Senin, 05 Agustus 2013

Sore Menjelang Senja

Setiap sore begini, saya menjelma menjadi kepasrahan. Lemah layaknya tanah tanpa substansi, berserah diri kepada keadaan. Bukan apa-apa, kemacetan jadi ujung pangkalnya. Melintasi sore di Kota Bandung, ibarat makan terlalu kenyang, sulit bergerak ke mana-mana. Kemacetan menggila, polusi udara, tak terhindarkan. Kantor saya letaknya di pintu gerbang Kota Bandung. Namanya Jalan Pasteur. Di sana, nyaris setiap hari kemacetan menyergap. Tak peduli pagi, siang, sore, bahkan malam sekali pun. Matahari belum sepenggalah saja, macet di Pasteur sudah luar biasa. Pun menjelang senja. Itu baru Jalan Pasteur. Belum yang lainnya macam Buahbatu, Alun-alun, dan Kapatihan. Saya tak bermobil. Sebatas menaiki motor andalan yang jam terbangnya sudah tinggi. Tapi saya terjebak macet. Bayangkan, seperti apa lalu lintas saat itu. Lantaran tak bermobil, sepanjang menanti kemacetan, telinga saya praktis hanya dijejali kebisingan deru mesin dan klakson. Suara musik? Boro-boro. Saat itu, saya hanya berusaha mencari peluang lolos dari bebalnya kemacetan. Ah, Bandung sore hari, bukan kota yang menjanjikan. Lalu lintas sungguh tak bersahabat lagi. Kemiskinan seolah terpatri di setiap perempatan, trotoar, dan kawasan padat penduduk. Entahlah, saya mendadak kehilangan optimisme menatap kota kelahiran. Bandung seperti punya segudang masalah yang tak pernah terurai.

Read more »

Kamis, 25 Juli 2013

Antara Clark Kent, Peter Parker, dan Tintin

Capuccino dingin menemani pertemuan sore itu. Di sebuah kafe Jalan Talagabodas, obrolan santai mengalir deras. Tak bertema, namun penuh makna. Tak terstruktur, tapi sarat arti. Yang dibicarakan pun bukan persoalan berat. Mungkin jauh lebih ringan dari kapas.

Tiga orang di sana membawa cerita berbeda. Tentu saja, sebab kehidupan masing-masing toh berbeda juga. Bisa dibilang, inilah ajang curahan hati yang tak mendalam. Sekadar permukaan, lantaran dikemas dengan kalimat-kalimat konyol. Warna canda lebih kental ketimbang keseriusan.

Semua berawal saat masing-masing bicara pekerjaan. Dengan latar belakang sama, cerita pun jadi kait mengait. Itulah yang namanya pekerjaan sama, nasib berbeda. Sama-sama jadi jurnalis, tapi punya problem berbeda. Meski pengharapan sepertinya tetap sama: penghasilan tinggi.

Tiga tokoh komik lantas jadi bahan intermezo: Superman, Spider-Man, dan Tintin. Kenapa? Sebab tiga pahlawan itu digambarkan sebagai seorang jurnalis. Entah sekadar menyamarkan jatidiri atau nyata, mereka punya pekerjaan mencari berita dan foto menarik untuk dimuat di media masing-masing.

Maka, persamuhan pun seolah mengerucut, membahas satu per satu karakter masing-masing tokoh komik. Yang jadi pembicaraan pertama adalah Superman. Sosok superhero yang lahir di Planet Krypton dengan nama Kal-El. Ayahnya, Jor-El, meluncurkan Ka-El ke Bumi melalui roket, sebelum Planet Krypton hancur.

Di bumi, Kal-El kecil diadopsi pasangan Kent, Jonathan Kent dan Martha Kent. Namanya berganti jadi Clark Kent. Sepanjang hidupnya, Clark Kent menyembunyikan jatidiri. Dia hidup sebagai manusia biasa berwatak halus yang bekerja menjadi reporter di The Daily Planet.

Sore beranjak. Langit mulai gelap. Kafe pun kian ramai. Topik mengenai Clark Kent dan Superman sementara ditutup. Yang jadi penggantinya Spider-Man, si manusia laba-laba, pahlawan super dari Marvel Comics. Nama asli Spider-Man adalah Peter Parker. Dia tinggal bersama paman dan bibinya di apartemen Queens, Manhattan.

Tak perlu bercerita soal bagaimana Peter tiba-tiba menjelma menjadi sosok superhero. Toh, semua juga sudah mafhum. Yang jelas, Peter bekerja sampingan sebagai fotografer lepas di Daily Bugle. Dia memotret aksinya secara otomatis saat menjadi Spider-Man. Hasil fotonya kemudian dia serahkan ke redaksi Daily Bugle. Dari sana, Peter mendapat penghasilan.

Membahas dua sosok saja, tenggorokan sudah mulai terasa kering. Maka, mata melirik menu yang terus menggoda sedari tadi. Capuccino kembali jadi teman malam itu. Kali ini tanpa es di dalamnya. Asap rokok membalut ruangan, menyebar ke mana-mana. Satu tokoh lagi masih akan dibahas. Tintin, sang pemuda berjambul.

Tintin adalah tokoh rekaan karya komikus asal Belgia, Herge. Berbeda dengan Superman dan Spider-Man, Tintin bukan superhero yang punya kekuatan. Dia hanya seorang wartawan muda berjambul, yang kerap terjebak dalam petualangan memicu adrenalin. Dalam komiknya, Tintin digambarkan selalu sukses memecahkan misteri di banyak negara.

Meski bukan superhero, nyali dan keberanian Tintin tak diragukan. Dia bisa mengendarai tank, menaiki sepeda motor, hingga menerbangkan pesawat. Belum lagi menjinakkan beruang merah, mengunggangi kuda Arab, berenang, yoga, dan olahraga keras lainnya. Pokoknya, Herge betul-betul menggambarkan Tintin sebagai sosok serbabisa dan nyaris sempurna, menembus batas ruang dan waktu.

Tiga tokoh komik tuntas dibahas. Tiga orang di kafe sementara terdiam, sedikit menghela napas, atau sekadar menikmati minuman hangat plus rokok. Superman, Spider-Man, dan Tintin, tentu sekadar pembahasan mengawang-awang. Ya, namanya juga tokoh komik, tak perlu juga repot-repot memikirkan keberadaan mereka sebagai seorang jurnalis.

Namun akhirnya, semua bersepakat tentang label jurnalis yang melekat di ketiganya. Dua tokoh, sepertinya tak mewakili pekerjaan jurnalis: Clark Kent dan Tintin. Dalam setiap episodenya, Kent tak pernah terlihat sedang meliput sebuah peristiwa, atau mengetik naskah untuk diterbitkan besok. Dia tampak asyik dengan penyamarannya plus asmara satu kantor.

Begitu pun Tintin. Berteman Snowy anjingnya, sosok Tintin hanya digambarkan sebagai pria pemberani yang pintar memecahkan misteri dan kerap keliling dunia. Soal kapan dia punya waktu menulis berita, tak terceritakan. Bahkan media mana yang mempekerjakannya pun, tak jelas. Bisa dibilang, Tintin sosok wartawan tanpa surat kabar.

Yang lebih kentara sebenarnya Peter Park. Sebagai seorang fotografer lepas, dia terlihat kerap wira-wiri ke kantor redaksi Daily Bugle, menyerahkan hasil foto dan menerima honor. Meski tentu saja, semua foto yang dihasilkan hanya terkait dengan aksi Spider-Man. Toh, profil dia sebagai superhero yang berprofesi sebagai fotografer, masih tergambarkan lewat aksi-aksinya menghasilkan karya.

Intermezo soal komik tuntas sudah. Tapi tubuh tak mau beranjak. Tetap terduduk, meski gelas tak terisi. Yang muncul hanya kata-kata mengalir tak keruan, diselingi tawa lepas. Malam itu, malam minggu. Tiga orang di sebuah kafe, kembali menatap masa depan masing-masing. Masih sebagai jurnalis, belum terpikirkan banting setir.

Read more »

Selasa, 23 Juli 2013

Selamat Hari Anak Nasional

Arie Hanggara meregang nyawa. Tepat 8 November 1984 publik tanah air geger. Di tangan orang tuanya, bocah 8 tahun itu tak berdaya. Empat hari dia menerima siksaan. Pukulan, tamparan, dan benturan, jadi makanan sehari-hari putra pasangan Tino Ridwan-Santi binti Cecep. Empat hari, Arie berbalut duka hingga akhirnya tewas 8 November.

Kematian Arie menarik perhatian masyarakat tanah air. Setahun kemudian, pada 1985, kisah kekerasan terhadap anak itu difilmkan. Sutradara Frank Rorimpandey sukses menelurkan film yang menguras air mata penonton saat itu. Memerankan tokoh Tino Ridwan, Deddy Mizwar pun meraih penghargaan pada Festival Film Indonesia 1986.

Tulisan ini bukan bicara tentang film Arie Hanggara yang cukup fenomenal pada 1985. Bukan pula menyoal kepiawaian aktor watak Deddy Mizwar menjiwai peran. Tepat 29 tahun lalu, sosok kedua orang tua Arie Hanggara, muncul jadi pelopor child abuse. Anak yang seharusnya disayang dan dididik, malah jadi bulan-bulanan orang tua.

Entah ada hubungannya atau tidak dengan kekerasan yang dialami Arie Hanggara, sejak 1986 Indonesia memperingati Hari Anak Nasional setiap 23 Juli. Memang, sejarahnya sendiri berawal dari almarhum Presiden Soeharto yang menggulirkan Keputusan Presiden RI No 44 tahun 1984 tentang Hari Anak Nasional. Saat itu Soeharto melihat anak-anak sebagai aset bangsa.

Sejak kasus Arie Hanggara mencuat, kekerasan terhadap anak rupanya tak kunjung surut. Dari tahun ke tahun, korban-korban berjatuhan. Anak-anak kerap tak berdaya menerima siksaan dari orang tua baik fisik, mental, dan seksual.

Di Kabupaten Sukabumi, sepanjang 2013, ada 17 kasus kekerasan seksual dialami anak-anak. Jumlah itu lebih besar dibanding tahun sebelumnya. Parahnya, kasus kekerasan seksual ini meningkat lantaran anak-anak makin mudah mendapatkan informasi negatif dari perangkat handphone (HP) maupun internet.

Kabupaten Bandung idem ditto. Meski tak memiliki data pasti, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Sahabat Remaja dan Anak (SAHARA) Indonesia Kabupaten Bandung menyebut kekerasan terhadap anak terus terjadi. Belum lagi eksploitasi terhadap anak dengan cara perdagangan orang alias human trafficking.

Memperingati Hari Anak Nasional, saya teringat sosok bocah 8 tahun bernama Gisavo Lembayung Lelaki Akbar. Dia pandai bermain biola. Pandai pula menyanyi. Bahkan kini, siswa kelas IV SDN Karang Pawulang itu juga sedang mempelajari drum dan gitar. Keingintahuannya tinggi. Dia tak akan pernah berhenti bertanya, jika belum mendapat jawaban memuaskan.

Dia anak saya. Satu-satunya anak saya. Buat dia, saya ingin mengucapkan selamat Hari Anak Nasional. Ini hari istimewamu nak. Hari bagi seluruh anak-anak di Indonesia. Semoga tak pernah ada kekerasan di antara kita. Selamat Hari Anak Nasional.

Read more »

Kamis, 18 Juli 2013

Jangan Abaikan THR Lebaran

Lebaran masih tiga pekan lagi. Namun gaung pembayaran Tunjangan Hari Raya (THR) sudah terdengar kencang. Pekerja atau karyawan yang beragama Islam berteriak, me-warning pengusaha agar membayar THR tepat waktu. Tentu dengan besaran sesuai ketentuan. Wajar memang, karena tahun sebelumnya, beberapa perusahaan terlambat membayar THR.

Setiap tahun, makhluk bernama THR itu kerap jadi persoalan pelik. Ini lantaran begitu banyaknya jumlah buruh, pekerja, dan karyawan di Indonesia. Coba tengok, berapa total jumlah buruh atau karyawan tetap di Indonesia? Lantas, gabungkan dengan total buruh atau karyawan tak tetap.

Indonesia memiliki 34,5 juta buruh atau karyawan tetap. Plus 21,3 juta buruh tak tetap, total ada 55,8 juta orang. Sebagian dari buruh itu adalah kaum muslim yang kini sedang menanti datangnya THR Lebaran. Di Jabar, ada 2.959.139 orang yang bekerja di 26.627 perusahaan. Walhasil, begitu banyaknya uang yang harus disiapkan perusahaan membayar THR bagi karyawannya.

Tahun lalu, banyak perusahaan yang telat membayarkan THR kepada karyawannya. Malah, ada pula yang menunggak. Tak heran, Selasa (15/7/2013), Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jabar Hening Widyatmoko menyebut kesadaran perusahaan membayar THR masih lemah. Di Jabar, kata dia, sempat ada kasus THR belum dibayarkan sehari sebelum Lebaran.

Membayar THR itu wajib hukumnya! Terutama kepada pekerja formal yang tergolong tetap atau sudah bekerja paling tidak selama setahun. Pekerja kontrak pun idem ditto. Dia dianggap layak mendapatkan THR, meski tidak ada kewajiban tentang hal tersebut.

Secara detail, hak pekerja mendapatkan THR diatur dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja No PER-04/MEN/1994 Tahun 1994 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi Pekerja di Perusahaan atau biasa disebut Permenaker 4/1994.

“Pengusaha wajib memberikan THR kepada pekerja yang telah mempunyai masa kerja 3 bulan secara terus-menerus atau lebih,” begitu isi pasal 2 Permenaker itu. Sementara Pasal 4 ayat 2 mengatur soal waktu pembayaran THR. “Pembayaran THR sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dibayarkan oleh pengusaha selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sebelum Hari Raya Keagamaan,” sebutnya.

Soal besaran THR pun sudah diatur pada Pasal 3 Permenaker 4/1994. THR nilainya sebesar satu bulan upah, yakni upah pokok ditambah tunjangan-tunjangan tetap. Jelas sudah dasar hukum pembayaran THR. Pengusaha tak bisa lagi mencari alasan menunda pembayaran THR atau memundurkannya.

Sanksi hukum menanti mereka jika mengabaikan hak-hak karyawan seperti diatur dalam Pasal 17 UU No 4/1969 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja. Pekerja pun berhak mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), jika tidak mendapatkan THR. So, mari kita menanti THR.


Read more »

Selasa, 09 Juli 2013

Ini Dia Jadwal Puasa 2013

Suryadharma Ali tak terlihat gundah sama sekali. Di hadapan kamera wartawan, Menteri Agama itu lugas menyatakan kesimpulan mulainya puasa. Pemerintah pun akhirnya menetapkan Rabu (10/7/2013) sebagai awal Ramadan. “Atas masukan dan hasil hisab, pemerintah menetapkan 1 Ramadan 1434 Hijriah jatuh pada hari Rabu 10 Juli 2013,” ujar Suryadharma dalam sidang Isbat di Kantor Kementerian Agama, Jakarta.





Read more »

Jumat, 21 Juni 2013

Menanti Sepak Bola Indonesia Damai

Layaknya negara lain, kompetisi sepak bola Indonesia penuh warna. Ada sejumlah laga bertensi tinggi, rawan kerusuhan, dan sarat gengsi. Sebutannya bisa macam-macam. Duel klasik, big match, super big match, bahkan laga panas.

Hari ini pun, atmosfer Jakarta akan makin memanas. Di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK) Persija Jakarta bakal menjamu Persib Bandung. Tak ada yang menyangkal laga itu sarat dendam dan emosi. Sejak era perserikatan, keduanya kerap bersaing menjadi yang terbaik.

Fanatisme suporter dua tim mewarnai persaingan. Maka tak heran, laga Persib vs Persija selalu menyita perhatian banyak pencinta sepak bola di Tanah Air. Aparat keamanan bahkan harus berjibaku mengerahkan ribuan anggotanya untuk mengamankan laga tersebut.

Parahnya, imbas laga itu membuat kenyamanan warga, entah di mana pun terganggu. Sampai-sampai ada imbauan, jika Persib vs Persija main di Bandung, kendaraan pelat B dilarang melintas. Pun sebaliknya, main di Jakarta, kendaraan pelat D tak boleh berkeliaran di sekitar stadion.

Sepak bola memang kini menjelma bak candu. Efek adiktifnya membuat para pendukung terlena. Ujung-ujungnya bisa macam-macam dan mengarah ke hal negatif. Perseteruan suporter Persib dan Persija, bisa jadi contoh. Fanatisme keduanya kerap berujung bentrok fisik.

Seolah sudah mengakar, budaya bentrok membuat para suporter fanatik merasa besar. Sepak bola pun jadi tak sekadar 11 melawan 11, tapi berkembang menjadi aksi massa. Padahal, sepak bola bukan persoalan hidup dan mati.

Siapa yang rugi? Tentu suporter masing-masing dan pencinta indahnya sepak bola. Demi keamanan, laga Persija vs Persib di SUGBK sore ini, akhirnya digelar tanpa penonton. Polda Metro Jaya tak mengizinkan suporter kedua tim hadir di stadion.

Polisi berkaca pada laga Persib vs Persija di tempat yang sama, Mei 2012 silam. Kericuhan terjadi seusai laga. Suporter Persib meninggal dunia setelah dikeroyok penonton beratribut The Jakmania. Maka, wajar kiranya polisi mengeluarkan kebijakan tersebut.

Tak ada yang bisa mengubah kebijakan. Bahkan, Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo pun terpaksa gigit jari. Niatnya menonton laga klasik sarat gengsi, tak kesampaian. Namun, dia hanya pasrah. Pria yang akrab disapa Jokowi itu memahami pertimbangan polisi.

Maka, keputusan polisi bisa jadi pelajaran bagi pencinta sepak bola di Indonesia. Fanatisme boleh-boleh saja, namun tidak berlebihan. Bentrokan fisik, jangan jadi budaya. Sebab, imbasnya bisa ke mana-mana. Tak hanya pribadi dan tim, tapi komisi hukum tertinggi sepak bola.

Read more »

Rabu, 01 Mei 2013

Siapa Bilang Belajar Musik Mahal?

"Where words fail, music speaks". Ketika kata tidak lagi berguna, maka musiklah yang berbicara. Begitu kutipan penulis kenamaan dunia Hans Christian Anderson. Tak sebatas kutipan, orang-orang yang memilih musik sebagai jalan hidup kini telah membuktikannya. Musik menjelma menjadi bahasa universal, melepas simpul-simpul perbedaan. Pun menebas sekat dan prasangka.

Semua berawal 2010 lalu. Saat itu, Irawan Zulhidayat gundah. Tinggal di wilayah timur Kota Bandung, dia tak menemukan tempat kursus musik yang komplet. Jika pun ada, biayanya cukup mahal. Padahal, banyak warga di daerahnya yang berminat mendalami musik.

Maka, pria yang akrab disapa Wawan itu pun memutar otak. Dia punya obsesi mendirikan sebuah kelas musik yang harganya terjangkau. Demi mewujudkan impiannya itu, Wawan pun mulai kasak-kusuk mencari lokasi. Tak mudah memang, hingga akhirnya dia menjatuhkan pilihan.

Sebuah rumah di Kompleks Margahayu Raya, dia sulap jadi lokasi kursus. Kamar-kamarnya, berubah jadi kelas musik. Tepat 1 November 2010, Rumah Nada Music School resmi berdiri. Lokasi persisnya, di Jalan Mars Selatan No 49 Metro Margahayu Raya Kota Bandung.

“Sebetulnya Rumah Nada didirikan karena di wilayah Bandung timur tak ada tempat kursus musik yang harganya terjangkau. Banyak peminat musik, tapi celakanya tempat kursusnya jauh dan mahal,” kata pria yang aktif mengajar di Purwacaraka Music Studio itu, beberapa waktu lalu.

Resmi berdiri, Rumah Nada Music School sempat sepi peminat. Padahal sebelumnya, Wawan sempat sounding ke sejumlah teman-temannya hendak mendirikan tempat kursus. Dari hasil pembicaraan bersama teman-teman, tercatat 40 murid siap mengikuti kursus musik di tempatnya.

“Saya sounding ke teman-teman akan mendirikan kursus musik. Banyak yang menyambut baik. Total, 40 murid siap ikut kurus. Tapi pada kenyataannya, ternyata yang kursus tak sampai segitu. Awal-awal berdiri, kami hanya punya 10 murid,” terang Wawan.

Wawan tak patah semangat. Dia tetap yakin dengan niatnya membangun sekolah musik dengan harga terjangkau. Tiga tahun berlalu, kesabarannya berbuah hasil. Kini, jumlah siswa yang mengikuti kursus di Rumah Nada Music School sudah mencapai 100.

“Sekarang, yang kurus di Rumah Nada tak hanya warga Kompleks Margahayu Raya, tapi dari berbagai kompleks di Kota Bandung. Malah, ada juga yang dari Ciparay. Total murid sudah mencapai 100 orang,” tutur pria kelahiran Tebing Tinggi, 27 Februari 1970 itu.

Sejumlah promo pun dilakukan. Dalam tiga tahun ini, tercatat Rumah Nada Music School menggelar dua kali konser. Promo itu sekaligus jadi ajang siswa-siswa tampil berani di depan umum. Hasilnya cukup positif. Siswa yang awalnya malu-malu, berani tampil di atas panggung.

“Meski harganya relatif terjangkau, kita tetap mengedepankan kualitas. Di Rumah Nada Music School, siswa-siswanya dididik oleh guru musik yang profesional,” pungkas pria yang sudah mendalami musik usia 8 tahun itu. (gin gin t ginulur)

Read more »