Selasa, 06 Maret 2007

Apa Kabar Margonda Raya?

EDI Kurnia (47) tak kuasa menahan kesal. Siang itu, di depan kemudi mobil, ia terjebak kemacetan di Jalan Margonda Raya Kota Depok. Sumpah serapah pun terus terlontar dari mulutnya. Meski tak diburu waktu, kemacetan di Jalan Margonda Raya tak urung membuat Mazda Interplay yang dikemudikannya terpaksa melaju perlahan.

“Saya baru datang lagi ke Kota Depok setelah tiga tahun lalu saya mulai bekerja di Bandung . Ternyata, Jalan Margonda Raya masih belum berubah, tetap semrawut seperti dulu. Saya pikir ada yang salah dengan penataan Kota Depok,” kata warga Kecamatan Pancoran Mas Kota Depok ini.

Kekesalan Edi cukup beralasan. Sejak Kota Depok berdiri tahun 1999, Jalan Margonda Raya boleh dibilang tak pernah lepas dari kemacetan. Pada jam-jam sibuk, jalan tersebut kerap dipenuhi berbagai jenis kendaraan, mulai dari mobil, motor, sampai angkutan umum. Ini terjadi lantaran ruas Jalan Margonda termasuk jalan arteri.

Meski hanya memiliki panjang 5 km, Jalan Margonda Raya seolah sudah identik dengan Kota Depok. Jalan tersebut tumbuh dan berkembang pesat. Tengok saja, hampir seluruh pusat kegiatan bertumpu di sepanjang jalan tersebut. Bukan hanya pusat pemerintahan, Jalan Margonda Raya juga menjelma menjadi pusat perekonomian Kota Depok.

Sayangnya, perkembangan pesat tersebut tidak dibarengi dengan konsep penataan kota yang jelas. Beban lalu lintas di Jalan Margonda Raya semakin lama semakin tinggi karena penduduk urban semakin bertambah. Tahun 2000 saja, Bapeda Kota Depok pernah menyatakan bahwa Jalan Margonda Raya sudah overload.

Toh ketidakjelasan penataan Jalan Margonda Raya dibantah Kabid Tata Kota Dinas Tata Kota dan Bangunan Kota Depok, Ir Diah Irwanto MT. Menurutnya, Jalan Margonda Raya akan dikembangkan menjadi kawasan multi-fungsi. Rencananya, kata Diah, jalan tersebut akan dibagi menjadi 3 segmen.

“Ketiga segmen itu adalah Segmen Utara, Tengah, dan Selatan. Segmen Utara akan dikembangkan menjadi Margonda Educational & Park, sementara Segmen Tengah akan dikembangkan menjadi Margonda Centre Of Business-Park. Terakhir Segmen Selatan akan dikembangkan menjadi Depok City Hall & Office Park,” kata Diah melalui Kasie Tata Ruang, Bambang Supoyo, beberapa waktu lalu.

Dikatakan Diah, penataan Jalan Margonda Raya menjadi kawasan multi-fungsi tersebut mengacu pada Perda No 12 Tahun 2001 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Depok. Dalam perda tersebut, lanjut Diah, juga diatur mengenai Rencana Rinci Tata Ruang (RRTR) yang terbagi dalam 12 zona.

“Jalan Margonda Raya termasuk dalam zona tersebut. Intinya, kita ingin memberikan kemudahan kepada masyarakat Kota Depok dalam pelayanan berkaitan dengan fungsi-fungsi yang disediakan. Sebelum Depok berdiri, Jalan Margonda sudah seperti ini. Jadi kita menyesuaikan saja,” kata Diah.

Guna mencapai target penataan 3 segmen di Jalan Margonda, sejumlah langkah sudah disiapkan Dinas Tata Kota dan Bangunan. Salah satunya, lanjut Diah, melakukan pelebaran jalan yang saat ini masih beragam. Rencananya, ruas Jalan Margonda akan terbagi dalam jalur cepat dan jalur lambat.

“Saat ini lebar Jalan Margonda Raya beragam. Kita berencana melebarkannya menjadi 28 meter dan dilengkapi dengan jalur lambat dan jalur cepat. Memang ada sebagian jalan yang sudah mencapai lebar 28 meter, tapi belum semua. Ada beberapa ruas jalan yang masih memiliki lebar 15 meter,” kata Diah.

Sayangnya, Diah mengaku masih belum bisa menargetkan kapan penataan Jalan Raya Margonda rampung. Meski begitu, lanjutnya, penataan tersebut akan mulai dilakukan pada tahun 2007 ini dengan anggaran Rp 3 miliar. Sementara pelaksana program penataan akan dilakukan Dinas Pekerjaan Umum (PU).

"Kita akan menata kawasan tersebut dan Dinas Pekerjaan Umum akan menjadi pelaksana dari program penataan ini Diharapkan permasalahan yang selalu timbul di kawasan tersebut bisa teratasi. Karena masalah tersebut menimbulkan kesan kesemrawutan di kawasan Margonda,” kata Diah. (PK-5)

Read more »

Selasa, 20 Februari 2007

Rumah Si Pitung Jadi Kafe

SIAPA tak kenal Si Pitung, pendekar asal Betawi yang melegenda. Konon, Si Pitung pernah tinggal di Kota Depok, tepatnya di salah satu gedung milik bangsawan asal Belanda, Cornelis Chastelein. Warga Depok lebih sering menyebut gedung tersebut rumah tua pondok Cina karena letaknya yang berada di Kelurahan Pondok Cina, Kecamatan Beji.

Sayangnya, sejak satu tahun yang lalu, bangunan tua yang berada di Jalan Margonda Raya tersebut sudah tidak ada. Gedung yang menjadi saksi sejarah Kota Depok sudah terkepung oleh sebuah mal megah bernama Margonda City. Memang, proyek pembangunan Margonda City tidak sampai menggusur gedung tersebut. Meski begitu, fungsi bangunan sudah berubah menjadi sebuah kafe.

“Sudah satu tahun yang lalu gedung tua ini berubah menjadi kafe, bertepatan dengan berdirinya Margonda City. Soal izin, kami sudah mengantonginya. Selain itu, kami juga sama sekali tidak mengubah arsitektur gedung, hanya ada sedikit renovasi di depan dan dalam ruangan,” kata Hafid, salah seorang pengelola kafe tersebut.

Menurut Hafid, gedung tua tersebut memang dikenal sebagai rumah Si Pitung. Tapi, kata Hafid, kebanyakan orang mengenalnya sebagai tempat main Si Pitung. Seiring berjalannya waktu, kata dia, gedung tua itu jadi sering dipakai lokasi syuting, termasuk film Si Pitung.

“Kita tidak menghilangkan aspek peninggalan zaman dulu. Tapi kita merevitalisasinya menjadi seperti ini. Selain itu, di dinding kafe juga terpampang sejumlah foto-foto gedung sejak zaman dulu, sehingga pengunjung kafe bisa mengetahui sejauh mana sejarah perkembangan gedung tua ini,” kata Hafid.

Memang, sejauh mata memangdang, di beberapa sudut kafe terlihat sejumlah foto-foto gedung sebelum berubah menjadi kafe. Selain itu, di beberapa tembok mal, terdapat pula sejumlah poster yang berisi penjelasan mengenai bangunan tua di Kota Depok, lengkap dengan cerita Depok Lama.

Nama Pondok Cina sendiri muncul lantaran daerah tersebut kerap dijadikan tempat berniaga salah satu etnis. Sebelumnya, Pondok Cina penuh denan pohon karet. Namun, daerah tersebut kemudian ditata ulang sehingga sebagian besar fungsi tata ruang lahan sepanjang Jalan Margonda Raya lebih mengarah pada komersialisasi.

Salah seorang warga yang tinggal di belakang Margo City, Edwin (56) mengatakan, saat ini peninggalan sejarah berupa bangunan tua memang sudah tidak ada. Yang masih tertinggal, lanjut Edwin, hanyalah hamparan kuburan Cina yang berada persis di belakang Margo City.

“Wah, sekarang bangunan tua itu sudah tidak ada lagi. Habis sama pembangunan Margo City. Sekarang yang tersisa tinggal hamparan kuburan Cina. Memang ada juga beberapa bangunan yang terbilang tua di daerah ini. Saya tidak tahu persis sebelumnya dipakai apa gedung tersebut. Tapi konon memang gedung tua ini pernah jadi tempat tinggal Si Pitung,” kata Edwin. (PK-5)

Read more »

Selasa, 13 Februari 2007

Situ di Kota Depok Kritis

APA manfaat situ atau danau bagi sebuah wilayah? Tentu bukan sekadar sebagai tempat rekreasi atau pacaran anak-anak muda. Bukan pula sekadar tempat pemancingan bagi warga sekitar. Sebuah situ, jelas memiliki fungsi sebagai penampung hujan, konservasi, dan daerah resapan air. Dengan adanya situ, ancaman banjir yang terjadi jika hujan deras turun, bisa diminimalisir.

Sebagai wilayah penyangga ibukota, Kota Depok memiliki 26 situ yang tersebar di enam kecamatan. Dari 20.029 hektare luas wilayah Kota Depok, luas keseluruhan situ
mencapai 157,85 hektare. Sayangnya, kondisi situ-situ tersebut 80 persen kritis. Bahkan, saat ini, sudah banyak situ yang beralih fungsi menjadi pemukiman penduduk, lapangan bola, dan pembuangan limbah atau sampah.

Menurut Kepala Bagian Pembangunan Bidang Sumber Daya Air (SDA) Dinas Pekerjaan Umum Kota Depok, Ir Welman Naipospos MM, hampir seluruh situ di Kota Depok mengalami penyusutan luas. Padahal, kata Welman, situ di Kota Depok cukup potensial menjaga wilayah ibukota dari sergapan banjir.

“Kota Depok memiliki 26 situ. Namun sayangnya, 80 persen situ-situ tersebut kondisinya sudah kritis. Artinya sudah tidak berfungsi lagi sebagai daerah resapan air, atau penampung hujan. Hampir seluruh situ berkurang luasnya. Selain itu, kedalaman air juga semakin menyusut,” kata Welman saat ditemui di kantornya beberapa waktu lalu.

Welman lantas mencontohkan kondisi Situ Bojongsari/Sawangan Lama di Kelurahan Sawangan, Kecamatan Sawangan, yang merupakan situ terbesar di Kota Depok. Saat ini, kata dia, kondisi situ sudah dipenuhi limbah rumah tangga, dan sampah. Otomatis,
lanjutnya, situ tersebut mengalami pendangkalan. Belum lagi sumber mata air yang sudah tertutupi sedimen dan sampah.

“Secara umum kondisi Situ Bojongsari memang terlihat masih bagus. Namun, situ tersebut sudah mengalami pendangkalan karena banyaknya sampah. Selain itu, luas situ juga mulai menyusut dengan banyaknya pemukiman penduduk dan kolam pemancingan ikan atau empang,” kata Welman.

Kondisi situ lainnya lebih parah lagi. Bahkan, ada beberapa situ yang sudah tidak digenangi air. Misalnya, kata Welman, Situ Pasir Putih di Kelurahan Pasir Putih, Kecamatan Sawangan. Saat ini, lanjut Welman, situ tersebut hanya tinggal nama. Seluruh situ kini tinggal hamparan daratan luas.

“Hal yang sama juga terlihat di Situ Krukut, Kelurahan Krukut, Kecamatan Limo. Meski tidak separah Situ Pasir Putih, kondisi Situ Krukut juga hampir tidak ada airnya. Pendangkalan situ sudah sedemikian parah karena sedimen dan sampah. Sebagian situ kini sudah menjadi fasilitas umum dan fasilitas sosial masyarakat,” kata Welman.

Lebih jauh Welman mengatakan, revitalisasi situ-situ di Kota Depok tentu bukan perkara mudah. Selain membutuhkan dana yang besar, revitalisasi tersebut memakan waktu yang cukup lama. Menurut Welman, dibutuhkan sedikitnya biaya sebesar Rp 5 sampai 8 miliar untuk merevitalisasi situ.

“Kami tentu saja berharap dari perhatian pemerintah pusat dan pemerintah provinsi, baik Provinsi Jabar maupun DKI. Sebab, mencegah banjir di Jakarta bukan hanya dengan membuat kanal-kanal banjir raksasa, tetapi juga merevitalisasi situ-situ yang ada di Kota Depok agar banjir bisa diminimalisir,” kata Welman.

Welman menambahkan, anggaran yang ada di bagian SDA, tak akan cukup untuk merevitalisasi situ. Saat ini, lanjut Welman, bagian SDA hanya memiliki dana Rp 26 miliar. Dana itu pun, kata Welman, bukan untuk revitalisasi situ, melainkan seluruh program di SDA.

“Secara bertahap, saat ini kita tengah mendata kembali jumlah situ di Kota Depok lengkap dengan luas dan kedalamannya. Diharapkan, dengan adanya data tersebut, luas situ tidak akan menyusut, dan tidak akan terjadi pendangkalan. Di Kota Depok sendiri, dari 26 situ, hanya ada 3 situ yang menjadi objek wisata, yaitu Situ Pengasinan, Bojong Sari, dan Citayam,” kata Welman. (PK-5)

Read more »