Siapa yang Bertanggungjawab?
SOLIHIN (21) tampak berdiri di salah satu sudut kamar yang ditiduri Jajang Suparman (38), ayahnya, Sabtu (28/1). Tatapan matanya kosong. Buliran air mata terlihat menggenang di kedua bola matanya. Rambut gondrongnya basah bekas terkena siraman hujan deras yang mengiringi kedatangan ayahnya.
Tak ada kata yang keluar dari mulut putra pertama Jajang dari empat bersaudara ini. Mulutnya seolah terkunci rapat menyaksikan kondisi ayahnya yang terus melemah. Sesekali, ia mengusap wajahnya yang tampak lelah setelah selama 2 jam mendampingi ayahnya pulang dari RS PGI Cikini Jakarta.
Solihin baru berbicara setelah sejumlah wartawan mendekatinya. Dengan agak terbata-bata, pemuda yang sehari-hari bekerja sebagai buruh peternakan ini menjelaskan kronologis peristiwa yang menimpa ayahnya. Lambat laun, nada bicaranya semakin meninggi. Sambil menunjuk Jajang yang terbaring lemah, Solihin mengaku berang dengan sikap PLN yang sama sekali tidak menggubris aksi yang dilakukan ayahnya.
“Coba, saya tanya sama Anda, siapa yang akan bertanggungjawab jika ayah saya mati? Pemerintah atau PLN? Mereka hanya acuh, dan sama sekali tidak memperhatikan perjuangan ayah saya dan teman-temannya. Bagaimana jika Anda berada di posisi saya? Mana janji pemerintah yang katanya membela rakyat kecil?” tanya Solihin sambil menatap wajah wartawan.
Dikatakan Solihin, dirinya sama sekali tidak mengetahui keberangkatan Jajang ke Jakarta bergabung dengan warga korban SUTET lainnya di Jawa Barat. Ia mengaku baru mengetahui keberadaan ayahnya, lima hari setelah Jajang berada di Jakarta . Informasi itu pun, kata Solihin, diperolehnya dari media televisi yang secara tidak sengaja ditontonya.
Saat ditanya apakah dirinya akan meneruskan perjuangan Jajang, Solihin terdiam. Ia mengaku masih belum bisa berpikir jernih, apalagi berpikir meneruskan perjuangan ayahnya menuntut ganti rugi ke pihak PLN. Untuk merawat ayahnya saja, Solihin masih bingung harus melakukan apa dan memperoleh biaya dari mana.
“Sampai saat ini masih belum terpikir oleh saya untuk meneruskan perjuangan ayah. Saya masih bingung bagaimana merawat ayah supaya cepat sembuh. Kalau mau dibawa ke dokter juga biayanya tentu mahal. Ibu saya sedang tidak ada. Dari mana saya bisa memperoleh biaya berobat?” kata Solihin lirih. (gin gin tigin ginulur)
SOLIHIN (21) tampak berdiri di salah satu sudut kamar yang ditiduri Jajang Suparman (38), ayahnya, Sabtu (28/1). Tatapan matanya kosong. Buliran air mata terlihat menggenang di kedua bola matanya. Rambut gondrongnya basah bekas terkena siraman hujan deras yang mengiringi kedatangan ayahnya.
Tak ada kata yang keluar dari mulut putra pertama Jajang dari empat bersaudara ini. Mulutnya seolah terkunci rapat menyaksikan kondisi ayahnya yang terus melemah. Sesekali, ia mengusap wajahnya yang tampak lelah setelah selama 2 jam mendampingi ayahnya pulang dari RS PGI Cikini Jakarta.
Solihin baru berbicara setelah sejumlah wartawan mendekatinya. Dengan agak terbata-bata, pemuda yang sehari-hari bekerja sebagai buruh peternakan ini menjelaskan kronologis peristiwa yang menimpa ayahnya. Lambat laun, nada bicaranya semakin meninggi. Sambil menunjuk Jajang yang terbaring lemah, Solihin mengaku berang dengan sikap PLN yang sama sekali tidak menggubris aksi yang dilakukan ayahnya.
“Coba, saya tanya sama Anda, siapa yang akan bertanggungjawab jika ayah saya mati? Pemerintah atau PLN? Mereka hanya acuh, dan sama sekali tidak memperhatikan perjuangan ayah saya dan teman-temannya. Bagaimana jika Anda berada di posisi saya? Mana janji pemerintah yang katanya membela rakyat kecil?” tanya Solihin sambil menatap wajah wartawan.
Dikatakan Solihin, dirinya sama sekali tidak mengetahui keberangkatan Jajang ke Jakarta bergabung dengan warga korban SUTET lainnya di Jawa Barat. Ia mengaku baru mengetahui keberadaan ayahnya, lima hari setelah Jajang berada di Jakarta . Informasi itu pun, kata Solihin, diperolehnya dari media televisi yang secara tidak sengaja ditontonya.
Saat ditanya apakah dirinya akan meneruskan perjuangan Jajang, Solihin terdiam. Ia mengaku masih belum bisa berpikir jernih, apalagi berpikir meneruskan perjuangan ayahnya menuntut ganti rugi ke pihak PLN. Untuk merawat ayahnya saja, Solihin masih bingung harus melakukan apa dan memperoleh biaya dari mana.
“Sampai saat ini masih belum terpikir oleh saya untuk meneruskan perjuangan ayah. Saya masih bingung bagaimana merawat ayah supaya cepat sembuh. Kalau mau dibawa ke dokter juga biayanya tentu mahal. Ibu saya sedang tidak ada. Dari mana saya bisa memperoleh biaya berobat?” kata Solihin lirih. (gin gin tigin ginulur)