Jumat, 31 Desember 2010

Aku Kehilangan Senja

Aku kehilangan senja sore ini. Cahaya indahnya tak muncul di akhir tahun. Kali ini aku pasrah, hanya diam dan tak mengejar. Aku pun tak berniat menuliskan laporan kehilangan, karena sepertinya senja enggan menampakkan diri dan tak ingin diburu. Padahal aku biasanya rajin memburu senja, menangkapnya walau sepotong, menyimpannya baik-baik dalam sebuah bingkai yang ditancapkan di dinding hati.

Aku kehilangan senja sore ini. Hari pun mendadak gelap karena senja betul-betul tak tampak. Ia seperti menghilang bersama kegalauannya, berselimut malam yang selalu terasa cepat datang. Tiba-tiba saja aku takut senja tak lagi muncul mengisi mimpi-mimpiku, membebaskanku dari sunyi dan kelam. Aku takut senja tak lagi menyepuh dunia dengan warna keemasannya.

Aku kehilangan senja sore ini. Pancaran lembutnya hilang hingga langit terasa begitu kelabu. Ia tak muncul mengubah cakrawala dengan warna-warna magis. Tak ada paduan warna cantik menghias langit dibalut awan menjelang magrib. Ketika ungu, jingga, oranye, biru muda, bercampur di batas cakrawala, membuat gradasi warna yang luar biasa. Sore ini, hanya desir angin dan pepohonan rimbun yang kutemui. Mungkin ini hanya soal waktu. Karena aku masih berharap, senja yang sama muncul kembali suatu hari nanti.

Read more »

Sabtu, 11 Desember 2010

Tak Ada Senja di Rancabolang

Jalan Rancabolang tampak letih sore itu. Entah berapa bulan lamanya, kendaraan proyek mulai kembali hilir mudik melintasi jalan yang menghubungkan Kompleks Margahayu Raya dengan kawasan Ciwastra itu. Permukaan jalan yang awalnya mulus mulai kusam dan bergelombang. Debu-debu pun beterbangan liar mencari korban para pengemudi motor dan pejalan kaki. Sesekali tenang, lantas liar lagi mengikuti irama angin. Sore yang kering, matahari mulai redup. Malam sudah bersiap melahapnya.

Proyek pembangunan perumahan di kawasan Rancabolang memang tak pernah habis. Hamparan sawah yang awalnya terlihat di kiri kanan jalan, kini berubah jadi tanah lapang. Ruang terbuka hijau di Jalan Rancabolang nyaris musnah. Sejauh mata memandang, hanya ada hamparan tanah kering yang siap ditumbuhi rumah-rumah mewah.

Menjelang magrib, deru mesin bechoe terdengar keras diiringi teriakan para kuli bangunan. Alat berat itu sibuk menutupi lahan sawah dengan tanah hitam untuk dijadikan fondasi rumah. Gemuruhnya terasa hingga ke tengah jalan. Sejenak mesin itu berhenti bekerja dan suasana pun hening. Lantas, beberapa saat kemudian, kembali menyala, menuntaskan pekerjaan hari itu.

Seperti biasa, setiap sore begini, saya selalu membawa si kecil Gisavo ke Jalan Rancabolang sekadar menyaksikan fenomena senja. Lokasi favorit kami berdua adalah sebuah hamparan sawah tidak jauh dari depan Kompleks Perumahan Bumi Persada. Dari situ, matahari terbenam biasanya terlihat jelas. Perubahan warna langit pun begitu kentara. Kami biasanya berdiri di pinggir sawah tanpa mengucap sepatah kata pun. Tatapan kami hanya tertuju pada kaki langit.

Toh keinginan kami melihat senja kandas. Hamparan sawah favorit kami sudah dipenuhi gundukan tanah. Selain itu, sebuah mesin bechoe berdiri kokoh menghalangi pemandangan langit sebelah barat. Gisavo terdiam di pinggir jalan. Tatapan matanya tak fokus. Matanya liar mencari matahari, sekaligus cara kerja bechoe. Selain itu, pikirannya juga seperti berkelana mencari tahu ke mana hamparan sawah yang dulu menjadi tempatnya bermain.

Setahun lalu lokasi proyek itu merupakan hamparan sawah luas. Di sanalah awal mula Gisavo mengenali senja, sebuah fenomena alam yang sangat saya kagumi. Setahun lalu, hampir setiap hari kami mendatangi tempat itu. Menyaksikan proses perubahan warna langit yang semula biru muda menjadi agak kemerah-merahan. Awalnya Gisavo bingung dan bosan. Namun lama-lama senja mulai merasuki jiwanya.

Kini, di hamparan sawah itu ia tak lagi melihat senja. Pertanyaan demi pertanyaan terus mengalir dari mulut kecilnya. Ia ingin mencari kejelasan atas kebingungan yang menghinggapinya sore itu. Kebingungan tentang proyek, hilangnya senja, dan bergantinya sawah menjadi tanah hitam. Saya menjelaskan satu per satu semua pertanyaannya. Meski saya tahu, semua pertanyaan yang diajukannya mengarah pada satu jawaban. Ya,sawah dan senja tak terlihat lagi karena proyek perumahan.

Gisavo mengangguk, seolah mengerti penjelasan saya. Ia masih saja menatap langit sebelah barat. Bechoe di hadapannya berhenti meraung. Kuli bangunan bersiap pulang. Hari semakin sore. Tiba-tiba langit berubah kelam. Sebentar lagi malam. Saya menggenggam tangan Gisavo, mengajaknya pulang. “Sudah, di sini tak ada lagi senja,” saya berucap sambil menariknya menjauhi tanah hitam.

Read more »

Sabtu, 04 Desember 2010

Tak Ada Senja di Rancabolang

Jalan Rancabolang tampak letih sore itu. Entah berapa bulan lamanya, kendaraan proyek mulai kembali hilir mudik melintasi jalan yang menghubungkan Kompleks Margahayu Raya dengan kawasan Ciwastra itu. Permukaan jalan yang awalnya mulus mulai kusam dan bergelombang. Debu-debu pun beterbangan liar mencari korban para pengemudi motor dan pejalan kaki. Sesekali tenang, lantas liar lagi mengikuti irama angin. Sore yang kering, matahari mulai redup. Malam sudah bersiap melahapnya.


Proyek pembangunan perumahan di kawasan Rancabolang memang tak pernah habis. Hamparan sawah yang awalnya terlihat di kiri kanan jalan, kini berubah jadi tanah lapang. Ruang terbuka hijau di Jalan Rancabolang nyaris musnah. Sejauh mata memandang, hanya ada hamparan tanah kering yang siap ditumbuhi rumah-rumah mewah.

Menjelang magrib, deru mesin bechoe terdengar keras diiringi teriakan para kuli bangunan. Alat berat itu sibuk menutupi lahan sawah dengan tanah hitam untuk dijadikan fondasi rumah. Gemuruhnya terasa hingga ke tengah jalan. Sejenak mesin itu berhenti bekerja dan suasana pun hening. Lantas, beberapa saat kemudian, kembali menyala, menuntaskan pekerjaan hari itu.

Seperti biasa, setiap sore begini, saya selalu membawa si kecil Gisavo ke Jalan Rancabolang sekadar menyaksikan fenomena senja. Lokasi favorit kami berdua adalah sebuah hamparan sawah tidak jauh dari depan Kompleks Perumahan Bumi Persada. Dari situ, matahari terbenam biasanya terlihat jelas. Perubahan warna langit pun begitu kentara. Kami biasanya berdiri di pinggir sawah tanpa mengucap sepatah kata pun. Tatapan kami hanya tertuju pada kaki langit.

Toh keinginan kami melihat senja kandas. Hamparan sawah favorit kami sudah dipenuhi gundukan tanah. Selain itu, sebuah mesin bechoe berdiri kokoh menghalangi pemandangan langit sebelah barat. Gisavo terdiam di pinggir jalan. Tatapan matanya tak fokus. Matanya liar mencari matahari, sekaligus cara kerja bechoe. Selain itu, pikirannya juga seperti berkelana mencari tahu ke mana hamparan sawah yang dulu menjadi tempatnya bermain.

Setahun lalu lokasi proyek itu merupakan hamparan sawah luas. Di sanalah awal mula Gisavo mengenali senja, sebuah fenomena alam yang sangat saya kagumi. Setahun lalu, hampir setiap hari kami mendatangi tempat itu. Menyaksikan proses perubahan warna langit yang semula biru muda menjadi agak kemerah-merahan. Awalnya Gisavo bingung dan bosan. Namun lama-lama senja mulai merasuki jiwanya.

Kini, di hamparan sawah itu ia tak lagi melihat senja. Pertanyaan demi pertanyaan terus mengalir dari mulut kecilnya. Ia ingin mencari kejelasan atas kebingungan yang menghinggapinya sore itu. Kebingungan tentang proyek, hilangnya senja, dan bergantinya sawah menjadi tanah hitam. Saya menjelaskan satu per satu semua pertanyaannya. Meski saya tahu, semua pertanyaan yang diajukannya mengarah pada satu jawaban. Ya,sawah dan senja tak terlihat lagi karena proyek perumahan.

Gisavo mengangguk, seolah mengerti penjelasan saya. Ia masih saja menatap langit sebelah barat. Bechoe di hadapannya berhenti meraung. Kuli bangunan bersiap pulang. Hari semakin sore. Tiba-tiba langit berubah kelam. Sebentar lagi malam. Saya menggenggam tangan Gisavo, mengajaknya pulang. “Sudah, di sini tak ada lagi senja,” saya berucap sambil menariknya menjauhi tanah hitam.

Read more »

Jumat, 03 Desember 2010

Bocah Pemain Biola

Lima jari tangan kiri Gisavo tampak menggenggam leher biola kecil yang terbuat dari kayu mapel. Bocah laki-laki berusia enam tahun itu kemudian meletakkan badan biola yang menyerupai sebuah jam pasir di atas bahu kirinya. Sejurus kemudian, dagu mungilnya ditekankan pada penyangga di bagian kiri atas badan biola. Alat musik gesek itu pun diapitnya dengan dagu dan pundak kiri.

“Pak, Gisa mau main biola ya,” kata Gisa, nama kecil bocah itu, kepada ayahnya yang baru saja pulang. Dua bola matanya tampak berbinar-binar. Sepertinya ia sangat ingin memperlihatkan hobi barunya itu.
“Boleh, nanti bapak dengerin ya. Sok, Gisa mau main lagu apa?” sang ayah duduk persis di depan anaknya. Ia urung memasuki kamar, mengganti bajunya yang kumal setelah seharian diterpa angin kering.
“Sebentar ya pak,” kata Gisavo.
“Siap!” jawab sang Ayah.

Tak lama berselang, tangan kanan Gisavo mengambil busur biola, sebuah alat gesek yang terbuat dari batang kayu pernambuco dan helai-helai rambut kuda putih. Didekatkannya busur biola itu pada salah satu senar yang merentang kencang di leher biola. Lalu, digeseknya perlahan-lahan hingga mengeluarkan bunyi . Tanpa melepas gesekan busur biola pada senar, ia menjelaskan nada apa yang dimainkan.

“Yang tadi itu kunci G Pak,” kata Gisa. Sang Ayah mengangguk. Bocah yang saat ini duduk di kelas 1 SD itu melanjutkan aksinya. Ia menggesekkan lagi busur biola pada senar lainnya. Kali ini bunyinya terdengar lebih tinggi.
“Itu kunci apa?” tanya sang Ayah.
“Itu E pak,” jawab Gisavo mantap. Sang ayah kembali mengangguk. Tak ada maksud mengetes kepiawaian anaknya mengenal kunci dan nada. Ia benar-benar tidak tahu nada yang dimainkan anaknya itu. Meski cukup mahir bermain gitar, untuk persoalan nada dan kunci, ia sama sekali buta.

Gisavo kemudian menggesek dua senar berikutnya. Empat senar biola yang konon awalnya terbuat dari usus domba dicampur logam itu habis digesek satu per satu. Ia kemudian terdiam.
“Udah pak,” kata Gisa.
“Jangan dulu, bapak mau denger Gisa main satu lagu,” bujuk sang ayah.
“Satu lagu ya pak? Boleh,” bocah itu menjawab tantangan ayahnya.

Empat jari kecilnya kemudian menari-nari di atas senar biola. Tak jelas lagu apa yang dimainkan. Nada yang keluar dari biola itu pun terdengar sumbang. Sang ayah tersenyum. Meski musik yang dimainkan anaknya tak beraturan, ia tetap bertepuk. Bocah itu pun menyudahi penampilannya. Sang ayah lantas memeluknya erat-erat.

“Wah, Gisa hebat, udah bisa mainin satu lagu pake biola,” puji sang Ayah. Gisavo melepas pelukan ayahnya.
“Pak, Gisa boleh main dulu?” pintanya. Saat itu, waktu sudah menunjukkan pukul 21.00 WIB. “Jangan lama-lama ya. Nanti kalau jarum panjang sudah ke angka 6, Gisa tidur,” jawab sang Ayah. Gisa mengangguk. Ia memasuki kamar dan menumpahkan seluruh mainannya.

Sejak usia 4 tahun, Gisavo memang sudah menyukai biola. Setiap kali mendengar suara biola yang dimainkan dengan tempo lambat, ia terdiam menikmatinya. Tak heran, saat mengikuti les nyanyi di salah satu sekolah musik terkenal di Bandung, bocah kelahiran Agustus 2004 itu kerap memperhatikan orang-orang yang memegang biola, atau memainkannya. Melihat kuatnya keinginan dia bermain biola, sang kakek berinisiatif membelikan sebuah biola ukuran sedang.

Di sela-sela les nyanyi setiap Sabtu siang, Gisavo berlatih biola. Meski tangan kirinya belum bisa menjangkau hingga gulungan kepala biola, ia tetap tekun berlatih. Semua pelajaran biola yang diajarkan gurunya dilahap habis. Hampir setiap malam, ia berlatih menggesek biola di rumah bersama ibunya. Namun setelah beberapa kali latihan menggesek, ia harus mulai berlatih memainkan jari. Karena biola yang dipakainya berlatih masih terlalu besar, ibunya membelikan lagi Gisavo sebuah biola ukuran kecil.

Tanpa mengganti baju yang dikenakannya sejak pagi, sang ayah masih duduk memperhatikan Gisavo bermain mobil hotwheels. Pikirannya menerawang, membayangkan anak satu-satunya itu beranjak dewasa, dan tampil memainkan biola di sebuah konser akbar. Betapa tampannya dia mengenakan jas, dasi, dan memegang biola klasik, disaksikan ribuan penggemar.

"Ah, tak perlu sepiawai Idris Sardi, Yehudi Menuhin, Itzhak Perlman, atau Vanessa Mae, apalagi komposer macam Johann Sebastian Bach atau Wolfgang Amadeus Mozart. Cukuplah menjadi Gisavo yang bisa membuat orang tuanya bangga," pikirnya.

Tak terasa, jarum panjang jam di dinding menunjukkan angka 6. Sudah pukul 21.30 WIB rupanya. Gisavo harus tidur.
“Gisa, udah setengah sepuluh. Lihat coba jarum panjangnya!” teriak sang Ayah.
“Iya pak, sebentar lagi,” sahut Gisavo.
“Nanti mamah bikinin susu, Gisa langsung minum ya. Setelah itu, sikat gigi, terus tidur,” ibunya menimpali.

Lebih dari 10 menit waktu yang dijanjikan, bocah itu kemudian tidur ditemani ibunya. Besok pagi, dia harus sekolah. Sang ayah melanjutkan aktivitasnya, cuci muka, ganti baju, menyeduh kopi, mengisap rokok, lantas memainkan HP hingga larut malam. Tugas berat menantinya beberapa tahun ke depan. Menyediakan kebutuhan anaknya yang semakin tumbuh dewasa.

Read more »

Kamis, 02 Desember 2010

Beranda Senja

Temanku yang segumpal awan....

Ingin kuceritakan padamu tentang sebuah beranda yang nyaman, indah, sejuk, dan menenangkan hati. Sebuah tempat yang bertahun-tahun tak pernah bisa aku tinggalkan meski kau sempat berusaha memintaku pergi.

Di beranda itu aku seolah menjelma menjadi patung, berdiri tegak menatap batas cakrawala, saat senja menampakkan wajahnya. Ah, aku sangat menyukai momen itu. Matahari mulai berubah kekuningan tetapi tidak menyilaukan. Ia terlihat begitu lembut dan pantas disentuh.

Aku seperti tak bisa melangkah setiap hendak meninggalkan beranda itu. Waktu seolah berhenti ketika aku ada di dalamnya. Setiap sudut ruang beratap tak berdinding itu bagiku sebuah keindahan. Di sana aku menyimpan rindu. Tentang dia, aku, dan tentang dua mata yang bercerita. Aku rindu dua bola mata itu pada senja-senja berikutnya.

Pada titik sepi saat ini, aku mulai kesulitan menerjemahkan senja di beranda itu. Aku bahkan tak tahu lagi di mana arah senja. Meski ada di beranda itu, aku seperti berada di padang luas tanpa tanda atau isyarat jejak. Senja yang sudah menarikku pada pusaran tak berujung, kini begitu cepat hilang bersama malam.

Entahlah. Pada hari-hari berikutnya aku tak pernah lagi bisa melihat senja yang sempurna dari beranda itu. Aku pun tak mampu lagi menafsirkan keberadaan beranda itu, tergeragap di tengah kebingungan demi kebingungan merumuskan diri sendiri. Barangkali kau benar. Aku bahkan tak pernah bisa menentukan akhir cerita.

Read more »