Jumat, 28 November 2008

Menikmati Malam Jahanam


Tengah malam jahanam di Kabupaten Garut. Nyaris saja aku melihat orang dipukuli di Jalan Ahmad Yani Garut Kota tidak jauh dari Kafe Cikuray, dinihari kemarin sekitar pukul 01.00 WIB. Saat itu, aku, Ukas Reks Radio, dan Agung kawan Ukas, berniat membeli nasi goreng usai menikmati alunan musik dangdut di Kafe Cikuray dan bermain biliar di Kafe Fortune. Baru saja duduk dan memesan tiga porsi nasi goreng, seorang pemuda mabuk mendatangi tempat kami makan. Dia ditemani beberapa kawan pria dan seorang perempuan. Setengah sempoyongan, pemuda itu mendekati si penjual nasi goreng yang memang sudah sering didatangi rombongan wartawan sehabis lelah menjalani aktivitas malam. Kalau tidak salah, kawan-kawan wartawan biasa memanggilnya Awan. Dalam keadaan mabuk, ia mendekatkan wajahnya ke wajah Awan sambil mengumpat. Setiap kalimat umpatan, selalu diawali dan diakhiri dengan kata “Anjing”.

“Anjing, sia nu ngaranna Awan teh, anjing?” teriak pemuda mabuk itu. “Anjing, sia teh urang mana?” tandasnya lagi. Kami bertiga hanya diam menyaksikan ulah pemuda itu saat memarahi Awan. Namun, rasa kesal mulai menyelimuti perasaanku. Pasalnya, kedatangan pemuda mabuk itu, membuat Awan mengabaikan pesanan kami. Padahal, kami sudah memasuki fase kritis rasa lapar. Awan hanya terdiam. Sepertinya ia sadar dengan apa yang dihadapinya saat itu. Meladeni pemabuk pasti tak akan pernah ada habisnya. Selain itu, pemabuk yang sedang marah juga biasanya menanggalkan logika dan lebih memilih menggunakan otot. Wajah pemuda mabuk itu semakin dekat dengan wajah Awan. Tangan kanannya terus mengepal. “Anjing, aing hayang neunggeul beungeut sia anjing!!” teriaknya. Meski begitu, ia sama sekali tidak melayangkan pukulan ke wajah Awan. Sekian menit berlalu dengan kemarahan si pemuda mabuk itu, Awan tetap diam. Bahkan, dia meminta maaf jika membuat pemuda mabuk itu tersinggung. “Enggeus, hampura urang,” kata Awan.

Sepintas aku mendengar apa yang diucapkan pemuda itu kepada Awan. Persoalannya sederhana dan seputar masalah wanita. Rupanya pemuda mabuk itu tersinggung dengan sikap Awan yang dinilainya tidak menghargai wanita. Meski Awan membantahnya, pemuda itu bergeming dengan pendiriannya dan meminta Awan menjauhi wanita itu. Belakangan diketahui, wanita yang disebut-sebut pemuda itu adalah kerabatnya sendiri. “Anjing, Aing mah teu sieun lamun maehan sia oge!! Paling dipenjara 10 tahun anjing!!” pemuda itu terus melampiaskan kemarahannya tanpa menyentuh Awan. Semakin lama, perasaanku semakin kesal, karena nasi goreng yang dipesan, tak kunjung datang. Namun, sama dengan pikiran Awan, meladeni pemuda mabuk malah berujung masalah. “Kalau ada Indra (Trans TV), bakal lain ceritanya mang,” kata Ukas. Aku tersenyum. “Kalau ada yang memulai juga ceritanya bakal lain,” ujarku. Beberapa saat, pemuda itu pergi. Itu pun setelah tewan wanitanya meminta dia menghentikan ocehan. “Ingat A, jangan lagi mendekati dia (sambil menyebut nama seorang wanita). Si eta mah tidak main-main dengan ancamannya,” kata wanita itu. Awan mengangguk dan kembali menyelesaikan tugasnya menyiapkan nasi goreng untuk kami.

Tiga porsi nasi goreng sudah siap. Kami pun menyantapnya. Tiba-tiba, pemuda itu datang lagi dan menghampiri Awan. “Anjing, aing can puas hayang neunggeul beugeut sia anjing,” teriaknya lagi. Namun, lagi-lagi dia tidak melayangkan pukulan ke wajah Awan. Ah, dasar pemabuk. Tidak puas-puasnya menggangu kenikmatan kami makan. Beruntung, dua orang lelaki turun dari mobil dan meminta pemuda mabuk itu pergi. Aku tidak tahu siapa kedua lelaki itu. Yang jelas, sepertinya pemuda itu tunduk pada perintah mereka. “Siap komandan! Siap komandan!” ujarnya sambil memberi hormat. Kami tersenyum melihat tingkahnya yang tiba-tiba berubah. Bersama kawan-kawannya, pemuda itu kemudian pergi. Setelah rombongan pemuda itu pergi, Ukas berucap. “Mang, eta teh wartawan oge. Tapi “uka-uka” (tidak jelas medianya). Saya sering ningali manehna nangkring,” kata Ukas. Aku menggeleng dan kembali teringat kejadian saat oknum wartawan mengamuk di Kantor Satpol PP karena teman kencannya terjaring razia. Ah, ada-ada saja ulah wartawan “uka-uka” di Garut.

Read more »

Selasa, 25 November 2008

Senangnya Melihat Anakku Ikut Outbond



Hari yang dinantikan itu datang juga. Akhir pekan lalu atau Sabtu (22/11), Gisavo anakku, mengikuti kegiatan outbond bersama seluruh anak-anak TK Islam Al Muhajir, tempat dia sekolah sejak bulan Juli lalu. Tidak tanggung-tanggung, lokasi outbond yang dipilih oleh para pengajar di TK tersebut cukup jauh dan masih terbilang asri. Namanya Natural Hill. Lokasinya, di Km 7 Jalan Kolonel Masturi (Kolmas) Lembang, tidak jauh dari Rumah Sakit Jiwa Cisarua. Sebuah lokasi outbond yang masih dikelilingi jurang, sawah, serta peternakan. Betul-betul pengalaman menarik! Di sana, anak-anak TK mendapat pelajaran berharga mulai dari bagaimana menghargai alam, mempertahankan diri, sampai tes keberanian ala pasukan kopassus. Aku ikut menyaksikan kegiatan tersebut bersama istri dari awal sampai akhir. Beberapa kali, kami menghela napas melihat materi yang diberikan para pemandu outbond karena cukup membahayakan dan melelahkan bagi anak-anak seusia Gisavo.

Seminggu sebelum kegiatan berlangsung, istriku berkali-kali mengingatkan agar aku menemaninya mengantar Gisavo mengikuti kegiatan tersebut. Aku pun menyanggupinya karena kebetulan hari Sabtu adalah jatah liburku. Maka sehari sebelumnya, aku sudah mengontak bapak di rumah untuk meminjam mobil agar bisa pergi ke lokasi outbond tanpa khawatir kehujanan atau kepanasan. Pada hari H kegiatan, aku dan istri memutuskan pergi menaiki mobil ke lokasi outbond, sementara Gisavo menumpang bus yang disediakan pihak TK. Dia ngotot ingin menaiki bus karena penasaran seperti apa rasanya duduk di sebuah mobil besar. “Gisavo mau naik bus ya pak,” katanya. Aku dan istri tersenyum. Sebelum berpisah, kami mencium kening Gisavo. Ia tampak bahagia. “Pak, busnya ada TV-nya!!” teriak Gisavo sebelum rombongan pergi. Bus yang berangkat ke lokasi outbond berjumlah empat unit. Dua bus diisi oleh anak-anak TK, sementara dua bus lainnya diisi oleh orangtua siswa yang tidak membawa kendaraan. Rombongan berangkat dari TK Al Muhajir sekitar pukul 08.00 WIB. Setelah sempat mengikuti bus dari belakang, aku memutuskan tiba di lokasi outbond terlebih dahulu agar bisa mengambil foto dan merekam kedatangan anak-anak TK.

Rombongan bus tiba sekitar pukul 09.00 WIB. Anakku menaiki bus nomor 1 dan tiba paling awal. Bersama seluruh teman-temannya ia turun dari bus. Wajahnya tampak kebingungan. Aku tersenyum melihat mimik wajahnya. Baru setelah kupanggil, dia menoleh dan menghampiriku. “Kenapa Gi?” tanyaku. “Bingung Pak,” jawabnya singkat. Hahaha, mungkin karena baru kali pertama naik bus, begitu turun, anakku langsung limbung. “Ya udah, gak usah bingung, sekarang ikut sama temen-temen lain dan jangan jauh-jauh dari bu guru,” jawabku. Ia mengangguk dan mulai bergabung dengan teman-teman sekelasnya, membuat sebuah barisan. Kalau tidak salah hitung, seluruh anak-anak TK dibagi dalam empat kelompok. Masing-masing kelompok dipimpin oleh seorang pemandu dari Natural Hill, di samping tentu saja dua orang guru TK Al Muhajir. Setiap kelompok, terdiri dari sekitar 10 anak-anak TK. Aku tak hapal seluruh teman satu kelompok Gisavo. Hanya beberapa saja yang kukenal karena cukup dekat dan sering bermain dengan anakku seperti Gifar, Ginggi, Fauzan, dan Noval.

Lokasi awal yang didatangi oleh kelompok Gisavo adalah sebuah kebun. Di sana, anak-anak diajarkan bagaimana membuat lubang di atas lahan kebun untuk diisi dengan sebuah biji jagung. Macam-macam gaya anak-anak saat membuat lubang. Gisavo tampak canggung. Beberapa kali ia berusaha membersihkan kedua tangannya dari tanah basah. “Ga apa-apa Gi. Sekarang boleh kotor-kotoran. Kalau di rumah ga boleh,” teriakku. Tetap saja, ia sangat berhati-hati ketika diminta guru menutup lubang yang sudah ditanami biji jagung. “Bu guru!! Udah!!” teriaknya sambil membersihkan kedua telapak tangannya ke baju teman sebelah. Setelah materi pertama yaitu menanam biji jagung selesai, pemandu kelompok membawa rombongan ke lokasi lain. Di sana, ada tiga buah jembatan. Masing-masing jembatan, memiliki tingkat kesulitan yang berbeda-beda. Jembatan pertama hanya terdiri dari seutas tambang untuk pijakan kaki dan dua tambang untuk pegangan tangan. Jembatan kedua terdiri dari dua tambang untuk pegangan tangan dan beberapa balok yang terpasang berjarak untuk pijakan kaki. Jembatan terakhir hanya berupa seutas tambang untuk pijakan dan pegangan tangan.

Aku sempat berpikir, sepertinya Gisavo tidak sanggup melalui tiga jembatan itu dengan sempurna. Namun kenyataannya tidak. Ia tampak menikmati materi kedua tersebut. Seluruh rintangan dilaluinya dengan tawa dan canda. Bahkan, pada jembatan ketiga, dia bergeming di atas seutas tambang dengan dua tangan memegang seutas tambang lainnya. Rupanya, materi ini merupakan pelajaran menjaga keseimbangan. Pemandu pun dengan santainya menggoyang-goyangkan tambang sehingga anak-anak yang tak kuat menahan keseimbangan akan terjatuh. “Ayo, jangan sampai jatuh. Di bawah ada buaya!!!” teriak pemandu. Tak urung, teriakan pemandu itu membuat anak-anak kembali menaiki tambang dan berusaha sekuat tenaga mempertahankan keseimbangan agar tidak jatuh. “Bapak!! Mamah!! Di bawah ada buaya! Gisa gak boleh jatuh,” anakku berteriak sambil terus berpegangan pada seutas tambang.

Materi ketiga mengingatkanku pada Sungai Citarum. Sama dengan apa yang pernah aku alami di Sungai Citarum, anak-anak disuruh menyeberangi sungai dengan rakit yang terbuat dari beberapa bambu. Di atas rakit, melintas sebuah tambang. Agar bisa sampai ke seberang, anak-anak harus menarik tambang tersebut sehingga rakit akan melaju mengikuti alur tambang. Aku jadi teringat saat ditugaskan meliput rencana jalur alternatif dari Soreang menuju Bandung. Saat itu, bersama seorang kawan, aku menaiki rakit menyeberangi Sungai Citarum. Motor juga ikut disimpan di atas rakit. Si pemilik rakit kemudian menarik sebuah tambang di atasnya dan rakit yang kami tumpangi melaju ke seberang sungai. Ah, masa lalu yang menyenangkan. Di atas rakit, Gisavo duduk di depan. Tiga teman lainnya duduk di belakang. Dengan santai, mereka kemudian menarik seutas tambang sehingga rakit sampai ke seberang. Mereka melakukannya bolak-balik sampai rakit kembali ke posisi semula. Hahaha, lucu melihat tingkah mereka menarik rakit.

Inilah materi keempat yang disukai anakku. Apalagi kalau bukan flying fox. Ya, anakku betul-betul menyukai kegiatan yang cukup memacu adrenalin ini. Beberapa kali setiap bermain ke kebun binatang Bandung, dia kerap menaiki arena permainan tersebut. Bedanya, jika di kebun binatang flying fox yang ada tidak terlalu tinggi, sementara di lokasi outbond lokasi flying fox cukup tinggi. Agar cepat selesai, setiap anak menaiki flying fox berpasang-pasangan. Gisavo kebagian berpasangan dengan Gifar yang badannya lebih tinggi dan lebih besar. Karena badannya yang tinggi, dalam setiap kegiatan kesenian TK, Gifar kerap menjadi pembawa sisingaan. Gisavo dan Gifar sukses menaiki flying fox. “Pak, Gisa mau lagi naik flying fox,” kata dia. “Eh, jangan sekarang. Kalau sekarang, Gisa harus ikut kata Bu Guru dan kakak pemandu,” kataku diiyakan istri. Usai mengikuti permainan flyng fox, rombongan anakku kemudian berpindah ke lokasi permainan kelima. Aku tak ingat nama permainan itu. Namun, dalam permainan itu, anak-anak kembali harus melalui tiga rintangan, kali ini mirip latihan pasukan kopassus. Rintangan pertama adalah meniti sebuah balok yang dipasang berdiri dengan jarak yang berjauhan satu sama lain. Setelah itu, mereka disuruh memanjat dan menuruni sebuah balok yang dipasang bertingkat. Terakhir, anak-anak disuruh merayap di atas tanah menghindari rintangan di atasnya. Lagi-lagi anakku sukses melewati ketiga rintangan itu, meski rintangan pertama harus dibantu oleh Ibu guru.

Usai merayap, anak-anak TK kemudian masuk ke dalam sebuah labirin yang terdiri dari semak-semak. Mereka harus menemukan jalan keluar. Setelah keluar dari labirin, mereka juga dihadapkan pada rintangan lain yaitu sebuah tambang kecil yang dianyam persis jaring laba-laba. Beberapa kali anakku terjatuh karena terjerat tali yang membentuk jaring laba-laba itu. Namun, ia sukses melaluinya. Sebelum sampai pada materi terakhir, rombongan beristirahat. Materi terakhir rupanya sangat dinantikan oleh anakku. Anak-anak disuruh masuk ke kolam ikan, dan mencari ikan sebanyak-banyaknya. Dengan senang hati, Gisavo terjun ke kolam. Namun, bukannya mencari ikan, bersama teman-teman lainnya, ia sibuk bermain air. Aku berteriak-teriak agar dia tidak melupakan tugasnya menangkap ikan. Ingin rasanya ikut masuk ke kolam dan ikut menangkap ikan. Tapi, keinginan itu tak diwujudkan. Bukan karena malu, tapi karena aku tidak membawa baju dan celana ganti. Selama hampir satu jam, anak-anak berada di kolam ikan. Akhirnya, dibantu Mang Utis, salah seorang petugas di TK Al Muhajir, aku berhasil menangkap satu ikan. Begitu ikan tertangkap, aku lantas meminta anakku naik dan membersihkan diri. “Kalau ikannya belum ketangkep, anakku pasti tidak mau beranjak dari kolam,” pikirku. Di bawah pancuran yang dingin, anakku mandi. Aku dan istri membantunya membersihkan badan. Tubuh anakku menggigil kedinginan. “Brrrrr, dingin pak,” ujar Gisavo.

Selesai sudah kegiatan outbond yang mirip sebuah pesta bagi anak-anak TK itu. Setelah menyantap makan siang bersama rombongan, kami pulang. Tidak seperti saat awal berangkat, kali ini Gisavo tidak ikut rombongan bus, tetapi ikut menaiki mobil. Baru saja mobil melaju dari lokasi outbond, suara anakku tak terdengar. Ia tertidur pulas dengan kepala menempel di pintu mobil. Akhirnya, istriku membetulkan posisi tidur Gisavo. Dalam keadaan tertidur, Gisavo tampak tersenyum. Sepertinya ia masih menikmati saat-saat indah di lokasi outbond. Hmm, betul-betul hari yang melelahkan dan menyenangkan buat anakku.

Read more »

Senin, 24 November 2008

Catatan buat Miftahul Ulum


Sebuah SMS mampir di HP-ku dinihari tadi. “Mang, Bandung bergejolak lagi. Bisa kunjungi: ruang-public.blogspot.com atau lentera-merah.blogspot.com. Barangkali punya saran untuk kita. Nuhun.” Begitu isi SMS yang dikirim sekitar pukul 00.53 WIB. Pengirimnya salah seorang teman kantor di Bandung yang tidak mempunyai pos liputan jelas. Setiap hari, dia selalu disibukkan mencari berita yang akan dijadikan head line halaman dalam koran tempat kami bekerja. Entahlah, akhir-akhir ini, aku merasa sangat dekat dengannya dan begitu peduli dengan masa depannya. Mungkin karena kami memiliki hobi dan gaya bercanda yang sama. Hmmmm, SMS yang aneh. Sesaat, aku tertegun dan berencana membuka kedua blog tersebut pada pagi harinya. Sepertinya, informasi ini betul-betul serius. Ah, ada apa dengan Bandung? Gejolak apalagi yang terjadi?

Tadi pagi, aku langsung membuka blog yang direkomendasikan temanku via SMS tersebut. Yang pertama kubuka adalah www.lentera-merah.blogspot.com. Baru membuka awalnya saja, aku sudah tertegun. Blog itu berjudul “korban media” dengan deskripsi tulisan “catatan melawan lupa”. Meski tak melihat profil terlebih dulu, aku tahu persis siapa pembuat blog tersebut. Ya, dia adalah Miftahul Ulum atau akrab disapa Ulum, pria asal Blitar yang dimutasi ke Bandung setelah sebelumnya sempat berada di Bali, merintis usaha koran tempat kami bekerja saat ini di surganya para wisatawan tersebut. Sebuah tulisan dia posting Sabtu (22/11) lalu. Judul tulisannya: (tak) adil sejak dalam pikiran. Aku membaca tulisan itu dengan seksama. Paragraf awal tulisan sudah cukup menyesakkan dada. “Rabu (19/11/08) sekitar pukul 20.00 WIB, redaktur Sindo Jabar Army, telpon. Dia bercerita dan tanya seputar tidak diperpanjang kontrak. Menurut penelurusan dia, setelah tanya Nevy dan Jaka, aku tidak diperpanjang akibat attitude,” begitu ungkap Ulum pada kalimat awal tulisan yang dia posting Sabtu (22/11) lalu. Ya ampun! Kontrak Ulum tidak diperpanjang hanya karena alasan attitude? Pada paragraf kedua, Ulum menulis: “Attitude yang dimaksud, saat muncul kasus Bali, aku termasuk salah satu yang vocal mengadvokasi keenam wartawan bali yang kontrak kerja tidak diperpanjang. Adapun standar semisal, penilaian berita, kemampuan dsb tidak menjadi pertimbangan tidak diperpanjangnya kontrak kerjaku.”

Miftahul Ulum memang korban media, seperti judul blog yang dia tulis. Kontrak kerjanya diputus, hanya karena dia dikenal vokal memperjuangkan nasib kawan-kawan di Jawa Barat. Sebelumnya dia juga memperjuangkan hak kawan-kawan wartawan dari media yang sama di Bali. Aku ingat betul bagaimana semangatnya Ulum ketika hendak membuat buku putih atau mempertanyakan gaji wartawan yang tidak layak seiring kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Aku juga ingat pertemuan di Punclut bersama Army dan beberapa kawan asisten redaktur (asred) lainnya saat dia berbicara lantang rencana gerakan kawan-kawan di biro memperjuangkan kenaikan gaji. Aku memang tak begitu mengenalnya. Tapi dalam beberapa kali pertemuan, aku sangat menghargai semangatnya memperjuangkan nasib kawan-kawan agar tidak melupakan hak. Aku juga tertegun dengan pengetahuannya soal media dan isu yang berkembang di sekitar tempat kami bekerja.

Awal pertemuan dengan Ulum dihabiskan di Kantor detikbandung, tidak jauh dari kantor tempat kami bekerja. Aku tak ingat persis kapan waktunya. Namun saat itu, selain Ulum, beberapa kawan lain juga ikut bergabung. Tidak banyak yang kami bicarakan saat itu. Yang aku ingat, kami sama-sama tertawa menikmati hidup dan nasib. Setelah itu, aku jarang bertemu dengan sosok pria yang ternyata usianya terpaut jauh denganku. Terakhir, kami sempat berbincang di kantor tentang banyak hal. Tapi terus terang, aku lupa apa yang kami bicarakan saat itu. Perbincangan kemudian berlanjut di YM. Dia menyapaku dan membicarakan sebuah blog yang isinya menghina Islam dan Nabi Muhammad. Perbincangan terakhir membicarakan rencana aksi terkait isi blog yang menghina Islam dan Nabi Muhammad tersebut. Meski aku kerap mengunjungi kantor biro, sosok Ulum jarang terlihat.

Miftahul Ulum, di manakah kamu sekarang? Apa yang kamu rasakan saat ini? Tak ada sepatah kata pun yang kau ucapkan menyikapi soal pemutusan kontrak yang dilakukan perusahaan tempat kita bekerja. Aku bahkan tak sempat menyimpan nomor telepon selularmu meski beberapa kali kita berbincang dalam sebuah pertemuan yang tak serius. Kita memang belum pernah bekerja bersama-sama, tapi napas kemerdekaanmu terasa hingga 60 Km dari Bandung. Kebebasan berpikirmu masih membekas di alam pikiranku. “Sepertinya, kalau ada pemutusan hubungan kerja (PHK), akulah orang pertama yang menjadi target,” begitu ucapmu suatu hari. Dugaanmu benar kawan! Tapi, perjuangan menuju kebenaran tak pernah akan ada habisnya. Selamat jalan kawan! Sampai saat ini, lentera merah tetap masih bernyala di sini, di urat darahku……

Read more »

Rabu, 19 November 2008

Komik Nabi dan Kegelisahanku


Sebuah komik Nabi Muhammad versi Indonesia yang dihosting di wordpress.com, salah satu blog yang cukup terkenal di Indonesia, mengusikku kemarin malam saat membuka internet di ruang humas Pemkab Garut. Betapa tidak, komik itu sangat menghina Islam dan Nabi Muhammad. Di sana, terdapat dua cerita dengan judul ‘Muhammad dan Zainab’ serta ‘Kartun Sex Muhammad dengan Budak’. Dalam blog tersebut juga digambarkan sosok Muhammad sebagai orang yang mengenakan jubah hijau, surban, dan berewokan. Sementara gambar-gambar wanita dalam blog tersebut ditampilkan dengan pakaian seksi dan menggoda. Tak perlu kuceritakan lebih detail, pokoknya blog tersebut menyebutkan Muhammad sebagai sosok yang tak pantas dan Islam merupakan ajaran menyesatkan. Huh, betul-betul sebuah penghinaan dan pelecehan!!

Kebetulan, saat itu Abah Janur Antv dan Ahmad TVRI tengah berada di ruang Humas untuk mengirim gambar dan naskah longsor di Jalan Raya Samarang. Aku lantas memperlihatkan blog tersebut dan mendiskusikannya bersama mereka. Tak urung, keduanya langsung merinding begitu melihat gambar dan isi blog tersebut. “Waah, ini mah jelas penghinaan mang. Bisa jadi rame,” kata Abah. Ahmad pun berpikiran sama. “Enya mang. Ieu mah blog kurang ajar,” ujarku. Abah mengangguk. Ia mengambil telepon genggam dan mengirimkan pesan singkat kepada sejumlah tokoh di Kabupaten Garut. Aku berbincang di YM dengan salah seorang kawan di Bandung yang juga sudah melihat isi blog tersebut. Ia mengaku enggan berkomentar, namun akan mengabarkannya kepada kawan-kawan lain via YM. Selain berbincang via YM, aku juga mengabarkan isi blog itu via SMS kepada salah seorang kawan wartawan lain di Bandung.

Diskusi di ruang humas bersama Abah dan Ahmad terus berlanjut. Intinya, kami ingin blog yang menyesatkan itu ditutup dan pelakunya diproses hukum. Meski tidak begitu taat, sebagai seorang muslim, amarahku terbakar. “Ini tidak boleh dibiarkan mang,” kata Abah. Aku mengiyakan perkataan Abah, namun masih merasa bingung harus berbuat apa. “Tunggu saja reaksi orang-orang yang di-SMS,” kata Abah sambil terus membaca isi blog itu dengan seksama. Sekitar pukul 22.00 WIB, Abah dan Ahmad pamit pulang. Seperti hari-hari sebelumnya, aku tetap berada di ruang humas yang selama ini menjadi tempat menginap. Sepanjang malam, aku tak bisa tidur. Bayangan komik itu terus melintas bersama bayangan-bayangan lain yang kerap muncul setiap malam. Baru pukul 05.00 WIB tadi pagi, aku baru terlelap dan bangun sekitar pukul 09.00 WIB.

Seolah menjadi rutinitas sehari-hari, setiap pagi, setelah mandi dan menikmati segelas kopi, aku selalu membuka internet terlebih dahulu sebelum menjalankan aktivitas. Yang pertama dibuka adalah YM, kemudian berlanjut membuka detikbandung, PR online, SINDO, dan Galamedia. Kawan-kawan wartawan lain sudah ada di ruang humas, termasuk Abah Janur. Aku sempat bertanya kepada Abah mengenai jawaban dari tokoh-tokoh ia kirimi pesan singkat mengenai komik nabi. Abah bilang, mereka belum meresponnya. Perbincangan mengenai komik itu kembali berlanjut dan didiskusikan dengan kawan-kawan wartawan yang ada di ruang humas. Agus, sopir Kabag Humas Pemkab Garut, Dikdik Hendrajaya, ikut mendegarkan apa yang kami bicarakan sambil membuka internet. Tiba-tiba, ia berseru dan membuyarkan diskusi kami. “Komik nu ieu lain? Beritana geus aya di detik.com,” kata Agus. Kami pun memburu internet dan membuka detik.com. Benar saja, berita tentang komik nabi Muhammad sudah muncul di media online tersebut pukul 10.05 WIB. Judulnya: Komik Menghina Nabi Muhammad Versi Indonesia Beredar. “Bah! Geus aya di detik!” aku memanggil Abah. “Waah, alus atuh. Keun we mang, ngarah rame!!” sahut Abah sambil berjalan menuju salah satu komputer.

Akhirnya, terjawab sudah kegelisahan kami. Dengan muncul di detik.com, harapan agar blog itu ditutup dan penyebar komik diusut menyeruak. “Aya razia preman di Polres Garut!!” teriak kawan-kawan. Aku pun beranjak dari tempat duduk dan pergi ke Polres Garut dengan menaiki motor Indra Trans TV. Bersama Indra yang duduk di belakang jok motor, aku mengemudikan motor diguyur hujan gerimis. Di Polres Garut, seorang kawan menyampaikan pesan singkat. “Detik running terus soal kartun,” begitu isi SMS yang dikirim pukul 12.58 WIB. Kabar itu pun aku sampaikan kepada kawan-kawan yang saat itu berada di Polres Garut. Maka, usai meliput razia preman dan kasus pemukulan guru oleh guru, aku langsung membuka detik.com begitu tiba warnet. Berita komik nabi memang terus bergulir. Semua pihak berbicara. Mabes Polri, MUI, Depkominfo, anggota dewan, pendeta, dan tokoh Islam bersuara lantang. Intinya, mereka meminta wordpress.com segera memblokir blog tersebut. Sore sekitar pukul 15.30 WIB, aku mengetik berita. Ada rasa puas setelah mengetahui pemerintah menindaklanjuti komik nabi yang sarat dengan pelecahan dan penghinaan tersebut. Mudah-mudahan pemerintah cukup bijak dengan hanya memblokir blog tersebut dan tidak menutup wordpress. “Mang, ari website anu pelecehan ka nabi Muhammad naon?” sebuah SMS dari Tasdik Elshinta membuyarkan konsentrasiku. Kamana wae atuh mang??

Read more »

Senin, 17 November 2008

Kuda Mati Meninggalkan.....

Liputan di Kabupaten Garut bersama kawan-kawan adalah tertawa. Setidaknya, itulah yang aku rasakan sejak berada di wilayah yang terkenal dengan dodolnya itu pada akhir Mei 2008 lalu. Tertawa karena begitu banyak hari-hari yang dilalui dengan canda. Pun begitu banyak kejadian-kejadian aneh yang ditemukan saat liputan ataupun saat kehilangan ide liputan. Salah satu kasus yang sampai saat ini kerap membuatku tertawa adalah saat Abah Janur Antv menerima sebuah SMS dari nomor tak dikenal pada suatu malam. Tulisan SMS itu berbahasa sunda. Isinya sebuah informasi mengenai kecelakaan. Dengan suara lantang, Abah lantas membacakan isi SMS itu di ruang humas yang masih dipenuhi kawan-kawan wartawan baik cetak maupun elektronik. “Bah, bieu aya tabrakan angkot 07 jeung delman di pilar sukaraja karangpawitan sampe paeh kudana bakat ku tarik bari poek listrik tapi euweuh polisi,” teriak Abah membacakan SMS. Kalau diartikan dalam bahasa Indonesia, SMS itu berbunyi: Bah, barusan ada tabrakan angkot 07 dengan delman di pilar Sukaraja Karangpawitan. Saking kerasnya tabrakan, kudanya sampai mati. Tidak ada penerangan dan belum ada polisi.

Abah tertawa. Dia pun mengontak nomor si pengirim SMS karena ingin tahu kelanjutan informasi itu. Ternyata SMS itu dikirim oleh seorang wartawan yang kebetulan melintas di lokasi kejadian. “Jadi kumaha? Kudana dibawa ka mana? Geus dievakuasi ka kamar mayat can?” tanya Abah kepada si pengirim SMS setengah bercanda. “Gimana bah?” aku bertanya. Berdasarkan laporan dari pengirim SMS, Abah kemudian menerangkan bahwa di lokasi kejadian masih banyak kerumunan orang. Selain itu, mayat kuda juga belum dievakuasi. Beberapa saat kami terdiam. Tiba-tiba Abah berinisiatif berangkat ke lokasi kejadian karena kebetulan saat itu Boi TPI membawa mobil. “Saya ngecek heula mang. Kana mobil!” kata Abah. Aku yang sudah bebas tugas mengikuti langkah Abah. “Bah, urang milu!!” seruku. Akhirnya, dengan menaiki mobil boi yang dikemudikan sopir, kami berangkat menuju lokasi kejadian. Tak kurang dari setengah jam, kami sampai di jalan yang disebutkan si pengirim SMS tadi. Jalan di sana memang gelap. Tak ada lampu penerangan sama sekali. Wajar saja kalau di daerah tersebut kerap terjadi kecelakaan.

Kami terus menelusuri jalan tersebut mencari lokasi kejadian. Tak ditemukan kerumunan orang. Padahal biasanya sebuah kecelakaan akan menarik orang banyak. “Sigana mah lokasi kejadian geus diberesan mang,” kata Abah sambil terus memperhatikan keadaan sekitar. Tiba-tiba, kami melihat bangkai delman teronggok di pinggir jalan. Kondisinya betul-betul rusak parah. “Tah mang, eta meureun!” kata Abah. Sayangnya, kami tidak berhasil menemukan bangkai kuda. Akhirnya, Abah memutuskan kembali lagi ke markas di ruang humas dan urung mengambil gambar. “Hayu mang, gambarna goreng. Mun aya keneh kudana mah, bisa dicokot gambarna,” kata Abah. Di perjalanan, telepon genggam Abah berbunyi. Sepertinya, telepon itu berasal dari kawan wartawan lain. Sebab, dari pembicaraannya, Abah tampak menerangkan kondisi di lokasi kejadian. “Kudana geus euweuh, coba cek ka UGD RSU dr Slamet. Sigana mah kudana geus dibawa ka rumah sakit,” ujar Abah kepada si penelepon. Aku tertawa mendengar percakapan tersebut.

“Saha bah?” tanyaku. “Si Ahmad (TVRI) mang,” jawab Abah menjelaskan identitas si penelepon. Menurut Abah, Ahmad bermaksud menyusul ke TKP untuk mengambil gambar kecelakaan. “Manehna nanyakeun kondisi TKP. Ceuk saya, kudana geus euweuh. Kalau mau ngambil gambar kuda, ke UGD RS dr Slamet we,” terang Abah sambil tertawa. “Terus si Ahmad kumaha?” aku kembali bertanya. Tadinya, kata Abah, Ahmad berencana ke UGD RSU dr Slamet, tapi urung karena tidak memiliki gambar TKP. “Dasar si eta mah. Pas ku urang disebutkeun kudana di UGD, siga nu serius. Tapi manehna moal nyokot dan teu meunang gambar TKP,” ujar Abah sambil tertawa. Hahaha, kebayang kalau si kuda benar-benar ada di UGD RSU dr Slamet. Berita itu dipastikan bakal mengisi halaman depan seluruh surat kabar dan menjadi berita utama di televisi keesokan harinya.

Read more »

Minggu, 16 November 2008

Gaji PRT di Hongkong Rp4 Juta

Kemarin petang, di sebuah warnet, aku chatting dengan seorang perempuan yang sama sekali tak dikenal. Aku iseng-iseng menyapanya di yahoo messenger (YM) sambil menyelesaikan tugas mengetik berita. Yah, hitung-hitung hiburan daripada bete nulis berita terus. Rupanya dia membalas sapaanku. Perbincangan pun mengalir. Seperti seorang reporter yang tengah menjalankan tugas liputan, aku mulai bertanya asal usul perempuan itu. Dia menjawab dengan jujur (setidaknya aku percaya dengan jawabannya), mulai dari status, asal daerah, sampai tempatnya bekerja. Aku pun menceritakan statusku yang sudah berkeluarga dan memiliki satu anak. Rupanya, perempuan itu orang Indramayu dan sempat tinggal di Bandung, tepatnya di daerah Kopo. Namun, sejak menjanda 8 tahun lalu, perempuan yang mengaku sudah berusia 40 tahun ini hijrah ke Hongkong, bekerja sebagai tenaga kerja wanita (TKW). Dia sendiri punya 3 anak yang sudah besar. Anak paling kecil sudah duduk di bangku SMA. Sementara anak tertua, sudah berusia sekitar 20 tahun.

“Saya sudah 8 tahun menjanda,” tulis perempuan itu menjawab pertanyaanku di YM. Aku tak bertanya alasan dia menjanda. Namun, aku penasaran dengan alasan dia pergi ke Hongkong dan bekerja menjadi TKW mengingat nasib TKW Indonesia kerap menderita di negeri orang. “Di sini, saya jadi pembantu rumah tangga (PRT),” jawabnya. “Ada berapa orang TKW Indonesia di Hongkong mbak?” tanyaku. Dia tidak bisa menjawab pasti. "Jumlahnya mencapai ratusan ribu," katanya. Menurut perempuan itu, menjadi PRT di Hongkong jelas lebih menguntungkan ketimbang jadi pembantu di Indonesia. “Kalau di Indonesia mah, jadi pembantu gajinya kecil. Mending jadi pembantu di sini (Hongkong). Gajinya lebih besar dari pegawai negeri sipil (PNS). Hahahaha,” perempuan itu menerangkan.

Setiap hari, perempuan itu mengaku bekerja selama 24 jam. Seluruh biaya sehari-hari, ditanggung oleh majikannya, termasuk makan. Hari Minggu adalah hari santai buat dia. Biasanya, waktu santai tersebut dia gunakan untuk berkumpul bersama pembantu lainnya di warnet, atau berlibur. “Harga warnet di sana berapa per jamnya?” tanyaku. “Sembilan dolar,” jawabnya. “Atau setara dengan Rp9.000,” katanya lagi. Wah, ternyata harga warnet di Hongkong mahal. “Emang mbak digaji berapa sebagai pembantu rumah tangga?” aku semakin penasaran. “Yah, sekitar Rp4 juta per bulan,” jawabnya. Aku tertegun dengan nilai uang yang disebutkannya. Gila, seorang PRT di Hongkong mendapat gaji sebesar Rp4 juta. Nyaris 3 kali lipat dari gajiku sebagai wartawan. Pantas saja, orang Indonesia banyak yang berlomba-lomba jadi TKW karena ingin mendapat gaji yang layak. Selain itu, perempuan itu mengaku merasa nyaman berada di Hongkong sehingga banyak TKW yang betah berlama-lama berada di sana.

Coba bandingkan gaji pembantu rumah tangga di Hongkong dengan Indonesia. Rata-rata, pembantu di Indonesia digaji sekitar Rp300 sampai 500 ribu per bulan. Itu pun atas persetujuan dan kebaikan sang majikan setelah terjadi tawar menawar harga. Menurut perempuan itu lagi, penegakan hukum mengenai upah TKW di Hongkong betul-betul diatur oleh negara dan ditegakkan aparat hukum. Majikan dan pekerja bisa dihukum jika melanggar aturan tersebut. Di Hongkong, negara juga melindungi hak-hak TKW untuk mendapat jatah libur. Mereka bisa refreshing sesuka hati menikmati hari bebas. Sementara di Indonesia, pembantu rumah tangga kebanyakan tidak punya waktu libur setiap minggunya. “Mbak, boleh tahu uangnya ke mana?” tanyaku. Perempuan itu menjelaskan bahwa uang hasil keringatnya sebagian ditabung, sebagian lagi dikirimkan buat anak-anak dan orangtuanya. Luar biasa! Anak pertamanya bahkan kuliah di Politeknik Institut Teknologi Bandung (ITB).

Selepas maghrib, perempuan itu pamit hendak off dari YM. Aku mempersilakannya. Namun, aku masih berharap bisa berbincang lagi dengannya mengenai suka duka bekerja sebagai PRT di Hongkong. “Mbak, kapan-kapan bisa ngobrol lagi? Aku tertarik dengan cerita mbak jadi TKW di Hongkong,” tanyaku. Dia menjawab singkat. “Ok,” ujarnya lantas mengucap salam. "Jangan lupa mbak, kalau ada yang informasi menarik soal TKW di Hongkong, kasih kabar. Via YM aja lagi," tulisku menutup pembicaraan.

Read more »

Apa Kabar Pakuan?

Seminggu lalu, atau Jumat (7/11), saat baru saja keluar dari ruang Kabag Humas Pemkab Garut Dikdik Hendrajaya untuk menyerahkan charger HP, seorang pria setengah baya tiba-tiba berteriak memanggilku. “Gin!” seru pria yang memang sedari tadi sudah ada di ruang kabag humas itu. Aku kaget dan kembali memasuki ruang kabag humas. “Iya pak?” jawabku heran, karena tidak tahu siapa sosok pria yang memanggilku. “Ini Gin2 bukan?” tanya pria tadi. “Muhun pak, Gin2,” jawabku masih keheranan. “Waah, masak lupa sama akang Gin?” seolah kecewa karena aku tidak mengenalnya, pria tadi kembali bertanya. “Muhun pak, hilap,” jawabku jujur. Pria itu langsung mengenalkan diri. “Ini Wawan. Wawan Pakuan, Pikiran Rakyat,” terangnya. Ya ampun, aku benar-benar lupa dengan sosok pria tadi. Seandainya dia tidak mengenalkan dirinya kembali, sampai pembicaraan usai pun aku pasti lupa. “Punteeen pisan kang, abdi hilap,” kataku sambil menyalami pria tersebut. “Teu nanaon Gin,” jawabnya santai. Aku pun duduk dan berbincang dengan Kang Wawan.

Ingatan kemudian melayang pada bulan Februari 2007 lalu. Kang Wawan, begitu aku menyapa pria tadi saat terlibat bekerja di suplemen Pakuan, salah satu suplemen grup Pikiran Rakyat di wilayah Bogor, Depok, Cianjur, dan Sukabumi. Hanya dua bulan aku bergelut di media tersebut, tepatnya Februari dan Maret, setelah keluar dari koran lokal grup Kompas, sebelum akhirnya bergabung dengan koran nasional grup MNC, akhir Maret 2007 lalu. Aku pun hanya sekali bertemu dengan Kang Wawan di kantor perwakilan Pikiran Rakyat Cianjur. Saat itu, dia sengaja datang untuk memimpin rapat evaluasi kinerja awak Pakuan setelah dua bulan berjalan sejak Januari 2007. Kebetulan, aku ditugaskan di wilayah Kabupaten Bogor dan Kota Depok, bersama Depe, seorang kawan yang sebelumnya pernah menjadi redaktur Pakuan. Dalam pertemuan itu, Kang Wawan banyak memuji kinerja kami, meski ada beberapa hal yang perlu diperbaiki. Aku menyimak seluruh perkataannya dengan seksama. Pertemuan berlangsung tidak terlalu lama, namun cukup membuatku terkesan. Kang Wawan berharap awak Pakuan tidak berubah karena sudah solid. Ia juga berharap aku bisa bertahan di suplemen tersebut.

Awalnya, aku bergabung dengan suplemen Pakuan karena ditawari seorang kawan lama di Cianjur yang sempat bekerja satu media. Saat bekerja satu media, aku menganggapnya sebagai mentor yang baik, karena tulisannya rapi, dan pengalamannya di lapangan. Tak perlu kusebutkan alasan kenapa aku bergabung dengan suplemen Pakuan dan meninggalkan harian lokal grup Kompas yang aku masuki sejak 2002 lalu. Yang jelas, lepas dari harian tersebut, aku langsung berangkat ke Bogor dengan menaiki sepeda motor. Setelah sedikit diberi arahan, aku ditugaskan di wilayah Kabupaten Bogor dan Depok, sementara kawanku, Depe, bertugas di Kota Bogor. Dalam peliputan, aku ditemani seorang wartawan olahraga bernama Iman. Jarak tempuh yang jauh dan menanjak, membuat aku harus membetulkan rantai sepeda motor setiap tiga hari sekali. Ah, betul-betul pengalaman berharga. Di suplemen Pakuan, aku jadi mengenal Kabupaten Bogor dan Depok meski beberapa kali nyasar. Beberapa kali juga aku menemui cuaca yang berbeda di dua wilayah tersebut. Saat di Bogor hujan lebat, di Depok ternyata panas terik. Begitu pun sebaliknya. Saat di Depok hujan, ternyata di Bogor panas. Yang paling berkesan adalah saat aku pergi dari Bogor menuju Cianjur menaiki motor bersama Depe, tengah malam gulita. Bagaimana saat itu kami berdua melintasi kawasan Puncak yang berkabut dan dingin tanpa mengenakan jaket tebal. Luar biasa. Aku juga jadi mengenal banyak tempat-tempat baru, seperti masjid berkubah emas di Depok, atau rumah peninggalan si pitung di Jalan Margonda Raya.

Setiap Jumat, aku pulang ke Bandung. Hari Minggu aku kembali berangkat dibekali sejumlah uang oleh istri untuk hidup sehari-hari di Bogor dari Senin sampai Jumat. Untuk menghemat biaya, aku menginap di Mes PR, di kawasan Bogor Baru. Sementara biaya makan, kadang-kadang, aku mengandalkan ajakan seorang wartawan PR yang biasa meliput di Bogor. Hehehe, lumayan, ngirit pengeluaran. Tugas di suplemen Pakuan biasanya hanya dilakukan dua hari dan maksimal 3 hari. Sebab, meski suplemen Pakuan terbit setiap Sabtu, seluruh tulisan harus terkumpul pada hari Rabu. Sisa hari menuju akhir pekan biasanya aku habiskan di Cianjur, sekadar berkumpul dengan kawan lama yang banyak kukenal di daerah penghasil beras itu. Saat berada di Bogor, aku juga sempat ditawari bergabung dengan media nasional Tempo. Kabarnya, wartawan Tempo di Bogor membutuhkan satu lagi untuk mengisi wilayah Kabupaten Bogor yang luas. Tawaran itu aku pertimbangkan. Aku pun mengirimkan lamaran via email. Namun, aku urung bergabung dengan media tersebut karena keburu dipanggil ke Bandung oleh seorang teman untuk bergabung dengan media grup MNC.

“Ayeuna di Garut Gin?” tanya Kang Wawan, memecahkan ingatanku di masa silam. Aku mengiyakannya. “Atuh sama aja Gin, jauh ti keluarga,” ujar Kang Wawan karena sebelumnya aku mengatakan alasan keluar dari Pakuan karena ingin dekat dengan keluarga. Aku kemudian menerangkan bahwa alasan keluar dari Pakuan bukan semata-mata karena ingin dekat dengan keluarga. Saat itu, aku sangat merindukan pekerjaan sebagai wartawan harian yang setiap hari selalu disibukkan mencari berita. Kang Wawan mengangguk. Ia mungkin paham alasanku. “Gimana sekarang Pakuan Kang?” aku balik bertanya. “Masih jalan Gin,” jawabnya. Ia tak bercerita panjang lebar tentang kondisi Pakuan saat ini. “Tidur di mana Gin?” Kang Wawan kembali bertanya. “Di sini kang,” jawabku. “Di humas?” tanya Kang Wawan memastikan. Aku mengangguk. Pak Dikdik mengiyakan bahwa aku setiap hari tidur di ruang humas Pemkab Garut. “Daripada harus kos kang, mending tidur di sini,” ujarku. Kang Wawan tersenyum. Setelah sekian lama berbincang, aku pamit. “Kang, dikantun heula, abdi aya padamelan deui,” ujarku pamit. Kang Wawan mempersilakan aku pergi meninggalkan ruang Kabag Humas. Ah, sebuah pertemuan singkat yang cukup berkesan karena aku jadi ingat masa-masa sulit saat berada di Bogor. Apa kabar Pakuan sekarang?

Read more »

Rabu, 05 November 2008

Korban Flu Burung Itu Warga Garut



Hari Senin (3/11) pagi lalu, aku melihat sebuah berita di salah satu media online di Bandung. Judul beritanya: RSHS Kembali Terima Pasien Suspect Flu Burung. "Wah, jangan-jangan korban warga Garut?" pikirku saat itu, sambil membaca berita itu dengan seksama. Terbayang kalau pasien suspect itu warga Garut terus gagal diselamatkan, mau tidak mau aku harus meliput keluarga korban. Mending kalau deket, gimana kalau jauh? Beruntung, setelah berita itu dibaca sampai selesai, si pasien ternyata tinggal di Jalan Inhoftank Bandung. "Ada korban flu burung Ded!" seruku pada Dedi Radar Garut yang saat itu ada di sebelahku. Dedi menoleh. "Tapi di Bandung," candaku.

Aku lantas menutup internet dan mencari materi liputan hari itu. Kebetulan, Dedi mendapat kabar terjadi longsor di Kecamatan Cigedug, sekitar 35 Km dari Garutkota. Informasi beredar dengan cepat ke beberapa wartawan, termasuk wartawan televisi. Akhirnya, aku, Dedi, Kemal Tribun Jabar, Abah Janur Anteve, Boi TPI, Cecep PR, Slamet KBR 68 H, dan Kabag Humas Dikdik Hendrajaya, berangkat ke lokasi longsor. Ternyata longsor di Kecamatan Cigedug tidak terlalu menarik. Abah dan Boi bahkan urung mengambil peristiwa tersebut menjadi bahan liputan. Singkat cerita, setelah hampir dua jam berada di lokasi longsor, kami kembali ke ruang humas. Tentu saja sebelumnya kami terlebih dulu menyantap makan siang.

Meski materi liputan tidak terlalu menarik, aku, Kemal, dan Dedi, tetap akan memberitakannya. Pokoknya, yang namanya longsor, sekecil apa pun pasti menjadi berita buat media cetak. Kebetulan, warga 7 desa di Kecamatan Bungbulang saat itu dilanda keresahan menyusul kondisi tanah di sana yang retak-retak dan rawan longsor. Akhirnya, berita longsor di Cigedug, kami gabungkan dengan informasi warga Bungbulang yang mengungsi. Hari semakin sore, dan seluruh berita yang diliput belum sepenuhnya selesai. Tiba-tiba saja, Abah berteriak. "Pasien suspect flu burung di RSHS meninggal. Jenazah akan dibawa ke Garut karena dia warga Kampung Hujung, Desa Cipancar, Kecamatan Leles," ujar Abah. Celaka! Ternyata korban flu burung yang beritanya baru dibaca pagi hari adalah warga Garut. Aku menghela napas. Meski belum ada instruksi dari kantor, pemakaman korban flu burung harus tetap diliput. "Urang tadi isuk2 geus maca berita soal flu burung. Sugan teh lain warga Garut," kataku kepada Kemal sambil terus mengetik berita. "Nya, kudu berangkat mang," tandas Kemal.

Abah dan beberapa teman wartawan lainnya, Boi TPI, Indra Trans TV, Ary Radar Garut, Aep Priangan, Deni Indosiar, dan Tasdik Elshinta, sepakat menumpang mobil Kabag Humas Dikdik Hendrajaya untuk berangkat ke lokasi pemakaman korban karena saat itu hujan turun cukup deras. Indra mendadak jadi sopir tembak. Lantaran belum rampung menulis berita, aku dan Kemal berencana menyusul menaiki motor. "Ke urang nyusul naik motor!!" teriak Kemal sambil melirik ke arahku. Aku mengangguk. Sekitar pukul 18.30 WIB, aku dan Kemal berangkat ke Kecamatan Leles yang berjarak sekitar 15 Km dari Garut Kota dengan menaiki dua motor. Hujan rintik-rintik mengiringi perjalanan kami. Dingin menusuk paru-paru. Sepanjang jalan, perut juga mulai keroncongan karena dari siang, aku ternyata belum makan. Tiba di Kecamatan Leles, aku mengontak Tasdik Elshinta menanyakan lokasi pasti pemakaman. Ternyata lokasi pemakaman cukup jauh dari Jalan Raya Leles. Jalanan yang dilalui juga dalam kondisi rusak. Beberapa kali kami melewati jalan gelap karena di kiri kanan hanya ada pepohonan dan semak belukar. Setelah sempat bertanya ke sejumlah warga, kami tiba di Kampung Hujung, Desa Cipancar, yang merupakan rumah orang tua korban. Aku menghampiri sekelompok ibu-ibu di sebuah makam dan menanyakan rumah keluarga korban. "Wah, jauh sekali pak," jawab ibu tadi. "Di mana persisnya bu?" tanyaku lagi. "Pokona mah jauh, abdi oge keluargana," ibu itu sama sekali tidak mau menyebutkan lokasi rumah korban.

Kemal menelepon Tasdik, menanyakan keberadaan rombongan wartawan yang sudah lebih dulu datang. Ternyata, mereka sedang berada di rumah Lurah Cipancar. Kami menyusul ke rumah lurah, tidak jauh dari lokasi kami berada saat itu. Benar saja, teman-teman tampak berkumpul di depan rumah lurah. Mereka bersiap-siap menjemput jenazah yang sudah berada di kawasan Nagreg. Rombongan kemudian berangkat menaiki mobil ke lokasi awal kami tiba. Aku dan Kemal mengikuti mobil dari belakang. Tiba di lokasi Kampung Hujung, kami berjalan di gang kecil menuju Masjid Al Furqon yang akan dijadikan tempat disemayamkannya jenazah. Lantaran perut makin keroncongan, aku membeli bakso tahu yang dijual persis di depan masjid, disusul Ary dan Kemal. "Lumayan mal, keur ngaganjel beuteung!" kataku. Puas menyantap bakso tahu, kami bergabung dengan rombongan. Jenazah yang dimasukkan dalam peti mati kemudian tiba sekitar pukul 20.15 WIB dan disemayamkan di Masjid Al Furqon. Teman-teman wartawan TV sibuk mengambil gambar. Selesai mengambil gambar kedatangan jenazah, kami kembali duduk, menunggu jenazah dimakamkan sambil menikmati hembusan angin malam.

"Gin, neangan warung yuk, lapar euy," ajak Deni Indosiar. Aku mengiyakan ajakan Deni. Setelah bertanya di mana warung yang buka, kami berjalan menjauhi masjid. Gang yang kami lalui gelap dan warung yang ditunjukkan warga belum ditemukan. "Di mana Gin?" tanya Deni. "Teuing atuh," jawabku. Karena warung tak kunjung ditemukan sementara gang yang dilalui makin gelap, kami akhirnya urung meneruskan perjalanan dan kembali ke rombongan. Waktu terus merayap, dan hari semakin malam. Tiba-tiba, Indra mengajakku berjalan keluar gang. "Hayu mang, neangan warung. Pasti aya," ajak Indra. Daripada diam tak jelas, aku mengikuti langkah Indra. Ternyata Deni menyusul di belakang. Seorang warga menunjukkan sebuah warung yang sudah tutup. "Digedor aja," kata dia. Dibantu warga tadi, kami menggedor warung tersebut. Seorang ibu kemudian keluar dari warung.

Persoalan kami yang saat itu dilanda lapar yang sangat ternyata tidak selesai. Warung itu tidak menjual makanan apa pun. Kami pun hanya menyantap makanan ringan. Aku membeli segelas kopi. Dalam keadaan gelap, kami terpaksa menikmati keadaan. Jenazah belum juga dimakamkan, sementara malam semakin larut. Sekitar setengah jam berada di warung, Deni mengajak kami pergi. Katanya, teman-teman wartawan lain sedang membeli nasi goreng. Kabar itu tentu saja kami sambut dingin, karena biasanya, mereka hanya bercanda. Setelah membayar makanan dari warung, kami berangkat ke lokasi rombongan. Benar saja, tidak ada nasi goreng di sana. Mereka sedang berada di sebuah rumah, menikmati kopi dan sejumlah makanan ringan. "Ceuk urang oge tipu," ujarku kepada Deni dan Indra. Tanpa diminta, aku langsung menyambar makanan ringan yang ada di atas meja.

Pukul 22.30 WIB, kami mendapat kabar jenazah akan dimakamkan. Setelah pamit kepada pemilik rumah, kami berangkat menuju masjid. Aku dan Kemal menaiki motor menuju lokasi pemakaman. Sementara teman-teman wartawan lain, berjalan mengikuti rombongan. Lokasi pemakaman berada sekitar 1,5 Km dari Masjid Al Furqon. Karena gang yang dilalui kecil, aku dan Kemal memarkir motor, tidak jauh dari gang. Seperti biasa, gang yang dilalui sangat gelap. Beberapa kali aku hampir terjatuh. Suara anjing menggonggong mengiringi perjalanan rombongan menuju lokasi pemakaman yang hanya diterangi obor dan sebuah lampu neon. Beberapa kali aku terpaksa melangkahi makam, sekadar mencari lokasi yang tepat untuk mengambil foto. Beberapa warga tampak mengenakan masker mengingat jenazah korban merupakan korban suspect flu burung. Seolah melupakan kondisi itu, aku dan teman-teman lainnya terus mendekati liang lahat tanpa mengenakan masker. Begitu jenazah dikubur, peti mati langsung dibakar. Di sela-sela pemakaman, kami sempat berfoto di dekat obor. Hasilnya lumayan bagus. "Mang tingali hasil fotona, bisi aya penampakan," ujar Tasdik. Aku tersenyum sambil melihat hasil foto. "Euweuh mang," jawabku.

Sebelum prosesi pemakaman selesai, aku, Aep, Abah, Kemal, Boi, dan Indra, meninggalkan makam terlebih dulu. Dalam kondisi gelap, aku berjalan paling belakang. Selang beberapa menit kemudian, tiba-tiba saja, aku merasa tidak nyaman berada di posisi itu dan berusaha menyalip Abah yang ada di depanku. "Gancang euy!" ujarku setengah berlari. Kami akhirnya tiba di mulut gang. Aku langsung mendekati motor. Teman-teman lantas menyuruh Indra mengambil mobil. Indra sepertinya enggan berangkat sendiri mengambil mobil. "Baturan euy. Embung urang sorangan mah, poek. Ke aya nu milu dina mobil," kata Indra. Kemal pun menawarkan diri mendampingi Indra mengambil mobil. "Hayu, ku urang dibaturan," kata Kemal. Rombongan pengantar jenazah sudah bubar. Setelah Indra datang membawa mobil, kami beranjak pergi kembali ke Garut Kota. "Mang, motorna abuskeun ka mobil lah," candaku karena agak malas harus menempuh perjalanan menuju Garut Kota dengan menaiki motor. Teman-teman tertawa. Aku dan Kemal menyalakan motor dan melaju di kegelapan malam. "Ente di hareup, ke ku urang dikawal," seru Indra. "Siap mang!!" jawabku. Di kawasan Leles, rombongan berhenti sejenak karena Pak Dikdik mengajak kami membeli nasi goreng. Akhirnya, penderitaan kami berakhir di tempat nasi goreng.

"Cintailah pekerjaanmu, tapi jangan pernah jatuh cinta kepada perusahaanmu, karena kamu tidak pernah tahu kapan perusahaanmu berhenti mencintaimu"

Read more »