Rabu, 30 Juli 2008

Senja di Pantai Santolo

Namanya Pantai Santolo. Berada di Kecamatan Pameungpeuk Kabupaten Garut, atau sekitar 88 Km dari Garut kota. Seperti pantai lainnya di wilayah Selatan Jawa Barat, laut di Pantai Santolo tidak pernah tenang. Ombaknya juga tak pernah tidur dan selalu berusaha menyapa setiap orang yang datang. Jika menaiki mobil, waktu tempuh menuju Pantai Santolo dari Garut kota mencapai sekitar 3,5 jam dengan kecepatan normal atau rata-rata 60 Km per jam. Tapi versi Indra Trans TV, waktu tempuh Garut kota-Pantai Santolo bisa dipersingkat menjadi 2 jam, atau paling lama 2,5 jam. Perhitungan yang wajar memang, mengingat hobby Indra yang suka kebut-kebutan di jalanan.

Selasa (29/7) lalu, aku pun berkesempatan melongok keindahan Pantai Santolo bersama Kemal (Tribun Jabar), Boi (TPI), Abah Janur (Anteve), Ibu Niknik (Medikom/SCTV), dan Indra (Trans TV). Kebetulan, Kabag Humas Pemkab Garut, Dikdik Hendrajaya mengajak kami pergi bareng ke Pameungpeuk untuk melihat fenomena ikan "hejo tonggong" yang terdampar di pesisir setiap senja, dan kekeringan di wilayah paling ujung di Kabupaten Garut tersebut. Dengan menaiki mobil Kijang biru yang dikemudikan Agus, kami berangkat sekitar pukul 10.00 WIB. Karena terlambat masuk mobil, aku, Kemal, dan Boi terpaksa duduk di jok paling belakang. Abah Janur, Indra, dan Ibu Niknik lebih dulu mengambil posisi duduk di jok tengah, sementara Pak Dikdik sudah pasti duduk di depan. Saat itu, aku sudah membayangkan bagaimana sulitnya perjalanan menyusuri jalan berliku selama 3,5 jam dengan duduk di jok belakang. Huh, membayangkannya saja, perut sudah mulai terasa mual.

Sepanjang perjalanan menuju Pantai Santolo Kecamatan Pameungpeuk, Boi berceloteh, menyampaikan keterangan seputar tempat yang dilalui. Satu jam berlalu, kami melintasi sebuah lembah yang indah di Kecamatan Cikajang. Tanpa ditanya, Boi kembali bercerita mengenai tempat yang akan kita lalui. "Nanti di depan ada tempat bernama Batu Tumpang yang biasa digunakan panjat tebing," kata Boi. Benar saja. Beberapa menit kemudian, kami melintasi sebuah tebing setinggi sekitar 50 meter. Menurut Boi, kontur dan ketinggian tebing di Batu Tumpang cukup menantang para pemanjat tebing di Indonesia. "Saya pernah ke sini bersama crew MNC. Tapi, ogah naik karena tebingnya sangat curam," ujar wartawan TPI yang mengaku pernah bekerja di Epson ini. Boi kemudian melanjutkan ceritanya. "Dulu jam 2 siang, saya dan crew MNC pernah istirahat di sebuah warung kosong. Tiba-tiba ada yang teriak dari warung: minta karung-minta karung!!" ujar Boi. Mendengar teriakan tersebut, Boi dan crew MNC lainnya mengaku langsung pergi karena dikira suara setan. Aku dan Kemal tertawa dan membayangkan wajah Boi saat itu. Tiba-tiba, Abah Janur yang duduk di jok tengah nyeletuk. "Heueuh we, da warung itu tempat ngumpul orang gila!!" ujar Abah. "Oh kitu Bah?" tanya Boi. "Heueuh sampeu!!!" sambar Abah. Kami pun kembali tertawa.

Ruas jalan sudah mulai terus berliku. Tak ada jalan lurus sama sekali. Seperti yang dibayangkan sebelumnya, perut terasa mual. Boi dan Kemal pun tampaknya merasakan hal yang sama. Wajah keduanya sudah tak karuan. Aku berusaha menahan mual dengan terus minum Pocari Sweat. "Sebentar lagi kita sampai di kawasan Gunung Gelap," kembali Boi menerangkan daerah yang akan dilalui. Semakin lama, jalan yang dilalui memang semakin sepi dari rumah penduduk. Pepohonan di kiri-kanan jalan juga semakin rimbun. "Nah, ini sudah masuk kawasan Gunung Gelap," kata Boi. Gunung itu memang pantas disebut Gunung Gelap. Pohon-pohon rimbun tinggi menjulang. Saat melintasi Gunung Gelap, hari terasa sore, padahal waktu baru menunjukkan pukul 01.00 WIB. Aku lupa, berapa meter kami melintasi kawasan Gunung Gelap dan perkebunan teh. Yang jelas, lepas dari kawasan tersebut, kami berhenti dulu di sebuah warung di Kecamatan Cihurip. Pak Dikdik sempat berbincang dengan Camat dan Kapolsek Cihurip sebelum akhirnya kami melanjutkan perjalanan menuju Kecamatan Pameungpeuk.

Kami tiba di Kantor Kecamatan Pameungpeuk sekitar pukul 14.00 WIB. Sebelum melanjutkan perjalanan menuju Pantai Santolo yang berjarak sekitar 2 Km dari kantor kecamatan, beristirahat di sana seraya berbincang dengan Camat Pameungpeuk, Juju Juhana. Menurut Juju, fenomena ikan "hejo tonggong" biasanya muncul sore menjelang malam. Mendengar informasi Camat Pameungpeuk, aku dan Kemal berpikir keras bagaimana mengirim berita untuk terbit di koran keesokan harinya, Rabu (30/7). Pasalnya, meski Rabu merupakan tanggal merah, koran tempatku dan Kemal bekerja sama-sama terbit. "Wah Mal, kayaknya sulit nih kirim berita," kataku kepada Kemal yang terlihat mengantuk saat berada di ruang Camat Pameungpeuk. Kemal pun mengiyakan perkataanku. "Kumaha nya Gin?" tanya dia. Aku tak segera memikirkan jawaban atas pertanyaan tadi. Saat itu, bayanganku hanya satu, segera sampai di Pantai Santolo dan menyaksikan keindahannya. "Soal kirim berita, gimana entar aja lah," ujarku. Satu per satu, kami keluar ruangan camat karena merasa sumpek dan ingin menikmati udara di luar kantor. Di dalam ruangan, hanya tinggal Pak Dikdik dan Camat Pameungpeuk masih berbincang serius. Sambil menunggu Pak Dikdik keluar ruangan camat, kami berfoto depan kantor kecamatan. Pak Dikdik pun akhirnya keluar dan bergabung bersama kami. Sekitar pukul 14.30 WIB, kami berangkat menuju Pantai Santolo.

Kekeringan di wilayah Kecamatan Pameungpeuk rupanya sudah sangat parah. Hamparan sawah yang terbentang sepanjang jalan menuju Pantai Santolo, terlihat mengering. Sayangnya, kami tak sempat mengabadikan kekeringan tersebut, karena ingin segera sampai di Pantai Santolo. Tak sampai setengah jam, birunya laut Pantai Santolo sudah terlihat dari kejauhan. Hawa panas pantai pun mulai terasa. Aroma ikan laut juga tercium jelas. Aku dan Kemal yang sudah sedari pagi menantikan suasana ini bergegas turun begitu mobil berhenti tidak jauh dari bibir pantai. Terik matahari yang menyengat tidak kami rasakan. Yang ada di benak kami saat itu hanya satu, mengabadikan keindahan Pantai Santolo. Teman-teman lain mulai menyusul. Masing-masing bergaya di depan kamera. Kami pun larut dalam kegembiraan setelah menyaksikan birunya laut Pantai Santolo. Tak terasa perut mulai keroncongan. Setelah puas berfoto di bibir Pantai Santolo, kami berjalan menuju sebuah tempat makan. Pak Dikdik dan Camat Pameungpeuk sudah menunggu. Ternyata, mereka sudah menyiapkan makan siang ala Pantai Santolo yaitu ikan kakap bakar. Hmmmm, sudah terbayang betapa nikmatnya menyantap ikan Kakap di pinggir pantai.

Makan siang yang dimulai kesore-sorean selesai. Dua buah ikan kakap ukuran besar ludes tak berbekas. Menjelang senja, aku, Abah, dan Kemal kembali berjalan menuju bibir pantai. Kali ini, kami berfoto di bebatuan penahan ombak. Sejauh mata memandang, hamparan laut terlihat begitu luas. Perahu-perahu kecil nelayan mulai berangkat menerjang ombak yang lama-lama semakin buas. Laut semakin indah saat terik matahari sore memantulkan cahaya keemasan di permukaannya. Sementara bayangan hitam perahu kecil tampak kian menjauh hingga berada di tengah laut. Hmmm, laut dan senja mengingatkanku pada seseorang yang mengaku sangat mencintai perubahan waktu menjelang malam ini. Meski tidak begitu sempurna, pemandangan laut menjelang sore ini tampaknya akan berkesan buat dia. "Hayu Gin," ajak Kemal, karena saat itu waktu sudah menunjukkan pukul 16.30 WIB dan angin pantai mulai terasa dingin. "Nanti nyusul, saya masih menunggu senja," aku menyuruh Kemal berangkat lebih dulu. Kemal pun berjalan meninggalkanku bersama Abah yang ternyata sudah pergi. Mereka sempat berpapasan dengan Ibu Niknik, Boi, dan Indra. Dari kejauhan, aku melihat Kemal kembali duduk di bebatuan bersama Boi, dan Ibu Niknik, sementara Abah, kembali ke tempat makan. Indra yang awalnya duduk bersama mereka, terlihat mendekatiku. Tidak seperti teman-teman lainnya, Indra sadar untuk terus berada di dekatku. Selain Kemal, selama ini, dia yang paling setia menjadi modelku dalam setiap kesempatan. "Foto mang," kata Indra sambil bergaya menghadap samping dengan latar belakang matahari yang mulai turun menuju kaki langit.

Indra kemudian pergi meninggalkanku sendiri setelah puas berfoto. Saat itu, aku masih punya keinginan yang belum tercapai yaitu berteriak sekuat-kuatnya menghadap laut dan mengabadikan senja di Pantai Santolo sebelum batere kameraku habis. Niat awal mengabadikan fenomena ikan "hejo tonggong" tak dihiraukan lagi. Begitu orang-orang yang duduk di bebatuan pergi, aku berteriak keras-keras menghadap batas langit dan laut yang mulai berwarna kekuningan-kuningan. Setidaknya, teriakan ini membuat beban yang selama ini menggelayuti pikiranku sedikit hilang. Matahari pun semakin tenggelam. Sesaat, aku mengabadikan momen itu karena segaris awan hitam tampak mulai melintas sedikit di atas kaki langit. “Wah, sepertinya senja tak akan muncul dengan sempurna,” pikirku. Benar saja, sebelum sampai ke kaki langit, matahari mulai hilang. Meski begitu, warna langit masih sempat terlihat kemerahan. Ah, senja memang selalu terlihat indah saat berada di laut. Angin mulai bertiup kencang dan ombak semakin meninggi. Bebatuan tempatku berdiri tampak sepi. Namun, bibir pantai tampak dipenuhi orang-orang, termasuk teman-teman wartawan lain. Inilah mungkin saatnya menantikan fenomena kemunculan ikan “hejo tonggong”.

Sebuah fenomena yang unik memang. Puluhan warga berdiri memandang laut sambil membawa jaring, ember besar, dan lampu neon. Setiap ombak datang, mereka turun ke laut sambil membentangkan jaring. Hasilnya memang luar biasa. Ribuan Ikan hejo tonggong atau lebih dikenal sebagai sarden langsung tertangkap jaring. Warga lainnya berteriak gembira sambil berlari memburu ikan tangkapan kerabatnya. Setiap ada warga yang berlari membawa hasil tangkapan ikan, kami pun ikut berlari dan mengabadikan momen tersebut. Semakin malam, warga yang datang semakin banyak. Sayang, teman-teman wartawan televisi lupa membawa lampu. Meski Abah sempat meminjam lampu neon salah satu warga hendak menangkap ikan, suasana riuh di bibir pantai tetap tidak tertangkap dengan baik. “Uing poho mawa lampu,” keluh Abah sambil terus berusaha menyorot ikan-ikan yang terjaring. Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 19.00 WIB. Karena peralatan yang dibawa terbatas, kami akhirnya menghentikan liputan. “Sudah cukup ah, gambar moal kaudag,” kata Indra. Dengan membawa hasil liputan yang kurang maksimal, kami berjalan menuju tempat istirahat di sebuah warung tidak jauh dari pantai.

Malam semakin larut. Cahaya lampu petromak dari perahu nelayan di tengah laut terlihat dengan jelas mirip kunang-kunang yang terbang di kegelapan. Sebelum benar-benar kembali ke Garut kota dan melintasi jalan berliku, aku sempat memandang keindahan pemandangan laut di waktu malam. “Hari yang cukup istimewa,” ujarku dalam hati. “Kumaha berita Gin?” tanya Kemal, membuyarkan lamunanku. “Ah, kumaha deui mal, udah lah, sekali ini gak kirim berita, gak apa-apa,” jawabku sambil berjalan menuju mobil. Teman-teman sudah menunggu di dalam mobil. “Gus, ku saya we disupiranna,” tawar Indra kepada Agus. Mendapat tawaran tersebut, Agus hanya tersenyum. Ia sadar maksud Indra, sehingga tidak mau memberikan kunci kepadanya. Aku kembali duduk di posisi semula bersama Boi dan Kemal. Terbayang lagi perjalanan berliku yang memakan waktu panjang dan membuat perut mual. “Ada jalan lain lagi gak?” tanya Kemal. Kontan saja Indra menjawab. “Euweuh deui mang,” jawab Indra. “Sudah siap?” tanya Pak Dikdik. Serempak kami menjawab siap. Mobil pun melaju kembali menyusuri jalan yang sama. Begitulah. Kami pun meninggalkan Pantai Santolo yang selalu gelisah. Sebelum perut mual, aku masih sempat membayangkan saat indah memandang matahari tenggelam di laut Santolo. Sinar matahari memang indah menjelang sore. Ia membuat orang-orang di sekitar merasa nyaman. Tiba-tiba aku teringat sebuah lagu Iwan Abdurrahman alias Abah Iwan berjudul mentari.

“Mentari bernyala di sini, di sini di dalam hatiku. Gemuruh apinya di sini, di sini di urat darahku. Meskipun tembok yang tinggi mengurungku. Berlapis pagar duri sekitarku. Tak satu pun yang sanggup menghalangimu, bernyala di dalam hatiku. Hari ini hari milikku. Juga esok masih terbentang. Dan mentari kan tetap bernyala di sini di urat darahku.“

Read more »

Kamis, 24 Juli 2008

Sebuah Kado Buat Irwan Kuir


Tiga hari lalu, Selasa (22/7), barangkali merupakan hari yang istimewa buat Irwan Rudiawan atau akrab disapa Irwan Kuir. Wartawan RRI yang bertugas di wilayah Kabupaten Garut ini melepas masa lajangnya dengan menikahi Windi Citrani, seorang staf protokol di bagian humas Pemkab Garut. Pernikahan berlangsung sederhana di sebuah rumah di Jalan Perum Cempaka, Kampung Cimasuk Kidul RT 01/09 Kecamatan Karangpawitan, Kabupaten Garut.

"Jangan lupa Gin, datang nya," ujar Irwan, seminggu lalu sambil menyampaikan undangan pernikahan di ruang humas Pemkab Garut, tempat mangkalnya teman-teman wartawan Garut. Sebuah undangan ukuran sekitar 20 x 10 Cm dengan nuansa warna hitam putih pun aku terima. Hmmm, undangan yang cukup menarik. Di sebelah kiri depan, terpasang foto Irwan berdua dengan Windi dalam pose serius tapi santai. Sementara di belakang undangan, terdapat pula foto Irwan tengah mewawancarai Windi, layaknya seorang wartawan radio yang sedang berhadapan dengan narasumber. "Insya Allah mang, paling jeung barudak datangna," jawabku sambil memasukkan undangan ke dalam ransel.

Aku memang belum lama mengenal Irwan. Awal menginjakkan kaki di ruang humas Pemkab Garut, ia bahkan jarang sekali mengajakku bicara. Di antara teman-teman wartawan lain, pria kelahiran Garut ini kerap terlihat sibuk sendiri menyiapkan laporan untuk disiarkan di RRI. Kedekatanku dengan Irwan mungkin berawal saat kita menggelar "konser" dangdut di ruang humas Pemkab Garut bersama Indra Trans TV, Aep Priangan, Ukas Radio Reks, dan Irwan Oke. Sebuah "konser" yang kemudian terekam kamera dan di-upload oleh Kemal Tribun Jabar ke dalam situs internet You tube. "Konser" itu oleh Kemal diberi judul "Dangdut Kuir". Aku ingat betul, saat itu dengan suara lantang Irwan bernyanyi dangdut bersama Aep, diiringi alat musik gitar yang sengaja dibawanya dari rumah. Kami pun dibuat tertawa melihat tingkahnya yang konyol. Meski suaranya lebih banyak gak nyambung dengan musik, Irwan tetap pede menyanyikan beberapa lagu dangdut.

Sejak saat itulah, aku dan Irwan mulai akrab. Aku mengenalnya sebagai pribadi yang meledak-ledak. Tak jarang, Irwan kerap berbicara dengan suara keras, meski topik yang dibicarakan biasa saja. Suatu hari, aku mengajak Irwan kembali menggelar "konser" di ruang humas Pemkab Garut. Dengan semangat, Irwan pun menyetujuinya. Tidak hanya gitar yang dibawa, ia juga membawa sebuah keyboard. Seperti biasa, hiburan ala rakyat itu dihadiri personel tetap, minus Irwan Oke. Namun, kali ini konser terasa lengkap lantaran Kemal yang piawai memainakan berbagai jenis alat musik bersedia memainkan keyboard. Hahahahaha, betul-betul malam yang luar biasa. Sebagian ruang humas kami sulap menjadi sebuah arena konser, bahkan mirip sebuah tempat karaoke. Kami bernyanyi hingga pagi. Saat itu, aku tidak menyangka kalau Irwan sebentar lagi ternyata akan menikah dengan Windi.

“Dek ka kawinan si Irwan euy?” tanya Mang Anang, wartawan Priangan saat tiba di ruang humas, Selasa (22/7) pagi. Aku dan Kemal yang baru bangun, mengiyakan pertanyaan Mang Anang. “Bareng nya, urang rame-rame,” seru Mang Anang lagi. Tentu saja, kami berdua memang berniat sama-sama berangkat ke pernikahan Irwan karena belum mengenal betul ruas jalan di Kabupaten Garut. “Siap mang, mending sebelum liputan, biar tenang,” jawabku sambil melontarkan usulan. Kebetulan, pada hari yang sama Kejaksaan Negeri (Kejari) Garut menggelar acara Hari Bhakti Adhyaksa ke 48 di Kantor Kejari Garut. Awalnya aku dan Kemal berniat mengajak teman-teman menghadiri pernikahan Irwan, sebelum liputan di kejaksaan. “Sok atuh siapkeun kado buat Irwan,” Abah Janur Anteve tiba-tiba datang dan memberikan saran. “Urang aya kondom nu ti BKKBN keur hadiah si Irwan. Boga VCD kosong teu? Urang copy film-film bokep,” ajak Abah. Begitulah, lama-lama ruang humas penuh sesak dengan para wartawan yang berkumpul menyiapkan kado buat Irwan. Entah kado apalagi yang akan disiapkan saat itu, yang jelas aku, Kemal, Indra Trans TV, Ibu Niknik Medikom, dan Ukas Radio Reks lantas meninggalkan ruang humas untuk meliput aktivitas pelukis Iwan Ridwan yang kabarnya berencana memecahkan rekor MURI.

Hampir satu jam kami berada di sebuah sanggar lukis milik Iwan Ridwan. Setelah semua data lengkap, kami pun kembali ke ruang humas. Rencananya, kami akan mengajak teman-teman berangkat ke pernikahan Irwan sebelum mendatangi Kejari Garut. Rupanya, teman-teman lain memiliki rencana berbeda. Mereka ternyata sudah ada di Kejari Garut, dan baru akan pergi ke pernikahan Irwan setelah meliput kegiatan Hari Bhakti Adhyaksa. Mau tidak mau, kami pun akhirnya mengikuti kehendak teman-teman lain agar bisa berangkat bersama-sama ke pernikahan Irwan. “Urang mah geus lapar,” ujar Kemal. “Sarua mal,” jawabku. Terbayang sejumlah makanan enak di pernikahan Irwan. “Geus lah, kumaha barudak we,” ujar Kemal. Aku pun mengiyakan. Akhirnya kami memutuskan datang ke Kejari Garut diikuti Indra, Ukas, dan Ibu Niknik.

Acara di Kejari Garut sudah berlangsung sejak pagi. Benar saja, semua wartawan tumplek di lantai III Kantor Kejari Garut. Aku menengok sebuah ruangan di lantai III. Ternyata, ruangan itu adalah tempat makan. Tanpa pikir panjang, aku yang sudah lapar akhirnya mengambil nasi serta lauk-pauknya. Ternyata, teman-teman lain seperti Kemal, Indra, Ibu Niknik, dan Kang Slamet radio Antares juga mengikutiku. “Cepat, Kepala Kejari sudah menunggu di ruangannya,” ajak teman-teman wartawan lain. Baru saja selesai makan dan belum menenggak segelas minuman pun, kami turun dari lantai III menuju ruang Kajari Garut. Wawancara dengan Kajari Garut, Agus Trihandoko didampingi Kasi Intel sudah setengah jalan. Materi yang disampaikan masih berkutat pada persoalan yang sama, yaitu kinerja kejari. Lama-lama, wawancara berubah menjadi arena diskusi yang membosankan. Aku hanya melontarkan satu pertanyaan terakhir sebelum akhirnya pertemuan dengan Kajari Garut usai.

“Ayo, urang ka si Irwan,” ajak Aep Priangan. Sebagian wartawan ternyata sudah berangkat. Kami yang biasa mangkal di ruang humas, berkumpul terlebih dulu di depan Kantor Kejari. Deni wartawan Bandung Raya lantas mencari bungkus kado bersama Ibu Niknik karena ternyata kondom, VCD BF dan barang-barang lainnya yang akan diberikan kepada Irwan sama sekali belum dibungkus. Selesai membungkus kado di depan Kantor Kejari Garut, Deni kemudian meminta teman-teman mengumpulkan uang sebagai angpaw pernikahan Irwan. Lagaknya persis seorang calo stasiun yang sedang mengambil jatah setoran. Uang terkumpul dan kami berangkat dengan menaiki belasan motor, mirip geng motor yang sempat meresahkan warga Jawa Barat. Limabelas menit menyusuri jalan dengan berkonvoi, rombongan pun tiba di Jalan Perum Cempaka, Kampung Cimasuk Kidul RT 01/09 Kecamatan Karangpawitan, tempat pernikahan berlangsung. Sebelum memasuki rumah, kami sempat berfoto di lahan parkir berdebu.

Irwan dan Windi tampak berdiri di pelaminan. Melihat kedatangan kami, Irwan tersenyum dan melambaikan tangan. Satu persatu, kami menyalami Irwan yang tampak sumringah saat itu. Usai berfoto dengan berbagai gaya, Abah Janur memberikan kado istimewa. “Mudah-mudahan bermanfaat,” ujar Abah disambut senyum lebar Irwan. Lantaran sudah makan di Kantor Kejari Garut, rombongan tidak lagi menyantap makanan yang tersedia di pernikahan Irwan. Kami hanya menyantap buah-buahan, dan sedikit minuman sambil menikmati alunan lagu dangdut. Singkat saja kami berada di pernikahan Irwan karena hari sudah mulai menjelang sore. Rombongan pun kembali berangkat setelah sebelumnya pamit kepada Irwan dengan cara melambaikan tangan. Hmm, selamat ya Wan. Terimalah kado istimewa kami sebagai bentuk penghargaan terhadap sebuah pertemanan yang luar biasa.

Read more »

Senin, 21 Juli 2008

Berlarilah Anakku....


Lima hari sudah Gisavo anakku, mengisi sebagian harinya dengan mengikuti pelajaran di Taman Kanak-kanak (TK) Al Muhajir sejak Senin (14/7) lalu. Banyak cerita yang kuperoleh seputar kelakuannya di kelas, mulai menangis, berteriak memanggil ibunya, sampai tertawa menyaksikan temannya jatuh saat bermain. Hari keenam atau Sabtu (19/7) lalu, aku pun menyempatkan diri menemaninya sekolah karena kebetulan mendapat jatah libur dari kantor. Ajakan Abah Janur wartawan Anteve menginap di kawasan danau Cibeureum Kabupaten Garut sehari sebelumnya aku abaikan. Hanya satu keinginanku saat itu, pulang dan kembali mengantar Gisavo sekolah keesokan paginya.

Hari Sabtu (19/7) pukul 06.30 WIB, anakku sudah bangun. Ia kemudian menjalankan rutinitas sehari-hari dengan meminum segelas susu, mandi pagi, dan sarapan. Semua kegiatan itu selesai sekitar pukul 07.45 WIB sementara jam pelajaran sekolah dimulai pukul 08.00 WIB. "Ayo Gi, sebentar lagi masuk. Mau sekolah ngga?" tanyaku melihat tingkah Gisavo yang terlihat masih berleha-leha di kursi depan. "Iya pak, sebentar lagi. Bapak mau anter Gisa kan?" anakku menjawab sekaligus mengajukan pertanyaan. "Iya, sekarang bapak yang anter Gisa sekolah, makanya cepetan!!" aku berteriak. Teriakanku membuat Gisavo bangkit dan segera menyiapkan diri. Ransel bergambar batman langsung diambilnya. Sepasang sepatu kecilnya lantas dipakai dengan agak tergesa-gesa. “Pak, bantuin,” pintanya karena kesulitan memakai sepatu.

Berdua kami akhirnya melintasi ruas jalan di pinggir rumah mertuaku menuju TK Al Muhajir karena istriku berencana menyusul kemudian. Langkah anakku tampak pasti. Ranselnya yang kebetulan memiliki dua roda, ditariknya di belakang. Setelah lima menit kami berjalan menuju TK, anakku kemudian berbaur dengan teman-temannya bermain sebelum berbaris. Saat bermain, sesekali matanya melirik ke arahku, memastikan kalau aku masih bersamanya. Teng, teng, teng!!! Bel berbunyi pukul 08.00 WIB tepat, tanda anak-anak harus berbaris sesuai dengan kelasnya. Tiba-tiba, wajah anakku berubah. Ia tidak mau masuk barisan dan malah terus mendekatiku. “Pak, jangan pergi ya,” ujarnya sambil menahan tangis. Rupanya, anakku masih panik, khawatir ditinggal sendiri di sekolah. Kepercayaan dirinya belum tumbuh. “Bapak gak pergi, tapi gak ikut baris. Sekarang Gisa baris, harus nurut sama Ibu guru,” jawabku.

Lama anakku enggan masuk barisan sebelum akhirnya ikut berbaris setelah seorang guru membawanya. Anakku memang menuruti perintah guru dan berdiri di barisan belakang. Tapi matanya terus melihat ke arahku. Hari itu ternyata seluruh anak-anak TK mendapat pelajaran olahraga. Selama 15 menit anak-anak berolahraga, tak satu pun gerakan guru yang diikuti Gisavo. Akhirnya, seluruh anak-anak diminta memegang tangan teman di sebelahnya. “Sekarang kita jalan-jalan. Ayo, pegang tangan temannya,” teriak guru yang belakangan diketahui bernama Ibu Ira. Anakku memang menuruti peritah guru, tapi matanya lagi-lagi tak mau lepas melihatku. Sebelum berjalan, Gisavo sempat berlari ke arahku. “Bapak jangan ke mana-mana ya,” katanya. Aku mengangguk. Gisavo lantas kembali ke barisan, ditemani seorang guru bernama Ibu Tri.

Anak-anak rupanya dibawa mengelilingi sekolah. Aku tidak tahu seperti apa sikap Gisavo saat berkeliling karena hanya menunggu di halaman sekolah. Beberapa saat kemudian, mereka sudah kembali. Wajah anakku tidak terlihat panik. Ia kemudian menghampiriku sebelum waktu istirahat. “Bapak, tadi Gisa ngga nangis,” katanya menceritakan kegiatan tadi. Aku tersenyum. “Tadi dibawa keliling ke mana?” tanyaku. “Keliling sekolah pak,” jawabnya. Suara Ibu Ira memecahkan pertemuanku dengan Gisavo. “Ayo anak-anak, sekarang bermain. Gisa, mau main apa?” tanya Ibu Ira, sambil memanggil anakku. Anakku memilih bermain bola. “Pak Gisa main bola dulu yaa,” ujarnya sambil berlari menghampiri teman-temannya. Hahaha, lucu juga melihat anakku bermain bola. Di antara anak-anak yang bermain bola, tubuh Gisavo paling kecil. Beberapa kali ia terjatuh karena berbenturan dengan teman sekelasnya. Tapi, dia kembali bangun dan berlari mengejar bola. Sesekali Gisavo tertawa saat melihat temannya jatuh.

Teng, teng, teng!!! Bel tanda istirahat selesai berbunyi. Lagi-lagi wajah anakku berubah panik. Sebelum masuk, ia memintaku berdiri di dekat jendela. “Bapak nanti berdiri di dekat jendela,” pintanya. Aku tidak mengiyakan dan juga tidak menolaknya. Gisavo kemudian mengikuti guru dan mencuci tangan sebelum masuk kelas. “Bapak!!” kembali Gisavo berteriak memanggilku. Aku pun berjalan mendekati jendela kelas. Keberadaanku di dekat jendela ternyata mengganggu konsentrasi anakku. Ia terus menerus melihat jendela memastikan apakah aku ada di sana atau sudah pergi. “Wah, kalau begini terus, repot juga,” pikirku. Perlahan aku meninggalkan jendela dan hanya mengintip aktivitas anakku. Dia mulai terlihat panik saat mengetahui aku sudah tidak ada di dekat jendela. Beberapa kali ia terlihat menghampiri guru. “Bu guru, bapaknya ke mana?” tanya Gisavo sambil menangis. Selain Gisavo, ternyata ada lagi satu anak perempuan yang terus menangis di kelas. Bahkan, ia kerap terlihat mengamuk memanggil ibunya. “Gisavo masih bisa diatur,” ujarku sambil terus mengintip kepanikannya di kelas.

Aku tak lagi berdiri di jendela dan betul-betul meninggalkan Gisavo bersama gurunya di dalam kelas. Dari kejauhan terdengar suara guru memanggil nama anakku. “Pasti dia rewel lagi. Tapi aku harus membiarkannya,” gumamku dalam hati. Sebatang rokok kunyalakan dan dihisap dalam-dalam. Lama aku tidak memperhatikan Gisavo di kelas, tidak terdengar lagi teriakan guru memanggil namanya. Aku penasaran dan kembali mengintip suasana kelas dari jendela. Ternyata Gisavo memang duduk rapi bersama teman-temannya. Tapi, dia malah melamun. Telapak tangan kanannya tampak menopang dagu sementara kedua bola matanya terlihat sayu. Di saat teman-temannya asyik mendengarkan cerita guru, pikiran anakku entah ada di mana. “Ya ampun Gisavo, apa yang kamu pikirkan? Belum saatnya kamu terlalu banyak berpikir. Biar bapak aja yang banyak pikiran,” ujarku dalam hati saat melihat tingkah Gisavo yang mirip denganku.

Waktu sudah menunjukkan pukul 09.55 WIB. Sebentar lagi kelas bubar. Istriku kemudian datang dan menanyakan keberadaan Gisavo. Aku bilang, Gisavo ditinggal sendiri di kelas. Sebelum pulang, Ibu guru memberikan dua lembar surat kepada masing-masing anak. Gisavo sempat terlihat panik karena sampai akhir pelajaran, aku tak muncul lagi di jendela. Namun, ia segera tenang setelah melihat aku dan istri berada di dekat pintu. “Tuh, bapaknya ada kan?” ujar Ibu Tri yang kerjaannya lebih banyak mengantar anak-anak ke kamar mandi ketimbang berada di kelas. Gisavo tersenyum. Setelah mencium tangan guru, ia mendekatiku. “Bapak, tadi Gisa nangis di kelas. Abis, bapaknya gak ada di jendela,” ujar Gisavo. Aku hanya tersenyum. “Pak, Gisa main ayunan dulu ya,” kata anakku sambil berlari ke arah ayunan. Aku pun mengiyakannya. Saat Gisavo bermain ayunan, aku mendekati Ibu Tri. “Gimana anak saya?” tanyaku. “Gisavo bagus. Dia masih nurut sama guru. Kalau nangis, itu karena panik, tapi lama-lama juga terbiasa. Makanya, kalau mau, jangan ditungguin,” jawab Ibu Tri.

Ah, ternyata sikap anakku di kelas masih wajar. Ibu Tri bahkan bilang, sebelumnya ada anak yang selama satu tahun tidak mau ditinggal orangtuanya. “Gisavo masih mending. Rewelnya gak lama. Cuma pas terakhir-terakhir dia panik lagi karena takut gak dijemput,” terang Ibu Tri. Hmmm, sekolah berikutnya, Gisavo sudah harus ditinggal. Aku yakin, dia anak berani dan bisa menjalani hari-harinya di kelas dengan nyaman. “Ayo Gisavo, pulang,” ajakku. Gisavo menolak ajakanku dan meminta waktu bermain bola bersama teman-temannya. “Boleh main bola dulu ya pak? Sebentaaaar aja,” pintanya. Aku mengangguk tanda setuju. Gisavo berlari menghampiri teman-temannya. Kemana pun bola pergi, ia terus mengejar. Meski keringat sudah mengucur di dahinya, Gisavo tak pernah berhenti berlari. “Waaaaah, jangan-jangan, dia ingin jadi pemain bola,” tiba-tiba aku membayangkan masa depannya. Jangan Gi, mendingan jadi penyanyi aja kayak Afgan. “Ayo, tendang bolanya Gi!!!” teriakku memberi semangat. Gisavo melihat ke arahku lantas menendang bola kuat-kuat. "Goooooolllll" teriak anakku sambil kembali berlari. Ayo, berlarilah anakku, buat dirimu bahagia!!!

Read more »

Rabu, 16 Juli 2008

Dilema Anakku


"Gisavo Lembayung Lelaki Akbar!" teriak seorang wanita berkerudung memanggil nama anakku dalam sebuah pertemuan di Mesjid Al Muhajir Komplek Margahayu Raya, Senin (14/7) pagi. Mendengar namanya dipanggil, anakku langsung mengangkat tangan kanannya dan mengacungkan jari telunjuk. "Wah, pinter yaaa," kata wanita itu lagi sambil tersenyum. Setelah memanggil nama anakku, wanita tadi kemudian memanggil nama anak-anak lain yang berkumpul di mesjid tersebut bersama para orangtuanya. Saat itu, mereka tengah menerima pembekalan dari pengurus Taman Kanak-kanak (TK) Al Muhajir, seputar kegiatan belajar mengajar di TK tersebut.

Ya, hari itu adalah saat pertama anakku masuk ke sekolah. Sejak lama ia memang sudah menyatakan keinginannya untuk menimba ilmu di TK Al Muhajir tidak jauh dari rumah mertua, meski usianya belum genap 4 tahun. Aku sempat ragu dengan keinginannya itu. Namun, semangat anakku meluluhkan keraguan itu. Dua hari sebelumnya bahkan dia terus-menerus menanyakan kapan waktu masuk sekolah. Sebuah ransel kecil bergambar Batman pemberian orangtuaku dipegangnya erat-erat. "Pak, Gisa mau sekolah," katanya dengan sorot mata kanak-kanaknya. Sorot mata yang mengingatkanku pada seseorang. "Ya, kan nanti hari Senin. Nanti bapak anter ya," kataku menjawab keinginannya.

Senin (14/7) pagi, hari yang dinantikan tiba. Tentu saja aku tidak mau melewatkan saat yang barangkali hanya akan datang satu kali seumur hidupku itu. Dengan menggendong ransel kecil di belakang dan membawa tempat bekal makanan di depan, anakku berjalan penuh semangat. Dia belum mengenakan seragam, tapi penampilannya tampak berbeda dari biasanya. Matanya menatap lurus ke depan. Tampaknya, bayangan tentang sekolah sudah betul-betul melekat di pikirannya. Sepanjang jalan menuju TK yang tidak jauh dari rumah mertuaku, Gisavo bernyanyi. "Slamat pagi pak, slamat pagi bu, slamat pagi semua," begitu dia bernyanyi dengan suara melengking. Hmmm, tidak percuma rasanya menghabiskan seluruh gajiku sebulan plus tambahan dari mertua sekadar menyekolahkan Gisavo ke TK jika melihat langkahnya yang pasti. Aku dan istri tersenyum melihat tingkah Gisavo yang lucu.

Begitu sampai di TK, pandangan anakku seolah tak mau lepas menyaksikan keadaan sekitar. Saat itu, banyak sekali anak-anak seusia dia yang berkumpul di halaman TK. Ada yang berlari-lari, ada yang menangis, ada pula yang bermanja-manja dengan orangtuanya. Waktu sudah menunjukkan pukul 08.00 WIB. Sebuah pengumuman yang disuarakan lewat pengeras suara terdengar. "Kepada orangtua dan anak-anak diharap berkumpul di Mesjid Al Muhajir," begitu isi pengumuman tersebut. Istriku membawa Gisavo masuk mesjid, berbaur dengan ibu-ibu dan anak-anak yang lain. Aku menunggu di luar karena saat itu, tak ada seorang pun pria yang ikut masuk ke mesjid. Aku sempat berbincang dengan seorang pria yang sama-sama sedang menunggu anaknya sekolah. Hanya saja, anaknya bukan termasuk siswa baru, melainkan pindahan dari TK lain. Kelasnya pun berbeda dengan kelas anakku karena usianya yang lebih tua.

"Nganter anaknya pak?" tanya pria tersebut. Kebetulan, ia tengah mengisap sebatang rokok. "Iya Kang. Eh, boleh minta apinya kang?" jawabku sekalian meminta api karena sedari tadi aku ingin merokok. Pria itu langsung menyodorkan rokoknya yang menyala. "Nganter juga ya kang?" aku balik bertanya. "Iya, tapi pindahan. Sekarang masuk 0 besar. Waktu 0 kecil di TK yang lama, gak diajarin agama. Salat juga gak mau," kata dia menceritakan alasan memindahkan anaknya. "Hehehehe, iya kang. Kalau saya ngerasa kurang sama pendidikan agama, makanya saya suruh anak saya sekolah di TK Islam,biar jadi anak soleh," aku menimpali ceritanya. "Iya ya pak," ujarnya sambil tersenyum. "Gimana kalau kita cari kopi," ajaknya. Aku mengiyakan ajakannya. Namun, sebelum mencari kopi, aku menyempatkan diri melihat pertemuan di mesjid. "Nanti nyusul kang," ujarku.

Di Mesjid Al Muhajir, pertemuan masih berlangsung. Huh, tampaknya ini sebuah pertemuan yang membosankan. Orangtua saja sudah terlihat ngantuk mendengar celoteh kepala sekolah TK Al Muhajir yang menceritakan kelebihan tempat belajarnya, apalagi anak-anak. Terbukti, kedua mata anakku sudah mulai meredup karena ngantuk. Posisi duduknya pun berubah dengan kedua kaki diselonjorkan ke depan tanda dia sudah tidak lagi menikmati pertemuan itu. Tiba-tiba, Gisavo bertanya. "Bu guru, kapan masuk kelasnya?" tanya dia meski dengan suara kecil. Mendengar pertanyaan anakku, perempuan berkerudung yang tengah berkoar-koar menceritakan kelebihan TK Al Muhajir kontan tersenyum. "Nanti ya, sebentar lagi anak-anak masuk kelas," jawabnya sambil melihat anakku yang duduk di jajaran kedua dari depan.

Satu jam berlalu. Pertemuan di Mesjid Al Muhajir selesai. Para orang tua membubarkan diri, sementara anak-anak memasuki kelas didampingi gurunya masing-masing, termasuk anakku. Pertemuan yang terlalu lama rupanya membuat konsentrasi anakku buyar saat berada di dalam kelas. Ia terlihat lebih banyak melamun ketimbang mendengarkan perkataan guru. Tampaknya, anakku mengalami dilema antara keinginan mengikuti pelajaran di kelas dengan rasa kantuk yang mulai menggelayutinya. "Siapa yang pernah ke Griya??" suara guru di kelas tersebut membuyarkan lamunan anakku. Mendengar pertanyaan itu, anakku langsung berteriak lantang bersama anak-anak lainnya. "Sayaaaaa!" teriaknya dengan suara melengking. "Hahahaha, kalau ditanya soal Griya, anakku langsung ingat dan menghentikan lamunannya," gumamku dalam hati.

Pemandangan di kelas sungguh menyenangkan. Aku sampai lupa ajakan menikmati kopi yang ditawarkan pria tadi. Sesaat, aku beranjak menuju kantin. Rupanya, dia sudah pergi. Aku pun kembali melihat Gisavo dalam kelas. Sayang, saat itu waktu sudah menunjukkan pukul 09.30 WIB dan aku harus segera kembali ke Garut melanjutkan tugas. Setelah pamit, motor pun langsung kupacu ke arah Garut. Kabarnya, hari itu ada persidangan kasus dugaan korupsi dana bencana alam di Pengadilan Negeri (PN) Garut. Sepanjang jalan, bayangan anakku di dalam kelas terus membekas. Hidup ternyata begitu singkat. Seolah baru kemarin melihat anakku lahir, sekarang dia sudah masuk sekolah lagi. Hmmm, selamat memasuki dunia baru anakku. Ingat, jangan pernah bercita-cita menjadi wartawan.

Read more »

Rabu, 09 Juli 2008

Ketika Bonsai Kecilku Gelisah




Bonsai kecilku gelisah. Sekitar 60 Km dari tempatku duduk dinihari tadi, perempuan mungil yang keras kepala itu mengungkapkan unek-uneknya lewat dunia maya. Lagi-lagi seputar tempat kerja yang ia umpamakan sebagai negeri kurawa. Ah, kegelisahan yang mungkin berkepanjangan dan cukup mengganggu pikirannya. Bahkan beban itu membuatnya harus terjatuh dari motor saat melaksanakan tugas negara. “Makanya, jangan melamun,” ujarku memberi saran usai dia menceritakan kejadian malam tadi. “Abisan, lagi kesel,” jawabnya berargumen. Ia lantas menceritakan kegelisahannya. “Gara-gara nulis di blog tentang kondisi kantor, aku jadi diserang sama orang yang sama,” keluhnya.

Hmmm, persoalan itu rupanya. Aku memang sudah membaca isi blognya yang diposting belum lama ini. Sebuah tulisan tentang seorang manusia bodoh yang hidup di negeri Kurawa. Bagiku, tak ada yang salah dengan tulisan itu. Semua begitu terbuka. Aku sendiri tergugah membaca kalimatnya yang mengalir tak terkendali karena ikut merasakan kegelisahannya.“Dia malu karena ternyata (blog) banyak yang baca. Malu karena aku membuka aib kantor sendiri. Dia juga merasa kalau aku melebih-lebihkan kondisi, lebih dari keadaan sebenarnya,” kalimat demi kalimat pun meluncur tak terkendali. Betul bonsai kecilku. Tidak semua prajurit mau menerima apa yang kita lakukan meski tujuannya demi kebaikan. Di mana-mana, perjuangan tak pernah berjalan mulus. “Kamu kan hanya menceritakan apa yang sebenarnya,” ujarku. Dia mengamini ucapanku. “Jadi, ya udah, nyantai aja,” kataku lagi.

Aku jadi ingat, kegelisahan yang sama juga pernah aku sampaikan pada seorang teman. Dia selalu menjawab dengan satu kata: sabar. Sampai saat ini, kata itulah yang membuat aku tetap bertahan dan menikmati tugas sebagai prajurit siap tempur. Hanya saja, setiap orang tentu punya paham berbeda dalam memaknai sebuah kesabaran. Batas kesabaranku mungkin belum habis, sementara prajurit lain belum tentu seperti itu, termasuk bonsai kecilku yang hobbynya makan burger. Aku yakin, tulisan di blog itu hanya sebagian kecil dari unek-unek yang dipendamnya selama 22 bulan mengabdi. “Sekarang, kamu merasa sendirian ya?” tanyaku. Dia menjawab singkat. “Iya…..!” tandasnya. Percakapan terhenti saat ia meminta izin menerima telepon. Sesaat aku berpikir kenapa ia harus merasa sendirian di tengah hiruk pikuknya prajurit yang ditarik ke markas besar sejak aku berjuang di luar markas? Kenapa pula isi tulisannya di blog harus menjadi persoalan? Kebenaran tidak bisa ditutup-tutupi meski sebatas digoreskan lewat sebuah blog.

"Pokoknya mah, blog itu untuk free impresion, bukan good impresion," katanya sesaat setelah menerima telepon. Aku mengiyakan ucapannya. Tekanan kerja sebagai prajurit di negeri kurawa sudah sedemikian berat. Masak sih kita harus merasa tertekan saat menulis dalam blog. "Hehehehe, betul! Tidak ada redaktur dan asisten redaktur dalam blog," jawabku. "Hidup kebebasan!" tulisnya. Aku pun menimpali dengan huruf besar. "HIDUUUPPP!!" Waktu berlalu. Waah, sudah pukul 01.30 WIB. Bonsai kecilku pamit. "Aku pamit, besok mau liputan pagi," katanya. "Oke," jawabku singkat. Ah, semoga perbincangan ini bukan yang terakhir. Meminjam istilah seorang teman, diam tidak selamanya emas, tapi batu akan selamanya diam. Maka tetaplah berjuang bonsai kecilku, karena kamu tidak sendirian.

Read more »

Selasa, 08 Juli 2008

Hari yang Melelahkan

Barangkali inilah kali pertama aku liputan jauh sejak berada di Kabupaten Garut hampir dua bulan yang lalu. Itu pun aku lakukan secara tidak sengaja dan tanpa perencanaan matang terlebih dulu. Awalnya, Selasa (8/7) sekitar pukul 10.00 WIB, Indra Trans TV tiba-tiba mengajak teman-teman wartawan berangkat Desa Karangsari, Kecamatan Pakenjeng, yang berjarak sekitar 80 Km dari Garut Kota. Menurut kabar dari April Parlindungan, seorang aktivis lingkungan yang sudah berada di Pakenjeng, kawasan tersebut mulai mencekam menyusul kehadiran pasukan Brimob terkait pencarian 10 tersangka kasus perusakan kebun kelapa sawit milik PT Condong. “Hayu urang ka Condong, rame!!” ajak Indra kepada teman-teman media elektronik dan cetak.

Berbeda dengan hari sebelumnya saat Abah Janur Anteve mengajak wartawan berunjukrasa, ajakan Indra tidak berjalan mulus. Beberapa teman-teman, termasuk aku, tidak terlalu bersemangat menerima ajakan tersebut. Alasannya, jarak tempuh dari Garut Kota menuju Pakenjeng yang konon memakan waktu 3 jam. Jika dihitung-hitung dengan waktu liputan sekitar satu jam, aku tidak mungkin bisa kembali ke kota dalam waktu singkat. Terlebih lagi, jadwal deadline di koran tempatku bekerja yang ketat. “Urang moal kaburu sigana. Deadline jam 5. Sok wae lah,” ujarku menolak ajakan Indra. Teman-teman media cetak lainnya juga bersikap sama, termasuk Kemal Tribun Jabar. Satu-satunya wartawan cetak yang agak semangat ikut barangkali Aep Priangan.

“Geus urang kana motor,” ajak Indra lagi. Namun, beberapa teman lain mengusulkan tawaran menggunakan mobil. Salah satunya dilontarkan Abah Janur. “Ke urang nginjeum mobil heula,” kata Abah. Walhasil, semua teman-teman menunggu kabar mobil yang akan dipinjam Abah. Aku, Kemal, dan Inul Galamedia, berbincang-bincang membicarakan ikut tidaknya kami ke Pakenjeng. “Kira-kira, nyampe ngga jam 3 kita sudah ke ruang humas lagi?” tanyaku kepada Deni Meungeung Indosiar. Deni pun menghitung waktu. Secara logika, ia berpikir tidak mungkin bisa kembali ke ruang humas pada sore hari mengingat jarak tempuh yang jauh, dan jalan menuju lokasi yang rusak. “Paling juga malam baru sampai di humas,” ujar Deni. Akhirnya, aku kembali mengurungkan niat ikut, setelah sebelumnya sempat pikir-pikir.

Mobil yang dijanjikan Abah Janur belum juga muncul sementara waktu terus bergulir hingga menunjukkan pukul 11.00 WIB. Indra terlihat mulai gelisah. “Ceuk aing oge kana motor, deukeut da, moal leuwih ti sajam. Sore ge nepi deui ka ruang humas,” kata Indra. Matanya melirik ke arahku sebagai tanda ajakan. Mendengar perkataan Indra, niatku untuk tidak ikut kembali goyah. “Geus kana motor lah, milu jeung urang,” ajak Indra. Aku kemudian meminta jaminan agar bisa sampai ke ruang humas sekitar pukul 15.00 WIB, atau paling telat pukul 16.00 WIB. Dengan penuh keyakinan, Indra menyanggupinya. “Paling ge urang bisa nepi ka humas jam 3-an. Kalau pake mobil memang lama. Pake motor mah, cepet. Paling satu jam juga udah nyampe. Serius mang,” kata Indra dengan wajah penuh keyakinan. Aku pun tergiur tawarannya. “Jam 4 geus nepi ka humas kan?” tanyaku memastikan. “Nepi mang, dijamin, matakna kana motor, dibonceng ku urang,” jawab Indra.

Aku melirik ke arah Kemal. “Geus milu we mang,” kata Kemal. Akhirnya, aku menerima ajakan Indra. “Bawa tas urang atuh,” kata Indra. Dengan bayangan bisa kembali ke ruang humas pukul 16.00 WIB, aku pun duduk di belakang jok motor New Yamaha Vega milik Indra. Sementara teman-teman lain memutuskan untuk pergi dengan menaiki mobil dewan. “Barudak aya di dewan mang. Urang ka dewan heula nya,” kata Indra. Kami pun meluncur ke gedung dewan, tidak jauh dari ruang humas. Benar saja. Teman-teman masih terlihat duduk-duduk di halaman dewan menunggu pinjaman mobil. “Urang tiheula jeung si gin2 kana motor nya!!” teriak Indra sambil melajukan motornya. Saat itu, waktu menunjukkan pukul 11.00 WIB. Hmm, kalau berdasarkan perhitungan Indra, aku bakal sampai ke lokasi sekitar pukul 12.00 WIB. “Kita lihat saja nanti,” pikirku dalam hati.

Indra pun mulai memacu motor Yamaha Vega-nya dengan cepat. Wuss, wuss, kendaraan di depannya terus disalip. Aku sempat melihat speedo meter motornya. Wuih, kecepatan rata-rata mencapai 80 Km. Kalau lagi sepi, kecepatan bisa sampai 100 Km. Pantas saja Indra berani menjanjikan sampai ke lokasi selama satu jam. Dia mengendarai motor layaknya Valentino Rossi, meski lebih tepat disebut tukang ojek. Jalur pertama yang dilalui adalah Kecamatan Samarang, kemudian berlanjut menuju Bayongbong, Cisurupan, Cikajang, dan Pamulihan. “Geus deukeut mang, sakeudeung deui pakenjeng,” ujar Indra sambil terus memutar gas motornya kuat-kuat. “Oh kitu?” tanyaku. Aku menghela napas panjang. “Akhirnya, penderitaan ini segera berakhir,” gumamku. Benar saja, setengah jam kemudian kami sampai di Kecamatan Pakenjeng. “Ke heula mang, urang telepon si April,” kata Indra sambil menghentikan motor tepat di depan warung kopi. Kebetulan, aku pun berniat mengisi batere HP yang sudah habis. Indra kemudian menelepon April. Usai menelepon, ia duduk memesan kopi. “Ke si April ngajemput di daerah Tegal Gede. Da urang ge teu apal lokasina. Geus ayeuna mah nyantai heula,” ujar Indra.

Indra memang tidak menepati janjinya. Kami sampai di Pakenjeng sekitar pukul 12.30 WIB. Berarti ada selisih lebih setengah jam dari waktu yang dijanjikannya. Tapi, melihat hari masih siang, aku yakin bisa tiba kembali di ruang humas pada sore harinya. Apalagi dengan kecepatan seperti tadi. Limabelas menit berlalu. Setelah berusaha mengontak teman-teman lain namun gagal, kami akhirnya melanjutkan perjalanan. “Hayu mang, lanjut,” ajak Indra. “Siap,” jawabku. Indra kembali memacu motornya dengan cepat. Setengah jam berlalu, Desa Karangsari belum juga ditemukan. “Mana si April, telepon deui. Ieu geus di Tegal Gede,” kata Indra. Aku kemudian mengontak April. Rupanya, si April tidak jadi menjemput kami di Tegal Gede. Ia mengaku sibuk mengkondisikan warga Karangsari. “Tanyakeun we Desa Karangsari,” kata April dari balik telepon. Tanpa bantuan April, kami pun menanyakan lokasi Desa Karangsari ke sejumlah warga. Sudah satu jam berada di motor, belum ada satu pun warga yang kami temui. Ruas jalan sudah mulai rusak, sementara Indra tetap bersikukuh memacu motornya. Akhirnya, kami berhasil menemui warga sekitar. Saat ditanya lokasi Desa Karangsari, dia menganjurkan agar kami terus lurus hingga menemui perempatan. “Cilaka Ndra. Jauh keneh ieu mah,” kataku. “Enya mang,” jawab Indra.

Hampir 15 Km kami melalui jalan rusak hingga tiba di perempatan yang disebutkan warga tadi. Di sana, terlihat kerumunan warga yang sedang duduk di sebuah pos. “Kang, ka Karangsari ka mana?” teriak Indra. “Terus wae lurus,” jawab salah seorang pemuda. “Masih jauh?” tanya Indra lagi. “Paling ge 15 menit deui,” kembali pemuda itu menjawab. Huh, 15 menit versi warga pasti berbeda dengan versi kami. Apalagi, jalan yang akan dilalui hanya berlapis batu. Waktu sudah menunjukkan pukul 13.30 WIB. “Ah, alamat tidak bisa pulang ke Garut Kota sore hari nih,” gumamku. Indra memang betul-betul gila. Dalam kondisi jalan berbatu, ia masih memacu motornya dengan cepat. Jalanan semakin sepi. Di kiri-kanan, kami hanya melihat kebun rindang. Di pertigaan jalan, aku sempat menanyakan kembali lokasi Desa Karangsari kepada seorang pegawai PT Condong. Ia menunjukkan jalan agar kami terus lurus mengikuti jalan berbatu. Di sebuah tempat, kami melihat ribuan pohon kelapa sawit yang habis terbakar. “Tah mang, ieu teh kalapa sawit nu dibakar warga,” kata Indra seperti seorang guide yang sedang memandu wisatawan.

Puas melintasi jalan rusak, akhirnya kami tiba di Desa Karangsari. Rupanya, dari desa tersebut kami bisa melihat keindahan Pantai Pameungpeuk. Sepanjang perjalanan di ruas jalan desa, kami melihat sejumlah anggota Brimob yang berjaga-jaga di sekitar jalan, dan rumah warga. Mereka tampak membawa senjata laras panjang. “Urang nelepon si April heula mang,” kata Indra. Rupanya April tidak ada di tempat. Ia sedang berada di Taman Manalusu. Tidak jelas apa yang dia kerjakan di sana. Kami hanya diminta menunggu dijemput salah seorang teman April di kantor desa. “Tungguan di dieu, ke aya nu ngajemput,” kata Indra. Sambil menikmati minuman dingin, kami pun menunggu jemputan. Selang beberapa menit kemudian, jemputan datang. Kami dipandu ke sebuah rumah di tempat bernama Munjul. Di sana sudah menunggu beberapa warga yang hendak memberikan keterangan seputar kehadiran Brimob di Desa Karangsari. Tiba di Munjul, Abah menelepon. Ia menanyakan posisi kami. Karena sulit menjelaskan, warga yang tadi menjemput kami kembali merelakan diri menjemput Abah bersama rombongan. Setengah jam kemudian, rombongan Abah yang terdiri dari Ibu Niknik Medikom, Boi TPI, Deni Indosiar, Tasdik Elshinta, Aep Priangan, Irwan Kuir RRI dan Ukas Rex Radio, tiba di Munjul.

Seorang warga yang belakangan diketahui bernama Maman, 32, kemudian angkat bicara. Ia mengeluhkan kondisi warga Desa Karangsari yang resah atas keberadaan anggota Brimob di desa tersebut. Hampir setiap hari, kata Maman, seluruh pasukan Brimob menyisir rumah warga untuk mencari provokator pembakaran kebun kelapa sawit. Beberapa anggota Brimob di antaranya, lanjut Maman, bahkan sempat mengeluarkan kata-kata ancaman kepada warga. “Bayangkan saja. Sejak satu bulan yang lalu, aktivitas warga diawasi oleh pasukan Brimob. Setiap hari, mereka melakukan patroli ke rumah warga untuk mencari 10 orang yang menurut mereka menjadi tersangka kasus pembakaran kebun kelapa sawit milik PT Condong,” kata Maman.

Cerita pun mengalir. Tasdik dan Ukas, menyalakan tape, merekam seluruh pembicaraan Maman. Akhirnya, karena data sudah dirasa cukup dan waktu menunjukkan pukul 15.00 WIB, aku dan Indra berinisiatif keluar rumah untuk mengambil gambar aktivitas anggota Brimob di Desa Karangsari. Teman-teman lain mengikuti dengan menaiki mobil. Sayangnya, jumlah personel Brimob yang kami temui sudah mulai menyusut, tidak seperti saat kami baru memasuki Desa Karangsari. Berdua saja kami mengambil gambar aktivitas Brimob, dan beberapa warga setempat. Sementara Abah dan rombongan tertinggal di belakang. Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 16.00 WIB. “Hayu ah, geus sore. Urang geus deadline,” aku mengajak Indra pulang. Indra mengiyakan ajakanku dan kami pun berangkat menuju Garut Kota. “Gak ada jalan lain lagi?” tanyaku karena membayangkan jalur yang akan dilalui nanti masih sama dengan jalur yang tadi. “Euweuh deui mang,” jawab Indra.

Yahh, dasar nasib. Kami pun terpaksa harus kembali menyusuri jalan yang sama. Hanya saja, kali ini kami tak lupa mengabadikan diri di beberapa tempat yang dirasa indah. “Lumayan mang, itung-itung ulin,” Indra berseloroh. Usai berfoto, perjalanan dilanjutkan. Saat tengah berfoto dengan latar belakang Pantai Pameungpeuk, HP-ku berbunyi. Jakarta menelepon minta listing. Mengetahui posisiku di Garut Selatan, asisten redaktur memberi keringanan deadline hingga pukul 19.00 WIB. Seperti saat berangkat, Indra tetap memacu motornya dengan kencang. Kabut mulai turun di perkebunan teh. “Lapar mang, dari pagi belum nemu nasi,” kata Indra. Aku pun menimpali. “Sarua mang, saya ge can makan ti isuk,” jawabku. Kami sepakat berhenti jika menemukan warung nasi. Di Pamulihan, kami mampir di warung nasi. Saking laparnya, aku malah merasa kenyang sehingga makan pun tidak begitu nikmat.

Pukul 18.00 WIB, setelah menghabiskan makan dan sebatang rokok, kami berangkat. Langit gelap, jalan sempit, tapi Indra tetap memacu motornya. Yah, namanya numpang, jangan sekali-kali protes terhadap supir. Meski cukup khawatir dengan kecepatan motor, aku tetap diam. “Yang penting bisa sampai di humas sebelum jam 7 dan langsung ngetik berita,” ujarku. Kecamatan Pamulihan, Cikajang, Cisurupan, Bayongbong, dan Samarang akhirnya terlewati. Kami tiba di ruang humas pukul 19.00 WIB. Baru saja duduk di depan komputer, Jakarta sudah menelepon minta berita segera dikirim. Wuiih, hari yang betul-betul melelahkan.

Read more »

Senin, 07 Juli 2008

15 Menit Merancang Aksi

Pagi itu, seperti biasa, ruang humas Pemkab Garut dipenuhi wartawan baik cetak maupun elektronik. Aktivitas yang dilakukan mereka beragam. Ada yang sekadar duduk-duduk sambil menikmati kopi hangat, ada pula yang berdiskusi merencanakan agenda liputan. Waktu menunjukkan pukul 10.00 WIB. Janur M Bagus, wartawan Anteve tiba-tiba melayangkan ide liputan. “Demo yuk. Urang aksi solidaritas terkait kekerasan yang dilakukan marinir terhadap wartawan Indosiar di Indramayu,” ajak Janur, yang akrab disapa Abah tersebut, kepada sejumlah wartawan. “Hayu!! di Bandung geus rame, engke beritana digabung-gabung jeung nu lain,” teriak Abah lagi.

Ide Abah dipicu oleh kekerasan yang menimpa Agus Suci Iswahyudi, stringer Indosiar, Jumat (4/7) malam lalu. Ia ditendang oknum TNI Angkatan Laut (AL) Korp Marinir Cilandak asal Yon Howitzer-2, bernama Praka Shafrudin, saat tengah meliput razia pekat yang digelar Polres Indramayu. Persoalannya sederhana, Praka Shafrudin tidak terima dirinya diliput karena sedang mabuk di sebuah diskotik. Akibat tendangan tersebut, Agus sempat menderita sesak napas dan dibawa ke rumah sakit untuk divisum. Kejadian ini pun mendapat kecaman dari sejumlah wartawan di Indonesia.

Gayung pun bersambut. Sejumlah wartawan mengamini ide Abah. Tasdik dari Elshinta bahkan langsung duduk di depan komputer dan menulis berita aksi yang akan dilakukan wartawan Garut. Kontan saja, kelakuan Tasdik diprotes Abah. “Ke heula, ulah waka ditulis. Demona oge acan. Urang nyieun pernyataan sikap heula,” kata Abah. Saat Tasdik menuliskan pernyataan sikap, sejumlah wartawan lain wara-wiri mencari logistik aksi seperti toa, dan poster. Beberapa wartawan lainnya juga terlihat mulai menghubungi wartawan lain melalui SMS, atau menelepon langsung. Deni Meungeung dari Indosiar, membuka email. “Ieu aya bahan kronologisna langsung ti korban,” ujar Deni.

Irwan Kuir dari RRI bergegas mencari toa ke sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang biasa berunjukrasa di Kabupaten Garut. Dengan menaiki motor, ia ditemani Erfan, wartawan dari Garoet Pos mendatangi sejumlah LSM. Tak ayal lagi, suasana ruang humas Pemkab Garut pun mendadak ramai. “Mana kartonna, mana spidol, urang nyieun poster,” teriak Dedi dari Radar Garut. Layaknya aksi yang biasa dilakukan mahasiswa atau LSM, Abah pun mengontak aparat kepolisian, di antaranya Kabag Ops Polres Garut, Kompol Ade Najmulloh sekadar meminta izin. “Izin komandan, kita mau aksi. Siapkan dalmas. Nanti surat izinnya menyusul,” ujar Abah. Dipandu Abah dan wartawan lainnya, Tasdik membuat pernyataan sikap. Lantaran kekerasan menimpa wartawan Indosiar, Deni Meungeung yang sama-sama dari Indosiar merelakan diri menjadi koordinator aksi.

Semangat teman-teman menggelar aksi solidaritas sangat terasa saat itu. Aku pun bergegas menelepon Uyi, rekanku di Indosiar yang biasa meliput di wilayah Cirebon dan mengabarkan rencana aksi ini. “Bos, Garut juga bergerak. Kita juga menggelar aksi solidaritas,” ujarku melalui telepon. Uyi pun menyampaikan rasa terima kasih kepada wartawan di Garut. “Oke bos terima kasih, aku sampaikan ke rekan teman-teman di Cirebon,” jawab Uyi. Sayup-sayup terdengar suara orasi dari balik telepon. Rupanya, wartawan Cirebon sudah menggelar aksi solidaritas sejak pagi hari. “Buru euy, barudak Cirebon geus aksi,” aku mengingatkan teman-teman.

Selebaran pernyataan sikap pun sudah siap, berikut kronologisnya. Poster sudah dibuat meski bukan dari karton baru. Irwan Kuir pun tiba sambil menenteng toa yang dia pinjam dari LSM Gerakan Masyarkat Bawah Indonesia (LSM). Sekitar pukul 10.15 WIB, kami pun bergerak menuju Gedung DPRD Garut. Sebelumnya, aku mampir di tempat fotocopy tidak jauh dari ruang humas Pemkab Garut untuk memperbanyak selebaran pernyataan sikap. “Jumlah wartawan di Garut teh nyampe 400-an euy. Kamarana nu lain? Ari pas aksi mani saeutik euy,” teriak Aep dari Priangan. Sepanjang perjalanan menuju Gedung DPRD Garut, Abah Janur berorasi. Lama-lama, jumlah wartawan yang mengikuti aksi semakin banyak hingga mencapai 50 orang. Tanpa pengawalan dari aparat kepolisian atau pun satpol PP, kami mulai melancarkan aksi di depan Gedung DPRD Garut. “Mana euy dalmasna? Teu rame euweuh dalmas mah,” ujar Abah. Begitulah, orasi kebanyakan didominasi Abah. Sesekali Irwan Kuir ikut menyampaikan orasinya. Sementara Indra Trans TV, Boi MNC, dan Deni Meungeung, sibuk mengabadikan aksi tersebut.

Setelah berunjukrasa di depan Gedung DPRD Garut, kami berencana melakukan long march menuju Simpang Lima yang berjarak sekitar 500 meter. Namun, sebelum berangkat, Aep mengusulkan agar perwakilan dewan keluar dan ikut menyatakan aksi keprihatinan. “Ke heula euy, dewan harus ngomong dulu!!” ujar Aep. Walhasil, para wartawan pun berteriak meminta dewan keluar. “Kami minta anggota dewan yang terhormat keluar dari ruangan dan menyatakan keprihatinan atas kekerasan yang menimpa kawan kami di Indramayu. Jika tidak, maka kami menganggap para anggota dewan pun tidak lagi memiliki keberpihakan terhadap kawan-kawan media,” teriak Abah.

Selang beberapa menit kemudian, toa beralih ke tangan Irwan Kuir. Abah pun masuk ke gedung dewan dan mencari sejumah anggota dewan. Pencarian Abah berbuah hasil. Ia membawa keluar Ketua Komisi C DPRD Garut, Luki Lukmansyah. Ditodong wartawan agar memberikan pernyataan keprihatinan terkait kekerasan terhadap wartawan, Luki pun angkat bicara. “Saya secara pribadi maupun lembaga menyatakan turut prihatin atas kekerasan yang menimpa wartawan. Negara kita negara hukum, sehingga tidak pantas jika penyelesaian persoalan dilakukan dengan cara premanisme,” kata Luki disambut tepukan dan teriakan para wartawan.

Gedung dewan akhirnya kami tinggalkan. Saat itu, tujuan kami adalah kawasan Simpang Lima yang biasanya dijadikan lokasi aksi. Sebelum sampai di Simpang Lima, kami memasuki halaman Gedung Pemkab Garut dan berorasi di depan ruang rapat Sekretariat Daerah (Setda) Garut. Mendadak, beberapa wartawan menanggalkan ID Card dan tape recorder diikuti rekan-rekan lainnya. “Ini sekadar wujud protes kami terkait kekerasan terhadap wartawan yang sering terjadi,” ujar Abah. Hanya beberapa menit, aksi berlangsung di depan ruang rapat Setda Garut. Kami kemudian melanjutkan perjalanan. Tak terasa, dahaga menyerang. “Mana logistikna euy, haus yeuh,” teriak salah seorang wartawan. Lagi-lagi perjalanan terhenti tepat di depan Gedung PWI Garut. Zamzam dari Radar Garut berinisiatif masuk ke Gedung PWI dan mengambil air mineral gelas bergambar salah seorang bakal calon (balon) bupati independen yang tersimpan dalam kardus. Kontan saja, sejumlah wartawan berseloroh. “Wah, hati-hati, aksi ini ditunggangi oleh salah satu balon,” ujarnya sambil tertawa. “Hati2!! Hati2!! Hati2!! Provokasi!!” teriak wartawan lain.

Di gedung tersebut, Ketua PWI Garut Asep Sudradjat, ikut menyatakan prihatin atas kekerasan yang menimpa wartawan Indramayu. Setelah terhenti di Gedung PWI Garut, kami melanjutkan aksi menuju Simpang Lima. Abah masih berceloteh di depan toa. Lantaran kehabisan kata-kata, materi orasi yang disampaikan tidak berubah sejak berunjukrasa di gedung dewan. “Gantian euy, capek yeuh,” ujar Abah. Di bawah terik matahari siang, unjukrasa pun berlanjut di kawasan Simpang Lima. Sepuluh menit berlalu, akhirnya kami memutuskan menyelesaikan aksi dan berjalan kembali menuju ruang humas Pemkab Garut. Hmmm, 15 menit merancang aksi ternyata berbuah hasil cukup memuaskan.

Read more »

Rabu, 02 Juli 2008

Mang Aep vs wakil ketua dewan



Seorang Wakil Ketua DPRD Kabupaten Garut tiba-tiba marah-marah di depan enam wartawan, Selasa (1/7) sore. Dia tidak terima dengan pemberitaan di koran SINDO dan Tribun Jabar tentang laporan dugaan penyimpangan dana jaring aspirasi masyarakat (jaring asmara) senilai Rp72 miliar yang diduga melibatkan 20 legislator Garut. Padahal, berita itu sama sekali tidak menyebutkan satu pun anggota dewan dan hanya berkisar tentang rencana pemanggilan 20 legislator Garut tersebut oleh Polda Jabar. Entahlah, tiba-tiba Wakil ketua dewan dari dari Fraksi PDIP itu menuding wartawan terlalu mengada-ada dan membesar-besarkan kasus jaring asmara. Sementara kasus lain seperti ijazah palsu wakil bupati, tidak diungkit.

“SINDO mah nya, teu bisa diajak kompromi. Kenapa sih wartawan ini terlalu membesar-besarkan masalah jaring asmara yang kasusnya sendiri tidak jelas. Sementara kasus lainnya semacam pemalsuan ijazah saja tak pernah diungkit-ungkit. Padahal hal itu sudah jelas pelanggaran hukumnya. Di mana moral wartawan,” ujarnya dengan nada tinggi. Saat itu, wajah putihnya berubah merah. Sejumlah asistennya juga tampak menyingkir, khawatir kena semprot atasannya itu.

Aep, wartawan SK Priangan perlahan mundur dari pertemuan itu. Sementara wakil ketua dewan tersebut terus menumpahkan kekesalannya. Layaknya penyair yang tengah membaca puisi, dia terus berteriak di halaman parkir Gedung DPRD Kabupaten Garut. Aku yang kebetulan menulis berita itu di SINDO diam menyaksikan tingkahnya. Begitu pun Kemal dari Tribun Jabar dan Slamet dari radio Antares. Sementara Tasdik Elshinta serta Ukas Radio Rex, tampak terlibat perbincangan serius, sekitar 2 meter dari posisi kami.

“Saya tahu yang dijadikan sasaran pelapor terkait kasus Jaring Asmara ini adalah saya dan saya tahu pasti siapa yang menjadi pelapornya. Kasih tahu sama dia, berkelahi saja sekalian dengan saya,” teriaknya dengan nada tinggi sambil menyebutkan nama pejabat teras di Pemkab Garut. Tangan kanannya diangkat tinggi-tinggi sambil mengacungkan telunjuk. Saat itu, kami seperti mendengarkan kuliah tujuh menit (kultum) dari seorang ustad di mesjid setiap menjelang adzan Maghrib pada bulan ramadan.

Lama-lama, Aep mulai menghilang. Ia mengambil sikap mundur dari pertemuan karena merasa jengah dengan sikap wakil rakyat itu. Tinggal aku, Kemal, dan Slamet yang berada persis di hadapan pengusaha berkulit putih itu. Sementara Tasdik dan Ukas, masih terlihat serius berbincang. Perlahan, nada suaranya mulai melemah. Dia menatap kami lekat-lekat. “Saya tak akan mengomentari hal itu (rencana Polda memanggil 20 anggota dewan). Jika dikomentari hal itu akan menjadi semakin besar. Yang jelas saya tahu siapa yang ada di balik ini dan sekali lagi tolong sampaikan jika saya mengajaknya untuk berkelahi,” tandasnya.

Dia kemudian menceritakan kronologis pencairan dana jaring asmara tersebut, namun tidak untuk dikutip. Kami pun mendengarkan dengan seksama penjelasan tersebut. Kali ini, Ukas dan Tasdik sudah ikut bergabung. Karena konfirmasi dari dia sebagai pimpinan dewan cukup diperlukan, kami mencoba membujuknya agar penjelasannya bisa dikutip. Dia pun luluh. Seluruh penjelasannya kemudian dikutip. Nada bicaranya pun terdengar lebih santai ketimbang saat berteriak-teriak tak karuan. Keterangan dari dia sudah terangkum semua. Kami pun berencana pamit. Tiba-tiba, dia menghampiri kami lebih dekat. “Hampura nya tadi. Bukan bermaksud marah. Maklum, masih darah muda. Tadi mah, saya ngan ngaluarkeun unek-unek. Soalna, saya keur aya hajatan rek nyalon (jadi Garut I),” ujarnya sambil menyalami kami.

Kami pun pamit dan berjalan menuju ruang Humas Pemkab Garut, tidak jauh dari halaman parkir gedung dewan. Begitu sampai di ruang humas, Aep sudah ada di depan komputer. “Aing mah keuheul. Ngambek mamawa profesi. Mending indit we, dari pada keuheul. Kumaha akhirna?” tanya Aep. Aku lantas menceritakan akhir pertemuan kami. “Dia sudah minta maaf, karena marah-marah kepada wartawan,” ujarku menceritakan akhir pertemuan.

Tampaknya kekesalan Aep masih belum mereda. Dia tetap berniat menuliskan kemarahan wakil ketua dewan itu untuk diterbitkan di SK Priangan. “Ah, aing mah dek ditulis we. Da teu nyaho geus menta maaf. Aing mah nyahona manehna nyarekan urang-urang we,” ujar Aep. Niat Aep tidak main-main. Dia menuliskan judul “Tantang Pelapor Berkelahi. Ditanya Kasus Jaring Asmara, Wakil Ketua DPRD Berang”. Isi tulisannya pun menceritakan kemarahan wakil ketua dewan itu. Bahkan, perkataan menantang berkelahi salah seorang pejabat teras di Garut juga dikutipnya.

Benar saja. Keesokan harinya, di SK Priangan halaman 4, berita Aep muncul. Foto wakil ketua dewan itu juga terpasang, termasuk kutipannya saat menantang salah satu pejabat teras di Garut.
Hahaha, luar biasa Mang Aep… !!

Read more »