Rabu, 04 Februari 2009

Selamat Tinggal Kawan.......

Awan hitam masih saja menggulung di langit Kantor Biro SINDO Jabar Jalan Aceh 62 hingga menelan sebagian bulan. Sesekali gulungannya bergerak ditiup angin kencang. Dingin menusuk pori-pori. “Sepertinya ini malam terakhir aku di sini,” pikirku sembari menatap bulan yang makin tertutup awan. Sejenak aku pergi menaiki motor. Menghela napas panjang di depan sebuah kios Jalan Lombok, tidak jauh dari kantor biro. Sebatang garam filter dinyalakan. Diisap dalam-dalam lalu asapnya dikeluarkan perlahan. Terlihat jelas membentuk huruf O karena tersorot lampu Kijang Silver yang hendak melintas di depanku. Lima menit berlalu. “Saatnya bicara,” ujarku sambil menyalakan motor Vega oranye yang sudah menjadi teman setiaku bekerja.

Kursi di belakang kantor mengajakku duduk. Tak ada lampu penerang. Aku menelepon Yogi yang berada di ruang redaksi dan memintanya datang. “Mang sibuk?” tanyaku. “Henteu mang,” sahut Yogi. “Saya hayang ngobrol. Ditunggu di kursi belakang,” jawabku. “Oke mang,” jawab Yogi lagi. Entahlah, tiba-tiba detak jantung berubah begitu saat Yogi datang memenuhi permintaanku. Saat itu, aku merasa sangat kesulitan merangkai kata. “Ada apa mang?” tanya Yogi. Ah, betul-betul saat yang sulit. Jari tanganku menjelajah mencari lagi sebatang rokok. “Mang, mulai besok saya sigana cabut. Moal aya di dieu deui,” kataku, kembali sambil menyalakan rokok. Yogi tak banyak mengeluarkan kata. Dia memilih diam, menunggu aku selesai bicara. “Di sini status saya masih belum jelas Gi, jadi mendingan mencari kesempatan di tempat baru,” aku berusaha menerangkan.

Seolah sudah terbiasa dengan ucapan itu, Yogi hanya mengangguk. Ia mengaku tak bisa melarang aku pergi di tengah kondisi kantor yang tidak pasti. Kami tak banyak bicara. “Saya teu bisa ngomong nanaon deui mang. Mudah-mudahan sukses di tempat baru. Mungkin, secara formal harus ada surat pengunduran diri,” kata Yogi datar. Sejenak aku terdiam. “Ah, sepertinya tidak perlu Gi. Kontrak saya kan sudah habis tanggal 31 Desember kemarin? Terus belum ada lagi perpanjangan kontrak,” jawabku. Yogi terdiam. Tapi dalam hati, aku tetap akan menyampaikan surat pengunduran resmi kepada kantor keesokan harinya. “Hampura mang, ini memang pilihan sulit, tapi mau bagimana lagi?” ucapku. “Teu nanaon mang. Mudah-mudahan sukses di tempat baru,” kata Yogi. “Besok semua proses administrasi akan diurus Gi,” kataku lagi. “Oke mang, ditunggu,” jawab Yogi.

Hari semakin malam dan awan hitam masih saja menggulung di langit Kantor Biro SINDO Jabar. Malam itu sebuah pertemuan kecil digelar. Ya, hanya pertemuan kecil yang terdiri dari aku, Rudini, Wisnoe, Rohmat, Kris, dan Dasir. Mereka menanyakan alasan kepergianku. Aku menjelaskan apa adanya. Wisnu terdiam. Dia tidak banyak mengeluarkan kata-kata. “Sorry kawan, aku tak pernah bermaksud meninggalkan kalian. Tapi, ketidakjelasan ini membuatku gelisah,” kataku menjawab pertanyaan mereka. “Kenapa baru cerita sekarang mang?” tanya Wisnoe. “Maaf Noe, aku akan bicara kalau sudah pasti,” sesalku. Wisnoe memaklumi. Dia hanya menyesalkan kepergian kawan-kawan yang selalu mendadak. “Kenapa semua selalu mendadak,” sesalnya. Aku merangkul Wisnoe. Setelah cukup lama berbincang, aku pun pamit. Kali ini betul-betul pamit meninggalkan mereka. Sayang, Epoy bonsai kecilku tak hadir dalam pertemuan kecil itu karena sakit. “Doakan aku kawan,” pintaku. Aku memeluk mereka satu persatu. Waktu sudah menunjukkan pukul 23.45 WIB. Sepanjang jalan menuju rumah, masih terbayang wajah kawan-kawan di biro saat bergelut dengan kesibukan mengejar deadline. Ah, wajah-wajah yang selalu membuatku tertawa sedih. “Bismillah, mudah-mudahan ini jalan terbaik. Selamat tinggal kawan,” ucapku dalam hati.

Read more »

Selasa, 03 Februari 2009

Memecahkan Misteri Rumah Gurita (2)


Tepat di depan rumah Jalan Sukadamai No 6 kami berhenti. Aku menekan bel yang terpasang di tembok sebelah kanan pagar. Baban berteriak mengucapkan salam. Tak ada jawaban. Sekali lagi Baban berteriak dan kali ini pintu garasi terbuka. Seorang lelaki tua keluar menyapa kami dari balik pagar. Ia tidak mau membuka pagar. “Kami wartawan pak, mau tanya-tanya soal rumah gurita,” aku membuka pembicaraan. Baban menimpali. “Iya pak, mungkin kita bisa masuk melihat-lihat rumah,” kata Baban. Lelaki itu menolak dengan halus. Dia mengaku tidak bisa mengizinkan kami masuk karena pemilik rumah sedang tidak ada. “Kebetulan yang punya rumah tidak ada,” jawab lelaki itu. Pintu pagar masih tertutup rapat. “Ga apa-apa pak, kami mengerti. Bisa ngobrol sebentar? Kita mau tahu soal rumah itu, sekalian meluruskan isu yang beredar tentang adanya kegiatan ajaran sesat di rumah itu,” kata Baban. “Ah, tidak benar. Memang, saya juga dengar kalau rumah ini ramai dibicarakan di internet. Katanya rumah setan lah, atau angker. Tapi semua tidak benar,” jawab lelaki berambut pendek itu.

Menurut dia, rumah tersebut memang milik Frans. Dulu, kata dia, Frans berprofesi sebagai pelaut. Itulah alasannya, kenapa di rumah tersebut bertengger patung gurita. “Pak Frans itu pelaut dan lebih banyak menghabiskan waktu di lepas pantai. Patung gurita itu dibangun menutupi rumah karena beliau senang gurita. Selain gurita juga ada patung ular, dan kumang,” terang lelaki itu. Lelaki itu menambahkan, patung gurita itu juga berfungsi sebagai tempat makan. “Kalau ada acara, Pak Frans dan teman-temannya, berkumpul di bawah patung gurita itu,” katanya. Di tengah pembicaraan, seorang lelaki lagi, kali ini tampak berusia lebih tua, keluar dari garasi. Ia memperhatikan kami bertiga namun tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Hanya sejenak, ia kembali masuk. Tak berapa lama kemudian, lelaki yang berbincang dengan kami dipanggil masuk. “Wah sial, kita tak sempat menanyakan namanya,” sesal Baban. “Iya Ban, soalnya keburu dipanggil masuk,” jawabku. Karena belum sempat pamit dan menutup pembicaraan, kami berharap lelaki itu keluar lagi. Aku bergeser agak menjauhi Baban, kembali memperhatikan kondisi rumah. Baban masih berada di depan pagar. Dari luar, aku mendengar percakapan di dalam garasi. Namun tidak begitu jelas. “Wah Ban, kayaknya si bapak tadi lagi diceramahin, gara-gara banyak ngomong,” ujarku. “Iya Kang, sigana mah,” timpal Baban.

Kami masih menanti lelaki itu keluar lagi dan bisa melanjutkan pembicaraan. Penantian berujung baik. Lelaki tadi keluar, kali ini bersama tiga penghuni lainnya. Satu lelaki tua yang memperhatikan kami tadi, dan dua wanita. Baban tersenyum, bermaksud mendekati lelaki tadi. Di luar dugaan, lelaki tua itu marah. Dengan nada tinggi, dia meminta kami pergi. Suaranya bergetar. Ia juga berusaha mendekati Baban. “Rek naon deui ieu teh? Geus, euweuh nanaon!!” teriak lelaki tadi sambil mendekati Baban dengan menaiki motor. Kontan saja, sejumlah warga keluar mengerumuni kami, termasuk seorang pedagang kupat tahu yang sedang mangkal di depan Kantor Pos Cabang Cipedes. Baban sedikit mundur. “Ngga Pak, sudah, kita juga mau pulang,” kata Baban. Aku mendekati Baban dan berusaha menjelaskan maksud kedatangan kami ke rumah tersebut. “Kita kan sudah tanya sama bapak, siapa yang bisa diajak bicara soal rumah gurita. Kalau bapak keberatan tidak apa-apa,” aku mencoba menjelaskan. “Iya!! Tapi semua tidak benar. Tidak ada apa-apa di rumah ini,” kata lelaki itu, masih dengan nada tinggi. Tiga penghuni rumah lainnya berusaha menenangkan. Bahkan, lelaki tua lain yang belakangan diketahui bernama Adun, menyuruh temannya itu pergi. “Geus indit maneh!!” teriak dia. Beberapa warga merangkul kami berdua agar menjauh dari rumah. Namun, kami masih ingin menjelaskan maksud kedatangan ke rumah tersebut.

“Sebentar pak. Kita bukan ingin memperburuk keadaan, tapi justru ingin meluruskan pemberitaan miring soal rumah gurita yang banyak dibahas di internet,” kata Baban. Aku mengiyakannya. “Iya pak, kami juga datang ke sini baik-baik dan meminta izin terlebih dulu. Jadi bapak tidak perlu marah-marah,” aku menimpali omongan Baban. Lelaki itu tidak menjawab. Wajahnya agak memerah. Napasnya juga tersengal-sengal. Di atas motor, dia menatap kami. Penjelasan kami kemudian ditanggapi oleh seorang wanita bernama Leni yang keluar bersama lelaki tadi. “Silakan saja orang menilai macam-macam, itu hak mereka. Tapi tidak ada apa-apa di sini. Ini hanya rumah biasa,” kata dia. Selang beberapa menit kemudian, lelaki yang memarahi kami pergi. “Maaf, ibu penunggu rumah ini,” tanyaku. “Iya, saya kerabatnya,” jawab dia. Aku dan Baban lantas menyampaikan maaf jika dianggap mengganggu ketenangan penghuni rumah. “Oke bu, kalau memang kami tidak bisa masuk, tidak apa-apa. Maaf kalau kami mengganggu ketenangan ibu,” ujarku sekalian pamit. Kami bersalaman. Ibu Leni pun mengucapkan maaf atas kejadian tadi dan menggembok pagar rumah.

Sejenak, kami kemudian berbincang dengan warga. Niat memecahkan misteri rumah gurita langsung dari sumbernya gagal. Baban mengajak pergi mencari rumah RT setempat. Setelah bertanya kepada sejumlah warga, kami menemukan rumah RT 5 RW 5 Kelurahan Sukagalih, Kecamatan Sukajadi. Namanya Ibu Afnizar, 57. Dengan ramah, Afnizar menceritakan soal rumah gurita tersebut. Menurut Afnizar, kabar di internet yang menyatakan di dalam rumah gurita terdapat aktivitas sekte terlarang tidak dapat dibuktikan. “Saya memang pernah mendapat kabar dari internet bahwa di rumah tersebut ada sebuah sekte atau kelompok, tapi sepengetahuan saya tidak ada aktivitas seperti di internet di tempat tersebut,” kata Afnizar. Dia lantas membuka buku data penghuni rumah di RT 5. Data itu menyebutkan, pemilik rumah gurita bernama Frans Halimawan, 62, dan istrinya bernama Leni Sudrajat. Afnizar menambahkan, selama ini, rumah tersebut ditempati oleh tiga orang, dua perempuan dan seorang laki-laki. “Selama ini yang saya kenal pemilik rumah cukup baik,” tutur Afnizar.

Afnizar kemudian mengatakan, pemilik rumah tersebut memang tinggal di Jakarta bersama kedua anaknya masing-masing David dan Daniel. “Empat tahun menjabat sebagai ketua RT, saya tidak pernah mendapatkan laporan warganya terkait dengan isu yang beredar di internet tentang rumah gurita,” kata dia. Pencarian data selesai. Setelah merasa cukup mendapatkan data pelengkap, kami pamit. Meski tidak puas dengan hasil liputan, kami tetap akan menuliskan misteri rumah gurita menjadi sebuah berita lewat sumber-sumber lain. Siang itu pukul 12.00 WIB. Hujan masih juga belum reda. Melintasi Jalan Pasteur, butirannya kembali menerpa wajah kami. Hmmmm, berusaha memecahkan misteri rumah gurita bersama Baban cukup menyenangkan juga. Sama halnya saat dua tahun lalu berusaha memecahkan misteri mobil wilis yang konon masih terkubur di Pasar Kosambi, juga bersama seorang teman. (Tamat)

Read more »

Senin, 02 Februari 2009

Memecahkan Misteri Rumah Gurita (1)


Butiran air hujan menerpa wajahku saat melintas di Jalan Layang Paspati dengan menaiki motor tadi pagi. Ini terjadi lantaran kaca helm tidak ditutup. Cukup merepotkan memang, dan tentunya membuat mata perih. Tapi kalau kaca helm ditutup, lebih merepotkan lagi karena pemandangan jadi terhalang. Baban, wartawan tangguh dari detikbandung.com sudah berada di depan dengan motor Shogun kesayangannya. Sepertinya dia juga mengalami hal yang sama, tertimpa butiran hujan yang tampak kurang bersahabat. Jaket yang dipakainya sedikit berkibar, pertanda angin begitu kencang. Hari itu, meski diguyur hujan gerimis, kami bertekad berangkat menuju Komplek Perumahan Sukadamai di kawasan Pasteur untuk mengungkap misteri rumah Gurita yang kembali ramai dibicarakan di jagat maya.

Ide mengungkap misteri rumah Gurita memang dilontarkan Baban hari Minggu (1/2) lalu usai meliput ekspos kasus kejahatan jalanan selama 10 hari di Polresta Bandung Barat. Mantan aktivis kampus yang fotonya pernah nampang di Harian Metro Bandung (sekarang Tribun Jabar) tahun 2003 silam itu mengaku penasaran dengan keberadaan rumah gurita. Konon, berdasarkan hasil pencariannya di sejumlah blog, rumah tersebut terbilang angker. Bahkan, ada juga yang menyebut rumah gurita sebagai tempat ibadah aliran sesat. “Kang, saya besok menulusuri rumah gurita. Kantor sudah setuju. Akang mau ikut?” ajak Baban. Penasaran dengan cerita misteri di balik rumah gurita, aku pun mengamini ajakannya. “Saya pagi-pagi kang. Bagusnya jam berapa?” tanya Baban mempertimbangkan waktu. “Bagusnya jam 9 aja Ban. Kalau jam 8, saya nganter anak dulu,” jawabku diiyakan Baban. “Besok kita kontak-kontak lagi,” ujar Baban.

Tadi pagi, pukul 08.00 WIB aku mengontak Baban, memastikan waktu dan tempat janjian. Baban memberi usul agar kita bertemu di Gedung Sate, tepatnya di sekitar bakso Cuankie tempat biasa mangkal kawan-kawan wartawan. Aku menyepakatinya. Setelah mengantar anak ke TK, aku langsung menyalakan motor dan meluncur ke Gedung Sate. Sial, gara-gara terjebak macet di kawasan Samsat perempatan Soekarno-Hatta, aku terlambat 10 menit tiba di Gedung Sate. Baban sudah menunggu. Sejenak mengisap rokok, kami akhirnya berangkat karena khawatir hujan keburu turun. Benar saja, baru saja beranjak hujan sudah mengguyur. Tidak begitu deras memang, tapi cukup mengganggu. Sedikit kuyup, kami tiba di Komplek Perumahan Sukadamai tidak jauh dari Hotel Grand Aquila. Tanpa mengalami banyak kesulitan, kami sampai di seberang rumah tersebut. Sepi. Tak ada aktivitas di rumah megah namun terlihat tak terurus itu. Baban mengeluarkan kamera HP, aku mengikuti langkahnya. Setelah mengambil beberapa gambar rumah gurita dari depan, kami bertanya pada seorang ibu yang sedang menyapu mengenai riwayat rumah tersebut. Tidak banyak data yang diperoleh. Ia hanya mengatakan, rumah gurita tersebut berada di belakang rumah di Jalan Sukadamai No 6 dan 47. Sementara pintu masuknya dari rumah No 6. Ibu itu lantas menyarankan kami bertanya kepada pemilik kios, tidak jauh dari tempat kami berdiri.

Sebelum beranjak, kami memperhatikan terlebih dulu detail rumah itu. Disebut rumah gurita, karena di atas rumah bertengger patung gurita menutupi hampir seluruh atapnya. Patung gurita itu berwarna gelap, sangat kontras dengan dinding rumah yang berwarna putih kusam. Bisa terlihat dari kejauhan, karena bentuk rumahnya yang megah dan tinggi, lebih tinggi dari rumah utama. Dua buah kaca besar bergambar kartu King dan Queen sekop, menghiasi bagian depan rumah tersebut. Di sebelah kaca utama terdapat gambar lelaki berjanggut. Tak jauh dari situ, terpasang lagi dua kaca yang masih bergambar kartu King dan Queen, kali ini dalam ukuran lebih kecil. Kaca bergambar kartu King dan Queen itu dikelilingi lukisan 8 wajah, 6 di atas dan 2 di bawah. Entah lukisan wajah siapa yang terpasang di kaca itu. Yang jelas, lukisan masing-masing wajah berbeda satu sama lain. Tidak hanya bisa dilihat dari Jalan Sukadamai, rumah gurita juga bisa dilihat dari Jalan Sukagalih. Dari sana, terlihat bagian belakang rumah dan patung gurita yang lebih jelas. Sementara dari Jalan Cipedes Selatan, terlihat bagian kaca pinggir rumah bergambar orang sedang menaiki kereta kuda.

“Rumah itu kepunyaan Pak Frans. Tapi orangnya jarang datang. Kalau tidak salah, sebelum Hotel Grand Aquilla dibangun, rumah itu sudah ada,” kata Yana, 37, pemilik kios yang ditunjukkan ibu tadi. Menurut Yana, karena bentuknya yang aneh, banyak orang yang bertanya-tanya mengenai rumah tersebut. “Banyak yang datang. Terus nanya yang aneh-aneh. Katanya dibilang rumah setan. Tapi, sejak saya buka kios tahun 1991, belum pernah ada sekelompok orang datang ke rumah itu,” kata Yana. Sebelum berbincang, kami memesan dua gelas kopi. Visto, 40, seorang house keeping Hotel Grand Aquilla yang kebetulan sedang berada di kios mengatakan, rumah tersebut memang menjadi perhatian banyak orang, terutama warga luar Bandung. “Warga Jakarta banyak yang sengaja menginap di Hotel Aquilla untuk melihat rumah gurita. Mereka nanya keberadaan rumah itu,” katanya. Cukup lama kami berbincang dengan Yana dan Visto. Namun, misteri rumah gurita itu sama sekali belum terbuka. Baik Yana maupun Visto mengaku hanya mendengar selentingan saja mengenai keberadaan rumah tersebut. Akhirnya, kami memutuskan mendatangi rumah Jalan Sukadamai No 6 yang disebut satu-satunya pintu masuk rumah gurita. Hujan masih terus mengguyur dan kopi pun sudah habis diminum.(bersambung)

Read more »