Rabu, 18 Juni 2008

Percakapan singkat via YM


Semalam aku berbincang dengan teman kantorku via YM. Dia menyatakan kegelisahannya mengenai situasi di kantor sekarang. “Bandung hangat-hangat tahi ayam,” ujarnya saat aku tanya kondisi markas SINDO di Jalan Aceh 62, pasca kepergianku, satu bulan yang lalu. “Bali yang lagi panas. Enam wartawan dipecat tanpa alasan yang jelas,” tanpa ditanya, ia bercerita. “Wah, nu bener?” aku balik bertanya. “Bener, aya dinu milis,” timpalnya.

Gila, ternyata sudah satu bulan aku tidak pernah lagi membaca milis sindo_jabar. Pantas aku tidak tahu perkembangan kantor di Jabar maupun nasional. Sebelum meneruskan pembicaraan, aku menyempatkan waktu membuka milis. Benar saja, pukul 4.59 Am, sebuah email mampir. NEED ADVOCACY: Wartawan SINDO Bali di PHK, begitu judul email tersebut. Sekilas aku sempat membaca isi email yang diposting dari mediacare. Hmmm, intinya ternyata tidak jauh berbeda dengan kasus yang pernah terjadi di tubuh SINDO Jabar tahun 2007 lalu yaitu masalah kontrak kerja dan mungkin like and dislike.

Aku kemudian berpikir, ternyata manajemen SINDO tidak belajar dari pengalaman sebelumnya. Entahlah bagaimana manajemen di SINDO Jawa Barat. Setahuku, sejak kasus pemutusan kontrak kerja sepihak seorang wartawan SINDO Jabar beberapa waktu lalu, pihak manajemen sudah mulai teratur. Meski begitu, rasa khawatir tetap saja ada. Kembali aku melanjutkan pembicaraan dengan temanku via YM. “Di SINDO Jabar geus aya kabar pemecatan massal?” tanyaku setengah bercanda. “Soalnya kalau pengangkatan massal tidak mungkin ada, baru ada tahun kuda,” kataku lagi. Lama dia tidak menjawab pertanyaanku hingga akhirnya muncul jawaban. “Boro-boro tahun kuda, moal aya nepi ka tahun iraha oge,” ujar dia dengan nada pesimistis.

Sebuah jawaban yang wajar memang, mengingat sampai saat ini, statusku, dia, dan beberapa teman lainnya di SINDO Jabar masih belum jelas. “Ada tawaran lain,” tiba-tiba dia mengganti topik pembicaraan dan menyebut nama sebuah media yang membutuhkan wartawan. “Sekarang di sana manajemennya sedang ditata,” ujarnya lagi. Aku kemudian mengingatkan agar dia tidak terburu-buru memutuskan pindah kerja karena di tempat pekerjaan yang baru itu pun, statusnya akan tetap sama. “Kita lihat saja nanti, aku sedang mencari informasi lebih jauh. Di sini atau di sana memang sama saja. Tapi di sana, mungkin aku bisa lebih dekat dengan keluarga,” ujarnya lagi.

Sepintas aku sempat berpikir akan kehilangan dia. Sebab, keputusan dia untuk mempertimbangkan tawaran itu cukup kuat. “Tenang Gin, kalau ada peluang buat dua orang, yang pertama saya ajak ente,” ujarnya. “Siap mang, ditunggu kabarnya,” jawabku. Hmm, sejak berada di SINDO tahun 2007 lalu, aku dan temanku yang satu ini memang kerap berjanji saling membantu jika suatu saat terlibat kesulitan. Mungkin faktor usia dan kedekatan karena sempat bekerja cukup lama di media yang sama sebelum bergabung di SINDO selama beberapa tahun, membuat kita bersikap seperti itu. Aku pun pamit dan menutup YM.

Malam perlahan mulai berganti pagi. Seorang teman liputanku di Garut yang sama-sama berasal dari Bandung mengajakku keluar mencari makanan. Saat itu, waktu sudah menunjukkan pukul 02.30 WIB dinihari. Kami pun berjalan keluar dari ruang humas Pemkab Garut yang selama ini menjadi markas sekaligus tempat tidur, selain tentu saja kamar kos di Komplek Nusa Indah. Brrrr, udara sangat dingin. Berdua kami melangkah menyusuri jalanan Garut di bawah cahaya bulan dan germerlap bintang di langit. “Kenapa ya kita ada di sini? Rumah di Bandung, keluarga di Bandung, cari uang kok jauh-jauh ke Garut,” ujarnya sambil berjalan. Aku hanya tersenyum dan tidak menjawab pertanyaannya.

Read more »

Ukas Sumringah, Irwan Terpuruk

Sihir sepakbola Piala Eropa memang betul-betul luar biasa. Setiap hari, demi menonton tayangan ajang sepakbola paling bergengsi di Eropa ini, para pecinta sepak bola di Indonesia rela begadang di depan televisi, termasuk warga Kabupaten Garut. Tidak sedikit pula orang yang memanfaatkan momen tersebut sebagai arena taruhan, seperti ulah sejumlah wartawan di Garut.

"Ayeuna saha lawan saha (sekarang siapa lawan siapa)?" tanya Ukas, wartawan Radio Reks kepada Irwan Oeke dari mingguan Tuntas, Selasa (17/6) malam, di ruang humas Pemkab Garut."Italia vs Prancis, jeung Belanda vs Rumania," jawab Irwan. Ya, partai Italia vs Prancis merupakan pertarungan hidup mati di grup C yang disebut pool neraka. Sebab, keduanya sama sekali belum memperoleh poin penuh, dan baru meraih poin 1.

"Gocapan (50 ribuan) ah. Urang nyekel Prancis (saya pegang Prancis)," ajak Irwan kepada Ukas. Kontan saja, Ukas merasa tertantang dan menaikkan taruhan menjadi Rp100 ribu. "Geus cepean lah (100 ribuan). Ieu mah lain soal skor, tapi saha we nu meunang," tantang Ukas. Namun, Irwan menolak tawaran Ukas, dan tetap mempertaruhkan uang Rp50 ribu karena dia juga hendak bertaruh pertandingan Belanda vs Rumania dengan teman lainnya.

"Geus lah deal, gocapan," Irwan kembali ke tawaran semula. Kedua wartawan itu kemudian bersalaman tanda sepakat. Uang dipegang oleh Irwan. Untuk pertandingan Italia vs Prancis, Ukas rupanya tidak hanya bertaruh dengan Irwan tetapi juga dengan Yogi salah seorang staf di bagian humas Pemkab Garut. Pria berwajah hitam itu tetap memegang tim Italia, dengan nilai taruhannya sama, Rp50 ribu.

Malam semakin larut. Bulan mulai menampakkan cahayanya. Ruangan humas Pemkab Garut penuh sesak oleh sejumlah wartawan yang berniat menonton pertandingan Piala Eropa. Sejumlah wartawan lain berdatangan. Irwan Kuir dari RRI, datang dengan membawa gitar. Aep dari harian Priangan (grup PR) menyusul kemudian dan bernyanyi. Sementara Indra dari Trans TV duduk menghadap laptop. Meski duduk di hadapan laptop, tangannya sama sekali tidak menyentuh keyboard laptop, tapi malah keypad HP.

Pukul 02.00 WIB hari Rabu, pertandingan dimulai. Wajah Ukas dan Irwan mulai tegang. Keduanya saling ledek, setiap tim pilihan mereka berbuat kesalahan. Sial bagi Irwan. Gara-gara melakukan pelanggaran terhadap Luca Toni di kotak 12 pas pada menit ke 25, Erik Abidal pemain belakang Prancis mendapat kartu merah. Italia pun mendapat hadiah penalti. Andrea Pirlo yang menjadi eksekutor, menyelesaikan tugas dengan baik, 1-0 untuk Italia.

Wajah Ukas betul-betul sumringan saat itu. Terbayang uang Rp100 ribu dari Irwan dan staf humas yang diajaknya bertaruh. Sepanjang pertandingan babak pertama, Ukas tak henti-hentinya meledek Irwan. Baru saat jeda, keduanya terdiam. "Tingali babak kadua (lihat babak kedua)," kata Irwan kepada Ukas menghibur diri. Ketegangan Irwan ternyata bukan hanya lantaran tim Prancis kalah dari Italia pada babak pertama, tetapi juga karena Belanda belum mencetak satu pun gol ke gawang Rumania. Padahal, dia bertaruh skor dengan teman lainnya, minimal 2-0 untuk Belanda.

"Urang ngepur hiji jeung babaturan nyekel Belanda. Jadi Belanda minimal kudu meunang 2-0," kata Irwan. Ukas tertawa. "Nya enggeus lah, Belanda pasti meunang," hibur Ukas. Babak kedua dimulai. Berbeda dengan saat menonton pertandingan babak pertama, pada babak kedua tersebut, Irwan tidak terlalu bersemangat nonton. Ia lebih banyak tidur di sofa. Dia sudah pesimistis, timnya bakal kalah dari Italia. "Wan, hudang atuh, geus maen yeuh," teriak Ukas membangunkan Irwan. "Pek lah cokot we ku maneh ayeuna duitna," timpal Irwan dengan poisisi tidur di sofa.

Prediksi Irwan benar-benar terjadi. Italia menambah gol lewat tendangan bebas Danielle De Rossi di menit ke 62 yang sempat membentur kaki striker Thierry Henry. Begitu skor 2-0, Irwan langsung menyerahkan uang kepada Ukas karena harapan timnya bakal menang, sangat tipis. Beruntung, Belanda berhasil mencetak 2 gol ke gawang Rumania sehingga dia masih mendapat untung dari taruhan bersama teman lainnya. Ukas betul-betul senang. Ia berhasil mendapatkan uang Rp100 ribu hanya dalam waktu 90 menit, tanpa bekerja. "Kas, duit haram mah kudu dibagi-bagi. Mun henteu, belikeun nu haram deui!!" sedikit bercanda, aku memberi saran kepada Ukas.

Read more »

Senin, 16 Juni 2008

Anakku dan Puri Misteri


Janjiku mengajak si kecil ke rumah hantu akhirnya terwujud juga Sabtu (14/6) lalu. Di mal Yogya Jalan Kepatihan lantai paling atas, dahaga anakku melihat “hantu” terpuaskan setelah menyusuri lorong gelap arena permainan bernama Puri Misteri. Ah, di usia yang hampir empat tahun, tingkat kepenasaran Gisavo anakku, memang sangat tinggi. Dia belum mau menyentuh permainan lain, sebelum betul-betul masuk ke rumah hantu. Padahal, di lantai paling atas mal Yogya, banyak sekali arena permainan anak-anak, mulai dari komidi putar, bombom car, sampai permainan mobil koin yang cuma bisa goyang. Aku sendiri heran, darimana ia mendapat ide mengajakku ke rumah hantu.

Niat anakku melihat hantu memang sudah disampaikan seminggu sebelumnya, saat aku masih berada di Garut. Suatu malam, ia meneleponku dan mengutarakan keinginannya itu. Entah apa yang terbayang dalam pikirannya tentang sosok hantu. Yang jelas, ajakannya lewat telepon terdengar begitu serius. “Bapak, pulangnya kapan? Kalau pulang, kita ke rumah hantu yuk?” ajak anakku. Karena libur hari Sabtu, aku pun hanya bisa mengajaknya pergi ke rumah hantu pada hari Sabtu. Hampir setiap malam, pembicaraanku lewat telepon dengannya selalu berkisar tentang hantu. Sampai akhirnya aku pulang Jumat (13/6) malam, dia masih mengingatkanku soal rencananya pergi ke rumah hantu. “Pak, besok-besok jadi kan ke rumah hantu?” tanyanya. Aku mengiyakannya. “Iya, besok kita pasti ke rumah hantu, berdua aja,” jawabku.

Setiap akhir pekan, saat libur, aku memang selalu menyempatkan bermain berdua dengan Gisavo. Tapi, Sabtu kali ini terasa berbeda. Tiba-tiba saja, dia terasa begitu ingin dekat denganku. Sejak bangun tidur sampai akhirnya kita pergi, pandangan Gisavo seolah tak mau lepas melihatku. Aku menangkap kekhawatiran di wajahnya. Khawatir aku membatalkan rencananya pergi ke rumah hantu. “Tenang Gi, bapak libur. Kita jadi ke rumah hantu,” aku mengelus kepala kecilnya. Anakku tersenyum. Ia mengerti apa yang kukatakan. “Sekarang mending Gisa tunggu di depan. Bapak manasin motor dulu,” ujarku. Ia menuruti perintahku dan duduk manis di kursi depan. Hanya saja, matanya tetap mengawasi gerak-gerikku. “Bapak, jangan lama-lama ya,” teriaknya.

Pukul 10.00 WIB, kami berangkat menaiki motor. Anakku duduk di depan. Dia mengenakan helm hitam dengan kaca yang sudah pecah dua. Tujuan kami hanya satu, Yogya Jalan Kepatihan. Sepanjang perjalanan, kita berbincang-bincang seputar masalah hantu. Nada bicaranya terdengar berapi-api. “Hmm, dia mungkin belum tahu apa yang disebut hantu,” kataku dalam hati. Aku mengemudikan motor dengan pelan hingga kami baru tiba di mal Yogya Jl Kepatihan sekitar pukul 10.45 WIB. Begitu turun dari motor, anakku sempat kaget, karena tempat yang dituju tidak seperti yang dibayangkan. “Bapak, ini bukan rumah hantu, Gisa kan mau ke rumah hantu,” tanyanya. Memang, saat itu aku parkir tepat di sebelah lokasi pameran. Anakku tahu betul, apa itu pameran karena kerap ikut eyangnya melihat pameran di Metro Trade Center (MTC). “Nanti, kita naik. Rumah hantunya ada di paling atas,” jawabku. Kami akhirnya naik ke lantai paling atas.

“Gisa, bapak mau tanya lagi, Gisa bener mau masuk rumah hantu?” aku sempat meyakinkan si kecil mengenai keinginannya melihat hantu begitu tiba di arena permainan anak-anak mal Yogya. Dengan lantang dia menjawab. “Iya pak. Kan Bapak janji mau bawa Gisa ke rumah hantu. Katanya di rumah hantu banyak hantunya pak,” jawab anakku. “Gisa mah gak takut sama hantu, kalau ada hantu, berdoa aja,” kembali anakku berceloteh. Tanpa bertanya lagi, aku pun mengajak si kecil membeli koin. Harga satu koin Rp1.250, sementara untuk masuk Puri Misteri, satu orang harus membeli 2 koin. Aku pun memutuskan membeli 10 koin.

“Jadi pak masuk rumah hantu?” tanya anakku setelah koin kubeli. “Jadi…. Tenang aja, kalau Gisa takut, peluk aja bapak,” jawabku. Anakku mengangguk. Sebelum koin dimasukkan, wajah anakku terlihat sumringah. Aku sempat melihat ke kiri dan ke kanan. Rupanya, tidak ada lagi yang berminat masuk Puri Misteri kecuali kami berdua. “Gisa duluan aja, bapak di belakang,” aku menyuruh anakku berjalan di depan. Anakku berjalan di depan. Namun, sekitar empat langkah orang dewasa, wajahnya tiba-tiba berubah. “Bapaaaaaaakkk,” ia berteriak dan berlari berbalik arah. Rupanya, hantu pertama membuat dia kaget. “Tenang aja, kan ada bapak. Kalau hantunya ngagetin, Gisa kagetin lagi aja,” aku menenangkan anakku yang terlihat mulai mogok berjalan. “Gisa berani kan sama hantu?” tanyaku. Anakku mengangguk. “Berani pak,” jawab anakku sambil melepaskan pelukannya.

Gisavo kemudian melanjutkan langkahnya. Ia betul-betul mengikuti perintahku. Meski terlihat masih dibalut rasa takut, dia selalu berusaha membuat kaget setiap hantu yang dilihatnya. Namun, di pertengahan jalan, dia kembali menghentikan langkahnya karena lorong sudah mulai gelap dan suara-suara mengerikan mulai terdengar. Aku sadar, kali ini dia sudah mulai betul-betul takut. “Gisa takut?” tanyaku. Dalam gelap, aku bisa melihat wajah kanak-kanaknya gelisah. Matanya sudah mulai sendu. “Iya pak, Gisa takut,” nada suaranya bergetar. Aku pun memeluknya erat-erat dan menggendongnya melalui lorong-lorong gelap dan sempit. Wah, lumayan mengerikan juga. Wajar sekali kalau anakku ketakutan. Dalam pelukan, aku mendengar suara anakku berdoa. Saat itu, ia mungkin mengingat pesanku agar setiap melihat hantu berdoa. “Bismillah, Bismillah,” begitu ucap anakku setiap kali melihat hantu-hantuan yang ada di balik jeruji.

Aku sempat kebingungan ketika sama sekali tidak menemukan jalan keluar. Ternyata lorong yang kulalui bersama anakku salah, hingga kami berdua malah berjalan memutar ke lorong yang sama. Tentu saja, anakku yang sudah dibalut rasa takut, tahu persis kalau aku salah jalan. Dia hapal betul hantu-hantu yang sudah dilihatnya. “Bapak, kok jalannya muter-muter aja. Gisa pengen pulang aja,” anakku mulai panik. Mendengar suaranya, aku jadi ikut panik. “Iya, tenang, nanti juga pulang. Bapaknya salah jalan,” kembali aku menenangkan anakku. Benar saja, bukannya menemukan jalan keluar, aku malah kembali menuju pintu masuk yang tidak bisa dibuka dari dalam. “Bapak salah jalan, seharusnya tadi belok kiri. Jadi mendingan muter lagi aja pak,” kata salah seorang penjaga. Tawaran penjaga itu aku sampaikan pada anakku. Kontan saja, anakku menolaknya karena sudah malas melalui lorong itu lagi. “Ya udah, kalau mau lewat sini, bapak loncat aja,” ujar penjaga itu lagi. Kami akhirnya terpaksa menaiki pintu masuk. Anakku lebih dulu, aku menyusul di belakangnya.

Lepas dari Puri Misteri, kami duduk di dekat arena permainan bernama Rumah Kaca. Aku tanya kesan pertama dia melihat hantu. Saat itu, wajahnya sudah mulai normal dan tidak lagi terlihat takut. “Kalau hantu yang putih, Gisa gak takut, kalau hantu yang berwarna, Gisa takut,” jawab anakku. Mungkin yang dimaksud anakku dengan hantu berwarna adalah hantu yang berdarah-darah. “Mau masuk rumah hantu lagi?” tanyaku. Anakku terlihat berpikir. “Ngga ah, Gisa gak mau masuk rumah hantu lagi” jawabnya. Akhirnya, aku mengajaknya masuk ke rumah kaca, sebuah arena permainan yang dipenuhi cermin. Keluar dari rumah kaca, mata anakku kembali menatap Puri Misteri. “Pak, kalau banyakan, Gisa mau masuk rumah hantu lagi,” ujarnya tiba-tiba. Rupanya ia sempat melihat rombongan anak SMA masuk ke rumah hantu. “Ah, nanti kamu takut lagi,” aku kembali mencoba meyakinkan keinginannya. “Bener pak, nanti kalau banyakan, kita masuk rumah hantu lagi ya,” pinta anakku. Aku pun menuruti kemauannya. Sambil menunggu rombongan lain masuk, aku membeli 10 koin lagi.

Rombongan anak SMA tiba di Puri Misteri. Semuanya wanita. Anakku jeli melihatnya. Ia langsung berteriak. “Pak, itu udah ada yang banyakan. Kita masuk lagi yuk!!” teriaknya sambil berlari menuju pintu masuk Puri Misteri. “Ayo, jangan sampai ketinggalan,” teriakku sambil berlari mengejar si kecil. Bersama 5 anak SMA, kami kembali masuk Puri Misteri. Benar saja, kali ini, anakku lebih percaya diri. Dia lebih tenang menghadapi hantu-hantu yang dilihatnya, meski di pertengahan jalan, persis di lokasi yang sama, dia kembali minta digendong karena lorong kembali gelap. Tidak seperti sebelumnya, kali ini aku tidak salah jalan. Bersama rombongan anak SMA yang heboh-heboh, kami pun berhasil keluar dari lorong Puri Misteri. Wajah anakku terlihat tegang tapi senang. “Pak, besok-besok kita ke rumah hantu lagi yuk, tapi banyakan,” ujar anakku begitu keluar dari Puri Misteri. Tentu saja Gisavo. Aku akan selalu berusaha mewujudkan keinginanmu. “Iya, besok-besok kita ke rumah hantu lagi. Sekarang, kita cari makan,” aku menutup pembicaraan soal hantu, karena waktu sudah menunjukkan pukul 12.00 WIB dan anakku harus makan siang.

Read more »