Minggu, 14 Juni 2009

Jam Publik Nasibmu Kini

Idealnya jam publik dipasang sebagai petunjuk waktu bagi masyarakat di suatu daerah. Namun di Kota Bandung lain lagi. Saat ini, keberadaan jam publik seolah hanya sebatas pajangan, mati segan hidup tak mau. Padahal, sebuah jam bisa menjadi ikon kota. Sebut saja di Bukitinggi dengan jam gadangnya. Atau di London, dengan menara jam setinggi 96 meter yang diberi nama “Big Ben”.


Nah, di Jalan Abdul Rivai Kota Bandung, jam publik berbentuk tugu dengan ukuran lebih dari lima meter tersebut tampak selalu mati. Dari empat buah jam dinding di setiap sisinya, tak satu pun yang aktif sesuai waktu. Logika kerjanya sama, putaran sempurna. Sebagai informasi, jam publik di taman itu masih analog yang masih menggunakan jarum jam panjang dan pendek.

Kemarin, jam publik itu masing-masing menunjukkan waktu yang berbeda. Jam ke-1 menunjukkan pukul 10.34, jam ke-2 dan ke-3 menunjukkan arah pukul 10.36 dan 10.30, sedangkan jam ke-4 menunjukkan pukul 10.13. Padahal, saat mengambil foto jam publik itu, waktu menunjukkan pukul 10.54. Kendati sama-sama menunjukkan pukul 10, keempat jam itu berjalan tidak kompak sebagaimana seharusnya pedoman waktu untuk publik kota kembang.

Nasib serupa dialami jam di dua sudut menara Gedung Bank Mandiri Jalan Asia Afrika yang didesain oleh orang Belanda. Menara jam yang berdiri kokoh di bangunan bekas bagian penjara Banceuy itu juga mati. Menurut Rusmiati (42), seorang penjual ketupat yang biasa mangkal di seputar Jalan Banceuy, jam dinding itu sudah mati sejak puluhan tahun silam. "Saumur teteh, jam nu di gedong eta teh tara pernah bener, tos puluhan taun," jelas Rusmiati sambil menunjukkan jam di menara itu.

Selain di kedua lokasi itu, dulu di persimpangan Jalan Cikapayang, persis di bawah Jalan Layang Pasupati itu ada jam digital yang menunjukkan waktu di daerah Bandung. Namun kini di lokasi yang sama berdiri kokoh tugu provokatif Bandung Emerging Creative City (BECC). Pada tugu itu terdapat sebuah patung yang berpose menunduk di atas kedua lututnya. Di belakangnya terdapat empat pilar bertuliskan "bdg" ukuran besar dan tulisan "bandung emerging creative city" dengan warna kontras. Tempat itu sering menjadi tempat berkumpulnya anak muda untuk bergaul di tengah kota Parijs van Java.

Semoga saja matinya jam publik di Kota Bandung bukan sebuah simbol budaya jam karet para pejabat di kembang.

Read more »

Jumat, 05 Juni 2009

Atim Idola Baru Kebun Binatang Bandung

Atim berjalan mengelilingi Kebun Binatang Bandung Jalan Tamansari, Sabtu (30/5) lalu. Sesekali ia berhenti di tengah keramaian pengunjung. Tingkahnya yang terkadang menggelikan menyedot perhatian massa. Dalam waktu singkat, Atim dikerubuti banyak orang. Bak seorang selebritas, ia mendadak menjadi idola. Sejumlah orang berebut minta berfoto bersama. Tidak sedikit pula yang berusaha menyentuh, bahkan merangkul bahunya.


Kehadiran Atim rupanya tak luput dari perhatian Gisavo, anakku yang saat itu kebetulan berada di Kebun Binatang. Ia pun meminta aku membawanya ke dekat Atim. Tanpa banyak berdebat, aku dan istriku mengiyakan permintaannya. Dengan wajah sumringah, Gisavo duduk di sebelah Atim. Layaknya dua bersaudara, mereka saling merangkul bahu. Aku pun tak lupa mengabadikan momen istimewa itu.

Usia Atim baru 3,2 tahun, terpaut sekitar 1 tahun dengan usia anakku. Saat berjalan mengelilingi Kebun Binatang Bandung, ia dipapah dua orang dewasa. “Ayo, siapa yang mau difoto sama Atim. Bayar seikhlasnya saja,” kata seorang pria yang tampak menuntun Atim. Ya, Atim memang idola baru di kebun binatang. Anak orang utan itu setidaknya berhasil menghibur pengunjung yang tampak mulai bosan melihat hewan di Kebun Binatang Bandung. Wajar saja pengunjung bosan mengingat jumlah hewan yang ada sepertinya tidak bertambah.

Anakku senang menyentuh binatang. Sebelum difoto bersama Atim, ia juga sempat difoto sambil memegang ular piton yang dikalungkan di lehernya. Iseng aku juga menawarinya difoto bersama buaya. Namun istriku malah menimpali. “Kalau mau foto sama buaya gak usah jauh-jauh, sama bapak aja Gi,” seloroh istriku. “Iya, buaya darat,” timpalku sambil tertawa. Meski bingung, Gisavo tetap ikut tertawa. “Hahahaha…. Bapak buaya,” ujarnya.

Hari itu memang harinya Gisavo. Aku dan istriku berusaha memuaskan keinginannya bermain di kebun binatang, setelah sekian lama kami tidak pernah lagi pergi ke sarana hiburan yang cukup murah itu. Semua kandang kami didatangi. Hampir seluruh binatang ia pelototi. Tak hanya itu, hewan tunggang pun tak luput kami naiki seperti gajah dan unta. Usai makan siang, Gisavo berlari memburu salah satu permainan yang sangat ia senangi yaitu flying fox. Seperti biasa, ia menjadi orang pertama yang bermain flying fox. Beberapa orang tua yang melihat keberanian anakku menaiki flying fox lantas meminta anaknya naik. “Tuh, masak kalah sama anak kecil,” ucap seorang bapak kepada anak perempuannya yang sudah remaja.

Remaja putri itu menuruti kemauan bapaknya. Satu per satu ia meniti tangga bambu. Namun, begitu sampai di tengah, ia mogok naik. “Bapak, takut, ayo sama bapak,” rengeknya. Gisavo tertawa. Rasa percaya dirinya timbul. “Bapak, Gisa mah hebat ya, gak takut,” katanya. Orang tua remaja putri itu tetap mengabaikan keinginan anaknya. Dengan susah payah, remaja putri itu berhasil mencapai puncak. Lagi-lagi ia mogok meluncur di flying fox. Sambil terus berteriak memanggil bapaknya, ia enggan meluncur. Hujan deras tiba-tiba mengguyur Kebun Binatang Bandung. Remaja putri itu pun akhirnya urung meluncur. Ia kembali menuruni tangga.

Cukup lama kami terjebak hujan di sebuah shelter. Karena hujan tak kunjung berhenti, kami nekat berlari menerobos hujan ke pelataran parkir menuju mobil. Aku berlari terlebih dulu sambil menggendong Gisavo yang ditutupi jaket. Istriku menyusul di belakang. Gisavo tertawa melihat istriku basah kuyup kehujanan. Sepertinya ia menikmati acara menerobos hujan deras itu. “Gisa seneng hujan-hujanan pak,” ujarnya begitu tiba di mobil. “Kamu seneng ujan-ujanan, bapak capek lari,” timpalku. Gisavo tertawa. Sorot mata kanak-kanaknya seolah mengatakan kalau ia betul-betul menikmati harinya di Kebun Binatang Bandung.

Read more »