Rabu, 31 Desember 2008

Joni, Tukang Parkir Berdasi


Siang tadi di Jalan Ranggalawe Kabupaten Garut tepatnya di depan sebuah Rumah Makan (RM) Padang, aku melihat seorang tukang parkir yang berpenampilan agak unik. Dibilang unik, karena meski memakai rompi oranye khas tukang parkir, ia tampak rapi. Layaknya seseorang yang baru pulang dari pesta pernikahan, pria itu mengenakan kemeja dan celana katun lengkap dengan dasi serta kopiah. Waah, sepertinya baru kali ini aku melihat tukang parkir berdasi. Makanya, sehabis menyantap makan siang bersama Kabag Humas Dikdik Hendrajaya dan beberapa wartawan lainnya, aku menyempatkan diri berbincang dengan tukang parkir berdasi itu di sela-sela kesibukannya mengatur mobil dan motor yang hendak parkir atau keluar dari rumah makan.

“Saya sudah tiga tahun mengenakan dasi saat bekerja jadi tukang parkir,” kata pria satu anak yang belakangan diketahui bernama Joni Syam, 44. Warga Jalan Gunung Lumbung Kecamatan Garut Kota itu pun menceritakan alasannya menjadi tukang parkir dengan pakaian rapi dan berdasi. “Kalau jadi tukang parkir, saya sudah tujuh tahun,” ujar Joni membuka cerita. Menurut Joni, pada suatu hari tiga tahun lalu, ia bersama istri diundang ke sebuah acara pernikahan. Namanya memenuhi undangan pernikahan, pakaian yang dikenakan juga harus rapi. Maka, berangkatlah Joni dan istri ke acara pernikahan tersebut dengan mengenakan kemeja, celana katun, dan dasi di leher. Rupanya, jiwa tukang parkirnya terus melekat. Sehabis acara pernikahan, tugas mengatur kendaraan yang parkir di RM Padang Jalan Ranggalawe memanggilnya. Tidak langsung ke rumah, Joni pun bergegas berangkat kerja, masih lengkap dengan mengenakan kemeja dan dasi.

“Saya memarkirkan kendaraan masih dengan mengenakan pakaian rapi terus pakai dasi karena baru pulang dari hajatan dan tidak langsung ke rumah. Ternyata, uang yang saya dapat dari parkir saat itu banyak. Makanya, sejak saat itu, setiap bertugas, saya selalu pakai kemeja dan dasi,” kata Joni tanpa mau menyebutkan berapa uang yang dihasilkannya setiap hari sebagai tukang parkir. Bagi Joni, menjadi tukang parkir tidak bisa dinilai dari jumlah penghasilan, melainkan kenyamanan bekerja. Meski rata-rata uang yang diperolehnya setiap hari relatif kecil, Joni mengaku tetap akan mempertahankan pekerjaannya itu. “Saya bekerja sambil beramal. Jangan dihitung dari uangnya, tapi dari kenyamanan bekerja. Selama ini, saya merasa nyaman bekerja menjadi tukang parkir,” tandas Joni. Saat ini, Joni mengaku memiliki 40 dasi yang dia pakai bergantian setiap tugas. Seluruh dasi itu ia peroleh dari pemberian orang. “Buat apa saya beli dasi. Mendingan buat beli beras,” Joni tersenyum.

Sebelum menjadi tukang parkir, Joni mengaku sempat kerja kantoran, mula dari menjadi tenaga honorer di Pemkab Garut, mengelola KUD, sampai mengerjakan sebuah proyek besar. Selain itu, dia juga mengaku mahir menggunakan komputer dan cukup paham berbahasa Inggris. Lantas, kenapa Joni tidak mau kerja kantoran lagi? “Sudah cukup saya kerja kantoran. Mending jadi tukang parkir. Tak terikat waktu. Bebas datang kapan saja,” ujar Joni. Ungkapan Joni mungkin benar. Dari pekerjaan sebagai tukang parkir, dia berhasil membiayai keluarganya hingga menyekolahkan anak. Sekarang, anaknya sudah besar dan menimba ilmu di salah satu SMP di Garut. “Saat menjadi tukang parkir, saya juga banyak belajar menghargai orang, dan tidak dihargai orang. Ada orang yang sama sekali tidak mau bayar meski sudah saya parkirin kendaraannya. Ada juga orang yang betul-betul menghargai pekerjaan saya, dan memberi upah layak,” kata Joni. Dia lantas berlari mengejar sebuah mobil yang hendak keluar dari halaman rumah makan. Ah, tukang parkir saja bisa berpakaian rapi. Kalau wartawan????

Read more »

Selasa, 30 Desember 2008

Hmmmm... Kembali ke Pos Awal

Usai sudah pengembaraanku di Kabupaten Garut. Dalam sebuah rapat redaksi, Sabtu (28/12) malam lalu, Kantor Biro SINDO Jabar melalui Kepala Redaksi (Kepred) Yogi Pasha memutuskan menarik aku kembali ke Bandung, menempati pos awal, kepolisian dan ploating. Selain aku, biro juga menarik Rudini, wartawan yang selama ini bertugas di Kabupaten Sumedang, untuk memperkuat liputan di Bandung Raya. Dia ditempatkan di rubrik khusus. Risikonya, wilayah Sumedang dikosongkan. Berita-berita besar di wilayah tersebut, akan di-back up langsung dari Bandung. Tak hanya aku dan Rudini yang kena rolling. Beberapa wartawan juga harus menjalani hari-harinya di pos baru. Si Arab Raka Zaipul misalnya. Ia “ditendang” ke Kabupaten Bandung menggantikan posisi Iwa Ahmad Sugriwa setelah lama berkutat di rubrik khusus. Sementara Iwa, ditarik ke Bandung menempati pos politik dan pemilu mendampingi Radi Saputro yang ditarik dari pos Gedung Sate /DPRD Jabar.

Krisiandi atau akrab disapa Kris, naik tingkat dari pos liputan di Pemkot Bandung ke Gedung Sate/DPRD Jabar menggantikan posisi Radi. Posisi Kris kemudian diisi Wisnu “si anak pantai”. Arif Budianto yang sebelumnya menempati pos pendidikan beralih tugas ke lifestyle. Pos pendidikan diisi Evi “bonsai kecil” Panjaitan setelah berkutat cukup lama di desk ekonomi. Di pos itu, Evi duet dengan Rohmat. Dede Ibin “terlempar” ke Kabupaten Garut menggantikan posisiku. Putu Nova, menempati posisi barunya di desk ekonomi. Jebolan SINDO Bali itu sebelumnya menggarap rubrik politik dan pemilu. Beberapa wartawan lain masih menempati pos lama. Eko dan Dasir tetap bertugas sebagai fotografer, tidak dirolling jadi wartawan. Si hideung Ugie menempati pos kejaksaan dan pengadilan. Tugasnya lebih ringan karena ia melepas pos kepolisian dan ploating. Adi Haryanto bertahan di Kabupaten Bandung Barat meski juga harus merambah wilayah Cimahi. M Taufik selamanya bersama olahraga dan Persib Bandung. Irvan juga tetap berada di desk ekonomi. Untuk daerah, tak ada perubahan berarti, kecuali Kabupaten Garut dan Sumedang.

Rapat rolling sendiri dimulai sekitar pukul 22.30 WIB dan dihadiri beberapa wartawan yang bertugas di daerah, kecuali Tantan (Cirebon), Tomi (Indramayu), Annas (Subang), Ricky (Cianjur), dan Toni (Sukabumi). Selebihnya, hadir memeriahkan suasana rapat. Sebelum rolling diumumkan, Kepala Biro Mr Dennis memberikan pengarahan, meski tampaknya tidak terlalu ditanggapi serius oleh para wartawan (karena pikirannya sudah tertuju ke rolling). Namun, usai Dennis memberi pengarahan, beberapa wartawan mengajukan pertanyaan. Taufik (Majalengka) yang paling semangat, setelah sebelumnya Rudini angkat bicara. Asep Supiandi (Purwakarta) ikut menanggapi, selain Adi Haryanto (Bandung Barat). Sisanya senyum-senyum sendiri, sibuk dengan pikiran masing-masing, menanti pengumuman rolling. Entah haus atau tegang, belum sampai pada pengumuman rolling, dua botol minuman sudah ludes dikeroyok.

Pengumuman rolling tiba. Suasana berubah, persis seperti menunggu saat-saat pengumuman eliminasi Indonesian Idol. Ada sedikit ketegangan di sana. Berbagai komentar kemudian muncul dari mulut para wartawan, terutama yang bertugas di daerah, saat teman-temannya berpindah tugas atau tetap bertahan. Reaksi teman-teman yang kena rolling juga beragam. Ada yang tersenyum, ada yang mesem-mesem, cemberut, bahkan ada pula yang melamun. Iwa dan Wisnu tampaknya lebih banyak melamun. Entah apa
yang ada di pikirannya. Kalau Iwa, mungkin merasa berat meninggalkan Kabupaten Bandung karena sejak awal di SINDO, ia jarang kena rolling meski sempat menempati pos Pemkot Bandung.

“Wah mang! Gimana G2W?” celetuk Nanang sesaat setelah Yogi mengumumkan kepindahanku dari Kabupaten Garut ke kepolisian dan ploating. Maklum, selama bertugas di Kabupaten Garut, aku kerap menjadikan LSM tersebut sebagai sumber berita. Hampir setiap hari, nama Sekjen Garut Governance Watch (G2W) Garut Agus Sugandhi mengisi halaman wilayah Priangan Timur. Celetukan Nanang diamini Ujang Ciamis, sementara yang lainnya tertawa. Yang paling ramai saat Dede Ibin diumumkan pindah ke Kabupaten Garut. Hampir semua wartawan, terutama di daerah tertawa. Pasalnya, Ibin tadinya hendak dikembalikan ke pos sebelumnya, Kabupaten Tasikmalaya, mengingat keluarganya berada di sana. Tentu saja saat mengetahui dia akhirnya dipindah ke Garut, beberapa wartawan yang mengetahui sejarah Ibin tertawa. Ujang yang paling keras tertawa, disusul Nanang. Sayangnya, Dede Ibin tidak hadir dalam rapat tersebut karena sakit.

Rudini tidak banyak berkomentar saat Yogi mengumumkan kepindahannya ke Bandung, meninggalkan Kabupaten Sumedang. Justru komentar keluar dari mulut Ugie. “Waah mang, jadi punya anak teh!!!” seru Ugie. Rudini tersenyum. Jebolan FISIP Unpad itu memang baru saja menikah dengan wartawan detikbandung pada 9 November lalu. Nah, pertanyaan selanjutnya, siapa yang bertugas di Sumedang kalau ada kejadian besar??? Siapa yang ditugaskan ke IPDN kalau kampus itu kembali bermasalah? Ternyata seperti yang sudah dibayangkan sebelumnya. “Nya wartawan ploating yang harus tugas ke sana!!” kata beberapa wartawan sambil tertawa. Rapat rolling ditutup Minggu (29/12) sekitar pukul 01.30 WIB. Aku dan Nanang pergi sejenak, menikmati malam jahanam di Bandung. Sementara wartawan yang lain, berembuk membicarakan pos baru mereka. Bagiku, tak ada yang berbeda. Pos kepolisian dan ploating memang sudah aku tempati sebelumnya saat baru bergabung dengan SINDO. Pos baru semangat baru!! Hanya saja, sekarang aku mungkin harus bekerja lebih keras lagi. Menciptakan suasana baru, kenyamanan baru, dan mungkin kehidupan yang lebih baru.

Read more »

Senin, 29 Desember 2008

Sore di Sebuah Plaza

ANDRI duduk di kafe sebuah plaza petang itu. Sendiri menunggu seseorang. Masih sepi hingga lama-lama puluhan orang mulai ramai berdatangan. Sebatang garam filter di tangannya sudah sampai pada gambar jalan dan rumah-rumah berjajar, logo rokok itu. Dimatikan rokok itu, lalu ia ambil yang baru.
"Sudah rokok ke sembilan," ucapnya dalam hati. Segelas kopi entah merek apa, tersudut di siku-siku dinding, menunggu diminum. Andri mulai mengalihkan pandangannya pada keramaian di depannya. Dua gadis melirik, masih dengan seragam SMA.

Sejenak ia ingat hari-hari silamnya yang masih dijalani sampai sekarang. Dijuluki si biang ribut, ia kerap berpindah-pindah sekolah dengan serunya. Tak naik satu kali, pindah swasta, dipecat, pindah lagi, begitu seterusnya. Ayahnya pusing. Bukan berarti ibunya tidak. Andri jarang melihat ibunya. Mereka tak tinggal serumah, cerai. Andri pun mencoba tidak menyalahkan siapa-siapa. Mencoba menghadapi sendiri. Terlalu berat. Sampai datang seorang teman menawarkan sebungkus pil warna-warni.
Pfffff..... Itu asap yang kesekian kali keluar dari mulut hitamnya. Semakin berat saja. Segerombolan anak SMA lagi-lagi melintas. Semuanya laki-laki. Samar ia melihat sesuatu tersembul di balik pakaian mereka. Lalu di seberang eskalalator, terlihat segerombolan anak SMA lainnya. Dua gerombolan itu saling pandang. Andri mencium gelagat tak beres. Hanya sekejap ia mendengar teriakan-teriakan tak berarti. Satu terkapar bersimbah darah. Benda tersembul tadi telah bicara pada lambungnya.
Refleks, Andri pun meraba pinggangnya. Ada goresan memanjang sampai dada. Ia meringis. Melihat anak itu terkapar bagai melihat dirinya. Santer bau amis, aspal panas, kerumunan, dan gelap gulita. Lalu kamar serba putih dan tangisan ibunya. Semua terjadi begitu saja dan tak disadari.
Dua gerombolan anak SMA itu sudah pergi. Korban dilarikan ke rumah sakit. Kopi disudut yang sedari tadi tak disentuh mulai diseruputnya. Bukan panas, tapi hemat. Soalnya, ia sedang menunggu dan tak mau buru-buru pulang. Keramaian baru pun terbentuk lagi. Malam merangkak perlahan. Lima menit berlalu tatapannya terarah pada seorang gadis berkaos putih plus rompi hitam. Dua kakinya dibalut jeans belel. Rambut gadis itu tergerai sebahu. Andri berkedip. Lalu terlihat seorang Anes.
"Ndri, kalau kamu mabuk, jangan ke sini, Anes takut!!
Ditembak seperti itu, Andri hanya bisa mengangguk pelan. Di mata Andri, gadis itu begitu pengertian, walau egonya begitu besar. Anes sendiri termakan pengertiannya hingga mereka putus. Lama-lama Anes pergi melihat mantan kekasihnya tak banyak bicara. Andri kembali sendiri.
"Permisi....," seorang gadis mengenakan rok mini meminggirkan kursinya beberapa senti, memberi ruang. Si gadis duduk, roknya terangkat sedikit.
"Milk shake satu," teriaknya sambil mengeluarkan sebungkus Marlboro light. Sejenak melirik Andri.
"Hmmm, punya korek?" Tiingg, Andri mengeluarkan zippo.
"Makasih. Sendiri aja? Lagi nunggu orang ya?" tanya si rok mini.
Front telah dibuka. Andri menatap lekat si rok mini. Mengangguk, mengisap rokok lagi, menyeruput kopi, dan kembali sibuk dengan lamunannya. Si rok mini salah tingkah.
"Pesen apalagi mbak?" pelayan mengangsurkan pesanan.
"Udah, ini aja." Hening sejenak.
"Kamu pendiam, atau bisu?!"
Kali ini Andri melihat ke bawah. Yang dilihat tenang-tenang saja, tak berusaha menutupi. Tersenyum nakal.
"Ngga juga," ujar Andri.
"Syukur kalau gitu. Saya Mimi... Kamu?"
Melihat pancingannya mengena, Andri tersenyum. Shinta! Ya dia ingat Shinta! Sejak kejadian dulu Shinta merasa dikucilkan. Merasa kotor, dan (bukan lelucon) sibuk mendengarkan program-program pemerintah tentang kesehatan bayi. Sementara si calon ayah mungkin sedang sibuk dugem di diskotik-diskotik lain, mencari Shinta Shinta yang lain. Andri geram. Namun bagaimana pun, Shinta juga adiknya. Sekotor apa pun dia. Kembali Andri tak bisa menyalahkan siapa-siapa.
"Heh, ditanya kok bengong. Pake senyum-senyum sendiri lagi!" si rok mini membuyarkan lamunan.
"Hmm, Andri...."
Diam lagi. Si rok mini kemudian seperti memikirkan kata-kata selanjutnya. Andri termenung lagi.
"Pintu teater 1 telah dibuka...... " Terdengar sayup-sayup pemberitahuan di salah satu teater. Seperti diingatkan, Andri mengedarkan pandangannya, mencari. Pukul 19.15 WIB. Ke mana dia??
"Hmmm Andri," si rok mini angkat bicara.
"Maaf kalo Mimi ngeganggu acara nunggunya Andri. Tapi Mimi lagi butuh temen ngobrol nih," dia berhenti sejenak, menunggu reaksi Andri.
"Iya?" sahut Andri.
"Ya gitu deh. Andri mau kan nemenin Mimi ngobrol?" suara si rok mini terdengar maksa dan begitu akrab.
"Lagian ngapain bengong, mending ngobrol sambil nunggu temen Andri, oke!!"
Teman? Begitu asing kata itu di telinga Andri. Kapan terakhir dia punya teman? Kemarin? Seminggu lalu? Sebulan? Setahun? Ah lebih lama. Yah, pada waktu pertandingan basket antar-SMA dulu. Timnya sudah unggul 10 angka. Tiba-tiba terjadi ketidaksengajaan berbuntut keributan. Vonis jatuh pada Andri. Yang pasti timnya didiskualifikasi. Sejak itulah, Andri merasa tak pernah lagi punya teman, karena selalu disudutkan.
"Tuh kan bengong lagi??"
"Hehehehe, sorry...."
Sebetulnya tak ada sedikit pun keinginan Andri buat berbincang-bincang saat itu. Suasana hatinya tak menentu. Ia sedang menunggu teman untuk menuntaskan masalah tempo hari. Seperti biasa menawarkan beberapa barang. Dan Andri selalu menganut paham, "Ada uang, ada barang". Hanya kemarin, "ada uangnya" sedikit terlambat. Temannya tak senang, hingga hari ini ia berniat menyelesaikannya.
"Andri! Lagi-lagi kamu begong. Kalau kamu bengong lagi, Mimi pergi nih!" si rok mini mengancam.
"Sorry mbak. Garam filter sebungkus!!"
"Kamu anak SMA berapa Ndri?"
"Widya Gama."
"Kelas?"
"Dua...."
Andri merasa tidak enak dengan kegigihan si rok mini.
"Kalo kamu?"
"Mmmmm, SMA? Ah ngga usah disebut. Takut ngetop."
Andri tersenyum.
"Andri belum punya pacar ya? Kok malam minggu begini kerjanya keluyuran, bukannya apel. Kalau Mimi baru kemarin putus. Gara-gara dia punya cewek baru. Sebel!!" akhirnya Mimi berani bercerita. Andri terdiam. Matanya gelisah.
"Emang setiap cowok apa gitu ya? Kalau Andri gimana? Ndri? Kamu ngeliatin apa sih?!!!

Tanpa bicara lagi Andri berdiri. Yang ditunggunya sudah datang. Dua matanya berkilat. Perasaannya mengatakan sesuatu tak wajar begitu melihat gerombolan teman-temannya. Ah, mengapa begitu ramai? Satu.. dua... tiga...tujuh orang! Sejenak, ia meraba pinggangnya. Ada perasaan sejuk. All Star hitam diseretnya mendekati gerombolan tadi. Teriakan si rok mini tak dihiraukan.
"Nah, ini dia. Ke mana aja lo? Gue nyari ke mana-mana, eh malah di sini enak-enak ngopi. Bareng cewek lagi. Sial lo!!!"
Permulaan yang buruk.
"Sorry Din, gue dah nungguin lo dari tadi. Kan kita janjian....."
Pertanyaan yang lekat, mereka begitu dekat. Tercium bau minuman keras.
"Buruan, gue lagi butuh duit nih!!!!"
"Gini aja Din, gue kagak bisa bayar sekarang semua. Gimana kalo setengahnya dulu? Sisanya ntar gue lunasin......"
"Apaan lo.... Belum bisa bayar sekarang juga???" main potong saja si Udin.
Sementara Udin ngotot, teman-temannya satu persatu mengelilingi Andri. "Ah kacau," pikir Andri. Mereka kelihatan tidak wajar. Matanya merah.
"Gimana nih Din," kaos red hot nimbrung.
"Ah payah!!!!" si anting sebelah tak mau kalah.
Udin satu-satunya yang Andri kenal di antara mereka, mencekal lengannya dengan keras.
"Kalo lo kagak bisa bayar sekarang, gue ngga bisa nanggung tindakan temen-temen gue!!!!" ancam Udin.
Andri tersinggung. Cepat ia melepaskan cekalan. Suasana memanas. Mereka jadi perhatian orang sekitar.
"Emang lo mau ngapain???? Kalo ada duit, ngapain gue tunda-tunda???? Gue janji minggu depan gue bayar!!!!!" teriak Andri sewot.
"Ah, banyak omong lo!!!!" si kriting maju dan mendorong Andri, pelan.
"Heh!!!! Apa-apaan lo???? Maen dorong segala!!!!" naluri tawuran Andri pecah. Dorongan tadi ia anggap sebuah pertanda. Andri mendorong lebih kuat lagi.
Entah siapa yang memulai, sebuah pukulan mendarat mulus di pipinya. Seharusnya Andri sadar dan mengalah. Tapi keadaan menjepitnya dan ia terbiasa menghadapi hal ini dengan caranya sendiri. Si kaos red hot jadi sasaran pertama. Dibalas, pukul lagi. Beberapa pukulan membuatnya pusing.
Walau mabuk, Udin cs tetap tujuh orang, dan Andri sendirian. Tapi dia tak mau tahu itu. Bergerak terus, lupa keadaan sekitar, lupa posisi, lupa tujuan, lupa bekas luka di pinggangnya. Semua terjadi begitu cepat sampai sebuah benda di tangan si kriting membuatnya berhenti, terpaku.
Udin cs pergi. Andri duduk, menunduk, menoleh ke perutnya. Ah, ada bercak merah.
"Ya Tuhan, terjadi lagi," batin Andri.
Kerumunan itu, bau amis, rasa panas, semua terjadi lagi. Bedanya, tak ada lagi tangis ibunya. Dan sekarang yang terlihat bukan putih. Tapi hitam dan gelap……

Buat Bambang "Ibenk" Triadi

Read more »

Rabu, 24 Desember 2008

Sidang Terbuka Kok Dibatasi?!

Biasanya, dalam sebuah sidang terbuka, wartawan bebas mengambil gambar atau foto suasana sidang, termasuk terdakwa. Namun di Pengadilan Negeri (PN) Garut, kondisinya berbeda. Entah memang merupakan aturan baru di PN Garut atau sudah lama diterapkan, Selasa (23/12) lalu, sebuah pengumuman terpasang di salah satu tembok PN Garut. Isinya berupa larangan bagi para wartawan mengambil foto atau gambar, kecuali sudah mendapat izin dari majelis hakim. Hal tersebut tentu saja membuat para wartawan bingung. Sejak kapan aturan ini dipasang? Kenapa harus izin dulu ke majelis hakim? Toh sidangnya juga terbuka. Berbagai spekulasi terkait larangan tersebut kemudian berkembang. Ada wartawan yang bilang, larangan itu muncul karena kebetulan hari itu merupakan sidang pembacaan vonis bagi 7 terdakwa kasus korupsi dana bencana alam (DBA) yang salah satunya adalah Ketua DPD Partai Golkar Garut, HE Ruhiyat Prawira. Sebab dalam beberapa kali sidang kasus korupsi DBA, wartawan selalu kesulitan mengambil foto karena dihalang-halangi oleh massa pendukung Ruhiyat. Namun ada juga wartawan yang bilang, pengumuman itu dipasang oleh penyusup atau pendukung HE Ruhiyat yang tidak mau kasus tersebut di-blow up media.

Memang, dalam sidang pembacaan vonis kasus DBA, massa pendukung terdakwa yang rata-rata pengurus Partai Golkar itu membeludak. Mereka datang untuk menyatakan simpati kepada para terdakwa meski tampaknya tak begitu mempengaruhi keputusan majelis hakim. Walhasil, pihak PN Garut pun terpaksa menyiapkan kursi cadangan tepat di depan pintu masuk, karena kursi di dalam ruangan tidak cukup. Sidang dimulai sekitar pukul 11.00 WIB. Namun, aku dan beberapa teman lainnya terlambat datang karena terlebih dulu meliput di Dinas Perhubungan (Dishub) Garut untuk menanyakan penurunan tariff angkutan kota. Selain itu berbagai pertimbangan sempat mengemuka sebelum memutuskan meliput sidang tersebut setelah mendapat kabar banyaknya massa yang hadir di persidangan. Beberapa hari sebelum sidang vonis digelar, sejumlah wartawan sempat mendapat ancaman dari pendukung salah satu terdakwa agar pemberitaan mengenai kasus itu tidak terlalu dibesar-besarkan. Mereka juga keberatan jika nama HE Ruhiyat dikaitkan dengan jabatannya sebagai Ketua Partai Golkar Garut dalam setiap pemberitaan kasus korupsi DBA.

HE Ruhiyat sempat marah besar ketika dalam pemberitaan kasus korupsi DBA, media menyebut jabatannya sebagai Ketua Partai Golkar Garut. Dulu, saat kasus ini baru dilimpahkan ke Kejati Jabar, dua wartawan dari dua media berbeda yang bertugas di Garut, yaitu Raden (SINDO) dan Kemal (Tribun Jabar) sempat kena semprot karena menuliskan jabatan HE Ruhiyat dalam pemberitaan. Padahal, yang menulis berita itu bukan mereka melainkan wartawan yang bertugas di Kejati Jabar Bandung. Sejak saat itu, wartawan kerap berhati-hati dalam menuliskan kasus korupsi DBA, termasuk aku yang menggantikan posisi Raden di Garut. Toh, tetap saja, jabatan Ketua Partai Golkar melekat di tubuh HE Ruhiyat. “Yang penting semua koran menyebut namanya sebagai Ketua Partai Golkar. Jadi kalau kena semprot semuanya.” kata salah seorang wartawan.

Saat meliput vonis kasus korupsi DBA, perasaan was was muncul melihat banyaknya massa. Salah seorang wartawan yang hedak mengambil foto HE Ruhiyat tiba-tiba dihalang-halangi oleh massa hingga dia urung mengeluarkan kamera. Aku jadi kesulitan mencari ruang kosong untuk mengambil beberapa foto, apalagi wartawan televisi hingga akhirnya, gagal mengambil foto HE Ruhiyat yang mendapat giliran pertama mendengarkan vonis hakim. Pada kesempatan kedua, aku berhasil mengambil foto terdakwa Ricky Agustian yang juga anak HE Ruhiyat meski dilakukan sembunyi-sembuyi. Sementara lima terdakwa lainnya aku lewatkan karena posisinya tidak begitu menonjol dan kebetulan batere kamera habis. Seluruh terdakwa divonis 4 tahun penjara atau lebih ringan satu tahun dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Pengacara banding, JPU pikir-pikir. HE Ruhiyat menangis, Ricky nyaris pingsan usai mendengarkan vonis. Aku juga nyaris pingsan kelaparan karena dari pagi belum makan.

Karena suara hakim saat membacakan putusan tidak terdengar jelas, kami memutuskan menanyakannya kepada salah seorang JPU, Neneng Rahmawati. Aku cukup mengagumi karakternya sebagai JPU karena pertanyaan yang diajukan lugas dan tepat sasaran. Ia kemudian menjelaskan materi vonis. Namun, untuk jumlah uang denda dan ganti rugi, mereka juga tidak mengetahui secara persis. Saat tengah asyik mewawancarai JPU, penasihat terdakwa, Djohan Djauhari menghampiri kami. Ia lantas meminta kami untuk tidak menyebutkan jabatan HE Ruhiyat sebagai Ketua Partai Golkar Garut. Menurut Djohan, kasus ini tidak terkait ada kaitannya dengan partai. “Saya harap teman-teman wartawan mengerti dengan tidak mencantumkan jabatan HE Ruhiyat sebagai Ketua Golkar,” ujarnya. JPU tersenyum, kami terdiam. “Kalau harapan kan tidak perlu dikabulkan ya pak?” celetuk seorang wartawan. “Ya harus,” ujar Djohan lagi. Akhirnya, kami menulis berita itu dengan beberapa catatan. Persoalan jabatan Ketua Golkar nantinya muncul di pemberitaan, seluruhnya menjadi hak redaksi. Toh tugas kami menulis berita sudah terpenuhi sesuai target yang dibebankan masing-masing redaksi.

Read more »

Minggu, 21 Desember 2008

Bibir Jontor Gara-gara Sepakbola

Kasihan Gisavo, anakku. Gara-gara mengikuti ekstra kurikuler (ekskul) sepakbola di TK Al Muhajir Sabtu (20/12) lalu, ia terjatuh dan terluka mulai dari ujung hidung hingga bibir bagian atas. Aku sempat panik melihat kondisi lukanya. Hidungnya berdarah. Bibirnya juga jadi jontor dan sempat kesulitan mengunyah makanan. Tapi, melihat dia tenang-tenang saja dan tetap tertawa, aku sedikit lega. Gisavo lantas menceritakan kejadian yang menimpanya. “Bapak, tadi Gisa jatuh abis balap lari sama Zaki. Tapi gak nangis kok. Laki-laki kan gak boleh nangis ya pak?” katanya.Aku mengangguk sambil tersenyum. “Larinya kalah menang?” tanyaku. “Kalah pak, kan jatuh,” ujar Gisavo lagi. Kami berjalan menjauhi sekolah menuju rumah.

Anakku memang memilih ekskul sepak bola dan menyanyi di sekolah. Dalam satu minggu, ia berlatih menyanyi pada hari Senin, dan sepakbola pada hari Sabtu. Aku tidak tahu dari mana awalnya ia sangat menyukai sepak bola. Namun sejak lahir, kedua kakinya memang tak pernah berhenti bergerak. Selain itu, saat usianya barui baru satu tahun, Gisavo juga sangat senang mengoleksi bola. Berbagai jenis bola mulai dari yang kecil sampai besar, menumpuk di rumah. Saking banyaknya, sebagian aku hibahkan pada sepupu yang kebetulan mempunyai anak seusia Gisavo. Hampir setiap pagi, aku juga menyempatkan diri membawanya ke lapangan, baik saat berada di rumah orangtua maupun rumah mertua.

“Pak, Gisavo jatuh. Hidungnya berdarah!” seru istriku, Sabtu (20/12) pagi. Rupanya, ia mendapatkan kabar itu lewat telepon dari sesama orangtua murid di TK Al Muhajir. Aku langsung berangkat dan mematikan rokok. Istriku menyusul kemudian. Begitu sampai di sekolah, beberapa anak tampak sedang berlatih sepakbola. Mereka melakukan pemanasan dengan adu kecepatan lari. “Hmm, mungkin Gisavo jatuh saat adu kecepatan lari,” pikirku. Namanya anak-anak, saat berlari cepat, keseimbangan badannya tentu belum kuat benar sehingga wajar kalau terjatuh. Gisavo memang tidak ada dalam kelompok anak-anak yang sedang bermain bola. Aku pun mulai mencarinya dengan bertanya kepada ibu-ibu yang berkumpul di depan kelas.

“Iya, tadi Gisavo jatuh, terus hidungnya dan bibirnya berdarah. Tapi hebat, dia gak nangis. Sekarang dibawa ibu guru jalan-jalan sama anak-anak kelas B,” kata salah seorang orangtua siswa yang anaknya sekelas dengan Gisavo, menjawab pertanyaanku. Syukurlah. Aku pikir Gisavo terluka parah. Kalau masih bisa diajak jalan-jalan dan tidak menangis, berarti lukanya tidak terlalu serius. Tapi, rasa khawatir tetap saja ada hingga aku tetap menunggu Gisavo di sekolah. Limabelas menit berlalu, Gisavo masih belum tampak. Akhirnya, karena yakin dia tidak menderita luka serius, aku kembali ke rumah, menghabiskan sisa rokok yang ditinggal di asbak. Saat itu, waktu masih menunjukkan pukul 09.30 WIB. Berarti masih ada 30 menit lagi waktu santai sebelum menjemput kembali Gisavo ke sekolah.

Pukul 10.05 WIB, aku kembali ke sekolah. Gisavo bersama teman-temannya sudah ada di kelas. Lewat kaca jendela, aku melihat dengan seksama wajah Gisavo karena penasaran dengan luka yang dideritanya. Ya ampun, ternyata bibirnya masih berdarah. Di antara hidung dan mulut juga tampak luka yang sedikit menganga. Sementara ujung hidungnya terlihat baret-baret. Mungkin karena luka, bibir atasnya jadi bengkak. Iih, kok bibir anakku jadi jontor ya. Melihat aku berada di jendela, Gisavo tersenyum. Ia seperti tak sabar ingin segera pulang dan menceritakan pengalamannya terjatuh saat berlatih sepakbola. Benar saja, begitu bel sekolah berbunyi, Gisavo langsung berlari memburuku. Dengan semangat 45, ia kemudian menceritakan seluruh kejadian yang menimpanya saat berlatih sepakbola. Ah, meski bibirnya jontor, anakku ternyata masih tetap lucu. “Pak, gendong ya,” pinta Gisavo. Aku tersenyum dan meraihnya.

Read more »

Kamis, 18 Desember 2008

Demi Jabatan, Asda Rela Jadi Supir Kasi


Lebih tinggi mana jabatan sekretaris daerah (sekda) dan asisten sekda (asda) dengan kepala seksi (kasi)? Jawabannya tentu sudah bisa ditebak, jabatan sekda dan asda yang lebih lebih tinggi dari kasi. Di lingkungan pemerintahan, sekda termasuk golongan eselon II dan asda eselon II b. Sementara kasi termasuk golongan eselon IV. Dari segi gaji pun jelas lebih tinggi sekda dan asda ketimbang kasi. Nah, kedua jabatan itu boleh saja lebih tinggi dari kasi. Tapi di Kabupaten Garut seorang kasi ternyata bisa memerintah asda bahkan sekda. Ini benar-benar nyata dan lagi-lagi terkait dengan kasus dugaan korupsi dana makan minum (mamin) yang saat ini sudah masuk persidangan. Seperti diketahui, kasus tersebut menyeret mantan Sekda Garut Achmad Muttaqien, mantan Asda III Garut Kuparman, mantan Kasi Perbendaharaan Badan Pengelolaan Keuangan Daerah (BPKD) Erlan Rivan, dan mantan Kabid Belanja BPKD Yaya Zakaria.

Dalam persidangan kasus korupsi dana mamin yang digelar tadi siang di ruang utama Pengadilan Negeri (PN) Garut, Kamis (18/12), masing-masing terdakwa menjadi saksi satu sama lain atau biasa disebut saksi mahkota. Muttaqien dan Kuparman menjadi saksi bagi Erlan serta Yaya, demikian pula sebaliknya. Muttaqien mendapat giliran pertama memberikan kesaksian dengan terdakwa Erlan dan Yaya. Mantan orang ketiga di Pemkab Garut itu dicecar sejumlah pertanyaan baik oleh jaksa penuntut umum maupun majelis hakim. Ia pun mengaku memang telah menandatangani surat perintah mencairkan (SPM) dana mamin yang tidak lengkap alias bodong dari BPKD. Padahal dari segi aturan pun, pengajuan SPM dana mamin dari BPKD jelas-jelas salah. “BPKD memang seharusnya tidak boleh mengajukan SPM dana mamin. Yang seharusnya mengajukan adalah bagian umum,” ujar Muttaqien dalam kesaksiannya.

Ujung-ujungnya Muttaqien menangis. Air matanya tiba-tiba meleleh saat JPU menanyakan alasan dia menandatangani SPM bodong tersebut padahal Muttaqien hapal betul tindakannya itu melanggar aturan dan berbenturan dengan hukum. “Saya di bawah tekanan. Waktu itu posisi saya dilematis. Kalau saya tidak menandatangani SPM, Bupati Garut saat itu (Agus Supriadi) marah besar dan mengancam menggeser posisi saya. Selain takut sama bupati, saya juga takut sama Pak Anton Heryanto yang saat itu menjadi orang kepercayaan bupati,” ujar Muttaqien tersendat. Kedua matanya berlinang. Pada saat itu Anton Heryanto memang menjabat sebagai Kasi Anggaran BPKD Garut. Meski badannya kecil dan jabatannya kasi, ia termasuk orang paling berpengaruh di Kabupaten Garut, setelah bupati. Tak heran, Muttaqien betul-betul tunduk kepada perintah Anton yang selalu membawa-bawa nama bupati. “Perintah Pak Anton sama dengan perintah bupati. Jadi saya tidak bisa membantahnya,” aku Muttaqien lagi.

Menurut Muttaqien, Anton dikenal memiliki pergaulan luas, dekat dengan LSM, wartawan, aparat penegak hukum, dan preman. Pernah suatu hari, dirinya mengaku didatangi lima preman lengkap dengan golok di tangan karena belum juga menandatangani SPM. “Saya jelas takut pak,” tegas Muttaqien kepada JPU yang menanyainya. “Masa sekda takut sama preman?” tanya JPU lagi. Muttaqien tidak menjawab. Ia kembali terdiam, seolah menyesali seluruh perbuatannya semasa menjabat menjadi sekda. Pernyataan Muttaqien soal ketakutannya terhadap bupati, Anton, dan para preman sempat mendapat cemooh dari pengunjung yang memenuhi ruang persidangan. Meski rata-rata mereka sudah tahu kondisi Kabupaten Garut saat dipimpin Agus Supriadi, banyak pula yang geleng-geleng kepala karena kaget. Sungguh aneh. Sebuah jabatan ternyata sama sekali tak berpengaruh. Bupati lebih memilih kasi sebagai orang kepercayaannya dan menabrak struktur yang seharusnya dijalankan. “Saya tidak tahu kenapa Pak Anton yang menjadi orang kepercayaan bupati,” ujar Muttaqien.

Kesaksian yang tak kalah mencengangkan diungkapkan mantan Asda III Kuparman. Sama dengan Muttaqien, Kuparman yang sempat menggantikan posisi Muttaqien dalam menandatangani SPM mengaku takut terhadap bupati dan Anton Heryanto. Meski jabatannya lebih tinggi, Kuparman bahkan rela menjadi supir Anton saat berangkat ke Bandung untuk menggelar pertemuan dan dugem. “Ini bukan persoalan jabatan. Tapi saat itu Pak Anton memang sangat berpengaruh. Lagipula saya bisa nyetir mobil. Jadi saya yang mengantar Pak Anton ke Bandung,” kata Kuparman menjawab pertanyaan JPU. Kuparman juga mengaku tak berani melawan perintah bupati dan Anton karena takut jabatannnya digeser. “Saya tidak berani melawan karena nanti dianggap tidak bekerja dengan baik dan dikeluarkan,” kata pria yang usianya lebih tua dari Anton tersebut. JPU sempat bertanya pada Kuparman siapa yang bertanggung jawab terhadap kerugian negara akibat korupsi dana mamin tersebut. Dengan tegas Kuparman mengatakan pembuat SPM. “Tapi kan bapak menandatangani SPM itu, berarti bapak juga bertanggung jawab?” tanya JPU lagi. Kuparman terdiam sambil mengangguk-angguk. Barangkali seperti itulah gambaran kondisi pemerintahan di Kabupaten Garut saat Agus Supriadi menjabat sebagai bupati. Bahkan, demi mempertahankan jabatan, seorang asda rela menjadi supir kasi.

Read more »

Rabu, 17 Desember 2008

Kisah Si Aris, Sang Pemula


Tadi siang, Rabu (17/12), Polres Garut menggelar ekspos kasus pencurian kendaraan bermotor (curanmor). Sebanyak 20 tersangka yang masing-masing terdiri dari 14 pelaku dan 6 penadah pun digiring ke halaman Mapolres Garut. Mereka diminta berdiri berjajar tepat di depan 30 unit sepeda motor curian yang berhasil diamankan petugas. Kawan-kawan wartawan televisi kemudian berburu mengambil gambar para tersangka. Aku yang datang belakangan tak ketinggalan mengeluarkan kamera digital dan memotret para tersangka. Mereka mengenakan pakaian tahanan Polres Garut berwarna oranye. Sekilas, penampilan para tersangka betul-betul mirip pasukan sepakbola Belanda yang memiliki seragam kebanggaan berwarna oranye.

Dari sekian banyak tersangka yang diamankan polisi, Aris menjadi salah satu yang diwawancarai para wartawan. Usianya masih terbilang muda, baru 22 tahun. Entah dusta atau memang benar adanya, kepada wartawan Aris mengaku baru satu kali melakukan aksi curanmor. Dengan terbata-bata (bukan tersemen-semen) warga Desa Maroko Kecamatan Singajaya ini pun menceritakan alasannya mencuri motor. “Saya baru sekali mencuri sepeda motor, tapi keburu ketahuan. Saya benar-benar terpaksa karena tidak punya pekerjaan, sementara kebutuhan hidup dari ke hari makin berat,” aku Aris. Lantaran baru sekali menggasak motor orang, Aris pun mengaku membutuhkan waktu sekitar setengah jam untuk menggunakan kunci letter T yang biasa dipakai membobol dudukan kunci kontak. Sementara teman-temannya yang sudah mahir, hanya membutuhkan waktu sekitar 1 menit. Ck ck ck, gila! Maling profesional hanya butuh waktu satu menit buat melancarkan aksinya.

"Saya memang belum mahir benar, makanya meski menggunakan kunci leter T saat operasi, saya masih butuh waktu setengah jam sebelum berhasil membawa kabur motor yang jadi sasaran,” ujar Aris sambil tertunduk. Menyesalkah Aris? Tentu saja. Seperti para pelaku kejahatan lainnya, setiap tertangkap polisi mereka pasti mengaku menyesal. “Saya hanya pasrah saja dan kapok,” sesal Aris. Tapi kalau dilihat dari perilakunya saat disorot kamera, penyesalan Aris seperti dibuat-buat ya. Hampir seluruh tersangka termasuk Aris, malah cengar-cengir saat disuruh berbaris di halaman Mapolres Garut. Mereka juga terlihat tidak menunjukkan wajah penyesalan saat digiring kembali masuk ke tahanan Mapolres Garut.

Sepulang dari Polres Garut, Tasdik cerita sama Indra Trans TV. Katanya, saat meliput ekspos kasus curanmor, dia memeriksa beberapa sepeda motor. Siapa tahu ada motor Mio milik istrinya Indra yang sempat hilang setahun silam. “Tapi ga ada mang. Padahal saya nyari motor ente. Siapa tahu ada,” ujar Tasdik disambut senyuman Indra. Selain Indra, Inul Galamedia juga sempat merasakan ganasnya pelaku curanmor di Garut. Padahal, pria yang aslinya bernama Zainul itu terkenal paling apik. Ia tidak pernah lupa memasang kunci ganda di sepeda motornya. Menurut pengakuan Dedi Radar Garut, saat kawan-kawan sudah memulai liputan, Inul malah sibuk dengan sepeda motornya. “Musibah mah teu pilih-pilih,” sambar Kang Slamet KBR 68 H. “Meski dikunci rapat dengan kunci ganda, kalau sudah waktunya hilang, ya hilang,” ujarnya lagi.

Kasus curanmor di Kabupaten Garut memang terbilang tinggi akhir-akhir ini. Dalam kurun waktu 3 bulan dari September hingga November, tercatat 62 kasus curanmor. Aksi curanmor tertinggi terjadi pada bulan September yaitu sebanyak 30 kasus. Kasatreskrim Polres Garut AKP Oon Suhendar kemudian mengingatkan warga agar benar-benar menyayangi sepeda motor milik mereka. “Sekarang, beli sepeda motor juga bisa dengan uang Rp1 juta. Belum ada asuransi. Makanya, rasa memiliki warga terhadap sepeda motor kurang,” kata Oon. Siap Ndan!! Meski musibah bisa saja menimpa siapa pun, buat jaga-jaga ya sayangilah barang milik kita.

Read more »

Senin, 15 Desember 2008

Hujan di Leuweung Tiis

Siapa tak kenal kawasan Leuweung Tiis Kabupaten Garut? Jalan penuh tanjakan dan turunan dengan panjang sekitar 1 Km di Kecamatan Leles tersebut memang wajib dilalui pengemudi kendaraan roda dua dan empat saat hendak menuju Kabupaten Garut atau sebaliknya. Memang ada jalan alternatif melalui kawasan Limbangan, tapi jaraknya jadi cukup jauh dan memutar. Walhasil, bagi pengemudi yang ingin cepat sampai ke Kabupaten Garut, mau tidak mau harus melalui jalur tersebut. Nah, disebut Leuweung Tiis, karena sepanjang jalan, pengemudi kendaraan hanya bisa melihat hamparan hutan lebat tanpa rumah penduduk. Selain itu, cuaca di sana juga dikenal dingin. Jadi nama Leuweung Tiis memang diambil dari fakta yang terasa saat berada di sana yaitu hutan (leuweung) yang dingin (tiis) dan tanpa penghuni atau dalam bahasa sunda tiiseun.

Melintasi kawasan Leuweung Tiis dengan menaiki motor memang sudah menjadi santapan rutinku dalam tujuh bulan terakhir ini, sejak aku pindah tugas dari Kota Bandung ke Kabupaten Garut. Tidak jarang dalam seminggu aku setiap hari melintasi Leuweung Tiis baik siang maupun malam. Semua tergantung mood. Kalau malam memang ingin ke Bandung, aku pasti berangkat. Begitu juga sebaliknya. Dari sekian banyak waktu melintasi kawasan Leuweung Tiis, satu hal yang paling kubenci adalah hujan. Ya, kehujanan di Leuweung Tiis memang repot. Apalagi kalau malam hari. Soalnya, di sana tidak ada satu pun tempat berteduh. Untuk berhenti sejenak dan mengenakan jas hujan juga sulit karena kondisi sekitar yang gelap tanpa lampu penerangan. Ketimbang berhenti di pinggir jalan yang dipenuhi hutan, mendingan jalan terus menembus hujan, meski lebat sekali pun.

Terakhir kehujanan di kawasan Leuweung Tiis saat aku pulang ke Bandung Jumat (12/12) sekitar pukul 20.00 WIB. Tepat di ruas jalan tersebut, hujan lebat tiba-tiba turun. Parahnya lagi, saat itu aku tidak membawa jas hujan. Mau berhenti, tak ada tempat berteduh. Akhirnya, aku meneruskan perjalanan meski harus ditimpa hujan deras. Kondisi ban depan yang gundul membuatku terpaksa menjalankan motor dengan perlahan sehingga hujan terasa sangat lama sebelum akhirnya aku menemukan tempat berteduh. Buntutnya memang fatal. Setibanya di Bandung, dua hari aku terserang flu cukup berat hingga tak bisa pergi ke mana-mana. "Gara-gara kehujanan di Leuweung Tiis, jadi flu. Jangan pernah kehujanan di Leuweung Tiis," ujarku pada seorang teman via YM. "Jangan pernah kehujanan di mana pun," timpalnya.

"Dulu tahun 1960 sampai 1970-an, di kawasan Leuweung Tiis ada legenda jawara yang terkenal dengan sebutan Andi jago tutugan. Wallahualam benar tidaknya," kata Kang Sony, warga Garut yang hampir setiap hari berada di ruang humas. "Legenda itu terkenal di radio-radio lokal di Garut," ujar Kang Sony lagi. Menurut Kang Sony, Leuweung Tiis memang termasuk kawasan yang angker. Dulu, kata Kang Sony, sangat banyak kecelakaan yang terjadi di kawasan tersebut. "Wah, dulu mah banyak bus yang masuk jurang. Jadi, di Leuweung Tiis juga cukup banyak penghuni alam gaib," cerita Kang Sony. Memang, kontur jalan di kawasan Leuweung Tiis, selain menanjak dan menurun juga berliku-liku. Pengemudi kendaraan yang tak hapal betul medan, harus ekstra hati-hati menjalankan kendaraannya.

Kang Sony melanjutkan ceritanya. Menurut dia, tahun 1960-an kawasan Leuweung Tiis sempat hendak dijadikan tempat peristirahatan tapi batal. "Kalau di Bandung seperti Dago Tea House," ujarnya. Dulu, kata dia, tahun 1960-an ada pengusaha terkaya di Kabupaten Garut bernama Ii Hartaji. Pengusaha itulah yang hendak membangun kawasan Leuweung Tiis. "Sok aja lihat di sana, banyak bekas vila kan?" kata Kang Sony. "Sekarang bekas vila itu sudah diisi oleh penghuni alam gaib. Hahaha," ujar tambah Kang Sony. Cerita Kang Sony soal penghuni gaib di kawasan Leuweung Tiis mungkin benar. Kalau tengah malam melintasi jalan tersebut, sepinya memang minta ampun. Kadang-kadang suka merinding juga setiap melihat kiri kanan jalan yang hanya dipenuhi hutan. Hmmm, ternyata masih untung juga cuma kehujanan di Leuweung Tiis. Bayangkan kalau tengah malam melintas di di sana dan tiba-tiba ban motor pecah atau kehabisan bensin? Ah, jangan sampai deh..........

Read more »

Kamis, 11 Desember 2008

Pelajaran di Balik Kasus Mamin

Ketua Majelis Hakim I Nyoman Adi Juliansah tampaknya memang pandai melontarkan pertanyaan kepada saksi maupun terdakwa kasus dugaan korupsi dana makan minum (mamin) APBD Kabupaten Garut sebesar Rp4,5 miliar. Tadi siang, dalam sidang lanjutan kasus korupsi yang melibatkan empat mantan pejabat di Pemkab Garut tersebut, ia bertanya kepada saksi Anton Heryanto, mantan Kasi Anggaran pada Badan Pengelolaan Keuangan Daerah (BPKD) Garut yang mengaku bersahabat dengan salah satu terdakwa, Erlan Rivan (mantan Kasi Perbendaharaan BPKD). Pertanyaannya sangat sederhana. Nyoman yang juga menjabat sebagai Ketua Pengadilan Negeri (PN) Garut itu bertanya kenapa Anton tidak pernah mengingatkan tindakan Erlan menggelapkan uang negara, dalam hal ini anggaran mamin. Sementara tindakan Erlan tersebut, kata Nyoman, terkait dengan permintaan Anton atas nama Bupati Garut saat itu, Agus Supriadi.

“Saudara saksi berkawan dekat dengan terdakwa Erlan Rivan. Saudara saksi juga yang meminta terdakwa mencairkan uang untuk kepentingan Bupati Garut Agus Supriadi. Tapi saudara saksi tidak pernah bertanya dari mana Erlan mendapatkan uang. Apakah saudara saksi merasa ikut andil menjerumuskan kawan hingga menjadi terdakwa?” tanya Nyoman kepada Anton. Tak ada jawaban dari mulut Anton yang menurut para wartawan di Garut memiliki pengaruh kuat di kalangan pejabat ini. Ia sempat terdiam sebelum Nyoman mengulangi pertanyaannya. “Saya ulangi lagi, apakah saudara saksi merasa ikut andil menjerumuskan kawan hingga menjadi terdakwa seperti sekarang?” tanya Nyoman lagi. Setelah beberapa saat terdiam, Anton akhirnya menjawab. “Saya prihatin pak,” kata lelaki bertubuh kurus itu. Nyoman tersenyum. “Ya, ya, jadi saudara saksi merasa prihatin,” ujar Nyoman mengulang perkataan Anton.

Anton memang mengaku berkawan dekat dengan Erlan hingga akhirnya dia seperti kesulitan membedakan urusan yang terkait pekerjaan dengan pribadi. Namun dalam persidangan, ia justru lebih banyak memojokkan Erlan. Setiap pertanyaan hakim, Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan kuasa hukum terdakwa yang menjurus pada tindakan Erlan, ia jawab tidak tahu. Termasuk soal uang yang diperoleh Erlan untuk kepentingan bupati melalui tangan Anton. “Waah, saya tidak tahu dari mana Erlan mendapat uang itu. Saya hanya mendapat amanat dari Bupati Garut untuk meminta uang pada Erlan. Saat itu, saya tidak berani menolak meski permintaan yang salah sekali pun. Kalau menolak, saya bisa kena marah bupati,” kata Anton saat JPU menanyakan apakah dirinya tahu soal penyelewengan dana mamin. ‘Saya tahunya justru setelah tidak menjabat sebagai Kasi Anggaran dan saya sempat kaget,” tambahnya lagi. Jawaban Anton kontan membuat JPU bereaksi. “Sebagai sahabat, masa Anda tidak tahu? Anda kan mengaku sangat dekat dengan Erlan? Masa Erlan tidak pernah cerita?” JPU kembali bertanya. “Erlan tidak begitu terbuka soal keuangan,” kilah Anton.

Terkait kegiatan dugem yang disebut-sebut menggunakan dana mamin, Anton juga mengaku tidak tahu. Ia memang sempat ikut ke tempat dugem di Bandung bersama pejabat BPKD lainnya karena ditraktir oleh Erlan. “Saya ikut ya karena ditraktir Erlan. Soal uangnya dari mana, saya tidak tahu. Saya kan ditraktir,” ujar Anton. Uniknya, Erlan justru membantah beberapa pernyataan Anton. Di akhir sidang, ia sempat bertanya pada Anton dengan nada gusar. “Saya mau bertanya kepada saudara saksi. Apakah saudara saksi benar-benar tidak tahu soal penyimpangan dana mamin?” tanya Erlan kepada Anton. Jawaban Anton tetap sama. “Iya, saya tidak tahu,” ujar Anton. Mendengar jawaban kawan dekatnya itu, Erlan tampak menghela napas. “Boleh saya luruskan Pak Hakim?” tanya Erlan disambut anggukan Nyoman. “Sebenarnya saudara saksi mengetahui penyelewengan dana mamin karena sebelumnya kita sudah pernah membicarakan hal itu. Selain itu, setiap selesai pencairan dana, saya selalu lapor kepada saudara saksi,” sanggah Erlan. Lagi-lagi Anton bergeming dengan keterangannya. “Saya tidak akan mengubah keterangan,” tandas Anton.

Di balik persidangan tadi memang ada beberapa pelajaran soal persahabatan yang bisa diambil. Mungkin di mata Anton, tak ada istilah kawan dalam kasus korupsi meski dirinya sempat disebut-sebut sebagai aktor intelektual penyelewengan dana mamin oleh beberapa saksi. Ia seolah lepas tangan melihat kawan dekatnya menjadi terdakwa dan harus berada di tahanan. Padahal, berdasarkan pengakuan Erlan, Anton juga ikut menikmati hasil korupsi dana mamin. Pertanyaan hakim pun seolah mengingatkan kembali arti sebuah persahabatan. Bagaimana seorang sahabat harus bisa saling mengingatkan ketika salah satunya berbuat salah. Kata prihatin saja yang keluar dari mulut Anton melihat Erlan menjadi terdakwa tampaknya cukup membuktikan seperti apa wajah pertemanan mereka. Hmmm, mungkin Anton menganut paham pertemanan: senangmu,senangku juga. Sedihmu, senangku juga.

Read more »

Selasa, 09 Desember 2008

Selamat Datang Haji Gisavo!!



Anak-anak yang menimba ilmu di Taman Kanak-kanak (TK) Al Muhajir tampaknya memang harus selalu siap mengikuti berbagai kegiatan. Setelah sebelumnya belajar mengenal alam di lokasi outbond Natural Hill Lembang, mereka kemudian mengikuti kegiatan manasik haji di halaman TK Al Muhajir, Sabtu (6/12) lalu. Anakku Gisavo tak mau ketinggalan. Bersama teman-teman dari TK lain, ia pun rela mengenakan pakaian ihram meski sempat mengaku kedinginan. Dalam kegiatan tersebut, dia belajar bagaimana cara menunaikan ibadah haji, di antaranya melempar jumrah Aqabah dan mengelilingi miniatur kabah. Namanya anak TK yang rata-rata berusia 4 sampai 5 tahun, saat mengikuti manasik haji, tingkah laku mereka tentu bermacam-macam. Ada yang berlari sambil tertawa, ada yang saling dorong, ada yang muntah, ada mogok, dan banyak lagi. Aku sendiri tak tahu apakah anakku mengerti apa yang disampaikan dalam materi manasik haji. Aku yakin dia tidak paham. Namun dari wajahnya, ia tampak menikmati kegiatan tersebut.

Pagi-pagi sekali anakku sudah bangun. Seperti biasa, ia minum segelas susu, mandi pagi, dan sarapan. Karena hari itu istriku bekerja mengajar di Purwacaraka Cimahi, seluruh tugas yang berkaitan dengan anak aku ambil alih, termasuk menemaninya mengikuti kegiatan manasik haji. Dalam kegiatan itu, anakku diharuskan mengenakan pakaian ihram. Lewat bantuan tangan mertua, pagi itu anakku mengenakan pakaian yang biasa digunakan para jamaah haji dan siap mengikuti manasik haji. Layaknya seorang calon haji, ia juga dikalungi sebuah tas kecil bertuliskan TK Al Muhajir. Tas kecil itu kemudian diisi biji lengkeng untuk melempar jumrah Aqabah. Ada 10 biji lengkeng di tas tersebut. “Pokoknya nanti Gisavo harus ikut apa kata guru. Jangan nakal. Kan mau jadi haji,” pesanku pada Gisavo sebelum dia berangkat sekolah. Anakku mengangguk. Setelah pamit, kami berdua berangkat menuju TK. Aku sempat mengantar istri ke Leuwipanjang sebelum kembali ke TK untuk mengawal kegiatan anakku.

Awalnya, seluruh anak-anak TK dikumpulkan dan dibagi dalam beberapa kloter. Anakku kebagian kloter pertama. Sebelum dimulai, berbagai acara seremonial digelar. Saat itulah, anak-anak terlihat asyik dengan dunia mereka sendiri. Belum juga acara dimulai, pakaian ihram berwarna putih sudah kotor. Bagaimana tidak, saat acara seremonial berlangsung, banyak anak-anak yang berlarian atau berguling di halaman TK. Teriakan guru yang meminta mereka diam dan mendengarkan petunjuk dari penyelenggara manasik haji tak digubris. Beberapa orangtua siswa yang ikut menjadi pembimbing juga tak kalah sibuk. Mereka berlari mengejar anak-anak agar tetap tertib dan berada di barisan. Acara seremonial diakhiri dengan pemukulan beduk tanda kegiatan manasik haji dimulai. Anak-anak bersorak. Mereka mulai berjalan mengikuti petunjuk dari para guru yang tak henti-hentinya berteriak melalui pengeras suara. “Labaik Allahuma Labaik,” begitu teriak anak-anak TK mengikuti suara guru.

Acara mengelilingi miniatur kabah sempat sedikit terganggu dengan ulah Fadlan, salah seorang siswa kelas A1 TK Al Muhajir yang tiba-tiba muntah persis di depan miniatur kabah. Panitia langsung bertindak. Miniatur kabah segera dipindahkan agar anak-anak lain tidak terganggu dengan insiden tersebut. Usai mengelilingi kabah, anak-anak kembali berjalan dan meminum susu cokelat yang diibaratkan sebagai air zamzam. Rasa air susu yang enak sempat membuat anak-anak ketagihan. Banyak di antara mereka yang tidak mau beranjak karena masih ingin menikmati susu cokelat tersebut. Walhasil, para guru lagi-lagi sibuk mengatur barisan agar tidak tercecer. Tuntas mengikuti seluruh kegiatan manasik haji, anak-anak dibagi konsumsi berupa nasi dus. Saat itu, seluruh anak harus makan di kelas dan tidak boleh berkeliaran. Aku pun terpaksa berada di kelas bergabung dengan ibu-ibu untuk menjalankan tugas menyuapi Gisavo.

Sebelum pulang, seluruh anak-anak berfoto bersama para guru di depan miniatur kabah. Hahahaha, sudah kuduga sebelumnya, gaya anakku saat difoto pasti standar yaitu menempelkan kedua telunjuk ke arah pipi sambil tersenyum. Pukul 11.00 WIB, seluruh kegiatan manasik haji selesai. Anakku berlari memburu tukang mainan yang sejak pagi berada di halaman TK. Aku sempat berpikir bagaimana kalau anakku betul-betul menjadi haji. Sepertinya lucu ketika menyebut nama Haji Gisavo. Kok jadi terdengar asing di telinga ya? Hmmm, selamat datang Haji Gisavo!!

Read more »

Kamis, 04 Desember 2008

Gila! Dugem Habis Rp27 Juta Semalam!



Meliput sidang kasus dugaan korupsi dana makan minum (mamin) APBD Kabupaten Garut tahun 2007 di Pengadilan Negeri (PN) Garut memang boleh dibilang melelahkan sekaligus juga menyenangkan. Melelahkan karena proses sidang memakan waktu cukup lama, apalagi saat mendengarkan keterangan saksi. Ini diperparah dengan ketiadaan fasilitas pengeras suara di PN Garut sehingga dalam setiap persidangan, aku dan beberapa wartawan lainnya harus betul-betul memasang telinga lebar-lebar saat mendengar keterangan saksi. Masih mending kalau saksi yang dihadirkan menjawab pertanyaan hakim, JPU, dan pengacara dengan keras. Banyak pula saksi yang dihadirkan menjawab pertanyaan dengan pelan, nyaris tak terdengar. Huh, sudah tidak ada pengeras suara, saksi yang dihadirkan malah menjawab pertanyaan dengan suara pelan.

Itu hanya sebagian kecil hal yang melelahkan. Di balik rasa lelah, ada pula hal yang menyenangkan saat meliput sidang mamin. Dari persidangan tersebut, aku jadi mengetahui informasi di balik penyimpangan dana miliaran rupiah itu, termasuk alur penyimpangan dana. Beberapa saksi bahkan ada yang secara terbuka menyatakan ke mana saja aliran dana hasil korupsi tersebut, termasuk digunakan untuk biaya hiburan alias dugem pejabat Garut. Aku juga jadi mengetahui siapa sebetulnya aktor intelektual korupsi tersebut yang hingga saat ini seolah sama sekali tidak tersentuh aparat hukum. Sementara di luar materi sidang, ada pula beberapa hal yang unik dan membuatku tak kuat menahan senyum. Misalnya saat dua kuasa hukum terdakwa tertidur dalam persidangan ketika JPU tengah serius mendengarkan keterangan saksi, atau saksi yang menjawab pertanyaan berbelit-belit. Semuanya terasa menyenangkan di tengah liputan kasus mamin yang centang-perenang.

Kasus korupsi mamin sendiri menyeret empat mantan pejabat di Kabupaten Garut. Keempatnya masing-masing, Achmad Muttaqien (mantan sekda), Kuparman (mantan Asda III), Yaya Zakaria (Kabid Belanja pada BPKD), serta Erlan Rivan (Kasi Perbendaharaan pada BPKD). Data dan alat bukti yang diperoleh tim penyelidikan menunjukkan ada penyimpangan dalam prosedur pengajuan dan pencairan dana anggaran untuk kegiatan penydiaan makan dan minum (mamin) pada Bagian Umum di lingkungan Setda Garut. Pengelolaan keuangan daerah pada Bagian Umum dan BPKD Garut dari Januari 2007-Juni 2007 tidak dilaksanakan sesuai dengan ketentuan, sehingga melebihi pagu anggaran yang ditetapkan untuk kegiatan mamin tahun anggaran 2007 sebesar Rp 4,8 miliar. Dalam kenyataannya, pada kurun waktu Januari-Juni 2007, dana mamin yang digunakan mencapai Rp6,3 miliar.

Nah, dari sekian banyak sidang kasus dugaan korupsi dana mamin yang aku liput sejak 9 Oktober lalu, persidangan tadi siang tampaknya paling menarik. Sidang itu menghadirkan tiga saksi bagi terdakwa Erlan Rivan dan Yaya Zakaria. Mereka adalah Venty (istri mantan Kasi Anggaran BPKD, Anton Heryanto), Dedi Kartiwa dan Aa Kustaman, keduanya mantan staf kasi anggaran pada BPKD. Kesaksian istri Anton rupanya menguatkan keterangan saksi sebelumnya, Teddy Kartono, seorang delaer di Kabupaten Garut. Pada persidangan sebelumnya, Teddy mengatakan bahwa Erlan sempat membeli mobil Nissan X-Traill untuk Anton Heryanto dalam kurun waktu Januari sampai Juni 2007. Harga mobil Nissan X Trail sendiri, kata Teddy, saat itu mencapai Rp337 juta. Meski Venty mengaku uang pembelian X-Traill itu berasal dari kocek pribadi, Erlan justru membantahnya. Ia menyebutkan pembelian mobil mewah itu berasal dari dana mamin.

Keterangan dua saksi yang dihadirkan setelah Venty yaitu Dedi Kartiwa dan Aa Kustaman tak kalah menarik. Pengunjung sidang bahkan beberapa kali dibuat tertawa mendengar keterangan dari kedua mantan staf Anton Heryanto itu. Kenapa? Karena keterangan mereka telah membuka aib para pejabat di BPKD tersebut yang ternyata doyan pergi ke Bandung untuk dugem dengan menghabiskan dana puluhan juta rupiah. Parahnya, dana dugem itu diambil dari uang pemerintah alias dana mamin tadi. Luar biasa!!! Awalnya, Dedi memberi keterangan bahwa dirinya dua kali mengantar Aa ke Bandung tepatnya ke Hotel Imperium dan Grand Aquila. Sebelumnya, Dedi yang juga sering menjadi sopir pribadi Anton sempat melihat Aa mengambil uang puluhan juta rupiah dari meja bendahara BPKD atas perintah Erlan. Namun dia mengaku tidak tahu untuk apa uang itu diambil. Yang jelas, Dedi mengaku mengantar Aa ke Hotel Imperium dan Grand Aquilla tapi tidak ikut masuk. “Saya tidak ikut masuk. Karena saya berpikir, kalau saya ikut hiburan, saya harus nyetir dan saya bawa nyawa,” kata Dedi disambut tawa pengunjung sidang.

Rupanya Aa pun mengamini keterangan Dedi. Dia mengaku memang sempat dua kali diperintahkan Erlan untuk mengambil uang dan dibawa ke Bandung. Uang itu diambilnya malam hari di Kantor BPKD . Dia kemudian berangkat ke Hotel Imperium dan Grand Aquila Bandung bersama Dedi dengan menaiki mobil dinas. Rupanya, begitu tiba di Imperium dan Grand Aquilla, Aa bertugas menjadi juru bayar atasannya di BPKD, yang saat itu sedang asyik dugem. Dalam persidangan, Aa mengaku tidak tahu siapa saja yang ada di lokasi dugem tersebut, selain Erlan, Anton Heryanto, dan Kuparman. Rata-rata kegiatan dugem itu menghabiskan dana hingga puluhan juta rupiah. “Pernah kita bayarnya kurang. Waktu itu, saya bawa uang Rp20 juta, sementara tagihan biaya dugem mencapai Rp27 juta. Akhirnya kita ngutang. Saya tidak tahu siapa yang bayar sisanya,” kata Aa lagi-lagi disambut tawa pengunjung sidang. Lucunya, Aa mengaku tidak pernah menyimpan bon pembayaran biaya dugem karena takut ketahuan istri. Hahahahahaha, mau nakal kok tanggung, masih takut sama istri. Meski berbelit-belit, jawaban Aa cukup mengundang tawa sampai ketua majelis hakim sempat mengingatkan pengunjung agar menghargai proses sidang.

Erlan lagi-lagi menyanggah beberapa keterangan Aa. Dia mengaku tidak pernah menyuruh Aa mengambil uang untuk dibawa ke Bandung, tepatnya Imperium dan Grand Aquilla. Selain itu, Erlan juga mengatakan, Aa tidak hanya dua kali mampir ke Bandung tetapi sampai berkali-kali. Gila! seandainya dalam semalam biaya dugem mencapai Rp27 juta, berapa dana rakyat yang dihabiskan para pejabat di lingkungan BPKD untuk dugem berkali-kali. Sebelumnya JPU sempat bertanya kepada Aa rincian pembayaran biaya dugem tersebut hingga menghabiskan dana Rp27 juta. Sayangnya, Aa tidak bisa merinci secara pasti karena mengaku lupa. Tapi, namanya dugem, tentu tak akan sempurna jika tidak diwarnai dengan acara minum-minum dan nyanyi dengan PL yang cantik. “Bener mang. Dana mamin teh memang dipakai buat minum. Tapi minum yang laen,” celoteh Aep Priangan yang saat itu duduk di sebelahku, sama-sama meliput jalannya sidang. Hmmm, dana mamin memang betul-betul digunakan untuk anggaran makan minum. Sayangnya, mereka salah beli minuman sehingga terpaksa harus menjalani hukuman dan mengikuti persidangan yang melelahkan.

Read more »

Jumat, 28 November 2008

Menikmati Malam Jahanam


Tengah malam jahanam di Kabupaten Garut. Nyaris saja aku melihat orang dipukuli di Jalan Ahmad Yani Garut Kota tidak jauh dari Kafe Cikuray, dinihari kemarin sekitar pukul 01.00 WIB. Saat itu, aku, Ukas Reks Radio, dan Agung kawan Ukas, berniat membeli nasi goreng usai menikmati alunan musik dangdut di Kafe Cikuray dan bermain biliar di Kafe Fortune. Baru saja duduk dan memesan tiga porsi nasi goreng, seorang pemuda mabuk mendatangi tempat kami makan. Dia ditemani beberapa kawan pria dan seorang perempuan. Setengah sempoyongan, pemuda itu mendekati si penjual nasi goreng yang memang sudah sering didatangi rombongan wartawan sehabis lelah menjalani aktivitas malam. Kalau tidak salah, kawan-kawan wartawan biasa memanggilnya Awan. Dalam keadaan mabuk, ia mendekatkan wajahnya ke wajah Awan sambil mengumpat. Setiap kalimat umpatan, selalu diawali dan diakhiri dengan kata “Anjing”.

“Anjing, sia nu ngaranna Awan teh, anjing?” teriak pemuda mabuk itu. “Anjing, sia teh urang mana?” tandasnya lagi. Kami bertiga hanya diam menyaksikan ulah pemuda itu saat memarahi Awan. Namun, rasa kesal mulai menyelimuti perasaanku. Pasalnya, kedatangan pemuda mabuk itu, membuat Awan mengabaikan pesanan kami. Padahal, kami sudah memasuki fase kritis rasa lapar. Awan hanya terdiam. Sepertinya ia sadar dengan apa yang dihadapinya saat itu. Meladeni pemabuk pasti tak akan pernah ada habisnya. Selain itu, pemabuk yang sedang marah juga biasanya menanggalkan logika dan lebih memilih menggunakan otot. Wajah pemuda mabuk itu semakin dekat dengan wajah Awan. Tangan kanannya terus mengepal. “Anjing, aing hayang neunggeul beungeut sia anjing!!” teriaknya. Meski begitu, ia sama sekali tidak melayangkan pukulan ke wajah Awan. Sekian menit berlalu dengan kemarahan si pemuda mabuk itu, Awan tetap diam. Bahkan, dia meminta maaf jika membuat pemuda mabuk itu tersinggung. “Enggeus, hampura urang,” kata Awan.

Sepintas aku mendengar apa yang diucapkan pemuda itu kepada Awan. Persoalannya sederhana dan seputar masalah wanita. Rupanya pemuda mabuk itu tersinggung dengan sikap Awan yang dinilainya tidak menghargai wanita. Meski Awan membantahnya, pemuda itu bergeming dengan pendiriannya dan meminta Awan menjauhi wanita itu. Belakangan diketahui, wanita yang disebut-sebut pemuda itu adalah kerabatnya sendiri. “Anjing, Aing mah teu sieun lamun maehan sia oge!! Paling dipenjara 10 tahun anjing!!” pemuda itu terus melampiaskan kemarahannya tanpa menyentuh Awan. Semakin lama, perasaanku semakin kesal, karena nasi goreng yang dipesan, tak kunjung datang. Namun, sama dengan pikiran Awan, meladeni pemuda mabuk malah berujung masalah. “Kalau ada Indra (Trans TV), bakal lain ceritanya mang,” kata Ukas. Aku tersenyum. “Kalau ada yang memulai juga ceritanya bakal lain,” ujarku. Beberapa saat, pemuda itu pergi. Itu pun setelah tewan wanitanya meminta dia menghentikan ocehan. “Ingat A, jangan lagi mendekati dia (sambil menyebut nama seorang wanita). Si eta mah tidak main-main dengan ancamannya,” kata wanita itu. Awan mengangguk dan kembali menyelesaikan tugasnya menyiapkan nasi goreng untuk kami.

Tiga porsi nasi goreng sudah siap. Kami pun menyantapnya. Tiba-tiba, pemuda itu datang lagi dan menghampiri Awan. “Anjing, aing can puas hayang neunggeul beugeut sia anjing,” teriaknya lagi. Namun, lagi-lagi dia tidak melayangkan pukulan ke wajah Awan. Ah, dasar pemabuk. Tidak puas-puasnya menggangu kenikmatan kami makan. Beruntung, dua orang lelaki turun dari mobil dan meminta pemuda mabuk itu pergi. Aku tidak tahu siapa kedua lelaki itu. Yang jelas, sepertinya pemuda itu tunduk pada perintah mereka. “Siap komandan! Siap komandan!” ujarnya sambil memberi hormat. Kami tersenyum melihat tingkahnya yang tiba-tiba berubah. Bersama kawan-kawannya, pemuda itu kemudian pergi. Setelah rombongan pemuda itu pergi, Ukas berucap. “Mang, eta teh wartawan oge. Tapi “uka-uka” (tidak jelas medianya). Saya sering ningali manehna nangkring,” kata Ukas. Aku menggeleng dan kembali teringat kejadian saat oknum wartawan mengamuk di Kantor Satpol PP karena teman kencannya terjaring razia. Ah, ada-ada saja ulah wartawan “uka-uka” di Garut.

Read more »

Selasa, 25 November 2008

Senangnya Melihat Anakku Ikut Outbond



Hari yang dinantikan itu datang juga. Akhir pekan lalu atau Sabtu (22/11), Gisavo anakku, mengikuti kegiatan outbond bersama seluruh anak-anak TK Islam Al Muhajir, tempat dia sekolah sejak bulan Juli lalu. Tidak tanggung-tanggung, lokasi outbond yang dipilih oleh para pengajar di TK tersebut cukup jauh dan masih terbilang asri. Namanya Natural Hill. Lokasinya, di Km 7 Jalan Kolonel Masturi (Kolmas) Lembang, tidak jauh dari Rumah Sakit Jiwa Cisarua. Sebuah lokasi outbond yang masih dikelilingi jurang, sawah, serta peternakan. Betul-betul pengalaman menarik! Di sana, anak-anak TK mendapat pelajaran berharga mulai dari bagaimana menghargai alam, mempertahankan diri, sampai tes keberanian ala pasukan kopassus. Aku ikut menyaksikan kegiatan tersebut bersama istri dari awal sampai akhir. Beberapa kali, kami menghela napas melihat materi yang diberikan para pemandu outbond karena cukup membahayakan dan melelahkan bagi anak-anak seusia Gisavo.

Seminggu sebelum kegiatan berlangsung, istriku berkali-kali mengingatkan agar aku menemaninya mengantar Gisavo mengikuti kegiatan tersebut. Aku pun menyanggupinya karena kebetulan hari Sabtu adalah jatah liburku. Maka sehari sebelumnya, aku sudah mengontak bapak di rumah untuk meminjam mobil agar bisa pergi ke lokasi outbond tanpa khawatir kehujanan atau kepanasan. Pada hari H kegiatan, aku dan istri memutuskan pergi menaiki mobil ke lokasi outbond, sementara Gisavo menumpang bus yang disediakan pihak TK. Dia ngotot ingin menaiki bus karena penasaran seperti apa rasanya duduk di sebuah mobil besar. “Gisavo mau naik bus ya pak,” katanya. Aku dan istri tersenyum. Sebelum berpisah, kami mencium kening Gisavo. Ia tampak bahagia. “Pak, busnya ada TV-nya!!” teriak Gisavo sebelum rombongan pergi. Bus yang berangkat ke lokasi outbond berjumlah empat unit. Dua bus diisi oleh anak-anak TK, sementara dua bus lainnya diisi oleh orangtua siswa yang tidak membawa kendaraan. Rombongan berangkat dari TK Al Muhajir sekitar pukul 08.00 WIB. Setelah sempat mengikuti bus dari belakang, aku memutuskan tiba di lokasi outbond terlebih dahulu agar bisa mengambil foto dan merekam kedatangan anak-anak TK.

Rombongan bus tiba sekitar pukul 09.00 WIB. Anakku menaiki bus nomor 1 dan tiba paling awal. Bersama seluruh teman-temannya ia turun dari bus. Wajahnya tampak kebingungan. Aku tersenyum melihat mimik wajahnya. Baru setelah kupanggil, dia menoleh dan menghampiriku. “Kenapa Gi?” tanyaku. “Bingung Pak,” jawabnya singkat. Hahaha, mungkin karena baru kali pertama naik bus, begitu turun, anakku langsung limbung. “Ya udah, gak usah bingung, sekarang ikut sama temen-temen lain dan jangan jauh-jauh dari bu guru,” jawabku. Ia mengangguk dan mulai bergabung dengan teman-teman sekelasnya, membuat sebuah barisan. Kalau tidak salah hitung, seluruh anak-anak TK dibagi dalam empat kelompok. Masing-masing kelompok dipimpin oleh seorang pemandu dari Natural Hill, di samping tentu saja dua orang guru TK Al Muhajir. Setiap kelompok, terdiri dari sekitar 10 anak-anak TK. Aku tak hapal seluruh teman satu kelompok Gisavo. Hanya beberapa saja yang kukenal karena cukup dekat dan sering bermain dengan anakku seperti Gifar, Ginggi, Fauzan, dan Noval.

Lokasi awal yang didatangi oleh kelompok Gisavo adalah sebuah kebun. Di sana, anak-anak diajarkan bagaimana membuat lubang di atas lahan kebun untuk diisi dengan sebuah biji jagung. Macam-macam gaya anak-anak saat membuat lubang. Gisavo tampak canggung. Beberapa kali ia berusaha membersihkan kedua tangannya dari tanah basah. “Ga apa-apa Gi. Sekarang boleh kotor-kotoran. Kalau di rumah ga boleh,” teriakku. Tetap saja, ia sangat berhati-hati ketika diminta guru menutup lubang yang sudah ditanami biji jagung. “Bu guru!! Udah!!” teriaknya sambil membersihkan kedua telapak tangannya ke baju teman sebelah. Setelah materi pertama yaitu menanam biji jagung selesai, pemandu kelompok membawa rombongan ke lokasi lain. Di sana, ada tiga buah jembatan. Masing-masing jembatan, memiliki tingkat kesulitan yang berbeda-beda. Jembatan pertama hanya terdiri dari seutas tambang untuk pijakan kaki dan dua tambang untuk pegangan tangan. Jembatan kedua terdiri dari dua tambang untuk pegangan tangan dan beberapa balok yang terpasang berjarak untuk pijakan kaki. Jembatan terakhir hanya berupa seutas tambang untuk pijakan dan pegangan tangan.

Aku sempat berpikir, sepertinya Gisavo tidak sanggup melalui tiga jembatan itu dengan sempurna. Namun kenyataannya tidak. Ia tampak menikmati materi kedua tersebut. Seluruh rintangan dilaluinya dengan tawa dan canda. Bahkan, pada jembatan ketiga, dia bergeming di atas seutas tambang dengan dua tangan memegang seutas tambang lainnya. Rupanya, materi ini merupakan pelajaran menjaga keseimbangan. Pemandu pun dengan santainya menggoyang-goyangkan tambang sehingga anak-anak yang tak kuat menahan keseimbangan akan terjatuh. “Ayo, jangan sampai jatuh. Di bawah ada buaya!!!” teriak pemandu. Tak urung, teriakan pemandu itu membuat anak-anak kembali menaiki tambang dan berusaha sekuat tenaga mempertahankan keseimbangan agar tidak jatuh. “Bapak!! Mamah!! Di bawah ada buaya! Gisa gak boleh jatuh,” anakku berteriak sambil terus berpegangan pada seutas tambang.

Materi ketiga mengingatkanku pada Sungai Citarum. Sama dengan apa yang pernah aku alami di Sungai Citarum, anak-anak disuruh menyeberangi sungai dengan rakit yang terbuat dari beberapa bambu. Di atas rakit, melintas sebuah tambang. Agar bisa sampai ke seberang, anak-anak harus menarik tambang tersebut sehingga rakit akan melaju mengikuti alur tambang. Aku jadi teringat saat ditugaskan meliput rencana jalur alternatif dari Soreang menuju Bandung. Saat itu, bersama seorang kawan, aku menaiki rakit menyeberangi Sungai Citarum. Motor juga ikut disimpan di atas rakit. Si pemilik rakit kemudian menarik sebuah tambang di atasnya dan rakit yang kami tumpangi melaju ke seberang sungai. Ah, masa lalu yang menyenangkan. Di atas rakit, Gisavo duduk di depan. Tiga teman lainnya duduk di belakang. Dengan santai, mereka kemudian menarik seutas tambang sehingga rakit sampai ke seberang. Mereka melakukannya bolak-balik sampai rakit kembali ke posisi semula. Hahaha, lucu melihat tingkah mereka menarik rakit.

Inilah materi keempat yang disukai anakku. Apalagi kalau bukan flying fox. Ya, anakku betul-betul menyukai kegiatan yang cukup memacu adrenalin ini. Beberapa kali setiap bermain ke kebun binatang Bandung, dia kerap menaiki arena permainan tersebut. Bedanya, jika di kebun binatang flying fox yang ada tidak terlalu tinggi, sementara di lokasi outbond lokasi flying fox cukup tinggi. Agar cepat selesai, setiap anak menaiki flying fox berpasang-pasangan. Gisavo kebagian berpasangan dengan Gifar yang badannya lebih tinggi dan lebih besar. Karena badannya yang tinggi, dalam setiap kegiatan kesenian TK, Gifar kerap menjadi pembawa sisingaan. Gisavo dan Gifar sukses menaiki flying fox. “Pak, Gisa mau lagi naik flying fox,” kata dia. “Eh, jangan sekarang. Kalau sekarang, Gisa harus ikut kata Bu Guru dan kakak pemandu,” kataku diiyakan istri. Usai mengikuti permainan flyng fox, rombongan anakku kemudian berpindah ke lokasi permainan kelima. Aku tak ingat nama permainan itu. Namun, dalam permainan itu, anak-anak kembali harus melalui tiga rintangan, kali ini mirip latihan pasukan kopassus. Rintangan pertama adalah meniti sebuah balok yang dipasang berdiri dengan jarak yang berjauhan satu sama lain. Setelah itu, mereka disuruh memanjat dan menuruni sebuah balok yang dipasang bertingkat. Terakhir, anak-anak disuruh merayap di atas tanah menghindari rintangan di atasnya. Lagi-lagi anakku sukses melewati ketiga rintangan itu, meski rintangan pertama harus dibantu oleh Ibu guru.

Usai merayap, anak-anak TK kemudian masuk ke dalam sebuah labirin yang terdiri dari semak-semak. Mereka harus menemukan jalan keluar. Setelah keluar dari labirin, mereka juga dihadapkan pada rintangan lain yaitu sebuah tambang kecil yang dianyam persis jaring laba-laba. Beberapa kali anakku terjatuh karena terjerat tali yang membentuk jaring laba-laba itu. Namun, ia sukses melaluinya. Sebelum sampai pada materi terakhir, rombongan beristirahat. Materi terakhir rupanya sangat dinantikan oleh anakku. Anak-anak disuruh masuk ke kolam ikan, dan mencari ikan sebanyak-banyaknya. Dengan senang hati, Gisavo terjun ke kolam. Namun, bukannya mencari ikan, bersama teman-teman lainnya, ia sibuk bermain air. Aku berteriak-teriak agar dia tidak melupakan tugasnya menangkap ikan. Ingin rasanya ikut masuk ke kolam dan ikut menangkap ikan. Tapi, keinginan itu tak diwujudkan. Bukan karena malu, tapi karena aku tidak membawa baju dan celana ganti. Selama hampir satu jam, anak-anak berada di kolam ikan. Akhirnya, dibantu Mang Utis, salah seorang petugas di TK Al Muhajir, aku berhasil menangkap satu ikan. Begitu ikan tertangkap, aku lantas meminta anakku naik dan membersihkan diri. “Kalau ikannya belum ketangkep, anakku pasti tidak mau beranjak dari kolam,” pikirku. Di bawah pancuran yang dingin, anakku mandi. Aku dan istri membantunya membersihkan badan. Tubuh anakku menggigil kedinginan. “Brrrrr, dingin pak,” ujar Gisavo.

Selesai sudah kegiatan outbond yang mirip sebuah pesta bagi anak-anak TK itu. Setelah menyantap makan siang bersama rombongan, kami pulang. Tidak seperti saat awal berangkat, kali ini Gisavo tidak ikut rombongan bus, tetapi ikut menaiki mobil. Baru saja mobil melaju dari lokasi outbond, suara anakku tak terdengar. Ia tertidur pulas dengan kepala menempel di pintu mobil. Akhirnya, istriku membetulkan posisi tidur Gisavo. Dalam keadaan tertidur, Gisavo tampak tersenyum. Sepertinya ia masih menikmati saat-saat indah di lokasi outbond. Hmm, betul-betul hari yang melelahkan dan menyenangkan buat anakku.

Read more »

Senin, 24 November 2008

Catatan buat Miftahul Ulum


Sebuah SMS mampir di HP-ku dinihari tadi. “Mang, Bandung bergejolak lagi. Bisa kunjungi: ruang-public.blogspot.com atau lentera-merah.blogspot.com. Barangkali punya saran untuk kita. Nuhun.” Begitu isi SMS yang dikirim sekitar pukul 00.53 WIB. Pengirimnya salah seorang teman kantor di Bandung yang tidak mempunyai pos liputan jelas. Setiap hari, dia selalu disibukkan mencari berita yang akan dijadikan head line halaman dalam koran tempat kami bekerja. Entahlah, akhir-akhir ini, aku merasa sangat dekat dengannya dan begitu peduli dengan masa depannya. Mungkin karena kami memiliki hobi dan gaya bercanda yang sama. Hmmmm, SMS yang aneh. Sesaat, aku tertegun dan berencana membuka kedua blog tersebut pada pagi harinya. Sepertinya, informasi ini betul-betul serius. Ah, ada apa dengan Bandung? Gejolak apalagi yang terjadi?

Tadi pagi, aku langsung membuka blog yang direkomendasikan temanku via SMS tersebut. Yang pertama kubuka adalah www.lentera-merah.blogspot.com. Baru membuka awalnya saja, aku sudah tertegun. Blog itu berjudul “korban media” dengan deskripsi tulisan “catatan melawan lupa”. Meski tak melihat profil terlebih dulu, aku tahu persis siapa pembuat blog tersebut. Ya, dia adalah Miftahul Ulum atau akrab disapa Ulum, pria asal Blitar yang dimutasi ke Bandung setelah sebelumnya sempat berada di Bali, merintis usaha koran tempat kami bekerja saat ini di surganya para wisatawan tersebut. Sebuah tulisan dia posting Sabtu (22/11) lalu. Judul tulisannya: (tak) adil sejak dalam pikiran. Aku membaca tulisan itu dengan seksama. Paragraf awal tulisan sudah cukup menyesakkan dada. “Rabu (19/11/08) sekitar pukul 20.00 WIB, redaktur Sindo Jabar Army, telpon. Dia bercerita dan tanya seputar tidak diperpanjang kontrak. Menurut penelurusan dia, setelah tanya Nevy dan Jaka, aku tidak diperpanjang akibat attitude,” begitu ungkap Ulum pada kalimat awal tulisan yang dia posting Sabtu (22/11) lalu. Ya ampun! Kontrak Ulum tidak diperpanjang hanya karena alasan attitude? Pada paragraf kedua, Ulum menulis: “Attitude yang dimaksud, saat muncul kasus Bali, aku termasuk salah satu yang vocal mengadvokasi keenam wartawan bali yang kontrak kerja tidak diperpanjang. Adapun standar semisal, penilaian berita, kemampuan dsb tidak menjadi pertimbangan tidak diperpanjangnya kontrak kerjaku.”

Miftahul Ulum memang korban media, seperti judul blog yang dia tulis. Kontrak kerjanya diputus, hanya karena dia dikenal vokal memperjuangkan nasib kawan-kawan di Jawa Barat. Sebelumnya dia juga memperjuangkan hak kawan-kawan wartawan dari media yang sama di Bali. Aku ingat betul bagaimana semangatnya Ulum ketika hendak membuat buku putih atau mempertanyakan gaji wartawan yang tidak layak seiring kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Aku juga ingat pertemuan di Punclut bersama Army dan beberapa kawan asisten redaktur (asred) lainnya saat dia berbicara lantang rencana gerakan kawan-kawan di biro memperjuangkan kenaikan gaji. Aku memang tak begitu mengenalnya. Tapi dalam beberapa kali pertemuan, aku sangat menghargai semangatnya memperjuangkan nasib kawan-kawan agar tidak melupakan hak. Aku juga tertegun dengan pengetahuannya soal media dan isu yang berkembang di sekitar tempat kami bekerja.

Awal pertemuan dengan Ulum dihabiskan di Kantor detikbandung, tidak jauh dari kantor tempat kami bekerja. Aku tak ingat persis kapan waktunya. Namun saat itu, selain Ulum, beberapa kawan lain juga ikut bergabung. Tidak banyak yang kami bicarakan saat itu. Yang aku ingat, kami sama-sama tertawa menikmati hidup dan nasib. Setelah itu, aku jarang bertemu dengan sosok pria yang ternyata usianya terpaut jauh denganku. Terakhir, kami sempat berbincang di kantor tentang banyak hal. Tapi terus terang, aku lupa apa yang kami bicarakan saat itu. Perbincangan kemudian berlanjut di YM. Dia menyapaku dan membicarakan sebuah blog yang isinya menghina Islam dan Nabi Muhammad. Perbincangan terakhir membicarakan rencana aksi terkait isi blog yang menghina Islam dan Nabi Muhammad tersebut. Meski aku kerap mengunjungi kantor biro, sosok Ulum jarang terlihat.

Miftahul Ulum, di manakah kamu sekarang? Apa yang kamu rasakan saat ini? Tak ada sepatah kata pun yang kau ucapkan menyikapi soal pemutusan kontrak yang dilakukan perusahaan tempat kita bekerja. Aku bahkan tak sempat menyimpan nomor telepon selularmu meski beberapa kali kita berbincang dalam sebuah pertemuan yang tak serius. Kita memang belum pernah bekerja bersama-sama, tapi napas kemerdekaanmu terasa hingga 60 Km dari Bandung. Kebebasan berpikirmu masih membekas di alam pikiranku. “Sepertinya, kalau ada pemutusan hubungan kerja (PHK), akulah orang pertama yang menjadi target,” begitu ucapmu suatu hari. Dugaanmu benar kawan! Tapi, perjuangan menuju kebenaran tak pernah akan ada habisnya. Selamat jalan kawan! Sampai saat ini, lentera merah tetap masih bernyala di sini, di urat darahku……

Read more »

Rabu, 19 November 2008

Komik Nabi dan Kegelisahanku


Sebuah komik Nabi Muhammad versi Indonesia yang dihosting di wordpress.com, salah satu blog yang cukup terkenal di Indonesia, mengusikku kemarin malam saat membuka internet di ruang humas Pemkab Garut. Betapa tidak, komik itu sangat menghina Islam dan Nabi Muhammad. Di sana, terdapat dua cerita dengan judul ‘Muhammad dan Zainab’ serta ‘Kartun Sex Muhammad dengan Budak’. Dalam blog tersebut juga digambarkan sosok Muhammad sebagai orang yang mengenakan jubah hijau, surban, dan berewokan. Sementara gambar-gambar wanita dalam blog tersebut ditampilkan dengan pakaian seksi dan menggoda. Tak perlu kuceritakan lebih detail, pokoknya blog tersebut menyebutkan Muhammad sebagai sosok yang tak pantas dan Islam merupakan ajaran menyesatkan. Huh, betul-betul sebuah penghinaan dan pelecehan!!

Kebetulan, saat itu Abah Janur Antv dan Ahmad TVRI tengah berada di ruang Humas untuk mengirim gambar dan naskah longsor di Jalan Raya Samarang. Aku lantas memperlihatkan blog tersebut dan mendiskusikannya bersama mereka. Tak urung, keduanya langsung merinding begitu melihat gambar dan isi blog tersebut. “Waah, ini mah jelas penghinaan mang. Bisa jadi rame,” kata Abah. Ahmad pun berpikiran sama. “Enya mang. Ieu mah blog kurang ajar,” ujarku. Abah mengangguk. Ia mengambil telepon genggam dan mengirimkan pesan singkat kepada sejumlah tokoh di Kabupaten Garut. Aku berbincang di YM dengan salah seorang kawan di Bandung yang juga sudah melihat isi blog tersebut. Ia mengaku enggan berkomentar, namun akan mengabarkannya kepada kawan-kawan lain via YM. Selain berbincang via YM, aku juga mengabarkan isi blog itu via SMS kepada salah seorang kawan wartawan lain di Bandung.

Diskusi di ruang humas bersama Abah dan Ahmad terus berlanjut. Intinya, kami ingin blog yang menyesatkan itu ditutup dan pelakunya diproses hukum. Meski tidak begitu taat, sebagai seorang muslim, amarahku terbakar. “Ini tidak boleh dibiarkan mang,” kata Abah. Aku mengiyakan perkataan Abah, namun masih merasa bingung harus berbuat apa. “Tunggu saja reaksi orang-orang yang di-SMS,” kata Abah sambil terus membaca isi blog itu dengan seksama. Sekitar pukul 22.00 WIB, Abah dan Ahmad pamit pulang. Seperti hari-hari sebelumnya, aku tetap berada di ruang humas yang selama ini menjadi tempat menginap. Sepanjang malam, aku tak bisa tidur. Bayangan komik itu terus melintas bersama bayangan-bayangan lain yang kerap muncul setiap malam. Baru pukul 05.00 WIB tadi pagi, aku baru terlelap dan bangun sekitar pukul 09.00 WIB.

Seolah menjadi rutinitas sehari-hari, setiap pagi, setelah mandi dan menikmati segelas kopi, aku selalu membuka internet terlebih dahulu sebelum menjalankan aktivitas. Yang pertama dibuka adalah YM, kemudian berlanjut membuka detikbandung, PR online, SINDO, dan Galamedia. Kawan-kawan wartawan lain sudah ada di ruang humas, termasuk Abah Janur. Aku sempat bertanya kepada Abah mengenai jawaban dari tokoh-tokoh ia kirimi pesan singkat mengenai komik nabi. Abah bilang, mereka belum meresponnya. Perbincangan mengenai komik itu kembali berlanjut dan didiskusikan dengan kawan-kawan wartawan yang ada di ruang humas. Agus, sopir Kabag Humas Pemkab Garut, Dikdik Hendrajaya, ikut mendegarkan apa yang kami bicarakan sambil membuka internet. Tiba-tiba, ia berseru dan membuyarkan diskusi kami. “Komik nu ieu lain? Beritana geus aya di detik.com,” kata Agus. Kami pun memburu internet dan membuka detik.com. Benar saja, berita tentang komik nabi Muhammad sudah muncul di media online tersebut pukul 10.05 WIB. Judulnya: Komik Menghina Nabi Muhammad Versi Indonesia Beredar. “Bah! Geus aya di detik!” aku memanggil Abah. “Waah, alus atuh. Keun we mang, ngarah rame!!” sahut Abah sambil berjalan menuju salah satu komputer.

Akhirnya, terjawab sudah kegelisahan kami. Dengan muncul di detik.com, harapan agar blog itu ditutup dan penyebar komik diusut menyeruak. “Aya razia preman di Polres Garut!!” teriak kawan-kawan. Aku pun beranjak dari tempat duduk dan pergi ke Polres Garut dengan menaiki motor Indra Trans TV. Bersama Indra yang duduk di belakang jok motor, aku mengemudikan motor diguyur hujan gerimis. Di Polres Garut, seorang kawan menyampaikan pesan singkat. “Detik running terus soal kartun,” begitu isi SMS yang dikirim pukul 12.58 WIB. Kabar itu pun aku sampaikan kepada kawan-kawan yang saat itu berada di Polres Garut. Maka, usai meliput razia preman dan kasus pemukulan guru oleh guru, aku langsung membuka detik.com begitu tiba warnet. Berita komik nabi memang terus bergulir. Semua pihak berbicara. Mabes Polri, MUI, Depkominfo, anggota dewan, pendeta, dan tokoh Islam bersuara lantang. Intinya, mereka meminta wordpress.com segera memblokir blog tersebut. Sore sekitar pukul 15.30 WIB, aku mengetik berita. Ada rasa puas setelah mengetahui pemerintah menindaklanjuti komik nabi yang sarat dengan pelecahan dan penghinaan tersebut. Mudah-mudahan pemerintah cukup bijak dengan hanya memblokir blog tersebut dan tidak menutup wordpress. “Mang, ari website anu pelecehan ka nabi Muhammad naon?” sebuah SMS dari Tasdik Elshinta membuyarkan konsentrasiku. Kamana wae atuh mang??

Read more »

Senin, 17 November 2008

Kuda Mati Meninggalkan.....

Liputan di Kabupaten Garut bersama kawan-kawan adalah tertawa. Setidaknya, itulah yang aku rasakan sejak berada di wilayah yang terkenal dengan dodolnya itu pada akhir Mei 2008 lalu. Tertawa karena begitu banyak hari-hari yang dilalui dengan canda. Pun begitu banyak kejadian-kejadian aneh yang ditemukan saat liputan ataupun saat kehilangan ide liputan. Salah satu kasus yang sampai saat ini kerap membuatku tertawa adalah saat Abah Janur Antv menerima sebuah SMS dari nomor tak dikenal pada suatu malam. Tulisan SMS itu berbahasa sunda. Isinya sebuah informasi mengenai kecelakaan. Dengan suara lantang, Abah lantas membacakan isi SMS itu di ruang humas yang masih dipenuhi kawan-kawan wartawan baik cetak maupun elektronik. “Bah, bieu aya tabrakan angkot 07 jeung delman di pilar sukaraja karangpawitan sampe paeh kudana bakat ku tarik bari poek listrik tapi euweuh polisi,” teriak Abah membacakan SMS. Kalau diartikan dalam bahasa Indonesia, SMS itu berbunyi: Bah, barusan ada tabrakan angkot 07 dengan delman di pilar Sukaraja Karangpawitan. Saking kerasnya tabrakan, kudanya sampai mati. Tidak ada penerangan dan belum ada polisi.

Abah tertawa. Dia pun mengontak nomor si pengirim SMS karena ingin tahu kelanjutan informasi itu. Ternyata SMS itu dikirim oleh seorang wartawan yang kebetulan melintas di lokasi kejadian. “Jadi kumaha? Kudana dibawa ka mana? Geus dievakuasi ka kamar mayat can?” tanya Abah kepada si pengirim SMS setengah bercanda. “Gimana bah?” aku bertanya. Berdasarkan laporan dari pengirim SMS, Abah kemudian menerangkan bahwa di lokasi kejadian masih banyak kerumunan orang. Selain itu, mayat kuda juga belum dievakuasi. Beberapa saat kami terdiam. Tiba-tiba Abah berinisiatif berangkat ke lokasi kejadian karena kebetulan saat itu Boi TPI membawa mobil. “Saya ngecek heula mang. Kana mobil!” kata Abah. Aku yang sudah bebas tugas mengikuti langkah Abah. “Bah, urang milu!!” seruku. Akhirnya, dengan menaiki mobil boi yang dikemudikan sopir, kami berangkat menuju lokasi kejadian. Tak kurang dari setengah jam, kami sampai di jalan yang disebutkan si pengirim SMS tadi. Jalan di sana memang gelap. Tak ada lampu penerangan sama sekali. Wajar saja kalau di daerah tersebut kerap terjadi kecelakaan.

Kami terus menelusuri jalan tersebut mencari lokasi kejadian. Tak ditemukan kerumunan orang. Padahal biasanya sebuah kecelakaan akan menarik orang banyak. “Sigana mah lokasi kejadian geus diberesan mang,” kata Abah sambil terus memperhatikan keadaan sekitar. Tiba-tiba, kami melihat bangkai delman teronggok di pinggir jalan. Kondisinya betul-betul rusak parah. “Tah mang, eta meureun!” kata Abah. Sayangnya, kami tidak berhasil menemukan bangkai kuda. Akhirnya, Abah memutuskan kembali lagi ke markas di ruang humas dan urung mengambil gambar. “Hayu mang, gambarna goreng. Mun aya keneh kudana mah, bisa dicokot gambarna,” kata Abah. Di perjalanan, telepon genggam Abah berbunyi. Sepertinya, telepon itu berasal dari kawan wartawan lain. Sebab, dari pembicaraannya, Abah tampak menerangkan kondisi di lokasi kejadian. “Kudana geus euweuh, coba cek ka UGD RSU dr Slamet. Sigana mah kudana geus dibawa ka rumah sakit,” ujar Abah kepada si penelepon. Aku tertawa mendengar percakapan tersebut.

“Saha bah?” tanyaku. “Si Ahmad (TVRI) mang,” jawab Abah menjelaskan identitas si penelepon. Menurut Abah, Ahmad bermaksud menyusul ke TKP untuk mengambil gambar kecelakaan. “Manehna nanyakeun kondisi TKP. Ceuk saya, kudana geus euweuh. Kalau mau ngambil gambar kuda, ke UGD RS dr Slamet we,” terang Abah sambil tertawa. “Terus si Ahmad kumaha?” aku kembali bertanya. Tadinya, kata Abah, Ahmad berencana ke UGD RSU dr Slamet, tapi urung karena tidak memiliki gambar TKP. “Dasar si eta mah. Pas ku urang disebutkeun kudana di UGD, siga nu serius. Tapi manehna moal nyokot dan teu meunang gambar TKP,” ujar Abah sambil tertawa. Hahaha, kebayang kalau si kuda benar-benar ada di UGD RSU dr Slamet. Berita itu dipastikan bakal mengisi halaman depan seluruh surat kabar dan menjadi berita utama di televisi keesokan harinya.

Read more »

Minggu, 16 November 2008

Gaji PRT di Hongkong Rp4 Juta

Kemarin petang, di sebuah warnet, aku chatting dengan seorang perempuan yang sama sekali tak dikenal. Aku iseng-iseng menyapanya di yahoo messenger (YM) sambil menyelesaikan tugas mengetik berita. Yah, hitung-hitung hiburan daripada bete nulis berita terus. Rupanya dia membalas sapaanku. Perbincangan pun mengalir. Seperti seorang reporter yang tengah menjalankan tugas liputan, aku mulai bertanya asal usul perempuan itu. Dia menjawab dengan jujur (setidaknya aku percaya dengan jawabannya), mulai dari status, asal daerah, sampai tempatnya bekerja. Aku pun menceritakan statusku yang sudah berkeluarga dan memiliki satu anak. Rupanya, perempuan itu orang Indramayu dan sempat tinggal di Bandung, tepatnya di daerah Kopo. Namun, sejak menjanda 8 tahun lalu, perempuan yang mengaku sudah berusia 40 tahun ini hijrah ke Hongkong, bekerja sebagai tenaga kerja wanita (TKW). Dia sendiri punya 3 anak yang sudah besar. Anak paling kecil sudah duduk di bangku SMA. Sementara anak tertua, sudah berusia sekitar 20 tahun.

“Saya sudah 8 tahun menjanda,” tulis perempuan itu menjawab pertanyaanku di YM. Aku tak bertanya alasan dia menjanda. Namun, aku penasaran dengan alasan dia pergi ke Hongkong dan bekerja menjadi TKW mengingat nasib TKW Indonesia kerap menderita di negeri orang. “Di sini, saya jadi pembantu rumah tangga (PRT),” jawabnya. “Ada berapa orang TKW Indonesia di Hongkong mbak?” tanyaku. Dia tidak bisa menjawab pasti. "Jumlahnya mencapai ratusan ribu," katanya. Menurut perempuan itu, menjadi PRT di Hongkong jelas lebih menguntungkan ketimbang jadi pembantu di Indonesia. “Kalau di Indonesia mah, jadi pembantu gajinya kecil. Mending jadi pembantu di sini (Hongkong). Gajinya lebih besar dari pegawai negeri sipil (PNS). Hahahaha,” perempuan itu menerangkan.

Setiap hari, perempuan itu mengaku bekerja selama 24 jam. Seluruh biaya sehari-hari, ditanggung oleh majikannya, termasuk makan. Hari Minggu adalah hari santai buat dia. Biasanya, waktu santai tersebut dia gunakan untuk berkumpul bersama pembantu lainnya di warnet, atau berlibur. “Harga warnet di sana berapa per jamnya?” tanyaku. “Sembilan dolar,” jawabnya. “Atau setara dengan Rp9.000,” katanya lagi. Wah, ternyata harga warnet di Hongkong mahal. “Emang mbak digaji berapa sebagai pembantu rumah tangga?” aku semakin penasaran. “Yah, sekitar Rp4 juta per bulan,” jawabnya. Aku tertegun dengan nilai uang yang disebutkannya. Gila, seorang PRT di Hongkong mendapat gaji sebesar Rp4 juta. Nyaris 3 kali lipat dari gajiku sebagai wartawan. Pantas saja, orang Indonesia banyak yang berlomba-lomba jadi TKW karena ingin mendapat gaji yang layak. Selain itu, perempuan itu mengaku merasa nyaman berada di Hongkong sehingga banyak TKW yang betah berlama-lama berada di sana.

Coba bandingkan gaji pembantu rumah tangga di Hongkong dengan Indonesia. Rata-rata, pembantu di Indonesia digaji sekitar Rp300 sampai 500 ribu per bulan. Itu pun atas persetujuan dan kebaikan sang majikan setelah terjadi tawar menawar harga. Menurut perempuan itu lagi, penegakan hukum mengenai upah TKW di Hongkong betul-betul diatur oleh negara dan ditegakkan aparat hukum. Majikan dan pekerja bisa dihukum jika melanggar aturan tersebut. Di Hongkong, negara juga melindungi hak-hak TKW untuk mendapat jatah libur. Mereka bisa refreshing sesuka hati menikmati hari bebas. Sementara di Indonesia, pembantu rumah tangga kebanyakan tidak punya waktu libur setiap minggunya. “Mbak, boleh tahu uangnya ke mana?” tanyaku. Perempuan itu menjelaskan bahwa uang hasil keringatnya sebagian ditabung, sebagian lagi dikirimkan buat anak-anak dan orangtuanya. Luar biasa! Anak pertamanya bahkan kuliah di Politeknik Institut Teknologi Bandung (ITB).

Selepas maghrib, perempuan itu pamit hendak off dari YM. Aku mempersilakannya. Namun, aku masih berharap bisa berbincang lagi dengannya mengenai suka duka bekerja sebagai PRT di Hongkong. “Mbak, kapan-kapan bisa ngobrol lagi? Aku tertarik dengan cerita mbak jadi TKW di Hongkong,” tanyaku. Dia menjawab singkat. “Ok,” ujarnya lantas mengucap salam. "Jangan lupa mbak, kalau ada yang informasi menarik soal TKW di Hongkong, kasih kabar. Via YM aja lagi," tulisku menutup pembicaraan.

Read more »

Apa Kabar Pakuan?

Seminggu lalu, atau Jumat (7/11), saat baru saja keluar dari ruang Kabag Humas Pemkab Garut Dikdik Hendrajaya untuk menyerahkan charger HP, seorang pria setengah baya tiba-tiba berteriak memanggilku. “Gin!” seru pria yang memang sedari tadi sudah ada di ruang kabag humas itu. Aku kaget dan kembali memasuki ruang kabag humas. “Iya pak?” jawabku heran, karena tidak tahu siapa sosok pria yang memanggilku. “Ini Gin2 bukan?” tanya pria tadi. “Muhun pak, Gin2,” jawabku masih keheranan. “Waah, masak lupa sama akang Gin?” seolah kecewa karena aku tidak mengenalnya, pria tadi kembali bertanya. “Muhun pak, hilap,” jawabku jujur. Pria itu langsung mengenalkan diri. “Ini Wawan. Wawan Pakuan, Pikiran Rakyat,” terangnya. Ya ampun, aku benar-benar lupa dengan sosok pria tadi. Seandainya dia tidak mengenalkan dirinya kembali, sampai pembicaraan usai pun aku pasti lupa. “Punteeen pisan kang, abdi hilap,” kataku sambil menyalami pria tersebut. “Teu nanaon Gin,” jawabnya santai. Aku pun duduk dan berbincang dengan Kang Wawan.

Ingatan kemudian melayang pada bulan Februari 2007 lalu. Kang Wawan, begitu aku menyapa pria tadi saat terlibat bekerja di suplemen Pakuan, salah satu suplemen grup Pikiran Rakyat di wilayah Bogor, Depok, Cianjur, dan Sukabumi. Hanya dua bulan aku bergelut di media tersebut, tepatnya Februari dan Maret, setelah keluar dari koran lokal grup Kompas, sebelum akhirnya bergabung dengan koran nasional grup MNC, akhir Maret 2007 lalu. Aku pun hanya sekali bertemu dengan Kang Wawan di kantor perwakilan Pikiran Rakyat Cianjur. Saat itu, dia sengaja datang untuk memimpin rapat evaluasi kinerja awak Pakuan setelah dua bulan berjalan sejak Januari 2007. Kebetulan, aku ditugaskan di wilayah Kabupaten Bogor dan Kota Depok, bersama Depe, seorang kawan yang sebelumnya pernah menjadi redaktur Pakuan. Dalam pertemuan itu, Kang Wawan banyak memuji kinerja kami, meski ada beberapa hal yang perlu diperbaiki. Aku menyimak seluruh perkataannya dengan seksama. Pertemuan berlangsung tidak terlalu lama, namun cukup membuatku terkesan. Kang Wawan berharap awak Pakuan tidak berubah karena sudah solid. Ia juga berharap aku bisa bertahan di suplemen tersebut.

Awalnya, aku bergabung dengan suplemen Pakuan karena ditawari seorang kawan lama di Cianjur yang sempat bekerja satu media. Saat bekerja satu media, aku menganggapnya sebagai mentor yang baik, karena tulisannya rapi, dan pengalamannya di lapangan. Tak perlu kusebutkan alasan kenapa aku bergabung dengan suplemen Pakuan dan meninggalkan harian lokal grup Kompas yang aku masuki sejak 2002 lalu. Yang jelas, lepas dari harian tersebut, aku langsung berangkat ke Bogor dengan menaiki sepeda motor. Setelah sedikit diberi arahan, aku ditugaskan di wilayah Kabupaten Bogor dan Depok, sementara kawanku, Depe, bertugas di Kota Bogor. Dalam peliputan, aku ditemani seorang wartawan olahraga bernama Iman. Jarak tempuh yang jauh dan menanjak, membuat aku harus membetulkan rantai sepeda motor setiap tiga hari sekali. Ah, betul-betul pengalaman berharga. Di suplemen Pakuan, aku jadi mengenal Kabupaten Bogor dan Depok meski beberapa kali nyasar. Beberapa kali juga aku menemui cuaca yang berbeda di dua wilayah tersebut. Saat di Bogor hujan lebat, di Depok ternyata panas terik. Begitu pun sebaliknya. Saat di Depok hujan, ternyata di Bogor panas. Yang paling berkesan adalah saat aku pergi dari Bogor menuju Cianjur menaiki motor bersama Depe, tengah malam gulita. Bagaimana saat itu kami berdua melintasi kawasan Puncak yang berkabut dan dingin tanpa mengenakan jaket tebal. Luar biasa. Aku juga jadi mengenal banyak tempat-tempat baru, seperti masjid berkubah emas di Depok, atau rumah peninggalan si pitung di Jalan Margonda Raya.

Setiap Jumat, aku pulang ke Bandung. Hari Minggu aku kembali berangkat dibekali sejumlah uang oleh istri untuk hidup sehari-hari di Bogor dari Senin sampai Jumat. Untuk menghemat biaya, aku menginap di Mes PR, di kawasan Bogor Baru. Sementara biaya makan, kadang-kadang, aku mengandalkan ajakan seorang wartawan PR yang biasa meliput di Bogor. Hehehe, lumayan, ngirit pengeluaran. Tugas di suplemen Pakuan biasanya hanya dilakukan dua hari dan maksimal 3 hari. Sebab, meski suplemen Pakuan terbit setiap Sabtu, seluruh tulisan harus terkumpul pada hari Rabu. Sisa hari menuju akhir pekan biasanya aku habiskan di Cianjur, sekadar berkumpul dengan kawan lama yang banyak kukenal di daerah penghasil beras itu. Saat berada di Bogor, aku juga sempat ditawari bergabung dengan media nasional Tempo. Kabarnya, wartawan Tempo di Bogor membutuhkan satu lagi untuk mengisi wilayah Kabupaten Bogor yang luas. Tawaran itu aku pertimbangkan. Aku pun mengirimkan lamaran via email. Namun, aku urung bergabung dengan media tersebut karena keburu dipanggil ke Bandung oleh seorang teman untuk bergabung dengan media grup MNC.

“Ayeuna di Garut Gin?” tanya Kang Wawan, memecahkan ingatanku di masa silam. Aku mengiyakannya. “Atuh sama aja Gin, jauh ti keluarga,” ujar Kang Wawan karena sebelumnya aku mengatakan alasan keluar dari Pakuan karena ingin dekat dengan keluarga. Aku kemudian menerangkan bahwa alasan keluar dari Pakuan bukan semata-mata karena ingin dekat dengan keluarga. Saat itu, aku sangat merindukan pekerjaan sebagai wartawan harian yang setiap hari selalu disibukkan mencari berita. Kang Wawan mengangguk. Ia mungkin paham alasanku. “Gimana sekarang Pakuan Kang?” aku balik bertanya. “Masih jalan Gin,” jawabnya. Ia tak bercerita panjang lebar tentang kondisi Pakuan saat ini. “Tidur di mana Gin?” Kang Wawan kembali bertanya. “Di sini kang,” jawabku. “Di humas?” tanya Kang Wawan memastikan. Aku mengangguk. Pak Dikdik mengiyakan bahwa aku setiap hari tidur di ruang humas Pemkab Garut. “Daripada harus kos kang, mending tidur di sini,” ujarku. Kang Wawan tersenyum. Setelah sekian lama berbincang, aku pamit. “Kang, dikantun heula, abdi aya padamelan deui,” ujarku pamit. Kang Wawan mempersilakan aku pergi meninggalkan ruang Kabag Humas. Ah, sebuah pertemuan singkat yang cukup berkesan karena aku jadi ingat masa-masa sulit saat berada di Bogor. Apa kabar Pakuan sekarang?

Read more »