ANDRI duduk di kafe sebuah plaza petang itu. Sendiri menunggu seseorang. Masih sepi hingga lama-lama puluhan orang mulai ramai berdatangan. Sebatang garam filter di tangannya sudah sampai pada gambar jalan dan rumah-rumah berjajar, logo rokok itu. Dimatikan rokok itu, lalu ia ambil yang baru.
"Sudah rokok ke sembilan," ucapnya dalam hati. Segelas kopi entah merek apa, tersudut di siku-siku dinding, menunggu diminum. Andri mulai mengalihkan pandangannya pada keramaian di depannya. Dua gadis melirik, masih dengan seragam SMA.
Sejenak ia ingat hari-hari silamnya yang masih dijalani sampai sekarang. Dijuluki si biang ribut, ia kerap berpindah-pindah sekolah dengan serunya. Tak naik satu kali, pindah swasta, dipecat, pindah lagi, begitu seterusnya. Ayahnya pusing. Bukan berarti ibunya tidak. Andri jarang melihat ibunya. Mereka tak tinggal serumah, cerai. Andri pun mencoba tidak menyalahkan siapa-siapa. Mencoba menghadapi sendiri. Terlalu berat. Sampai datang seorang teman menawarkan sebungkus pil warna-warni.
Pfffff..... Itu asap yang kesekian kali keluar dari mulut hitamnya. Semakin berat saja. Segerombolan anak SMA lagi-lagi melintas. Semuanya laki-laki. Samar ia melihat sesuatu tersembul di balik pakaian mereka. Lalu di seberang eskalalator, terlihat segerombolan anak SMA lainnya. Dua gerombolan itu saling pandang. Andri mencium gelagat tak beres. Hanya sekejap ia mendengar teriakan-teriakan tak berarti. Satu terkapar bersimbah darah. Benda tersembul tadi telah bicara pada lambungnya.
Refleks, Andri pun meraba pinggangnya. Ada goresan memanjang sampai dada. Ia meringis. Melihat anak itu terkapar bagai melihat dirinya. Santer bau amis, aspal panas, kerumunan, dan gelap gulita. Lalu kamar serba putih dan tangisan ibunya. Semua terjadi begitu saja dan tak disadari.
Dua gerombolan anak SMA itu sudah pergi. Korban dilarikan ke rumah sakit. Kopi disudut yang sedari tadi tak disentuh mulai diseruputnya. Bukan panas, tapi hemat. Soalnya, ia sedang menunggu dan tak mau buru-buru pulang. Keramaian baru pun terbentuk lagi. Malam merangkak perlahan. Lima menit berlalu tatapannya terarah pada seorang gadis berkaos putih plus rompi hitam. Dua kakinya dibalut jeans belel. Rambut gadis itu tergerai sebahu. Andri berkedip. Lalu terlihat seorang Anes.
"Ndri, kalau kamu mabuk, jangan ke sini, Anes takut!!
Ditembak seperti itu, Andri hanya bisa mengangguk pelan. Di mata Andri, gadis itu begitu pengertian, walau egonya begitu besar. Anes sendiri termakan pengertiannya hingga mereka putus. Lama-lama Anes pergi melihat mantan kekasihnya tak banyak bicara. Andri kembali sendiri.
"Permisi....," seorang gadis mengenakan rok mini meminggirkan kursinya beberapa senti, memberi ruang. Si gadis duduk, roknya terangkat sedikit.
"Milk shake satu," teriaknya sambil mengeluarkan sebungkus Marlboro light. Sejenak melirik Andri.
"Hmmm, punya korek?" Tiingg, Andri mengeluarkan zippo.
"Makasih. Sendiri aja? Lagi nunggu orang ya?" tanya si rok mini.
Front telah dibuka. Andri menatap lekat si rok mini. Mengangguk, mengisap rokok lagi, menyeruput kopi, dan kembali sibuk dengan lamunannya. Si rok mini salah tingkah.
"Pesen apalagi mbak?" pelayan mengangsurkan pesanan.
"Udah, ini aja." Hening sejenak.
"Kamu pendiam, atau bisu?!"
Kali ini Andri melihat ke bawah. Yang dilihat tenang-tenang saja, tak berusaha menutupi. Tersenyum nakal.
"Ngga juga," ujar Andri.
"Syukur kalau gitu. Saya Mimi... Kamu?"
Melihat pancingannya mengena, Andri tersenyum. Shinta! Ya dia ingat Shinta! Sejak kejadian dulu Shinta merasa dikucilkan. Merasa kotor, dan (bukan lelucon) sibuk mendengarkan program-program pemerintah tentang kesehatan bayi. Sementara si calon ayah mungkin sedang sibuk dugem di diskotik-diskotik lain, mencari Shinta Shinta yang lain. Andri geram. Namun bagaimana pun, Shinta juga adiknya. Sekotor apa pun dia. Kembali Andri tak bisa menyalahkan siapa-siapa.
"Heh, ditanya kok bengong. Pake senyum-senyum sendiri lagi!" si rok mini membuyarkan lamunan.
"Hmm, Andri...."
Diam lagi. Si rok mini kemudian seperti memikirkan kata-kata selanjutnya. Andri termenung lagi.
"Pintu teater 1 telah dibuka...... " Terdengar sayup-sayup pemberitahuan di salah satu teater. Seperti diingatkan, Andri mengedarkan pandangannya, mencari. Pukul 19.15 WIB. Ke mana dia??
"Hmmm Andri," si rok mini angkat bicara.
"Maaf kalo Mimi ngeganggu acara nunggunya Andri. Tapi Mimi lagi butuh temen ngobrol nih," dia berhenti sejenak, menunggu reaksi Andri.
"Iya?" sahut Andri.
"Ya gitu deh. Andri mau kan nemenin Mimi ngobrol?" suara si rok mini terdengar maksa dan begitu akrab.
"Lagian ngapain bengong, mending ngobrol sambil nunggu temen Andri, oke!!"
Teman? Begitu asing kata itu di telinga Andri. Kapan terakhir dia punya teman? Kemarin? Seminggu lalu? Sebulan? Setahun? Ah lebih lama. Yah, pada waktu pertandingan basket antar-SMA dulu. Timnya sudah unggul 10 angka. Tiba-tiba terjadi ketidaksengajaan berbuntut keributan. Vonis jatuh pada Andri. Yang pasti timnya didiskualifikasi. Sejak itulah, Andri merasa tak pernah lagi punya teman, karena selalu disudutkan.
"Tuh kan bengong lagi??"
"Hehehehe, sorry...."
Sebetulnya tak ada sedikit pun keinginan Andri buat berbincang-bincang saat itu. Suasana hatinya tak menentu. Ia sedang menunggu teman untuk menuntaskan masalah tempo hari. Seperti biasa menawarkan beberapa barang. Dan Andri selalu menganut paham, "Ada uang, ada barang". Hanya kemarin, "ada uangnya" sedikit terlambat. Temannya tak senang, hingga hari ini ia berniat menyelesaikannya.
"Andri! Lagi-lagi kamu begong. Kalau kamu bengong lagi, Mimi pergi nih!" si rok mini mengancam.
"Sorry mbak. Garam filter sebungkus!!"
"Kamu anak SMA berapa Ndri?"
"Widya Gama."
"Kelas?"
"Dua...."
Andri merasa tidak enak dengan kegigihan si rok mini.
"Kalo kamu?"
"Mmmmm, SMA? Ah ngga usah disebut. Takut ngetop."
Andri tersenyum.
"Andri belum punya pacar ya? Kok malam minggu begini kerjanya keluyuran, bukannya apel. Kalau Mimi baru kemarin putus. Gara-gara dia punya cewek baru. Sebel!!" akhirnya Mimi berani bercerita. Andri terdiam. Matanya gelisah.
"Emang setiap cowok apa gitu ya? Kalau Andri gimana? Ndri? Kamu ngeliatin apa sih?!!!
Tanpa bicara lagi Andri berdiri. Yang ditunggunya sudah datang. Dua matanya berkilat. Perasaannya mengatakan sesuatu tak wajar begitu melihat gerombolan teman-temannya. Ah, mengapa begitu ramai? Satu.. dua... tiga...tujuh orang! Sejenak, ia meraba pinggangnya. Ada perasaan sejuk. All Star hitam diseretnya mendekati gerombolan tadi. Teriakan si rok mini tak dihiraukan.
"Nah, ini dia. Ke mana aja lo? Gue nyari ke mana-mana, eh malah di sini enak-enak ngopi. Bareng cewek lagi. Sial lo!!!"
Permulaan yang buruk.
"Sorry Din, gue dah nungguin lo dari tadi. Kan kita janjian....."
Pertanyaan yang lekat, mereka begitu dekat. Tercium bau minuman keras.
"Buruan, gue lagi butuh duit nih!!!!"
"Gini aja Din, gue kagak bisa bayar sekarang semua. Gimana kalo setengahnya dulu? Sisanya ntar gue lunasin......"
"Apaan lo.... Belum bisa bayar sekarang juga???" main potong saja si Udin.
Sementara Udin ngotot, teman-temannya satu persatu mengelilingi Andri. "Ah kacau," pikir Andri. Mereka kelihatan tidak wajar. Matanya merah.
"Gimana nih Din," kaos red hot nimbrung.
"Ah payah!!!!" si anting sebelah tak mau kalah.
Udin satu-satunya yang Andri kenal di antara mereka, mencekal lengannya dengan keras.
"Kalo lo kagak bisa bayar sekarang, gue ngga bisa nanggung tindakan temen-temen gue!!!!" ancam Udin.
Andri tersinggung. Cepat ia melepaskan cekalan. Suasana memanas. Mereka jadi perhatian orang sekitar.
"Emang lo mau ngapain???? Kalo ada duit, ngapain gue tunda-tunda???? Gue janji minggu depan gue bayar!!!!!" teriak Andri sewot.
"Ah, banyak omong lo!!!!" si kriting maju dan mendorong Andri, pelan.
"Heh!!!! Apa-apaan lo???? Maen dorong segala!!!!" naluri tawuran Andri pecah. Dorongan tadi ia anggap sebuah pertanda. Andri mendorong lebih kuat lagi.
Entah siapa yang memulai, sebuah pukulan mendarat mulus di pipinya. Seharusnya Andri sadar dan mengalah. Tapi keadaan menjepitnya dan ia terbiasa menghadapi hal ini dengan caranya sendiri. Si kaos red hot jadi sasaran pertama. Dibalas, pukul lagi. Beberapa pukulan membuatnya pusing.
Walau mabuk, Udin cs tetap tujuh orang, dan Andri sendirian. Tapi dia tak mau tahu itu. Bergerak terus, lupa keadaan sekitar, lupa posisi, lupa tujuan, lupa bekas luka di pinggangnya. Semua terjadi begitu cepat sampai sebuah benda di tangan si kriting membuatnya berhenti, terpaku.
Udin cs pergi. Andri duduk, menunduk, menoleh ke perutnya. Ah, ada bercak merah.
"Ya Tuhan, terjadi lagi," batin Andri.
Kerumunan itu, bau amis, rasa panas, semua terjadi lagi. Bedanya, tak ada lagi tangis ibunya. Dan sekarang yang terlihat bukan putih. Tapi hitam dan gelap……
Buat Bambang "Ibenk" Triadi
Read more »