Rabu, 27 Agustus 2008

Sepenggal Kisah Nenden



Dua hari lalu atau Senin (25/8) malam barangkali hari nahas bagi Nenden, 23, seorang wanita yang berprofesi sebagai penyanyi dangdut lokal di kabupaten Garut. Jajaran Polres Garut tiba-tiba menghentikan mobil Daihatsu Gran Max yang ditumpanginya bersama Ujang, sang sopir, saat tengah melintas di Jalan Wanaraja. Ia pun hanya pasrah ketika polisi memintanya turun dari mobil dan beralih ke mobil reskrim bersama Ujang. Semua orang yang kebetulan berada di lokasi kejadian lantas bertanya-tanya. Kenapa Nenden yang dikenal sebagai penyanyi dangdut diciduk polisi? Apakah dia ditangkap terkait dengan profesinya sebagai penyanyi dangdut? Tidak, tidak. Penangkapan Nenden sama sekali tidak terkait dengan profesinya sebagai penyanyi dangdut yang identik dengan goyangan. Bukan pula lantaran goyangannya saat menyanyi di atas panggung mengundang sahwat kaum lelaki sehingga dinilai melanggar undang-undang pornografi. Warga Jalan Ciledug, Kecamatan Garut Kota ini ditangkap karena terbukti menyelundupkan sekitar 1.000 liter minyak tanah untuk dikirim dan dijual ke Kota Bandung. Akhirnya, Nenden dan Ujang digiring ke Mapolres Garut untuk dimintai keterangan seputar aksinya tersebut.

Di Mapolres Garut, Nenden pun "bernyanyi" di depan aparat kepolisian yang memeriksanya di salah satu ruangan. Nyanyiannya membuahkah hasil bagi pengembangan penyelidikan aparat kepolisian. Janda satu anak ini mengaku, seluruh minyak tanah yang akan diselundupkan ke Kota Bandung tersebut bukan miliknya, melainkan milik Eli. "Pak, ieu mah sanes nu abdi (ini bukan milik saya). Abdi mah dipiwarang ku Eli, diburuhan Rp130 ribu (saya disuruh sama Eli. Diberi upah Rp130 ribu)," kata Nenden. Mendengar pengakuan tersebut, polisi pun langsung meminta Nenden menunjukkan rumah Eli di Gang Ikhlas Jalan Guntur, Kecamatan Garut Kota, dengan menaiki mobil reskrim Polres Garut. Proses penjemputan Eli, diliput sejumlah dua wartawan televisi, Indra Trans TV, dan Abah Janur Antv.

Sekitar pukul 21.00 WIB, mobil reskrim mulai bergerak. Nenden tertunduk di dalam mobil. Kali ini, ia tidak ditemani Ujang. Hatinya muram meski langit Garut saat itu cukup cerah. "Nyanyi atuh. Katanya penyanyi dangdut?" canda salah seorang petugas reskrim. Nenden tersipu malu. Ia tidak menggubris permintaan anggota reskrim tersebut. Setelah lama terdiam, Nenden pun mengeluarkan suara. "Daripada kieu mah, mun nyaho rek beunang ku polisi, kajeun nyanyi we (daripada seperti ini, kalau tau bakal ketangkep, mending jadi penyanyi aja)," keluh Nenden. "Saya rek nyanyi we ah. Laguna Jatuh bangun. Sesuai dengan kondisi saya sekarang," ujar Nenden lagi. Tanpa dikomando, Nenden mulai melantunkan lagu jatuh bangun yang biasa dinyanyikan penyanyi dangdut Ikke Nurjanah. "Jatuh bangun aku mengejarmu…." Nenden pun bernyanyi, lengkap dengan cengkokan gaya khas penyanyi dangdut. Indra tersenyum mendengar wanita itu bernyanyi. Namun, belum selesai lagu Jatuh Bangun dinyanyikan, Nenden berhenti. Ia tiba-tiba menggantinya dengan lagu dangdut lain. "Abdi bade nyanyi merana, kan ayeuna merana ditewak polisi (saya sekarang mau nyanyi merana. Kan sekarang merana ditangkap polisi)," Nenden yang mulai tidak malu-malu lagi memamerkan suara indahnya.

"Biasanya setiap nyanyi dibayar berapa?" tanya Indra setelah Nenden selesai menyanyi. Nenden pun mengaku mendapat bayaran Rp150 ribu setiap kali menyumbangkan suaranya di panggung-panggung hiburan. "Makanya, mending jadi penyanyi aja. Upahnya lebih besar daripada menjual minyak tanah ke Bandung," kata Nenden lagi. Nenden sendiri mengaku menjual minyak tanah ke Bandung karena harga jual di sana jauh lebih mahal. "Di sana minyak tanah dijual seharga Rp5.000 sampai Rp11.000 per liter. Sementara kita hanya membeli seharga Rp3.000 sampai Rp3.500 per liter," kata Nenden. Mobil terus melaju hingga tiba di rumah Eli. Sama seperti Nenden, Eli tak berkutik saat petugas membawanya masuk ke dalam mobil.

Niat mencari untung besar dan meninggalkan profesi menyanyinya, Nenden malah ketiban sial. Yah, mungkin di tahanan, ia masih bisa menyalurkan hobinya menyanyi dangdut dengan menghibur para tahanan lain atau aparat kepolisian.

Read more »

Jumat, 22 Agustus 2008

Teman Kencan Kena Razia, Oknum Wartawan Ngamuk

Apa jadinya jika sekelompok orang yang mengaku wartawan terjaring razia penyakit masyarakat (pekat) dan teman kencannya diamankan petugas? Jawabannya ternyata berbuntut kericuhan. Inilah fakta ketika Satpol PP, Polres Garut, dan Denpom menggelar operasi pekat gabungan menjelang bulan suci ramadhan dinihari tadi. Seolah memiliki kekuatan sebagai jurnalis, seorang oknum wartawan, sebut saja A, mengamuk di depan Kantor Satpol PP Kabupaten Garut Jalan Pahlawan. Pangkal persoalannya sederhana. Ia gagal menjemput wanita teman kencannya karena tak digubris oleh anggota satpol PP. Dalam keadaan mabuk, oknum wartawan dari media tak jelas tersebut berteriak-teriak dan sempat melontarkan kalimat tantangan yang ditujukan kepada Kepala Satpol PP Kabupaten Garut, Deden Suherman.

“Den!! Hayu urang buka-bukaan jeung aing,” teriak oknum wartawan tersebut. Emosinya tak terkendali. Dia terlihat mengacung-acungkan kepalan tangan kanan. Teriakan si A kontan menyulut amarah anggota Satpol PP yang tengah beristirahat setelah lelah menggelar operasi pekat. Mereka langsung memburu oknum wartawan tersebut. Jika tak segera diamankan Kasat Samapta Polres Garut AKP Agus AW, pria itu dijamin ambruk dipukuli sejumlah anggota satpol PP. Bukannya meredam amarah setelah diamankan polisi, emosinya malah semakin menjadi-jadi. Tak urung, Agus AW yang awalnya tenang, langsung kesal dan membawa si A masuk ke kantor satpol PP. Di sana, dia dipertemukan dengan Deden yang bermaksud mengajaknya bicara baik-baik. Entah masih dalam pengaruh minuman keras atau memang emosinya masih meledak, oknum wartawan sebuah mingguan di Garut itu malah kembali menantang Deden. “Sok atuh urang buka-bukaan. Aing mah teu sieun,” ujarnya.

Deden yang awalnya menanggapi dingin ocehan si A akhirnya tersulut emosi. Bak disambar petir, pria yang usianya diperkirakan sudah di atas 50 tahun itu melayani tantangan oknum wartawan tersebut. Pintu ruangan langsung dikunci. Dari luar, terdengar suara Deden melayani tantangan pria itu. Agus AW yang berada di luar ruangan tampak panik. Ia khawatir Deden betul-betul melampiaskan amarahnya. Pintu digedor. “Pak Deden buka!! Pak Deden buka!!” teriak Agus meminta Deden membuka pintu.

Pintu terbuka. Agus lantas meminta oknum wartawan itu keluar dari ruangan Deden. Lagi-lagi si A malah marah dan menanyakan maksud Agus mencampuri urusannya. Kesabaran Agus habis. “Ai Sia teu meunang diwarah jadi jelema teh!!” kata Agus sambil melayangkan pukulan ke arah mata pria tersebut. Selama beberapa jam Kantor Satpol PP mencekam. Oknum wartawan tersebut akhirnya diamankan ke Mapolres Garut dengan kondisi mata bengkak dan kaki pincang.

Kisruh operasi pekat tersebut sebenarnya sudah terasa sejak petugas mulai bergerak memasuki kafe-kafe. Di Kafe Fortune, Indra Trans TV sempat diminta mematikan kamera oleh seorang pengunjung yang mengaku aparat kepolisian. Tasdik Elshinta agak panik menyaksikan Ahmad TVRI, adiknya, tak terlihat dan lebih banyak mengambil gambar sendirian. Selain aku, Indra, Ahmad, dan Tasdik, Deni Meungeung Indosiar serta Dedi Radar Garut juga ikut meliput operasi tersebut. Dalam operasi itu, Kapolsek Tarogong AKP Mulyadi Asep Fajar sempat berang dan memukul pria yang mengaku polisi tersebut. Hal yang sama terjadi di Kafe Cikuray Jalan Ahmad Yani. Pengunjung sempat terlihat berlarian. Beberapa orang di antaranya belakangan diketahui sebagai wartawan mingguan lokal di Garut yang sedang menikmati malam di kafe tersebut bersama wanita pasangan mereka. Aktivitas mereka saat berada di Kafe Cikuray sempat terekam kamera Indra dan Deni Meungeung.

Rupanya, kisruh berlanjut sampai Ruang Humas Pemkab Garut yang berada di depan Kantor Satpol PP. Beberapa oknum wartawan yang terekam kamera Indra dan Deni saat berada di Kafe Cikuray bersama teman kencannya mendatangi dua wartawan televisi tersebut. Mereka meminta agar rekaman di kafe tidak dikirimkan ke redaksi. “Ndra, kade bisi aya beungeut urang di kamera. Hapus nya. Maenya Indra ge pan sok ulin ka kafe,” ujar salah seorang oknum wartawan dengan nada sopan. Indra hanya terdiam. Tak putus asa, wartawan itu kembali membujuk Indra agar gambar dirinya dihapus sambil melirik ke arah tali sepatu Indra yang terlepas. “Ndra, itu tali sapatu lepas. Ku saya dipangnaliankeun nya?” bujuk wartawan itu lagi. Melihat tingkahnya yang lucu, Indra sempat tersenyum. Ia pun luluh dan menghapus rekaman tersebut. Wartawan tersebut terlihat sumringah. “Nuhun Ndra, ke ku urang digantian gambarna ku nu hade. Kantor Partai Hanura ku aing diduruk. Pokona mah, lamun jadi, Indra yang paling dulu saya kabari,” ujarnya sambil menepuk pundak Indra.

Barangkali seperti itulah kejadiannya jika oknum wartawan terjaring operasi pekat dan terekam kamera televisi. Repot dan membuat kekisruhan. Wartawan yang meliput jadi repot, satpol PP repot, dan polisi juga repot. Pokoknya, semua jadi repot dan betul-betul sibuk.

Read more »

Rabu, 20 Agustus 2008

Dan Toa Pun Terbalik.......



>Abdul Mujib atau akrab disapa Ceng Mujib barangkali seorang orator ulung. Ketua DPC PKB Garut kubu Gus Dur ini boleh dibilang sukses menyulut semangat para demonstran pendukung PKB Gus Dur yang berunjuk rasa menentang kepemimpinan DPC PKB Garut kubu Muhaimin, Ali Rohman, kemarin sore. Namun, semangatnya yang terlalu menggebu-gebu saat berorasi menggerakkan massa, rupanya membuat dia lupa bagaimana cara memegang toa yang baik. Di hadapan massa PKB Gus Dur yang berunjukrasa di depan rumah Ali Rohman, Abdul Mujib mendadak terbalik memegang toa. Moncong toa berwarna merah yang digunakan sejak awal aksi malah dipegang menghadap mulut pria berumur sekitar 28 tahun itu. Walhasil, suara lantangnya sama sekali tak terdengar massa. Tak pelak, kejadian itu membuat sejumlah massa kemudian berteriak mengingatkan Ceng Mujib agar membalikkan toa. "Kebalik! Kebalik!!" teriak massa. Dengan wajah dingin, Ceng Mujib pun membalikkan toa ke posisi semula dan kembali berorasi. "Kawan, kawan!!!!......" teriak Ceng Mujib.

Sore kemarin tampaknya memang menjadi milik PKB kubu Gus Dur. Dengan leluasa, massa yang berjumlah hampir mencapai 300 orang itu melakukan konvoi menaiki motor, 3 buah truk, dan satu buah mobil bak terbuka. Sejumlah ruas jalan di Kabupaten Garut lantas dilalui sekadar menunjukkan kekuatan massa pendukung PKB Gus Dur yang gagal mendaftarkan jagonya untuk menjadi calon bupati/wakil bupati Garut karena terbentur aturan KPU. Tak urung, aksi tersebut sempat menyedot perhatian masyarakat. Layaknya kampanye pemilu, masyarakat bersorak melihat massa melintasi ruas jalan sambil membawa bendera PKB. Sepanjang jalan, teriakan hidup Gus Dur, hidup Gus Dur, terus dikumandangkan massa. Kami yang bermaksud meliput aksi itu pun seolah-olah menjadi bagian dari massa. Abah Janur Antv, Boi TPI, dan Kemal Tribun Jabar, dan teman-teman wartawan lainnya lantas melajukan sepeda motor sambil membunyikan klakson.

Informasi mengenai rencana aksi massa PKB Garut kubu Gus Dur memang sudah terdengar sejak pukul 14.30 WIB. Saat itu, kami sedang asyik berada di Kantor PWI Garut Jalan Pembangunan untuk meliput acara silaturahmi Sekda Garut Wowo Wibowo dengan sejumlah wartawan yang berlangsung sejak pukul 14.00 WIB. Saat sesi tanya jawab berlangsung, sejumlah wartawan mulai gundah. Abah Janur terlihat gelisah. Ia berkali-kali melihat jam dan mengajak teman-teman wartawan lain segera keluar dari Kantor PWI Garut untuk meliput aksi. Hal yang sama diperlihatkan Tasdik Elshinta. Wartawan bertubuh mungil itu pun mulai sering keluar masuk ruangan tempat berlangsungnya pertemuan karena ingin segera meliput kegiatan aksi. Pertemuan dengan Wowo pun berakhir. Kami bergegas berangkat menuju Kantor DPC PKB kubu Gus Dur di Jalan Cimanuk karena khawatir massa sudah datang dan memulai aksi.

Rupanya, kantor tersebut masih kosong. Tak terlihat satu pun demonstran yang bersiap-siap melakukan aksi saat itu. Halaman Kantor DPC PKB kubu Gus Dur justru malah penuh oleh puluhan wartawan yang hendak meliput aksi. Kami sempat pesimistis aksi tersebut tidak akan berlangsung sesuai harapan. Aku sempat terlelap di ruang tamu kantor tersebut, sementara teman-teman lain terlihat asyik berbincang di teras kantor. Hari mulai sore, namun tanda-tanda aksi akan dimulai tak kunjung terlihat. Perut mulai keroncongan. Satu truk pasukan pengendali massa (dalmas) dari Polres Garut kemudian datang ke depan Kantor DPC PKB bersama Kapolsek Tarogong Kidul, AKP Mulyadi Asep Fajar. Kedatangan Kapolsek Tarogong Kidul membawa berkah bagi kami yang saat itu dilanda kelaparan. Abah Janur langsung berinisiatif mengajak kami makan melalui “Password” dari kapolsek. Berbekal “password” itulah, kami akhirnya makan sambil menunggu demo berlangsung.

Waktu terus merayap. Menjelang sore, beberapa pendukung PKB kubu Gus Dur mulai berkumpul sambil membawa bendera partai. Jumlahnya yang segelintir sempat mengecewakan kami. Dengan menaiki sepeda motor dan mobil, mereka kemudian melakukan konvoi menuju kawasan simpang lima yang kerap dijadikan lokasi demo karena tempatnya yang strategis. Saat itu, jumlah massa sangat minim, bahkan kalah dengan jumlah wartawan peliput. Mereka berorasi sambil menyebarkan selebaran ke sejumlah pengemudi melintas di kawasan simpang lima.
Meski jumlahnya sedikit, beberapa wartawan televisi tetap mengambil gambar aksi. Rasa pesimistis terus menggelayuti kami, terutama para wartawan televisi yang membutuhkan gambar bagus agar liputan tersebut bisa ditayangkan. Sekitar pukul 16.30 WIB, iring-iringan dua truk membawa massa pendukung Gus Dur mulai datang. Seolah disiram air dingin saat dahaga menyergap, wajah kami langsung berseri-seri. Dengan semangat 45, wartawan TV langsung wara-wiri berusaha mengambil gambar yang bagus. Akhirnya liputan sore itu membuahkan hasil cukup memuaskan. Aksi anarkistis pendukung PKB Gus Dur yang merusak Kantor PKB Muhaimin menarik perhatian petinggi masing-masing kantor redaksi. Tapi yang lebih menarik tentunya adalah momen ketika sang orator salah memegang toa saat berorasi.

Read more »

Selasa, 12 Agustus 2008

Jari Tangan Siapakah Ini?



Ruangan Humas Pemkab Garut di Jalan Pahlawan mendadak ramai sore tadi. Cerita Kemal (Tribun Jabar) saat meliput di Desa Sarimukti, Kecamatan Pasirwangi, Kabupaten Garut bersama Boi (TPI) menjadi bahan perbincangan serius antarsesama wartawan. Sore itu, bapak satu anak yang sama-sama merantau di Kabupaten Garut ini tiba-tiba memperlihatkan hasil jepretan foto dari kameranya sendiri saat berada di sebuah perkebunan kol. Sekilas tak ada yang aneh dalam foto tersebut. Di sana terlihat foto Kemal sedang berpose dengan latar belakang hamparan kebun kol. Namun, empat jari kecil tiba-tiba terlihat muncul di belakang kepalanya. Awalnya, Kemal mengira jari tersebut milik Boi yang sama-sama berada di perkebunan kol. Namun saat ia menanyakan hasil fotonya kepada Boi, wartawan TPI itu mengelak. Kontan saja, keduanya mengaku langsung meninggalkan lokasi perkebunan tersebut.


“Tadinya saya pikir itu jari Boi yang jahil. Karena biasanya, dia mah suka jahil kalau lihat orang difoto. Ternyata, Boi mengelak dan malah langsung mengajak saya pergi,” cerita Kemal kepada sejumlah wartawan yang ada di ruang humas sore tadi. Akal sehat Kemal pun berputar keras. Kalau pun memang Boi yang sengaja jahil, pikir Kemal, sungguh tidak mungkin. Sebab, posisi Boi berada cukup jauh dari tempat dia berdiri atau berjarak sekitar 3 meter. Selain itu, Boi pun saat itu sedang duduk di atas motor sambil mengambil gambar suasana perkebunan kol. Saking gugupnya, ujar Kemal, Boi lupa menyalakan stater sepeda motornya saat bermaksud pergi jauh dari perkebunan tersebut. “Saya mah gak takut. Si Boi yang tiba-tiba ngajak pergi, sampai lupa menyalakan stater motor,” kata Kemal.

Akhirnya diskusi pun menghangat. Beberapa wartawan mengaku tidak percaya dengan cerita Kemal dan bersikukuh menyangka jari itu milik Boi. Namun, Kemal yang mengalami sendiri pengalaman tersebut tetap ngotot dengan pendiriannya. “Tidak mungkin itu jari Boi. Jarak dia dengan saya cukup jauh, dan saat itu, Boi juga sedang sibuk mengambil gambar suasana perkebunan,” tandas Kemal. Mang Anang dari Priangan menyambar pernyataan Kemal dan meminta penyuka lagu-lagu Beattles itu merekonstruksi kejadian yang dialaminya. “Secara logika pun tidak mungkin jari Boi sampai ke belakang kepala saya. Jaraknya juga jauh,” bantah Kemal yang menolak rekonstruksi. “Jadi ente keukeuh itu foto hantu?” tanya Aep. “Saya tidak tahu, tapi kejadiannya jelas seperti itu,” kata Kemal. Abah Janur Antv ikut urun rembug. Ia mengambil kamera Kemal dan meneliti hasil foto tersebut.

“Wah mang, bener ieu mah jurig. Kameranya harus buru-buru dilepas. Sok ku Abah dibeuli Rp200 ribu. Daripada nanti ikut ke Bandung,” ujar Abah sambil memperhatikan dengan seksama foto Kemal bersama penampakannya itu. Mendengar perkataan Abah, Kemal hanya tersenyum. “Kalau tidak, mending sekarang mere kifarat untuk 10 orang miskin. Cukup we Rp1.000 saurang,” Abah terus memberikan usul gilanya. Mang Anang yang juga dikenal jahil, menimpali omongan Abah. Menurut Mang Anang, keanehan seperti itu memang kerap terjadi di Kecamatan Pasirwangi. “Biasanya, penampakan itu ikut. Makanya, ini mah hanya saran, jangan pulang ke Bandung malam-malam. Bayangkan saat melintas di Leuweung Tiis,” ujar Mang Anang. Perkataan dua wartawan asli asal Kabupaten Garut itu membuat Kemal terlihat mesem-mesem. Entah percaya atau tidak dengan semua pembicaraan itu, yang jelas saat itu Kemal hanya tersenyum sambil meneruskan pekerjaannya menulis berita.

Selama Kemal mengetik berita, semua wartawan yang ada di ruang humas tak henti-hentinya menasihati Kemal agar tidak menganggap main-main peristiwa tersebut. Abah tetap keukeuh dengan keinginannya agar Kemal segera menjual kamera tersebut dan dia siap menampungnya. Usul Mang Anang lain lagi. Ia meminta Kemal mencetak hasil foto tersebut dan memeriksanya. “Kalau hasilnya tetap sama, berarti itu bukan penampakan. Tapi kalau sudah dicetak hasilnya berbeda dan bayangan jari tersebut tidak ada, berarti foto itu memang ada penampakkannya,” ujar Mang Anang. Kemal sendiri bergeming dan tidak menanggapi usulan teman-temannya. Ia tetap asyik mengetik berita karena jam deadline sudah semakin dekat. “Jadi Mal, setan mah tidak kenal orang. Mau itu penyuka beattles atau penyuka dangdut. Geus datang mah, datang we,” seloroh Abah Janur. Begitulah, sore itu perbincangan soal foto hasil jepretan Kemal terus bergulir.

Menjelang malam ruang humas mulai sepi. Tinggal aku, Abah Janur, Inul Galamedia, Indra Trans TV, Ukas Reks Radio, dan Kemal yang masih bertahan. Inul yang penasaran, memperhatikan foto itu dari komputer dengan seksama. Ia berpikir keras menganalisa jari yang muncul di belakang kepala Kemal dalam foto tersebut. Menurut pengakuan Kemal, saat mengambil foto, dia berdiri di depan sebuah tebing pendek yang menghubungkan kebun kol tersebut dengan jalan. Dilihat dari kulitnya, jari tersebut tampak membelakangi kepala Kemal. “Kemungkinan sosok itu muncul dan berdiri membelakangi Kemal persis saat Kemal mengambil foto,” kata Inul. Aku mengiyakan kesimpulan Inul sambil dan membayangkan kemunculan sosok itu bawah tebing. “Kemungkinan, sosok itu muncul membelakangi Kemal sambil mengangkat kedua tangannya. Cuma yang terekam hanya sebagian,” aku menimpali. Ah, percaya atau tidak, lihat saja sendiri foto jari tangan yang muncul di belakang kepala Kemal.

Read more »

Senin, 04 Agustus 2008

Menembus Malam Mengejar Ambulan





Malam makin larut di Kabupaten Garut, Minggu (3/8). Jalanan sudah sepi dan cuaca betul-betul dingin saat itu. Gerimis tiba-tiba menghantam wajahku saat memacu motor di kawasan Jalan Raya Garut-Bayongbong. Temanku Kemal (Tribun Jabar) yang duduk di jok belakang, menggigil kedinginan. Waktu sudah menunjukkan pukul 22.00 WIB. Tiga motor di depan yang dikemudikan Tasdik (Elshinta), Boi (TPI) berdua dengan Abah Janur (Antv), dan Indra (Trans TV), terlihat semakin kecil. Sementara satu motor di belakang yang ditumpangi Ahmad (TVRI) dan Ibu Niknik (Medikom/SCTV) masih belum tampak. Menaiki lima motor, malam itu kami berencana mengejar ambulan yang membawa 6 jenazah pekerja bendungan Cimangah I Kampung Urug, Desa Cikedokan, Kecamatan Bayongbong, Kabupaten Garut, setelah diautopsi di RS Hasan Sadikin Bandung. Diduga, seluruh korban yang ditemukan di tenda berukuran sekitar 4x5 meter itu tewas keracunan. Berdasarkan informasi dari Bandung, seluruh korban akan dimakamkan malam itu juga. Dari enam korban yang akan dimakamkan, kami memutuskan mengambil lokasi pemakaman terdekat. Namun, lantaran lokasi pasti pemakaman masih belum diketahui, kami pun berniat menanyakannya ke petugas Kantor Kecamatan Bayongbong. Sekadar informasi, Camat Bayongbong merupakan mertua Tasdik, sehingga wartawan Elshinta itu pun didaulat menjadi pemandu jalan. “Camat Bayongbong teh mertua Tasdik mang. Keur si Tasdik mah, anugerah, tapi keur camat mah musibah,” seloroh Abah Janur pada suatu hari.

Jarak dari ruang Humas Pemkab Garut di Jalan Patriot menuju Kantor Kecamatan Bayongbong sekitar 12 Km. Dengan kecepatan yang cukup tinggi, kami tiba di kantor kecamatan sekitar pukul 22.15 WIB. Tasdik masuk lebih awal dan bertemu dengan salah seorang petugas kecamatan. Sialnya, ternyata mobil ambulan yang kami cari sudah tiba di rumah duka masing-masing korban sejak tadi. “Udah dari tadi mobil ambulan datang,” kata petugas tersebut kepada Tasdik. Mendengar informasi tersebut, kami saling berpandangan. Belum sempat berpikir, tiba-tiba terdengar raungan sirine mobil ambulan di Jalan Raya Garut-Bayongbong. “Tuh mang, sirine ambulan,” teriak Indra. Tanpa banyak berdiskusi, kami pun bergegas menyalakan motor dan memacunya menuju Jalan Raya Garut-Bayongbong setelah terlebih dulu pamit ke petugas kecamatan. Benar saja. Begitu sampai di Jalan Raya Garut-Bayongbong, sebuah mobil ambulan melintas. Tanpa pikir panjang, Indra yang melajukan motor terlebih dulu langsung menghentikan mobil ambulan tersebut. Entah sudah mengenal supir ambulan tersebut atau belum, yang jelas setelah sempat terlihat berbincang serius, Indra turun dari motor diikuti teman-teman wartawan TV lainnya. Rupanya, mobil ambulan tersebut membawa jenazah salah satu korban bernama Ahmad, 50, warga Kampung Warubengkung, Desa Kadongdong, Kecamatan Banjarwangi yang cukup jauh dari Kecamatan Bayongbong. Teman-teman wartawan TV kemudian terlihat asyik mengambil gambar jenazah Ahmad dan mobil ambulan. Aku hanya duduk di atas motor menyaksikan kesibukan mereka. Kemal berdiri di dekatku.

Proses pengambilan gambar ambulan dan wawancara petugas yang dilakukan teman-teman wartawan TV selesai. Satu lagi tugas kami adalah mengambil liputan suasana pemakaman korban lainnya karena tidak mungkin mengikuti ambulan menuju Kecamatan Banjarwangi mengingat lokasinya yang cukup jauh. Petugas ambulan menyarankan kami menuju Kecamatan Cisurupan yang berjarak sekitar 9 Km dari Kecamatan Bayongbong. Di sana, ada tiga korban yang akan dimakamkan malam itu juga yaitu Ayip, Tatang, dan Aca. Kami pun bergegas menuju Kecamatan Cisurupan. Kali ini motor Ahmad berada di depan memandu rombongan. Dengan jarak yang berdekatan satu sama lain, kami kembali menembus malam. Cuaca terus bertambah dingin. Aku terus menggigil, demikian pula Kemal yang saat itu lupa mengenakan helm. Sejenak aku memikirkan kelakuan teman-teman wartawan TV saat menghentikan ambulan yang membawa jenazah Ahmad. Bayangkan saja, menjelang larut malam, lima motor mendadak memepet ambulan seperti rombongan begal yang sedang beraksi. Wajar saja, begitu kami berhenti mengelilingi ambulan, beberapa orang yang sedang mengemudikan motor juga ikut berhenti. Mereka sempat menanyakan maksud kami menghentikan ambulan tersebut. “Aya naon ieu teh?” tanya salah seorang pengemudi motor. Dengan bahasa diplomatis, Indra sempat menjawab pertanyaan mereka. “Ini kang, korban yang meninggal di lokasi bendungan,” jawab Indra. “Ooh,” jawab pengemudi motor tadi sambil menjalankan kembali motor RX King-nya.

Ibu Niknik melambaikan tangan kanan, memberi isyarat agar kami membelokkan motor ke kanan. Sebuah jalan desa yang tidak terlalu lebar kami lintasi. Jalan tersebut kadang terlihat terang, kadang terlihat gelap diwarnai sejumlah tanjakan, turunan, dan lubang-lubang kecil. Sebuah motor yang dikemudikan tukang ojek tampak melintas buru-buru. Seperti saat menghentikan ambulan, Ahmad dan Ibu Niknik kemudian meminta tukang ojek tersebut menghentikan motornya untuk menanyakan keberadaan rumah tiga korban tewas yang akan dimakamkan. Dipandu tukang ojek, kami melanjutkan perjalanan, menyusuri jalan yang lama-lama semakin gelap, sempit dan berbatu. Di kiri-kanan jalan, kami hanya bisa melihat hamparan sawah membentang luas. Kami tiba di sebuah tanjakan yang cukup terjal dan tukang ojek pun meminta kami berhati-hati. Ahmad dan Ibu Niknik melaju terlebih dahulu menembus kegelapan malam. Tukang ojek menunggu di tanjakan. Tiba-tiba, motor yang dikemudikan Ahmad jumping. Akibatnya, Ibu Niknik yang duduk di belakang jatuh terjerembab di atas aspal. Rupanya, saat menaiki jalan menanjak, Ahmad lupa memindahkan gigi motor sehingga kembali ke posisi netral. Saat gigi motor dalam posisi netral, adik kandung Tasdik itu menginjak gigi motor ke posisi satu sementara tangan kanannya masih menarik gas motor hingga ban depan motor naik 45 derajat. Trauma dengan kejadian tadi, Ibu Niknik akhirnya memutuskan berjalan kaki menaiki tanjakan. Selang beberapa saat kemudian, ia terlihat menaiki motor ojek menyusul kami menembus jalan kecil yang hanya bisa dilalui satu mobil. Sebelum sampai ke rumah duka, kami berpapasan dengan dua mobil ambulan. Setelah melalui jalan kecil menanjak dan berkelok-kelok, kami tiba di rumah duka Kampung Sindang Daun, Desa Pakuwon, Kecamatan Cisurupan sekitar pukul 23.30 WIB. Tiga jenazah tampak disalatkan di mesjid, sebelum dimakamkan di tempat pemakaman warga, tidak jauh dari rumah korban. Suasana malam itu semakin mencekam saat keluarga korban terlihat menangis. Saat sejumlah warga menggali tiga kuburan untuk 3 jenazah korban, kami berbincang dengan Kepala Desa Pakuwon Asep Roohiyat. Lama kami berbincang seputar kasus kematian para pekerja tersebut. Tak terasa, hari sudah berganti. Senin (4/8), sekitar pukul 01.00 WIB, tiga jenazah dikuburkan dengan posisi berdampingan.

Berbekal petromak dan lampu neon, satu persatu jenazah dimasukkan ke liang lahat. Udara semakin dingin. Gema takbir dan tahlil langsung berkumandang memecahkan keheningan. Aku yang hanya memakai selembar jaket tipis terus menggigil. Untuk mengusir rasa dingin yang terus menusuk hingga pori-pori, sebatang rokok kuisap dalam-dalam. Setengah jam berlalu, kami akhirnya memutuskan pulang kembali ke ruang humas. Tasdik yang menaiki motor Mio kembali berada di depan rombongan. Ia mengaku tidak bisa mengemudikan motor dengan cepat dalam kondisi jalan menurun. Atas permintaan Ibu Niknik, motor yang aku kemudikan berboncengan dengan Kemal berada posisi paling belakang. Meski berjalan beriringan, menyusuri jalan gelap di perkampungan di posisi paling belakang cukup membuat bulu kuduk berdiri. Beberapa kali Kemal menengok ke belakang dan melihat jalan yang kami lalui sangat gelap. Terbayang kembali prosesi pemakaman tiga korban di tengah malam gulita dan cuaca dingin. “Mang, buru, poek (gelap),” ujar Kemal. Kami kembali melintasi jalan yang sama. Sesekali aku memacu motor agar berada di posisi depan. Namun teman-teman juga berpikiran sama dan enggan berada di posisi belakang. Tasdik pamit pulang. Kami kembali melanjutkan perjalanan. Ah, hidup dan mati memang di tangan Tuhan. Lagi-lagi aku ingat sebuah lirik lagu Iwan Abdurrahman tentang kematian.

“Detik-detik berlalu dalam hidup ini. Perlahan tapi pasti menuju mati. Kerap datang rasa takut menyusup di hati. Takut hidup ini terisi oleh sia-sia. Pada hening dan sepi aku bertanya. Dengan apa kuisi detikku ini. Tuhan kemana kami setelah ini. Adakah engkau dengar doaku ini.

Read more »