kabupaten Garut. Keempatnya masing-masing, Achmad Muttaqien (mantan sekda), Kuparman (mantan Asda III), Yaya Zakaria (Kabid Belanja pada BPKD), serta Erlan Rivan (Kasi Perbendaharaan pada BPKD). Data dan alat bukti yang diperoleh tim penyelidikan menunjukkan ada penyimpangan dalam prosedur pengajuan dan pencairan dana anggaran untuk kegiatan penydiaan makan dan minum (mamin) pada Bagian Umum di lingkungan Setda Garut. Pengelolaan keuangan daerah pada Bagian Umum dan BPKD Garut dari Januari 2007-Juni 2007 tidak dilaksanakan sesuai dengan ketentuan, sehingga melebihi pagu anggaran yang ditetapkan untuk kegiatan mamin tahun anggaran 2007 sebesar Rp 4,8 miliar. Dalam kenyataannya, pada kurun waktu Januari-Juni 2007, dana mamin yang digunakan mencapai Rp6,3 miliar.

Nah, dari sekian banyak sidang kasus dugaan korupsi dana mamin yang aku liput sejak 9 Oktober lalu, persidangan tadi siang tampaknya paling menarik. Sidang itu menghadirkan tiga saksi bagi terdakwa Erlan Rivan dan Yaya Zakaria. Mereka adalah Venty (istri mantan Kasi Anggaran BPKD, Anton Heryanto), Dedi Kartiwa dan Aa Kustaman, keduanya mantan staf kasi anggaran pada BPKD. Kesaksian istri Anton rupanya menguatkan keterangan saksi sebelumnya, Teddy Kartono, seorang delaer di Kabupaten Garut. Pada persidangan sebelumnya, Teddy mengatakan bahwa Erlan sempat membeli mobil Nissan X-Traill untuk Anton Heryanto dalam kurun waktu Januari sampai Juni 2007. Harga mobil Nissan X Trail sendiri, kata Teddy, saat itu mencapai Rp337 juta. Meski Venty mengaku uang pembelian X-Traill itu berasal dari kocek pribadi, Erlan justru membantahnya. Ia menyebutkan pembelian mobil mewah itu berasal dari dana mamin.

Keterangan dua saksi yang dihadirkan setelah Venty yaitu Dedi Kartiwa dan Aa Kustaman tak kalah menarik. Pengunjung sidang bahkan beberapa kali dibuat tertawa mendengar keterangan dari kedua mantan staf Anton Heryanto itu. Kenapa? Karena keterangan mereka telah membuka aib para pejabat di BPKD tersebut yang ternyata doyan pergi ke Bandung untuk dugem dengan menghabiskan dana puluhan juta rupiah. Parahnya, dana dugem itu diambil dari uang pemerintah alias dana mamin tadi. Luar biasa!!! Awalnya, Dedi memberi keterangan bahwa dirinya dua kali mengantar Aa ke Bandung tepatnya ke Hotel Imperium dan Grand Aquila. Sebelumnya, Dedi yang juga sering menjadi sopir pribadi Anton sempat melihat Aa mengambil uang puluhan juta rupiah dari meja bendahara BPKD atas perintah Erlan. Namun dia mengaku tidak tahu untuk apa uang itu diambil. Yang jelas, Dedi mengaku mengantar Aa ke Hotel Imperium dan Grand Aquilla tapi tidak ikut masuk. “Saya tidak ikut masuk. Karena saya berpikir, kalau saya ikut hiburan, saya harus nyetir dan saya bawa nyawa,” kata Dedi disambut tawa pengunjung sidang.

Rupanya Aa pun mengamini keterangan Dedi. Dia mengaku memang sempat dua kali diperintahkan Erlan untuk mengambil uang dan dibawa ke Bandung. Uang itu diambilnya malam hari di Kantor BPKD . Dia kemudian berangkat ke Hotel Imperium dan Grand Aquila Bandung bersama Dedi dengan menaiki mobil dinas. Rupanya, begitu tiba di Imperium dan Grand Aquilla, Aa bertugas menjadi juru bayar atasannya di BPKD, yang saat itu sedang asyik dugem. Dalam persidangan, Aa mengaku tidak tahu siapa saja yang ada di lokasi dugem tersebut, selain Erlan, Anton Heryanto, dan Kuparman. Rata-rata kegiatan dugem itu menghabiskan dana hingga puluhan juta rupiah. “Pernah kita bayarnya kurang. Waktu itu, saya bawa uang Rp20 juta, sementara tagihan biaya dugem mencapai Rp27 juta. Akhirnya kita ngutang. Saya tidak tahu siapa yang bayar sisanya,” kata Aa lagi-lagi disambut tawa pengunjung sidang. Lucunya, Aa mengaku tidak pernah menyimpan bon pembayaran biaya dugem karena takut ketahuan istri. Hahahahahaha, mau nakal kok tanggung, masih takut sama istri. Meski berbelit-belit, jawaban Aa cukup mengundang tawa sampai ketua majelis hakim sempat mengingatkan pengunjung agar menghargai proses sidang.

Erlan lagi-lagi menyanggah beberapa keterangan Aa. Dia mengaku tidak pernah menyuruh Aa mengambil uang untuk dibawa ke Bandung, tepatnya Imperium dan Grand Aquilla. Selain itu, Erlan juga mengatakan, Aa tidak hanya dua kali mampir ke Bandung tetapi sampai berkali-kali. Gila! seandainya dalam semalam biaya dugem mencapai Rp27 juta, berapa dana rakyat yang dihabiskan para pejabat di lingkungan BPKD untuk dugem berkali-kali. Sebelumnya JPU sempat bertanya kepada Aa rincian pembayaran biaya dugem tersebut hingga menghabiskan dana Rp27 juta. Sayangnya, Aa tidak bisa merinci secara pasti karena mengaku lupa. Tapi, namanya dugem, tentu tak akan sempurna jika tidak diwarnai dengan acara minum-minum dan nyanyi dengan PL yang cantik. “Bener mang. Dana mamin teh memang dipakai buat minum. Tapi minum yang laen,” celoteh Aep Priangan yang saat itu duduk di sebelahku, sama-sama meliput jalannya sidang. Hmmm, dana mamin memang betul-betul digunakan untuk anggaran makan minum. Sayangnya, mereka salah beli minuman sehingga terpaksa harus menjalani hukuman dan mengikuti persidangan yang melelahkan.

Read more »